(DROP DOWN MENU)

KEDAULATAN EKONOMI BANGSA Berpangkal dari Kemandirian Berekonomi

SENI PIKIR & TULIS

EKONOMI (PRAGMATISME) Vs. NASIONALISME, manakah yang Dipilih?

Mengobral Bangsa kepada Predator Ekonomi bernama Investor Korporasi Asing, alih-alih Mandiri secara Ekonomi

Kajian ini khusus untuk konteks Bangsa Indonesia, dalam rangka menggambarkan tarik-menarik kepentingan antara ekonomi dan jiwa nasionalisme. Ekonomi, bersifat parsial, dan mampu menciptakan segregasi ditengah-tengah sesama anak bangsa kita sendiri. Sementara itu, jiwa nasionalistik menjadi faktor kohesi daya rekat suatu bangsa. Sebelum itu, penulis akan menguraikan fakta sejarah, tanpa bermaksud untuk mengerdirkan peran perjuangan dan pengorbanan para pejuang kemerdekaan Republik Indonesia, bahwa kemerdekaan Republik Indonesia merupakan hasil kompromi, bukan perjuangan dalam arti yang sesungguhnya.

Belanda, lebih tepatnya Kolonialisasi Belanda, disingkirkan oleh masuknya invasi tentara Jepang ke Tanah Air. Jepang sendiri, tidak lama kemudian, menarik diri dari negara-negara jajahannya akibat kerusakan yang dialami Hiroshima dan Nagasaki akibat bom atom. Dari fakta sejarah tersebut saja, daya resistensi Bangsa Indonesia demikian minim terhadap praktik pejajahan. Belanda, kemudian mencoba kembali menguasai Indonesia, yang bermuara pada negosiasi pada Konferensi Meja Bundar, dimana salah satu poin kesepakatannya demi mendapatkan kemerdekaan ialah, Republik Indonesia harus menanggung seluruh hutang Kolonial Hindia Belanda, sekalipun Belanda telah banyak meraup keuntungan dari segi finansial dan sumber daya alam dari Indonesia selama empat abad lamanya menjajah Bumi Pertiwi. Jika saja anak bangsa dan para sesepuh kita saat itu, bersikukuh dan berpendirian tegas bahwa “Kemerdekaan ialah HAK segala bangsa”, maka mengapa masih juga kita berkompromi terhadap penjajah sekalipun merdeka ialah hak bangsa kita tanpa terkecuali?

Paska kemerdekaan setelah Soekarno diculik dan dipaksa untuk mengumandangkan kemerdekaan, rezim otoriter kembali menjajah, yang kali ini oleh sesama anak bangsa sebagai pelaku tiranismenya, Orde Baru yang lebih tepat disebut dipimpin oleh seorang raja dengan banyak selir ketimbang seorang “negarawan”. Rezim Orde Lama, bukan ditumbangkan oleh pergerakan mahasiswa yang mudah dipukul mundur oleh tentara dan polisi (berdasarkan catatan sejarah), namun oleh politik internal kemiliteran lewat Surat Perintah Sebelas Maret, dimana kemudian pemimpin Orde Lama diasingkan sebelum kemudian berganti pada penguasaan rezim Orde Baru, sekadar berganti jubah.

Orde Baru, berkuasa hingga tiga dekade lamanya, masih juga berjiwa kepemimpinan bak raja di zaman keraton, tiran berganti tiran, juga sesama anak bangsa, jatuh pula bukan oleh aksi demonstrasi mahasiswa, namun akibat faktor usia dan kesehatan sang pemimpin rezim yang sudah “kakek-kakek”, disamping kejatuhan sendi ekonomi disamping faktor politik ditariknya dukungan para menteri di kabinet, tidak ada pilihan lain bagi sang diktator untuk “lengser” dari kursi kekuasaannya, setidaknya anak-anaknya telah memperoleh banyak keuntungan selama tiga dekade sang “tiran” berkuasa.

Apakah kini, di era reformasi, kita telah benar-benar “merdeka”, dalam arti yang sesungguhnya, yakni merdeka dari penjajahan oleh sesama anak bangsa, merdeka dari segi budaya, merdeka dari segi ekonomi, merdeka dari segi beraspirasi merdeka dari kebodohan, merdeka dari segi pikiran serta ideologi, merdeka dari kekerasan fisik dan perampasan tanpa hak oleh sesama anak bangsa? Lihatlah masif serta banyak kasus-kasus diliput media massa, dimana sesama sipil saling merampas hak atas tanah, penyerobotan oleh tentara bersenjatakan lengkap terhadap tanah warga sipil yang tidak berdaya, tanah ulayat yang tersingkirkan oleh korporasi pemegang konsesi tambang maupun perkebungan, rakyat tersisih kian tersisihkan, pelakunya bukanlah bangsa Barat maupun Yahudi, namun oleh sesama anak bangsa—namun, tetap saja, yang setiap harinya dikutuk dan dibenci oleh rakyat kita, ialah jika bukan orang Barat, Yahudi, maka yang mereka sebut sebagai “kafir” (ideologi permusuhan serta kebencian, sebagai faktor pemecah-belah bangsa yang sudah majemuk ini, karenanya mudah saja menjajah negeri “pecah-belah” ini). Mereka, demikian kompromistis terhadap maksiat (lewat iming-iming “penghapusan dosa”) dan penjajahan oleh sesama anak bangsa, namun disaat bersamaan tidak toleran terhadap tiga kaum tersebut.

Anak bangsa, hanya menjadi penonton dalam industri kendaraan roda dua maupun roda empat. Sendi-sendi ekonomi otomotif, praktis dikuasai oleh Jepang. Begitupula berbagai produk yang beredar di pasaran, baik barang-barang konsumsi maupun faktor produksi, hingga buah-buahan maupun sayur-mayur, produk dalam negeri demikian tinggi harga jualnya namun dengan kualitas ala kadarnya, namun produk importasi justru lebih mampu bersaing dari segi ekonomi dengan kualitas yang melampaui produk dalam negeri. Lebih dari separuh produk & perabot rumah tangga setiap warga di Indonesia, notabene ialah “Made in China”. Akan tetapi tetap saja mereka senantiasa berdemonstarsi “Tolak CINA”.

Alkisah, dua orang sahabat lama yang terpisah antara negara dan berbeda kewarganegaraan, saling bertelepon dari jarak jauh. Sang Warga Negara Indonesia (WNI) : “Malam ini akan ada pertandingan sepak bola antara Belanda melawan Jepang. Siapakah yang akan engkau pilih dan dukung sebagai pemenangnya, wahai sahabatku?” Jawab sang Warga Negara Asing (WNA) : “Tentu saya memilih Belanda.” “Mengapa engkau memilih dan mendukung kesebelasan Belanda?” “Karena Jepang pernah menjajah Indonesia.” Namun, tiada yang lebih buruk daripada kultur berdarah-darah tawuran antar suporter bola antara kedua tim lokal liga nasional yang saling bertanding, dimana selalu berakhir ricuh dan terjadi korban jiwa, dimana antara pelaku dan korbannya, notabene ialah sesama anak bangsa.

Kisah nyata berikut, merupakan pengalaman pribadi penulis, yang dapat mencerminkan lebih lebih konkret betapa jiwa nasionalisme Indonesia, sungguh patut diragukan serta dipertanyakan, karena memang sudah begitu terpecah-belah sehingga sejatinya bila terdapat bangsa lain hendak menjajah negeri ini, maka mudah saja bagi mereka untuk merebut simpatik publik, sebagaimana ada saja warga lokal pribumi Indonesia yang memihak Hindia Belanda bahkan ke-Belanda-Belanda-an, dimana politik “adu domba” tidak mungkin terlaksana tanpa keterlibatan warga pribumi lokal yang mudah “dibeli” untuk bersekongkol dengna asing, sebagaimana generasi muda di Indonesia yang begitu tergila-gila pada budaya anime Jepang, sekalipun nenek mereka bisa jadi menjadi korban “jugun ianfu” (praktik pemerkosaan massal oleh tentara Jepang terhadap warga jajahannya, sehingga praktis Jepang jauh lebih tidak manusiawi ketimbang penjajah sebelumnya, meski tiada penjajahan yang manusiawi).

Kebodohan juga mewarnai perspektif publik kita. Mereka menyebutkan, lebih baik dijajah oleh pemerintah Inggris, karena negara-negara persemakmuran cenderung lebih makmur dari segi taraf hidup paska kemerdekaan negara mereka masing-masing dan bangga tergabung sebagai bangsa persemakmuran. Jika pemerintahan Inggris sedemikian baiknya, maka mengapa Bangsa India begitu menderita terjajah selama berabad-abad dan korban jiwa mereka demikian tidak terhitung jumlahnya, belum lagi eksploitasi terhadap sumber daya alam mereka? Dalam sejarah “perang saudara” di Amerika Serikat yang berbuntut revolusi kemerdekaan, apakah belum cukup besar jumlah penduduk “pro kemerdekaan” yang menjadi korban jiwa demi bisa merdeka dari aneksasi pemerintahan Inggris?

Penulis pernah bekerja pada suatu perusahaan, yang dimiliki dan dipimpin langsung oleh seorang berkebangsaan Jepang yang sangat manipulatif, eksploitatif, serta tidak adil bahkan dapat disebut tidak manusiawi terhadap karyawan, termasuk terhadap diri penulis yang telah bekerja secara penuh tanggung jawab. Ketika hak-hak pegawai dizolimi oleh pihak pemimpin perusahaan yang notabene seorang pria asal Jepang tersebut, pihak HRD yang dikepalai oleh sesama Warga Negara Indonesia, justru turut merepresi karyawan yang dizolimi hak-haknya, memihak secara membuta kepada sang “Japanesse”, dan secara langsung maupun tidak langsung turut melanggengkan hingga melancarkan aksi-aksi jahat sang “Japanesse”. Benar apa yang disebut Ajahn Brahm, bahwa gaji atau upah adalah “uang sogokan”—uang sogokan tidak seberapa nilainya, namun sesama WNI saling menjual bangsanya sendiri kepada asing, ironis, nasionelisme yang patut diragukan bila tidak dapat disebut sebagai “omong kosong”.

Pernah pula penulis berkunjung ke suatu perusahaan pabrik handphone asal China di salah satu daerah kawasan industri di Pulau Jawa, yang dimiliki dan dipimpin oleh seorang “Chinese” asal China. Saat hendak keluar dari dalam perusahaan tersebut, pihak Satpam diperintahkan oleh pihak dalam perusahaan untuk menggeledah isi tas yang disandang oleh penulis, seolah-olah penulis adalah seorang pencuri, dengan ancaman pintu gerbang tidak akan dibuka sehingga penulis tidak dapat keluar ataupun membawa keluar kendaraan milik penulis. Pemilik perusahaan tersebut, adalah orang asal China yang tidak dapat berbahasa Indonesia dan merupakan perusahaan asal China. Mengapa juga, di tanah air sendiri, penulis harus menjadi korban penjajahan yang pelakunya ialah lewat tangan-tangan sesama anak bangsa? Betapa mudahnya, bangsa ini dis-sogok dan di-beli (baca : di-suap untuk mengkhianati dan menjual bangsa sendiri).

Kini, penulis akan membahas sebuah modus klasik yang terus berlangsung secara masif dan tumbuh subur di Indonesia. Investor asing, diundang masuk dengan mengobral bangsa sendiri, jika perlu diberi “karpet merah”, dengan alasan menumbuhkan lapangan pekerjaan dan “transfer of knowledge”. Pertanyaannya sederhananya, apakah ada, investor asing yang sebodoh itu hendak membagi ilmu yang selama ini menjadi topangan sumber ekonomi mereka? Jika memang dalam rangka “transfer of knowledge”, maka mengapa tiada roadmap yang tegas dan jelas, kapan semua ini harus diakhiri? Kita belajar untuk bisa mandiri suatu ketika kelak, bukan untuk selamanya menjadi penonton di negeri sendiri. Disebut sebagai (alibi) membuka lapangan pekerjaan baru, namun mengapa beras, garam, bawang, dan komoditas pangan lainnya, kita masih juga impor setiap tahunnya, seolah-olah negeri kita kekurangan ladang yang subuh bagi warga kita untuk bekerja sebagai petani ataupun wirausahawan dibidang “food estate”?

Tidak ada investor asing yang baik hati ketika memutuskan masuk dan menanamkan modalnya di negeri asing, itulah fakta yang penulis temukan dan selalu jumpai setiap kali klien menceritakan masalah hukumnya selaku pemegang saham lokal yang minoritas. Bahkan pihak otoritas perpajakan di Indonesia, telah pernah membuat press release secara resmi, menyatakan bahwasannya para perusahaan PMA (penanaman modal asing) di Indonesia kian tahun kian besar dan kian bertambah gemuk, bercokol bertahun-tahun hingga berpuluh-puluh tahun, namun mengapa dalam setiap laporan keuangan mereka untuk setiap tahunnya, mereka mengaku mencetak “rugi” sehingga menjadi minim sama sekali kontribusi perpajakan mereka secara real bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia, bila tidak dapat disebut sebagai membuat defisit dan minus tingkat finansial republik ini karena “dihisap keluar”? Alhasil, devisa mengalir keluar akibat “profit shifting”, mengakibatkan kurs Rupiah tetap bertengger dinilai yang sama saat krisis moneter 1998 yang menjungkalkan rezim Orde Baru.

Menyikapi masalah hukum yang dihadapi klien penulis, barulah kemudian penulis menyadari dan menemukan sebuah pola, yang telah ternyata dikenal dengan istilah “transfer pricing” alias “profit shifting”. Contoh sederhananya ialah sebagai berikut, yang benar-benar dihadapi oleh banyak klien dari penulis, sebagai modus licik para investor asing dalam mengeruk sendi-sendi ekonomi bangsa lokal tempat mereka mencengkeram kuat cakar-cakar mereka yang ganas serta buas, dimana pola serupa dapat para pembaca dapatkan pada setiap PT. PMA manapun, apapun bentuk, dimana serta kapan pun mereka berdiri serta bercabang.

Sebuah perusahaan yang bergerak dibidang IT (informasi dan teknologi), mencetak laba usaha miliaran Rupiah untuk setiap tahun buku operasional PT. PMA yang mereka dirikan sebagai anak usaha di Indonesia, dengan markas pusat mereka di Singapura ataupun di Hongkong, lantas membuat kesan seolah PT. PMA di Indonesia menyewa server di negara-negara “tax heaven” dengan nilai yang bombastis diluar angka kewajaran, semata agar neraca keuangan tampak “merugi”, lebih besar passiva daripada aktiva. Alhasil, laporan keuangan yang memuat versi defisit demikian, mengakibatkan minimnya pendapatan pajak oleh negara domestik maupun deviden sisa hasil usaha bagi pemegang saham lokal, dan itulah yang tepatnya selalu dialami oleh para klien penulis selaku pemegang saham minoritas dari lokal.

Lantas, mengapa para investor asing, masih juga sungkan masuk ke Indonesia untuk menanamkan modalnya dan mengeruk pundi-pundi ekonomi Indonesia untuk dihisap dan dipindahkan ke luar negeri? Jawabannya ialah kondisi hukum di Indonesia yang mau tidak mau harus kita akui belum kondusif, jauh dari kata ideal, disamping kondisi sosiologi masyarakatnya yang tidak toleran terhadap kemajemukan, aksi-aksi premanisme tumbuh subur bak dipelihara oleh negara, pungutan liar yang menciptakan “ekonomi biaya tinggi”, negara tidak pernah benar-benar hadir di tengah-tengah masyarakat, terlebih berbagai Peraturan Daerah (Perda) intoleran berbasis keagamaan tertentu.

Bila kita hendak “berdikari”, berdiri di atas kaki sendiri, dalam artian mandiri dari segi ekonomi, maka Negeri Indonesia yang telah memiliki sumber daya alam yang melimpah, cukup mengirimkan sebanyak-banyaknya anak bangsa ke luar negeri untuk menimba ilmu, lalu pulang ke kampung halamannya untuk membangun. Namun, akibat kondisi bangsa kita yang kurang humanis, anak-anak muda kita yang telah mengenyam ilmu di luar negeri, memilih untuk mengabdi bagi bangsa lain yang lebih humanis terhadap mereka, disamping faktor karena kurangnya penghargaan dari bangsa sendiri. Tidak ada opsi yang tersisa, selain mengobral bangsa sendiri demi masuknya aliran modal asing sebelum kemudian mengalir keluar kembali lebih banyak berkat praktik modus “transfer pricing”. Pola yang sama, selalu terulang, seolah-olah negeri kita selalu gagal belajar dari pengalaman maupun dari sejarah.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.