(DROP DOWN MENU)

Sang Buddha Menolak Dogma Iming-Iming Korup Pengecut Bernama Penghapusan Dosa

Ajaran Perihal HUKUM KARMA = AGAMA SUCI bagi Mereka yang Berlatih Self-Control

Dogma Iming-Iming Korup PENGHAPUSAN DOSA = AGAMA DOSA bagi Para Pendosawan

Question: Apakah dalam Agama Buddha, ada dogma semacam penghapusan dosa, penebusan dosa, pengampunan dosa, atau sejenisnya?

Brief Answer: Yang diajarkan satu-satunya olApakah dalam Agama Buddha, ada dogma semacam penghapusan dosa, penebusan dosa, pengampunan dosa, atau sejenisnya?eh Sang Buddha ialah, ialah perihal prinsip egalitarian alias “sistem merit” bernama “Hukum Karma”, alias “hukum tentang sebab dan akibat” atau yang lebih populer dikenal sebagai “hukum tabur dan tuai”. Ajaran perihal “Hukum Karma” itu sendiri bersifat bertolak-belakang serta menegasikan dogma-dogma curang semacam “penghapusan dosa” (abolition of sins) atau apapun itu istilahnya. Hanya kalangan pendosa, yang butuh serta termakan iming-iming “too good to be true” bernama “penghapusan dosa”—dosa-dosa mana telah menggunung (“too big to fall”) akibat setiap harinya memproduksi dosa, mengoleksi segudang dosa, menimbun dan mengubur diri dengan dosa, menyelami dosa, serta memakan dosa, alias menjadi pelanggan tetap “dosa plus penghapusan dosa” sebagai satu paket yang saling berkomplomenter.

Siswa-siswi Sang Buddha diajarkan untuk bertanggung-jawab serta mampu mempertanggung-jawabkan atas perbuatan-perbuatan buruk mereka sendiri, baik perbuatan buruk yang besar maupun yang kecil, baik disengaja maupun tidak. Buddhisme, karenanya hanya mengkampanyekan jalan hidup terasing serta terbebas dari kekotoran batin (higienis dari dosa)—alih-alih seperti agama-agama samawi yang justru mempromosikan dosa dan maksiat dalam rangka tumbuh-kembangnya dogma “penghapusan dosa” yang menjadi magnet utama bagi para pendosa untuk menjadi umat pemeluknya. Untuk memuliakan Sang Buddha, para siswa-siswi-Nya menjadi manusia yang mulia, setidaknya menjadi manusia yang berjiwa ksatria yang siap dan bersedia dimintakan pertanggung-jawaban serta bertanggung-jawab atas perbuatan-perbuatan mereka yang pernah menyakiti, melukai, maupun merugikan pihak lain.

Itulah juga sebabnya, tidak semua orang sanggup dan mampu menekuni jalan Buddhisme, dimana Buddhisme lebih menekankan pentingnya aspek kualitas ketimbang kuantitas (jumlah) umat. Bertolakbelakang dengan Buddhisme, dalam agama-agama samawi tidak dikenal istilah “kualitas umat lebih penting daripada kuantitas”, mengingat seluruh umat agama-agama samawi notabene ialah kalangan para pendosa dimana sesama umatnya ialah pendosa-pendosa yang selama ini setiap harinya, setiap tahunnya, bahkan saat upacara kematian sanak-keluarga mereka, memohon “penghapusan dosa” secara vulgar—sekalipun “dosa / maksiat” dan “penghapusan dosa” merupakan “aurat tertinggi” alias “lebih aurat daripada aurat” namun dipertontonkan bahkan dipromosikan lewat pengeras suara tanpa rasa malu ataupun tabu.

Para pendosawan tersebut, terlampau pengecut untuk bertanggung-jawab atas perbuatan buruk mereka sendiri, dan disaat bersamaan terlampau pemalas menyingsingkan lengan baju untuk menanam benih-benih perbuatan bajik. Mereka ibarat “orang buta”, “orang buta” mana dituntun oleh “orang buta” (pendosawan) lainnya yang tidak lebih suci perilaku dan moralitasnya daripada para penikmat “penghapusan dosa” bersangkutan. Yang disebut sebagai hebat dan jantan, bukanlah mereka yang berani berbuat dosa namun tidak berani bertanggung-jawab atas akibat perbuatan mereka sendiri, namun mereka yang siap dan sedia bertanggung-jawab. Yang disebut sebagai mulia, ialah mereka yang dengan ketat menjalani latihan praktik nyata disiplin diri berupa “self-control”.

Itulah sebabnya, tidak semua orang sanggup dan mampu menjalani jalan Buddhistik. Bila yang satu, sebagai contoh terhadap nafsu birahi, mengatasinya lewat latihan “self-control”, akan tetapi yang disebut satunya lagi justru menyikapinya lewat “kawin lagi”, dimana tidak terpuaskan maka “kawin lagi, lagi, dan lagi”. Apalah yang hebat, dari seseorang yang mampu banyak kawin? Orang-orang yang banyak materi, tentu sanggup melakukannya. Namun, tidak semua orang sanggup dan mampu menjalani latihan praktik “self-control”. Semua orang sanggup menjadi “pendosa penjilat penuh dosa”, namun tidak semua diantara mereka yang sanggup menjadi seorang ksatriawan, terlebih menjadi seorang suciwan. Tidak suka dengan yang berbeda keyakinan, “bunuh” dan “selesaikan setiap masalah dengan kekerasan fisik” (represif) sebagai satu-satunya pendekatan yang ditempuh, sangat bertolak-belakang dari jalan misionaris Buddhisme.

PEMBAHASAN:

Terdapat salah satu pengungkapan yang menarik mengenai cara kerja Hukum Karma, sebagaimana khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID 1”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan:

100 (9) Segumpal Garam

“Para bhikkhu, jika seseorang mengatakan sebagai berikut: ‘Seseorang mengalami kamma dengan cara yang persis sama dengan cara ia melakukannya,’ dalam kasus demikian maka tidak ada menjalani kehidupan spiritual dan tidak ada kesempatan yang terlihat untuk sepenuhnya mengakhiri penderitaan.

[Kitab Komentar :

Posisi pertama, yang ditolak oleh Sang Buddha, tertulis dalam Pāli: Yo, bhikkhave, eva vadeyya, ‘yathā yathā ‘ya puriso kammakaroti tathā tathā ta paisavediyatī’ ti, eva santa, bhikkhave, brahmacariyavāso na hoti, okāso na paññāyati sammā dukkhassa antakiriyāya. Dan yang ke dua, ditegaskan oleh Beliau, tertulis: Yo ca kho, bhikkhave, eva vadeyya, ‘yathā yathā vedanīya aya puriso kamma karoti tathā tathā ‘ssa vipāka paisavediyatī’ ti, evasanta, bhikkhave, brahmacariyavāso hoti, okāso paññāyati sammā dukkhassa antakiriyāya.

Perbedaan pasti antara kedua posisi itu tidak jelas. Sebagai perbandingan, terjemahan Bahasa Pali versi Mahayana mengatakan, melalui penjelasan: “Dengan cara yang persis sama: Jika seseorang mengatakan, ‘Seseorang mengalami akibat kamma yang persis sama dengan cara ia melakukannya,’ oleh karena itu, karena adalah tidak mungkin untuk mencegah akibat kamma setelah dilakukan, maka ia pasti mengalami akibat dari kamma apa pun yang telah ia lakukan. Dalam kasus demikian, maka tidak ada menjalani kehidupan spiritual: kamma yang harus dialami pada saat kelahiran kembali, yang dilakukan sebelum pengembangan sang jalan, pasti harus dialami, apakah ia menjalani kehidupan spiritual atau tidak. Tidak ada kesempatan yang terlihat untuk sepenuhnya mengakhiri penderitaan: karena, dalam kasus demikian, ada akumulasi kamma olehnya dan mengalami akibatnya, oleh karena itu suatu kesempatan tidak akan terlihat untuk mengakhiri penderitaan dalam lingkaran.”

Poin yang ingin dijelaskan terjemahan versi Mahayana, tampaknya, adalah bahwa jika seseorang harus mengalami akibat dari setiap kamma yang ia lakukan dari jenis yang harus dialami pada saat kelahiran kembali, dan setiap kamma yang ia lakukan dari jenis yang harus dialami dalam beberapa kehidupan berikutnya, maka ia harus melanjutkan kelahiran kembali yang berikutnya, dan ke dalam kelahiran kembali di masa depan yang tidak terhingga, untuk mengalami akibat-akibat itu.

Dalam kasus demikian, karena kamma-kamma itu pasti akan matang, maka ia harus tetap berada dalam sasāra untuk mengalami buah-buahnya. Akan tetapi, hal ini tidak sepenuhnya jelas dari sutta itu sendiri, jika ini adalah makna yang dimaksudkan. Sebaliknya, tampaknya, bahwa apa yang disampaikan oleh sutta ini adalah bahwa seseorang tidak harus mengalami akibat kamma dengan cara yang persis sama dengan cara ia melakukannya (sehingga, misalnya, jika seseorang membunuh orang lain, maka ia tidak harus dibunuh sebagai balasannya).

Intinya, adalah bahwa ketika kamma bermanfaat dan tidak bermanfaat seseorang menjadi matang, maka akibat itu harus dialami, berturut-turut, sebagai menyenangkan dan sebagai menyakitkan, walaupun tingkat kesenangan dan kesakitannya tidak harus bersesuaian dengan kekuatan moral dari perbuatan penyebabnya.]

“Tetapi jika seseorang mengatakan sebagai berikut: ‘Ketika seseorang melakukan kamma yang harus dialami dengan cara tertentu, maka ia akan mengalami akibatnya persis dalam cara itu,’ dalam kasus itu maka menjalani kehidupan spiritual adalah mungkin dan suatu kesempatan terlihat untuk sepenuhnya mengakhiri penderitaan.

[Kitab Komentar :

Terjemahan Pali versi Mahayana menjelaskan ini dalam terminologi teori Abhidhamma bahwa kamma dilakukan melalui tujuh javanacitta, peristiwa pikiran yang aktif secara kamma dalam proses kognisi. Javana pertama adalah jenis yang harus dialami dalam kehidupan ini (diṭṭhadhammavedanīya); jika kehilangan kesempatan untuk matang dalam kehidupan ini, maka akan menjadi mandul (ahosi).

Javana ke tujuh adalah yang harus dialami setelah kelahiran kembali dalam kehidupan berikutnya (upapajjavedanīya), dan jika kehilangan kesempatan untuk matang dalam kehidupan itu, maka akan menjadi mandul. Kelima javana yang di tengah harus dialami pada beberapa kesempatan berikutnya (aparapariyāyavedanīya), yang berarti bahwa kamma itu dapat menjadi matang setiap saat setelah kehidupan berikut selama ia masih berlanjut dalam sasāra.

Karena teori Abhidhamma diatas baru muncul lama setelah penyusunan Nikāya-nikāya, maka adalah tidak mungkin bahwa ini menyampaikan inti dari paragraf yang sekarang ini. Teks tampaknya hanya mengatakan bahwa ketika seseorang melakukan kamma tidak bermanfaat, maka ia akan mengalami akibatnya sebagai menyakitkan, apakah pada tingkat yang kuat atau lemah, tetapi tingkat dari akibat ini tidak selalu berbanding lurus dengan bobot perbuatan penyebab tersebut.

Pernyataan sebaliknya berpegang pada kamma bermanfaat, yang harus dialami sebagai menyenangkan. Adalah variabel ini yang memperbolehkan seseorang, melalui pengembangan sang jalan, untuk mengatasi konsekuensi-konsekuensi dari kamma berat yang tidak bermanfaat dan karenanya mencapai akhir penderitaan dalam sasāra.]

“Di sini, para bhikkhu, seseorang telah melakukan kamma buruk yang sepele namun hal itu mengarahkannya menuju neraka, sedangkan seorang lainnya di sini melakukan kamma yang sepele yang persis sama namun hal itu dialami dalam kehidupan ini, bahkan tanpa sedikit [sisa] yang terlihat, apalagi banyak [sisa].

“Orang jenis apakah yang melakukan kamma buruk yang sepele yang mengarahkannya menuju neraka? Di sini, seseorang tidak terkembang dalam jasmani, perilaku bermoral, pikiran, dan kebijaksanaan; ia terbatas dan berkarakter rendah, dan ia berdiam dalam penderitaan. Ketika orang demikian melakukan kamma buruk yang sepele, maka itu akan mengarahkannya menuju neraka.

[Kitab Komentar : Paritto appātumo. Ia terbatas karena keterbatasan moralitasnya (parittaguo). Dirinya (ātumā) adalah tubuhnya (attabhāvo); walaupun tubuhnya mungkin besar, namun ia memiliki ‘karakter rendah’ karena keterbatasan moralitasnya.]

“Orang jenis apakah yang melakukan kamma buruk yang sepele yang persis sama namun hal itu dialami dalam kehidupan ini, bahkan tanpa sedikit [sisa] yang terlihat, apalagi banyak [sisa]? Di sini, seseorang terkembang dalam jasmani, perilaku bermoral, pikiran, dan kebijaksanaan. Ia tidak terbatas dan berkarakter mulia, dan ia berdiam tanpa batas. Ketika orang demikian melakukan kamma buruk yang sepele yang persis sama, maka hal itu dialami dalam kehidupan ini, bahkan tanpa sedikit [sisa] yang terlihat, apalagi banyak [sisa]. [250]

[Kitab Komentar : Aparitto mahttā. Ia tidak terbatas karena moralitasnya tidak terbatas; bahkan walaupun tubuhnya kecil, namun ia memiliki ‘karakter besar’ karena besarnya moralitasnya (guamahantatāya mahattā).]

(1) “Misalkan seseorang menjatuhkan segumpal garam ke dalam semangkuk kecil air. Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Apakah gumpalan garam itu membuat sedikit air dalam mangkuk itu menjadi asin dan tidak dapat diminum?

“Benar, Bhante. Karena alasan apakah? Karena air di dalam mangkuk itu terbatas, dengan demikian gumpalan garam itu akan membuatnya asin dan tidak dapat diminum.”

Tetapi misalkan seseorang menjatuhkan segumpal garam ke dalam sungai Gangga. Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Apakah gumpalan garam itu membuat sungai Gangga itu menjadi asin dan tidak dapat diminum?

“Tidak, Bhante. Karena alasan apakah? Karena sungai Gangga berisikan banyak air dengan demikian gumpalan garam itu tidak akan membuatnya asin atau tidak dapat diminum.”

Demikian pula, para bhikkhu, seseorang di sini telah melakukan kamma buruk yang sepele namun hal itu mengarahkannya menuju neraka, sedangkan seorang lainnya di sini melakukan kamma buruk yang sepele yang persis sama namun hal itu dialami dalam kehidupan ini, bahkan tanpa sedikit [sisa] yang terlihat, apalagi banyak [sisa].

“Orang jenis apakah yang melakukan kamma buruk yang sepele yang mengarahkannya menuju neraka? Di sini, seseorang tidak terkembang dalam jasmani, perilaku bermoral, pikiran, dan kebijaksanaan. Ketika orang demikian melakukan kamma buruk yang sepele, maka itu akan mengarahkannya menuju neraka.

“Orang jenis apakah yang melakukan kamma buruk yang sepele yang persis sama namun hal itu dialami dalam kehidupan ini, bahkan tanpa sedikit [sisa] yang terlihat, apalagi banyak [sisa]? Di sini, seseorang terkembang dalam jasmani, perilaku bermoral, pikiran, dan kebijaksanaan. Ketika orang demikian melakukan kamma buruk yang sepele yang persis sama, maka hal itu dialami dalam kehidupan ini, bahkan tanpa sedikit [sisa] yang terlihat, apalagi banyak [sisa].

(2) “Di sini, para bhikkhu, seseorang dipenjara karena [mencuri] setengah kahāpaa, satu kahāpaa, [251] atau seratus kahāpaa, sedangkan seorang lainnya tidak dipenjara karena [mencuri] sejumlah uang yang sama.

[Kitab Komentar : Kahāpaa merupakan satuan mata uang utama yang digunakan di India Utara pada masa Sang Buddha.]

Orang jenis apakah yang dipenjara karena [mencuri] setengah kahāpaa, satu kahāpaa, atau seratus kahāpaa? Di sini, seseorang yang miskin, dengan sedikit harta dan kekayaan. Orang seperti itu akan dipenjara karena [mencuri] setengah kahāpaa, satu kahāpaa, atau seratus kahāpaa.

Orang jenis apakah yang tidak dipenjara karena [mencuri] setengah kahāpaa, satu kahāpaa, atau seratus kahāpaa? Di sini, seseorang yang kaya, dengan banyak harta dan kekayaan. Orang seperti itu tidak akan dipenjara karena [mencuri] setengah kahāpaa, satu kahāpaa, atau seratus kahāpaa.

“Demikian pula, para bhikkhu, seseorang di sini telah melakukan kamma buruk yang sepele namun hal itu mengarahkannya menuju neraka, sedangkan seorang lainnya di sini melakukan kamma yang sepele yang persis sama namun hal itu dialami dalam kehidupan ini, bahkan tanpa sedikit [sisa] yang terlihat, apalagi banyak [sisa].

“Orang jenis apakah yang melakukan kamma buruk yang sepele yang mengarahkannya menuju neraka? Di sini, seseorang tidak terkembang dalam jasmani … dan kebijaksanaan. Ketika orang demikian melakukan kamma buruk yang sepele, maka itu akan mengarahkannya menuju neraka.

“Orang jenis apakah yang melakukan kamma buruk yang sepele yang persis sama namun hal itu dialami dalam kehidupan ini, bahkan tanpa sedikit [sisa] yang terlihat, apalagi banyak [sisa]? Di sini, seseorang terkembang dalam jasmani, perilaku bermoral, pikiran, dan kebijaksanaan. Ketika orang demikian melakukan kamma buruk yang sepele yang persis sama, maka hal itu dialami dalam kehidupan ini, bahkan tanpa sedikit [sisa] yang terlihat, apalagi banyak [sisa].

(3) “Para bhikkhu, ambil kasus seorang pedagang domba atau tukang daging, [252] yang dapat mengeksekusi, memenjarakan, mendenda, atau setidaknya menghukum seseorang yang mencuri seekor dombanya tetapi tidak dapat melakukannya kepada orang lain yang mencuri dombanya.

“Orang jenis apakah yang dapat dieksekusi, dipenjara, didenda, atau setidaknya dihukum oleh si pedagang domba atau tukang daging karena mencuri seekor domba? Seorang yang miskin, dengan sedikit harta dan kekayaan. Si pedagang domba atau tukang daging dapat mengeksekusi, memenjarakan, mendenda, atau setidaknya menghukum seorang demikian karena mencuri dombanya.

“Orang jenis apakah yang tidak dapat dieksekusi, dipenjara, didenda, atau setidaknya dihukum oleh si pedagang domba atau tukang daging karena mencuri seekor domba? Seorang yang kaya, dengan banyak uang dan kekayaan, seorang raja atau menteri kerajaan. Si pedagang domba atau tukang daging tidak dapat mengeksekusi, memenjarakan, mendenda, atau setidaknya menghukum seorang demikian karena mencuri dombanya; ia hanya dapat memohon kepadanya: ‘Tuan, kembalikanlah dombaku atau bayarlah.’

“Demikian pula, para bhikkhu, seseorang di sini telah melakukan kamma buruk yang sepele namun hal itu mengarahkannya menuju neraka, sedangkan seorang lainnya di sini melakukan kamma yang sepele yang persis sama namun hal itu dialami dalam kehidupan ini, bahkan tanpa sedikit [sisa] yang terlihat, apalagi banyak [sisa].

“Orang jenis apakah yang melakukan kamma buruk yang sepele yang mengarahkannya menuju neraka? Di sini, seseorang tidak terkembang dalam jasmani, perilaku bermoral, pikiran, dan kebijaksanaan; ia terbatas dan berkarakter rendah, dan ia berdiam dalam penderitaan. Ketika orang demikian [253] melakukan kamma buruk yang sepele, maka itu akan mengarahkannya menuju neraka.

“Orang jenis apakah yang melakukan kamma buruk yang sepele yang persis sama namun hal itu dialami dalam kehidupan ini, bahkan tanpa sedikit [sisa] yang terlihat, apalagi banyak [sisa]? Di sini, seseorang terkembang dalam jasmani, perilaku bermoral, pikiran, dan kebijaksanaan. Ia tidak terbatas dan berkarakter mulia, dan ia berdiam tanpa batas. Ketika orang demikian melakukan kamma buruk yang sepele yang persis sama, maka hal itu dialami dalam kehidupan ini, bahkan tanpa sedikit [sisa] yang terlihat, apalagi banyak [sisa].

“Jika, para bhikkhu, seseorang mengatakan sebagai berikut: ‘Seseorang mengalami kamma dengan cara yang persis sama dengan cara ia melakukannya,’ dalam kasus demikian maka tidak ada menjalani kehidupan spiritual dan tidak ada kesempatan yang terlihat untuk sepenuhnya mengakhiri penderitaan. Tetapi jika seseorang mengatakan sebagai berikut: ‘Ketika seseorang melakukan kamma yang harus dialami dengan cara tertentu, maka ia akan mengalami akibatnya persis dalam cara itu,’ dalam kasus itu maka menjalani kehidupan spiritual adalah mungkin dan suatu kesempatan terlihat untuk sepenuhnya mengakhiri penderitaan.”

[NOTE : Bila kita hanya sekadar pasrah berspekulasi pada karma masa lampau yang akan beruah pada kehidupan masa kini kita, tanpa membangun “benteng perlindungan diri” lewat praktik nyata latihan disiplin diri, disiplin pikiran, dan disiplin moralitas yang ketat, maka itu sama artinya Anda akan menjadi budak serta korban alias objek dari karma masa lampau Anda sendiri, menerima kenyataan pahit tanpa daya.

Apa yang telah kita tanam di masa lampau, tidak bisa diubah ataupun dihapuskan, itulah fakta yang harus kita hadapi, serta harus kita sikapi secara arif. Satu-satunya “benteng perlindungan diri”, ialah dengan menjalankan praktik latihan disiplin diri, disiplin pikiran, dan disiplin moralitas yang ketat.]

~0~

101 (10) Pembersih Kotoran

“Para bhikkhu, ada kekotoran kasar dari emas: tanah, pasir, dan kerikil. Sekarang sang pembersih kotoran atau muridnya pertama-tama menuangkan emas itu ke dalam sebuah wadah dan mencuci, membilas, dan membersihkannya. Ketika kekotoran kasar itu telah disingkirkan dan dilenyapkan, masih ada kekotoran berukuran menengah dalam emas itu: kerikil halus dan pasir kasar. Sang pembersih kotoran atau muridnya mencuci, membilas, dan membersihkannya lagi. Ketika kekotoran menengah itu telah disingkirkan dan dilenyapkan, masih ada kekotoran halus dalam emas itu: pasir halus dan debu kehitaman. Maka sang pembersih kotoran atau muridnya mencuci, membilas, dan membersihkannya lagi. Ketika kekotoran halus itu telah disingkirkan dan dilenyapkan, maka hanya butir-butiran emas yang tersisa.

“Sang pandai emas atau muridnya sekarang menuangkan emas itu ke dalam panci pencairan¸ dan mengipasnya, mencairkannya, [254] dan meleburnya. Tetapi bahkan ketika hal ini telah dilakukan, emas itu masih belum bersih dan kotorannya masih belum sepenuhnya disingkirkan. Emas itu masih belum lunak, belum dapat dibentuk, dan belum cerah, melainkan masih rapuh dan belum dapat dikerjakan dengan baik.

“Tetapi sewaktu si pandai emas melanjutkan mengipas, mencairkan, dan melebur emas itu, akan tiba waktunya ketika emas itu menjadi bersih dan kotorannya sepenuhnya disingkirkan, sehingga emas itu menjadi lunak, dapat dibentuk, dan cerah, lentur dan dapat dikerjakan dengan baik. Kemudian perhiasan apa pun yang ingin dibuat oleh si pandai emas – apakah gelang, anting-anting, kalung, atau kalung bunga dari emas – maka ia dapat mencapai tujuannya.

“Demikian pula, para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu menekuni pikiran yang lebih tinggi, (1) ada padanya kekotoran kasar: perbuatan buruk jasmani, ucapan, dan pikiran. Seorang bhikkhu yang mampu dan bersungguh-sungguh akan menghalau, menghentikan, dan melenyapkannya. Setelah hal ini dilakukan, (2) masih ada padanya kekotoran menengah: pikiran indriawi, pikiran berniat buruk, dan pikiran-pikiran mencelakai. Seorang bhikkhu yang mampu dan bersungguh-sungguh akan menghalau, menghentikan, dan melenyapkannya. Ketika hal ini telah dilakukan, (3) masih ada padanya kekotoran halus: pikiran-pikiran tentang sanak saudaranya, pikiran-pikiran tentang negerinya, dan pikiran-pikiran tentang reputasinya. Seorang bhikkhu yang mampu dan bersungguh-sungguh akan menghalau, menghentikan, dan melenyapkannya.

Ketika hal ini telah dilakukan, maka di sana hanya tersisa pikiran-pikiran yang berhubungan dengan Dhamma. Konsentrasi itu belum damai dan luhur, tidak diperoleh melalui ketenangan penuh, tidak mencapai kesatuan, melainkan dikekang dan ditahan melalui penekanan [kekotoran-kekotoran] secara paksa.

[Kitab Komentar : Penerjemah lainnya menerjemahkan dari Bahasa Pali menjadi : “tetapi dicapai ketika [kekotoran] dikekang dengan menekan[nya] secara paksa.”]

“Tetapi, para bhikkhu, akan tiba saatnya ketika pikirannya secara internal menjadi kokoh, tenang, menyatu, dan terkonsentrasi. Konsentrasi itu damai dan luhur, diperoleh melalui ketenangan penuh, dan mencapai penyatuan; tidak dikekang dan ditahan melalui penekanan [kekotoran-kekotoran] secara paksa. Kemudian, jika ada landasan yang sesuai, maka ia mampu merealisasi kondisi apa pun yang dapat direalisasikan melalui pengetahuan langsung ke mana ia mengarahkan pikirannya.

[Kitab Komentar : Penerjemah lain menuliskan: “Bhikkhu itu mencapai konsentrasi yang tidak dipertahankan oleh usaha; ia mencapai keadaan damai dan luhur, keadaan diam yang bahagia, pikiran yang menyatu, di mana semua noda dihancurkan”.

Yassa yassa ca abhiññā sacchikaraīyassa dhammassa cittaabhininnāmeti abhiññā sacchikiriyāya tatra tatreva sakkhibhabbatapāpuāti sati sati āyatane. Terjemahan versi Mahayana menjelaskan “landasan yang sesuai” sebagai “penyebab masa lalu dan jhāna yang dicapai pada masa sekarang, dan hal-hal lainnya, yang menjadi landasan bagi pengetahuan langsung” (pubbahetusakhāte ceva īdāni ca pailaddhabbe abhiññāpādakajjhānādibhede ca sati sati kārae).

Dijelaskan, landasan bagi pengetahuan langsung sebagai pikiran terkonsentrasi yang telah mencapai delapan kualitas: yaitu, (1) murni, (2) bersih, (3) tanpa noda, (4) bebas dari kekotoran, (5) lunak, (6) dapat diarahkan, (7) kokoh, dan (8) mencapai ketanpa-gangguan. Dengan kata lain, ini mengatakan, “terkonsentrasi” dapat dianggap sebagai kualitas pertama dan “kokoh dan mencapai ketanpagangguan” secara bersama-sama merupakan yang ke delapan.]

[255] “Jika ia menghendaki: ‘Semoga aku mengerahkan berbagai jenis kekuatan batin: dari satu, semoga aku menjadi banyak; dari banyak, semoga aku menjadi satu; semoga aku muncul dan lenyap; semoga aku berjalan tanpa terhalangi menembus tembok, menembus dinding, menembus gunung seolah-olah melewati ruang kosong; semoga aku menyelam masuk dan keluar dari dalam tanah seolah-olah di dalam air; semoga aku berjalan di atas air tanpa tenggelam seolah-olah di atas tanah; dengan duduk bersila, semoga aku terbang di angkasa bagaikan seekor burung; dengan tanganku semoga aku menyentuh dan menepuk bulan dan matahari begitu kuat dan perkasa; semoga aku mengerahkan kemahiran dengan jasmani hingga sejauh alam brahmā,’ ia mampu merealisasikannya, jika ada landasan yang sesuai.

[Kitab Komentar : Ini memulai paragraf kanonis standar tentang enam jenis pengetahuan langsung (abhiññā).]

Jika ia menghendaki: ‘Semoga aku, dengan elemen telinga dewa, yang murni dan melampaui manusia, mendengar kedua jenis suara, surgawi dan manusia, yang jauh maupun dekat,’ ia mampu merealisasikannya, jika ada landasan yang sesuai.

[NOTE : Berbagai kekuatan batin merupakan buah dari latihan mental yang terkonsentrasi alias lewat latihan konsentrasi, samantha bhavana.]

Jika ia menghendaki: ‘Semoga aku memahami pikiran makhluk-makhluk dan orang-orang lain, setelah melingkupi mereka dengan pikiranku sendiri. Semoga aku memahami pikiran dengan nafsu sebagai pikiran dengan nafsu dan pikiran tanpa nafsu sebagai pikiran tanpa nafsu; pikiran dengan kebencian sebagai pikiran dengan kebencian dan pikiran tanpa kebencian sebagai pikiran tanpa kebencian; pikiran dengan delusi sebagai pikiran dengan delusi dan pikiran tanpa delusi sebagai pikiran tanpa delusi; pikiran mengerut sebagai pikiran mengerut dan pikiran kacau sebagai pikiran kacau; pikiran luhur sebagai pikiran luhur dan pikiran tidak luhur sebagai pikiran tidak luhur; pikiran yang terlampaui sebagai pikiran yang terlampaui dan pikiran yang tidak terlampaui sebagai pikiran yang tidak terlampaui; pikiran terkonsentrasi sebagai pikiran terkonsentrasi dan pikiran tidak terkonsentrasi sebagai pikiran tidak terkonsentrasi; pikiran terbebaskan sebagai pikiran terbebaskan dan pikiran tidak terbebaskan sebagai pikiran tidak terbebaskan,’ ia mampu merealisasikannya, jika ada landasan yang sesuai.

Jika ia menghendaki: ‘Semoga aku mengingat banyak kehidupan lampau, yaitu, satu kelahiran, dua kelahiran, tiga kelahiran, empat kelahiran, lima kelahiran, sepuluh kelahiran, dua puluh kelahiran, tiga puluh kelahiran, empat puluh kelahiran, lima puluh kelahiran, seratus kelahiran, seribu kelahiran, seratus ribu kelahiran, banyak kappa penghancuran dunia, banyak kappa pengembangan dunia, banyak kappa penghancuran dunia dan pengembangan dunia, sebagai berikut: “Di sana [256] aku bernama ini, dari suku ini, dengan penampilan begini, makananku seperti ini, pengalaman kenikmatan dan kesakitanku seperti ini, umur kehidupanku selama ini; meninggal dunia dari sana, aku terlahir kembali di tempat lain, dan di sana aku bernama itu, dari suku itu, dengan penampilan begitu, makananku seperti itu, pengalaman kenikmatan dan kesakitanku seperti itu, umur kehidupanku selama itu; meninggal dunia dari sana, aku terlahir kembali di sini” – semoga aku mengingat banyak kehidupan lampauku dengan aspek-aspek dan rinciannya,’ ia mampu merealisasikannya, jika ada landasan yang sesuai.

Jika ia menghendaki: ‘Semoga aku, dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan terlahir kembali, hina dan mulia, berpenampilan baik dan berpenampilan buruk, kaya dan miskin, dan memahami bagaimana makhluk-makhluk mengembara sesuai kamma mereka sebagai berikut: “Makhluk-makhluk ini yang terlibat dalam perbuatan buruk melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, yang mencela para mulia, menganut pandangan salah, dan melakukan kamma yang berdasarkan pada pandangan salah, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, telah terlahir kembali di alam sengsara, di alam tujuan yang buruk, di alam rendah, di neraka; tetapi makhluk-makhluk ini yang terlibat dalam perbuatan baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran, yang tidak mencela para mulia, yang menganut pandangan benar, dan melakukan kamma yang berdasarkan pada pandangan benar, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, telah terlahir kembali di alam tujuan yang baik, di alam surga” - demikianlah dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, semoga aku melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan terlahir kembali, hina dan mulia, berpenampilan baik dan berpenampilan buruk, kaya dan miskin, dan memahami bagaimana makhluk-makhluk mengembara sesuai kamma mereka,’ ia mampu merealisasikannya, jika ada landasan yang sesuai.

Jika ia menghendaki: ‘Semoga aku, dengan hancurnya noda-noda, dalam kehidupan ini merealisasikan untuk diriku sendiri dengan pengetahuan langsung kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, aku berdiam di dalamnya,’ ia mampu merealisasikannya, jika ada landasan yang sesuai.”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.