Jangankan Pengusaha Asing, Pengusaha Lokal dan Warga Dalam Negeri Sekalipun Tidak Suka terhadap Bangsa Indonesia
Jangankan investor asing, warga lokal yang lahir dan tumbuh besar di Indonesia saja, “gerah” hidup ditengah-tengah bangsa / masyarakat Indonesia (relevan terahap tagar “kabur aja dulu”). Mengapa? Karena untuk mendapatkan apa yang memang merupakan hak-hak kita saja, untuk mendapatkan keadilan saja, untuk tidak diganggu sekalipun, maupun untuk mendapatkan pelayanan publik secara resmi saja, kita akan dijadikan “sapi perahan” alias objek “pungutan liar” (pungli) maupun pemerasan oleh oknum (berjemaah) maupun preman-preman pasar maupun preman-preman berseragam yang dibiarkan berkeliaran dan tumbuh subur di republik ini. Dalam kesempatan ini, kita akan membahasnya satu per satu.
“Tidak diganggu”, merupakan hak asasi manusia,
karenanya kita tidak perlu meminta izin agar “tidak diganggu” ataupun
menyatakan “jangan ganggu saya”. Adalah kewajiban setiap orang, untuk “tidak
mengganggu” individu-individu lainnya. Sayangnya, hanya bangsa yang telah
beradab yang memahami paradigma berpikir yang sejatinya merupakan “golden rule” yang sudah dikenal ribuan
tahun lampau (perlakukan orang lain sebagaimana kita sendiri ingin
diperlakukan, dan jangan perlakukan orang lain sebagaimana kita tidak ingin
diperlakukan).
Di Indonesia, kerap kita jumpai “tukang ojek”
yang premanis. Kita yang sekadar berjalan melewati tempat tersebut, diganggu
oleh seruan yang lebih menyerupai makian : “Ojek,
Ojek, OJEK!” Tidak ada kewajiban moral ataupun kewajiban hukum dipikul kita
untuk menanggapinya. Namun, sang “tukang ojek” premanis tersebut justru kian
beringas, dan menjadi marah terhadap kita karena tidak dihiraukan meskipun kita
yang sejatinya merasa terganggu. Sekalipun faktanya kita, tanpa terkecuali,
punya hak untuk tetap diam dan tidak menjawab (the right to remain silent, THE MIRANDA RULE)—lagi-lagi, hanya
bangsa yang telah beradab yang bangsanya menjiwai prinsip demikian.
Para pengusaha, baik skala besar industri maupun
skala pedagang kaki lima, kerap diganggu dan diancam oleh kalangan preman yang
berkedok “organisasi massa” (ormas). Jika tidak membayar sejumpah “upeti”, maka
usaha mereka bisa diganggu aksi vandalisme ataupun penganiayaan terang-terangan
ditengah “siang bolong”. Sejatinya, bekerja dan berusaha mencari nafkah, adalah
hak asasi manusia. Begitupula untuk bekerja dan berusaha mencari nafkah secara
tenang, bebas dari gangguan, juga merupakan hak, sehingga para pelaku usaha
tidak perlu memasang plang ataupun spanduk “KAMI TIDAK BERSEDIA DIGANGGU!” Adalah atau merupakan kewajiban
setiap individu, untuk menghormati kegiatan usaha pihak lain selama usaha
tersebut legal dan tidak merugikan pihak lain.
Trotoar maupun jembatan penyeberangan orang,
merupakan hak pejalan kaki. Namun, Bangsa Indonesia adalah fakta (bukan mitos
ataupun konon) merupakan bangsa yang begitu gemar merampas hak-hak pihak lain. Tidak
jarang penulis harus menghadapi kalangan pedagang kaki lima maupun pengendara
kendaraan roda dua yang merampas trotoar tersebut, mengakibatkan penulis harus
berjalan di bahu jalan. Pernah pula terjadi, di atas jembatan penyeberangan
orang, penulis harus sigap menghindar motor roda dua yang melaju kencang di
atas jembatan penyeberangan orang.
Lebih sering terjadi, dalam seluruh kasus
kejadian, pengendara sepeda, motor, maupun pedagang gerobak yang berjalan
melawan arus, justru memaksa penulis untuk bergeser dari tepi jalan ke bahu
jalan dengan resiko tertabrak kendaraan yang melaju di samping (mengingat
penulis tidak dapat melihat ke arah belakang), sekalipun adalah hak penulis
berjalan di lajur kiri dan di bahu jalan, dimana mereka yang berjalan melawan
arus justru lebih galak daripada korbannya. Mungkin hanya terjadi di Indonesia,
yang salah lebih galak daripada korbannya—dirampas haknya lalu juga dimaki.
Investor asing ataupun pelancong asing, kerap
memandang remeh dan rendah Bangsa Indonesia, mereka berkunjung ke Indonesia untuk
menyaksikan tontonan berupa “kebun binatang raksasa” bernama “manusia-manusia
purba yang belum beradab”. Pernah terjadi, warga asing terkaget-kaget mendapati
praktik ritual mayoritas penduduk Indonesia yang begitu “norak”, dimana ketika
beribadah saja mereka merampas ketenangan hidup warga lewat “polusi suara”,
terlebih ketika mereka tidak sedang beribadah. Kita sendiri, selaku WNI, kerap terheran-heran
terhadap ulah dan sikap bangsa kita sendiri, terlebih WNA ketika berkunjung ke Indonesia?
Keadilan, bukan hanya kemerdekaan, adalah hak
segala bangsa dan hak setiap warganegara. Namun, untuk memperoleh keadilan, Anda
harus membayar mahal. Di negeri yang konon menyandang gelar “demokratis nan agamais”
ini, keadilan begitu mahal harganya. Makna paling relevan dari anekdot “hukum
tumpul ke atas, dan tajam ke bawah”, ialah keadilan hanya dapat diakses oleh
mereka yang mampu membayarnya. Sekalipun dipihak yang benar, korban, terzolimi,
dirugikan, ketika Anda menggugat atau melaporkan tindak pidana suatu pihak, Anda
akan menjadi “sapi perahan” dimana “malaporkan kehilangan sapi, menjelma
kehilangan mobil”, adalah aktual adanya dalam praktik di kepolisian maupun di
peradilan.
Yang paling ironis dari segala ironi di atas,
ialah fakta bahwa untuk meminta pelayanan publik secara resmi sekalipun dari Aparatur
Sipil Negara yang memegang kekuasaan monopolistik pelayanan publik tertentu, Anda
akan dihadapkan pada suatu pengondisian berupa sistem yang bobrok yang memang
sengaja mereka pelihara dari institusi tempat para Aparatur Sipil Negara membangun
sarangnya. Dahulu, ketika penulis mewakili klien untuk memproses roya
(pencoretan Hak Tanggungan dalam sertifikat hak atas tanah yang menjadi agunan
kredit), penulis mendatangi Kantor Pertanahan untuk bertanya prosedur dan
dokumen apa sajakah yang dibutuhkan.
Sudah jelas bahwa penulis telah mengantungi surat
pelunasan dari pihak kreditor, karena tidak mungkin roya dapat terjadi tanpa
didahului pelunasan dari pihak debitor kepada kreditornya. Namun, sekalipun
penulis menanyakan prosedur RESMI dan informasi biaya RESMI dari loket
pelayanan di Kantor Pertanahan, yang kemudian terjadi ialah penulis dijadikan objek
“sapi perahan” berupa “pungli” (melampaui biaya resmi) dan menutup informasi
prosedur resmi (modus pemerasan terselubung). Jika bisa dipersulit, mengapa
dipermudah, merupakan suatu paradigma dalam praktik berbagai institusi
pemerintahan sekalipun “silih-berganti” dari generasi tua ke generasi muda para
Aparatur Sipil Negara. Kita dapat menyebutnya sebagai, telah “mendarah-daging”
Apakah Anda tahu, makna kata “nasionalis”?
Nasionalis bermakna : tidak merugikan, tidak melukai, dan tidak menyakiti
sesama anak bangsa. Namun, jangankan “preman pasar”, polisi dan mereka yang
berseragam militer saja di republik bernama Indonesia ini kerap bersikap
“premanis” dan arogan terhadap sesama anak bangsa, maka sikap semacam apakah yang
dapat kita harapkan dari para preman-preman pasar jalanan tersebut?
Mengapa, Bangsa Indonesia, begitu toxic? Mengapa orang-orang “Made in Indonesia”
begitu menyerupai “orang BUTA” dimana tidak mampu membedakan mana yang baik dan
yang buruk, mana yang terpuji dan tercela? Babi, mereka sebut sebagai “haram”. Namun,
ideologi KORUP bagi “KORUPTOR DOSA” bernama “PENGHAPUSAN DOSA”, disebut “halal”
serta dijadikan “halal lifestyle”?—kesemuanya
dikutip dari Hadis Sahih Muslim:
- No.
4852 : “Dan barangsiapa yang bertemu dengan-Ku dengan membawa kesalahan sebesar isi
bumi tanpa menyekutukan-Ku dengan yang lainnya, maka Aku akan menemuinya dengan
ampunan sebesar itu pula.”
- No.
4857 : “Barang siapa membaca
Subhaanallaah wa bi hamdihi (Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya) seratus
kali dalam sehari, maka dosanya akan dihapus,
meskipun sebanyak buih lautan.”
- No.
4863 : “Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam mengajarkan kepada orang yang baru masuk Islam dengan do'a;
Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku,
tunjukkanlah aku, dan anugerahkanlah aku rizki).”
- No.
4864 : “Apabila ada seseorang yang masuk
Islam, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengajarinya tentang shalat kemudian
disuruh untuk membaca do'a: Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii wa'aafini
warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku,
kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, sehatkanlah aku dan anugerahkanlah aku
rizki).”
- No.
4865 : “Ya Rasulullah, apa yang sebaiknya
saya ucapkan ketika saya memohon kepada Allah Yang Maha Mulia dan Maha
Agung?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: 'Ketika kamu
memohon kepada Allah, maka ucapkanlah doa sebagai berikut; 'Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku,
selamatkanlah aku,”
- Aku
mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:
“Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja
yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya,
‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina’.” [Shahih
Bukhari 6933]
- Dari Anas radhiallahu ‘anhu, ia berkata :
Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : Allah
ta’ala telah berfirman : “Wahai anak Adam, selagi engkau meminta dan berharap
kepada-Ku, maka Aku akan mengampuni dosamu dan Aku tidak pedulikan lagi.
Wahai anak Adam, walaupun dosamu sampai
setinggi langit, bila engkau mohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku memberi
ampun kepadamu. Wahai anak Adam, jika engkau menemui Aku dengan membawa dosa sebanyak isi bumi, tetapi engkau tiada menyekutukan
sesuatu dengan Aku, niscaya Aku datang kepadamu dengan (memberi) ampunan
sepenuh bumi pula”. (HR. Tirmidzi, Hadits hasan shahih) [Tirmidzi No.
3540]
“Standar
moral” tertinggi semacam apakah, yang menjadi sunnah nabi rasul Allah yang
selama ini menguasai jiwa dan alam pikiran penduduk di Indonesia? Telah
ternyata berupa teladan MABUK dan MENCANDU PENGHAPUSAN DOSA—juga masih dikutip
dari Hadis Muslim:
- No.
4891. “Saya pernah bertanya kepada Aisyah
tentang doa yang pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
memohon kepada Allah Azza wa Jalla. Maka Aisyah
menjawab; 'Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah berdoa
sebagai berikut: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan
yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan.’”
- No.
4892. “Aku bertanya kepada Aisyah tentang
do'a yang biasa dibaca oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka dia
menjawab; Beliau membaca: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku
lakukan dan yang belum aku lakukan.’”
- No.
4893. “dari 'Aisyah bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam di dalam do'anya membaca: ‘Ya Allah, aku
berlindung kepada-Mu dari keburukkan
sesuatu yang telah aku lakukan, dan dari keburukkan sesuatu yang belum aku
lakukan.’”
- No. 4896. “dari Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam bahwasanya beliau pemah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, ampunilah kesalahan, kebodohan, dan
perbuatanku yang terlalu berlebihan dalam urusanku, serta ampunilah
kesalahanku yang Engkau lebih mengetahui daripadaku. Ya Allah, ampunilah aku dalam kesungguhanku, kemalasanku, dan ketidaksengajaanku serta kesengajaanku yang semua itu ada pada
diriku. Ya Allah, ampunilah aku atas
dosa yang telah berlalu, dosa yang mendatang, dosa yang aku samarkan, dosa yang
aku perbuat dengan terang-terangan dan dosa yang Engkau lebih mengetahuinya
daripada aku,”
- Aisyah
bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya
bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu
maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi
seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR
Bukhari Muslim]