(DROP DOWN MENU)

Penistaan (terhadap) Tuhan, Siapakah Pelakunya?

Jangan Bersikap Seolah-Olah Tuhan Lebih PRO terhadap PENDOSA, Alih-Alih Bersikap Adil terhadap Kalangan KORBAN

Bertemanlah dengan Agama yang baik, Sebagaimana Kita Perlu Selektif Memilih Teman dan Lingkungan Pertemanan

Air tidak bersenyawa dengan api, dan “nila setitik (maka) rusak susu sebelanga”, anak Sekolah Dasar pun tahu hal tersebut. Namun, telah ternyata, banyak manusia dewasa yang kekanak-kanakan (childish), berdelusi bahwa sesuatu adikokrati yang diyakini sebagai luhur, agung, murni, suci, bersih, memiliki minat untuk disatukan dengan para manusia yang berdosa (kotor, busuk, licik, picik, tercela, hina, penuh noda), tanpa mencemari dan menodai sang “bersih-murni”. Tidak butuh IQ brilian-cemerlang untuk mengetahui bahwa memuliakan Tuhan, ialah dengan cara menjadi manusia yang muliabukan dengan menjadi seorang “pendosa penjilat penuh dosa”.

Berbagai pemberitaan telah kerap memberitakan tajuk berjudul “penistaan (terhadap) agama”, dimana sifatnya selalu diwanai oleh subjektivitas yang penuh tendensi alias ego yang bersumber dari dikotomi antara “kaumnya” dan pihak-pihak yang notabene “NON”. Akan tetapi bukanlah itu pokok bahasan kita pada kesempatan ini. Adalah persoalan “penistaan (terhadap) Tuhan”, yang menjadi pokok pembahasan kita. Hanya terdapat dua kemungkinan, ketika si kotor (pendosa) disatukan / bersatu dengan Tuhan, yakni:

- yang “murni” turut menjadi tercemar oleh karena ternoda oleh pencemar bernama “manusia pendosa”—semata karena egoisme berwujud kepentingan pribadi yang “too good to be true” para kaum “manusia pendosa”, yang sudah jelas merupakan delusi kekanak-kanakan berkeyakinan bahwa yang “murni-bersih” berminat untuk dinodai dengan disatukan dengan manusia-manusia “kotor-busuk”; atau

- kesemua itu hanyalah kekonyolan pemuka (marketing) “Agama DOSA”—disebut demikian, semata karena hanya seorang pendosa, yang butuh “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”, mengkampanyekan “penghapusan dosa” (abolition of sins) alih-alih mempromosikan gaya hidup higienis dari dosa, dimana berbuat dosa dipadang sebagai sesuatu yang diremehkan juga disepelekan (dipandang sebelah mata), alias dipandang “enteng” saja seolah tiada membawa konsekuensi bahaya apapun dibaliknya.

Berangkat dari latar-belakang paradigma yang mengedepankan rasio (akal sehat milik orang sehat, common sense) demikianlah, tiada yang lebih menista Tuhan, daripada dogma-dogma maupun umat pengikut “Agama-Agama DOSA” itu sendiri—namun selama ini pula berdelusi sebagai kaum paling superior, prajurit Tuhan, sekaligus calon penghuni Kerajaan Tuhan, suatu “akal sakit milik seorang pendosa”. Untuk itu, penting bagi kita untuk mampu memilah dan membedakan, antara:

1.) Agama SUCI. Sebagaimana namanya, umat pemeluknya ialah seorang suciwan, yang mana tidak butuh ideologi korup-kotor-tercela-ternoda bernama “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”. Mengingat para suciwan tidak butuh ideologi ataupun iming-iming korup demikian, maka timbul distingsi pembeda (perbandingan) antara si “suciwan” dan si “pendosa”. Para suciwan memuliakan Tuhan, dengan cara menjadi manusia yang mulia.

Para suciwan disebut demikian, suci dan suciwan, semata karena lebih memilih hidup dalam latihan diri yang ketat dalam praktik kontrol diri dan mawas diri (self-control), dimana mawas diri dan perhatian terhadap perilaku, pikiran, dan ucapan sendiri adalah objek perhatian utamanya, sehingga tiada seorang lainnya pun yang akan disakiti, dirugikan, terlebih dilukai oleh sang suciwan. Mereka memurnikan serta memuliakan dirinya dengan usaha diri mereka sendiri, tanpa noda, dan tidak tersandera, tanpa cela, bebas sempurna, dan tercerahkan—yang dalam bahasa Buddhistik, “break the chain of kamma”;

2.) Agama KSATRIA. Sebagaimana namanya, umat pemeluknya ialah seorang ksatria, yang mana memilih untuk bertanggung-jawab atas setiap perilaku maupun perbuatan buruknya yang telah pernah ataupun masih dapat menyakiti, melukai, dan merugikan pihak-pihak lainnya, baik secara disengaja maupun akibat kelalaiannya, dimana korban-korbannya tidak perlu bersusah-payah menagih tanggung-jawab, bahkan sang ksatria menyadari bahwa sekalipun ia bertanggung-jawab semisal dengan ganti-rugi biaya berobat hingga korbannya sembuh, tetap saja sang korban masih merugi waktu, merugi pikiran, merugi tenaga, belum lagi kenyataan fisiknya tidak dapat pulih sempurna seperti sebelumnya. Singkat kata, para kaum ksatria senantiasa “tahu diri”.

Ideologi bertanggung-jawab yang penuh tanggung-jawab kalangan ksatria, dianggap sebagai ancaman maupun musuh terbesar di mata kaum dosawan yang membuat para dosawan tersebut tampak sebagai “manusia sampah” yang selama ini menjadi pecandu tetap iming-iming “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”—sementara kalangan ksatria justru mempromosikan gerakan hidup bertanggung-jawab dan berke-jantan-an alih-alih “cuci tangan” ataupun lari dari tanggung-jawab. Kalangan korban yang telah dirugikan / terluka, tidak perlu sibuk menagih tanggung-jawab—terlebih mengemis-ngemis tanggung-jawab—dari seseorang berjiwa ksatria. Karenanya, seorang ksatria layak menyandang gelar sebagai seseorang yang “jantan”, alias jentelmen, bukan “pengecut” yang lari dari tanggung-jawab maupun “cuci dosa” (sins laundring);

3.) Agama DOSA. Sebagaimana namanya, umat pemeluknya disebut sebagai seorang pendosa, dimana para dosawan menjadi umatnya, yang mana memilih untuk tetap berbuat dosa semata agar dapat menjadi pecandu yang mencandu ideologi korup penuh kecurangan bernama “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa” (abolition of sins)—masuk ke dalam lingkaran komunitas “pendosa”, memakan dan termakan ideologi korup penuh kecurangan, terjebak untuk selamanya, “point of no return”.

Bagaikan raja yang lalim, yang senang ketika dipuja-puji oleh hamba-hambanya, lalu memberikan hadiah, dan akan murka sejadi-jadinya ketika tidak disembah-sujud sebelum kemudian memberikan hukuman, maka para pendosa yang pandai menyanjung dan “menjilat” (pendosa penjilat penuh dosa) akan dimasukkan ke alam surgawi—alam dimana telah sangat tercemari oleh kekotoran batin para pendosa yang menjadi mayoritas penghuninya jika tidak dapat disebut sebagai satu-satunya penghuni alam surgawi. Dengan kata lain, secara tidak langsung, para dosawan menggambarkan sosok Tuhan tidak ubahnya “raja yang lalim”.

Itulah penjelasannya, mengapa berbagai penjara di Indonesia tidak pernah sepi dari para narapidana penghuninya, bahkan sepanjang tahun selalu mengalami fenomena klise “overcapacity” dan “overload” yang konon sepanjang tahunnya hampir mendekati 200% kapasitas maksimum, sekalipun bangsa kita dikenal “agamais” (kurang “agamais” apa, warga di negeri ini?), disamping fakta aktual bahwasannya jauh lebih banyak aduan maupun laporan warga korban pelapor yang diabaikan dan ditelantarkan oleh aparatur penegak hukum. Alam surgawi, karenanya, menjadi menyerupai “dunia manusia jilid kedua”, dimana para pendosa kembali beraksi tanpa “self-control” (menyakiti, merugikan, maupun melukai) orang-orang maupun makhluk-makhluk lainnya.

Pilihlah keyakinan secara selektif, sebagaimana kita perlu memilah serta memilih pertemanan yang baik, merujuk khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID 1”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan inspiratif sebagai berikut:

15 (5) Pacetana

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Bārāasī di Taman Rusa di Isipatana. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu!” [111]

“Yang Mulia!” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, di masa lalu ada seorang raja bernama Pacetana. Kemudian Raja Pacetana berkata kepada seorang pembuat kereta: ‘Sahabat pembuat kereta, enam bulan dari sekarang akan ada sebuah peperangan. Dapatkan engkau membuatkan untukku sepasang roda?’ – ‘Dapat, Baginda,’ pembuat kereta itu menjawab. Setelah enam bulan kurang enam hari si pembuat kereta itu telah menyelesaikan satu roda. Raja Pacetana berkata kepada si pembuat kereta: ‘Enam hari dari sekarang akan ada peperangan. Apakah sepasang roda itu telah selesai?’ [Si pembuat kereta menjawab:] ‘Dalam waktu enam bulan kurang enam hari yang lalu, Baginda, saya telah menyelesaikan satu roda.’ – ‘Tetapi, sahabat pembuat kereta, dapatkah engkau menyelesaikan roda ke dua untukku dalam enam hari ke depan?’ – ‘Dapat, Baginda,’ si pembuat kereta menjawab. Kemudian, setelah enam hari berikutnya, si pembuat kereta menyelesaikan roda ke dua. Ia membawa sepasang roda itu kepada Raja Pacetana dan berkata: ‘Ini adalah sepasang roda baru yang telah kubuat untukmu, Baginda.’ – ‘Apakah perbedaannya, sahabat pembuat kereta, antara roda yang memakan waktu enam bulan kurang enam hari untuk diselesaikan dan roda yang memakan enam hari untuk diselesaikan? Aku tidak melihat perbedaan apa pun antara keduanya.’ – ‘Ada sebuah perbedaan, Baginda. Amatilah perbedaannya.’

Kemudian si pembuat kereta menggelindingkan roda yang memakan waktu enam hari untuk diselesaikan. Roda itu menggelinding sejauh daya dorongnya membawanya, dan kemudian terhuyung-huyung dan jatuh ke tanah. Tetapi roda yang memakan waktu enam bulan [112] kurang enam hari untuk diselesaikan menggelinding sejauh daya dorongnya membawanya dan kemudian berdiri diam seolah-olah terpasang pada sumbunya.

“[Kemudian raja bertanya:] ‘Mengapakah, sahabat pembuat kereta, bahwa roda yang memakan waktu enam hari untuk diselesaikan menggelinding sejauh daya dorongnya membawanya, dan kemudian terhuyung-huyung dan jatuh ke tanah, sedangkan roda yang memakan waktu enam bulan kurang enam hari untuk diselesaikan menggelinding sejauh daya dorongnya membawanya dan kemudian berdiri diam seolah-olah terpasang pada sumbunya?’

“[Si pembuat kereta menjawab:] ‘Roda yang memakan waktu enam hari untuk diselesaikan, Baginda, memiliki lingkar yang berlekuk, cacat, dan tidak sempurna; jari-jari yang berlekuk, cacat, dan tidak sempurna; dan poros yang berlekuk, cacat, dan tidak sempurna. Karena alasan ini, maka roda itu menggelinding sejauh daya dorongnya membawanya, dan kemudian terhuyung-huyung dan jatuh ke tanah. Tetapi roda yang memakan waktu enam bulan kurang enam hari untuk diselesaikan menggelinding sejauh daya dorongnya membawanya dan kemudian berdiri diam seolah-olah terpasang pada sumbunya memiliki lingkar yang tanpa lekukan, tanpa cacat, dan tanpa ketidak-sempurnaan; memiliki jari-jari yang tanpa lekukan, tanpa cacat, dan tanpa ketidak-sempurnaan; dan memiliki poros yang tanpa lekukan, tanpa cacat, dan tanpa ketidaksempurnaan. Karena alasan ini, maka roda itu menggelinding sejauh daya dorongnya membawanya dan kemudian berdiri diam seolah-olah terpasang pada sumbunya.’

“Mungkin saja, para bhikkhu, kalian berpikir: ‘Pada saat itu si pembuat kereta adalah orang lain.’ Tetapi jangan kalian berpikir demikian. Pada saat itu, Aku sendirilah si pembuat kereta itu. Pada saat itu Aku terampil dalam lekukan, cacat, dan ketidaksempurnaan sehubungan dengan kayu. Tetapi sekarang Aku adalah Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, (1) terampil dalam lekukan, cacat, dan ketidak-sempurnaan jasmani; (2) terampil dalam lekukan, cacat, dan ketidak-sempurnaan ucapan; (3) terampil dalam lekukan, cacat, dan ketidak-sempurnaan pikiran.

“Bhikkhu atau bhikkhunī mana pun yang belum meninggalkan lekukan, cacat, dan ketidak-sempurnaan jasmani, ucapan, dan pikiran [113] telah jatuh dari Dhamma dan disiplin ini, seperti halnya roda yang diselesaikan dalam enam hari [akan jatuh ke tanah].

“Bhikkhu atau bhikkhunī mana pun yang telah meninggalkan lekukan, cacat, dan ketidak-sempurnaan jasmani, ucapan, dan pikiran adalah kokoh dalam Dhamma dan disiplin ini, seperti halnya roda yang diselesaikan dalam enam bulan kurang enam hari [akan tetap berdiri].

“Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan meninggalkan lekukan, cacat, dan ketidaksempurnaan jasmani; kami akan meninggalkan lekukan, cacat, dan ketidak-sempurnaan ucapan; kami akan meninggalkan lekukan, cacat, dan ketidak-sempurnaan pikiran.’ Demikianlah kalian harus berlatih.”

~0~

VIII. Pertemanan Yang Baik

71 (1)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu hal pun yang begitu menyebabkan kualitas-kualitas bermanfaat yang belum muncul menjadi muncul dan kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang telah muncul menjadi berkurang selain daripada pertemanan yang baik. Bagi seorang dengan teman-teman yang baik, maka kualitas-kualitas bermanfaat yang belum muncul menjadi muncul dan kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang telah muncul menjadi berkurang.”

[NOTE : Tentang pentingnya pertemanan yang baik (kalyāamittatā) dalam kehidupan spiritual.]

72 (2)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu hal pun yang begitu menyebabkan kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang belum muncul menjadi muncul dan kualitas-kualitas bermanfaat yang telah muncul menjadi berkurang selain daripada pengejaran kualitas-kualitas tidak bermanfaat dan tanpa-pengejaran kualitas-kualitas bermanfaat. Melalui pengejaran kualitas-kualitas tidak bermanfaat dan tanpa-pengejaran kualitas-kualitas bermanfaat, maka kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang belum muncul menjadi muncul dan kualitas-kualitas bermanfaat yang telah muncul menjadi berkurang.”

73 (3)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu hal pun yang begitu menyebabkan kualitas-kualitas bermanfaat yang belum muncul menjadi muncul dan kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang telah muncul menjadi berkurang selain daripada pengejaran kualitas-kualitas bermanfaat dan tanpa-pengejaran kualitas-kualitas tidak bermanfaat. Melalui pengejaran kualitas-kualitas bermanfaat dan tanpa-pengejaran kualitas-kualitas tidak bermanfaat, maka kualitas-kualitas bermanfaat yang belum muncul menjadi muncul dan kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang telah muncul menjadi berkurang.”

74 (4)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu hal pun yang begitu menyebabkan faktor-faktor pencerahan yang belum muncul menjadi tidak muncul dan faktor-faktor pencerahan yang telah muncul tidak mencapai pemenuhan melalui pengembangan selain daripada pengamatan tidak seksama. Bagi seseorang yang mengamati dengan tidak seksama, maka faktor-faktor pencerahan yang belum muncul menjadi tidak muncul dan faktor-faktor pencerahan yang telah muncul tidak mencapai pemenuhan melalui pengembangan.”

75 (5)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu hal pun yang begitu menyebabkan faktor-faktor pencerahan yang belum muncul menjadi muncul dan faktor-faktor pencerahan yang telah muncul mencapai pemenuhan melalui pengembangan selain daripada pengamatan seksama. [15] Bagi seorang yang mengamati dengan seksama, maka faktor-faktor pencerahan yang belum muncul menjadi muncul dan faktor-faktor pencerahan yang telah muncul mencapai pemenuhan melalui pengembangan.”

76 (6)

“Tidak penting, para bhikkhu, kehilangan sanak-saudara. Hal yang paling buruk adalah kehilangan kebijaksanaan.”

77 (7)

Tidak penting, para bhikkhu, peningkatan sanak-saudara. Hal yang paling baik untuk ditingkatkan adalah kebijaksanaan. Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan meningkat dalam hal kebijaksanaan.’ Demikianlah kalian harus berlatih.”

78 (8)

“Tidak penting, para bhikkhu, kehilangan harta kekayaan. Hal yang paling buruk adalah kehilangan kebijaksanaan.”

79 (9)

“Tidak penting, para bhikkhu, peningkatan harta kekayaan. Hal yang paling baik untuk ditingkatkan adalah kebijaksanaan. Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan meningkat dalam hal kebijaksanaan.’ Demikianlah kalian harus berlatih.”

80 (10)

Tidak penting, para bhikkhu, kehilangan kemasyhuran. Hal yang paling buruk adalah kehilangan kebijaksanaan.”

81 (11)

“Tidak penting, para bhikkhu, peningkatan kemasyhuran. Hal yang paling baik untuk ditingkatkan adalah kebijaksanaan. Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan meningkat dalam hal kebijaksanaan.’ Demikianlah kalian harus berlatih.” [16]

IX. Kelengahan

82 (1)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu hal pun yang mengarah pada bahaya besar selain daripada kelengahan. Kelengahan mengarah pada bahaya besar.”

83 (2)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu hal pun yang mengarah pada manfaat besar selain daripada kewaspadaan. Kewaspadaan mengarah pada manfaat besar.”

84 (3) – 97 (16)

(84) “Para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu hal pun yang mengarah pada bahaya besar selain daripada kemalasan … (85) … yang mengarah pada manfaat besar seperti pembangkitan kegigihan …”

(86) “… keinginan kuat … (87) … sedikitnya keinginan …”

(88) “… ketidak-puasan … (89) … kepuasan …”

(90) “… pengamatan tidak seksama … (91) … pengamatan seksama …”

(92) “ … kurangnya pemahaman jernih … (93) … pemahaman jernih …”

(94) “… pertemanan yang buruk … (95) … pertemanan yang baik …”

(96) “… pengejaran kualitas-kualitas tidak bermanfaat dan tanpa-pengejaran kualitas-kualitas bermanfaat … (97) … pengejaran kualitas-kualitas bermanfaat dan tanpa-pengejaran kualitas-kualitas tidak bermanfaat mengarah pada manfaat besar.”

X. Internal

98 (1)

“Di antara faktor-faktor internal, para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu faktor pun yang mengarah pada bahaya besar selain daripada kelengahan. Kelengahan mengarah pada bahaya besar.”

99 (2)

“Di antara faktor-faktor internal, para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu faktor pun yang mengarah pada manfaat besar selain daripada kewaspadaan. [17] Kewaspadaan mengarah pada manfaat besar.”

100 (3) – 113 (16)

(100) “Di antara faktor-faktor internal, para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu faktor pun yang mengarah pada bahaya besar selain daripada kemalasan … (101) … yang mengarah pada manfaat besar selain daripada pembangkitan kegigihan …”

(102) “… keinginan kuat … (103) … sedikitnya keinginan …”

(104) “… ketidak-puasan … (105) … kepuasan …”

(106) “… pengamatan tidak seksama … (107) … pengamatan seksama …”

(108) “… kurangnya pemahaman jernih … (109) … pemahaman jernih …”

(110) “Di antara faktor-faktor eksternal, para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu faktor pun yang mengarah pada bahaya besar selain daripada pertemanan yang buruk …”

(111) “Di antara faktor-faktor eksternal, para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu faktor pun yang mengarah pada manfaat besar selain daripada pertemanan yang baik …”

(112) “Di antara faktor-faktor internal, para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu faktor pun yang mengarah pada bahaya besar selain daripada pengejaran kualitas-kualitas tidak bermanfaat dan tanpa-pengejaran kualitas-kualitas bermanfaat … (113) … yang mengarah pada manfaat besar selain daripada pengejaran kualitas-kualitas bermanfaat dan tanpa-pengejaran kualitas-kualitas tidak bermanfaat. Pengejaran kualitas-kualitas bermanfaat dan tanpa pengejaran kualitas-kualitas tidak bermanfaat mengarah pada manfaat besar.”

114 (17)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu hal pun yang begitu mengarah pada kemunduran dan lenyapnya Dhamma sejati selain daripada kelengahan. Kelengahan mengarah pada kemunduran dan lenyapnya Dhamma sejati.”

115 (18)

“Para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu hal pun yang begitu mengarah pada kelangsungan, ketidak-munduran, dan ketidaklenyapan Dhamma sejati selain daripada kewaspadaan. [18] Kewaspadaan mengarah pada kelangsungan, ketidak-munduran, dan ketidak-lenyapan Dhamma sejati.”

116 (19) – 129 (32)

(116) “Para bhikkhu, Aku tidak melihat bahkan satu hal pun yang begitu mengarah pada kemunduran dan lenyapnya Dhamma sejati selain daripada kemalasan … (117) … yang begitu mengarah pada kelangsungan, ketidak-munduran, dan ketidak-lenyapan Dhamma sejati selain daripada pembangkitan kegigihan …”

(118) “… keinginan kuat … (119) … sedikitnya keinginan …”

(120) “… ketidak-puasan … (121) … kepuasan …”

(122) “… pengamatan seksama … (123) … pengamatan tidak seksama …”

(124) “… kurangnya pemahaman jernih … (125) … pemahaman jernih …”

(126) “… pertemanan yang buruk … (127) … pertemanan yang baik …”

(128) “… pengejaran kualitas-kualitas tidak bermanfaat dan tanpa-pengejaran kualitas-kualitas bermanfaat … (129) … pengejaran kualitas-kualitas bermanfaat dan tanpa-pengejaran kualitas-kualitas tidak bermanfaat. Pengejaran kualitas-kualitas bermanfaat dan tanpa-pengejaran kualitas-kualitas tidak bermanfaat mengarah pada kelangsungan, ketidak-munduran, dan ketidak-lenyapan Dhamma sejati.”

130 (33)

“Para bhikkhu, para bhikkhu itu yang menjelaskan bukan Dhamma sebagai Dhamma sedang bertindak demi bahaya banyak orang, ketidak-bahagiaan banyak orang, demi kehancuran, bahaya, dan penderitaan banyak orang, deva dan manusia. Para bhikkhu ini menghasilkan banyak keburukan dan menyebabkan Dhamma sejati ini menjadi lenyap.”

[Kitab Komentar : Sepuluh kamma bermanfaat adalah Dhamma; Sepuluh kamma tidak bermanfaat adalah bukan-Dhamma. Demikian pula, tiga puluh tujuh bantuan menuju pencerahan – yaitu, empat penegakan perhatian, empat usaha benar, empat landasan kekuatan batin, lima indria, lima kekuatan, tujuh faktor pencerahan, dan Jalan Mulia Berunsur Delapan – adalah Dhamma; tiga penegakan perhatian, tiga usaha benar, tiga landasan kekuatan batin, enam indria, enam kekuatan, delapan faktor pencerahan, dan Jalan Mulia Berunsur Sembilan [adalah bukan-Dhamma.]

Empat jenis kemelekatan, lima rintangan, tujuh kecenderungan tersembunyi, dan delapan jenis yang salah [lawan dari faktor-faktor jalan mulia] adalah bukan-Dhamma.

Mereka mengajarkan bukan-Dhamma sebagai Dhamma ketika mereka memilih salah satu jenis bukan-Dhamma dan berpikir, ‘Kami akan mengajarkan hal ini sebagai Dhamma. Dengan demikian kelompok guru kami akan terbebaskan, dan kami akan menjadi terkenal di dunia ini.’

Dengan metode Vinaya (disiplin anggota monastik ke-bhikkhu-an), Dhamma adalah perbuatan disiplin yang harus dilakukan menurut klaim tersebut, setelah ditegur, setelah diingatkan, menurut landasan yang benar.

Bukan-Dhamma adalah perbuatan disiplin yang dilakukan tanpa sebuah klaim, tanpa teguran, tanpa diingatkan, menurut landasan yang salah.”

Terdapat satu istilah dalam Bahasa Inggris yang sangat penulis sukai untuk dijadikan objek perenungan, yakni : “clear conscience”, yang dapat kita maknai sebagai “berkesadaran secara jernih”. Adapun para dosawan pemeluk “Agama DOSA” tersebut, sama sekali tidak terampil dan tidak terlatih dalam hal “self-control”; dimana justru sebaliknya, menyepelekan dan memandang remeh dosa maupun maksiat—yang mereka sebut sebagai “beruntung”, sementara itu yang tidak menikmati “penghapusan dosa” sebagai “kaum yang merugi”—yang pada gilirannya alih-alih menjadi “humanis” dan “Tuhanis”, para pendosa tersebut menjelma menjadi “hewanis”, “predatoris”, “premanis”, serta “barbariknis”.

Dahulu, sebelum “Agama-Agama DOSA” diperkenalkan ke umat manusia, terutama para kalangan pendosa, tiada pendosa yang yakin setelah kematiannya akan terlahir di alam surgawi. Kini, akibat termakan iming-iming dogmatis “penghapusan dosa” (atau apapun itu istilahnya), para pendosa berbondong-bondong memeluk “Agama DOSA”, lalu berlomba-lomba memproduksi dosa, mengoleksi dosa, berkubang dalam dosa, menimbun diri dalam gunungan dosa, serta bersimbah dosa—dimana disaat bersamaan yakin seyakin-yakinnya akan masuk alam surgawi setelah ajal menjemput mereka. Itulah sebabnya, “dosawan” hampir selalu merupakan kaum “dunguwan”.

Sebagaimana dapat kita saksikan sendiri, fenomena “bulan (hiprokrit) puasa” masyarakat “agamais” kita di Indonesia, yang terjadi ialah ajang umbar makan (konsumsi meningkat hingga 1,5 kali konsumsi normal sehingga harga-harga kebutuhan pokok melambung tinggi), minta / menuntut dihormati (melarang orang lain makan hingga menutup paksa rumah makan, narsistik-egoistik), maupun pesta-pora obral “penghapusan dosa”—kabar gembira bagi para pendosa, selalu menjadi kabar buruk bagi kalangan korban. Disaat bersamaan, Tuhan bersimbah air mata, karena “standar moral” umat manusia kian rusak kian hari dan kian tahunnya—namun masih pula si “dungu” merasa yakin akan masuk surga setelah menimbun diri dengan segunung dosa yang mereka hasilkan sepanjang hidupnya.

Setiap harinya tanpa rasa malu ataupun takut, para pemuka “Agama DOSA” mengumbar dogma-dogma “penghapusan dosa” lewat speaker pengeras suara, dimana para umatnya sibuk memohon “penghapusan dosa” setiap harinya ketika beribadah. Tiap tahunnya, mereka merayakan pesta-obral “penghapusan dosa”, semudah dan seasyik “bulan hipokrit” sebagaimana telah kita bahas sebelumnya. Masih pula juga, setelah kematian mereka, para dosawan tersebut, para sanak saudara dari “almarhum dosawan” alih-alih mendoakan kalangan korban-korban dari sang pendosa yang meninggal dunia agar mendapatkan keadilan, mereka (tanpa rasa malu sedikit pun) justru mengumandangkan doa-doa permohonan “penghapusan dosa” lewat pengeras suara—yang seolah sedang menertawakan para korban-korban yang hanya bisa gigit jari mendengarnya, hati terasa sakit terinjak-injak oleh kelakuan kaum “dunguwan” yang notabene lingkaran para “pendosa penjilat penuh dosa” demikian.