Bersikap WASPADA dan NEGATIVE THINKING merupakan Hak Asasi Manusia dalam Rangka Hak Menjaga Diri
HOMO HOMINI LUPUS, Manusia adalah SERIGALA BAGI
SESAMANYA, Apapun “Persona” (Topeng)
yang Mereka Kenakan
Question: Jangan pernah tunjukkan rasa takut, sungkan, rasa bersalah, atau kelemahan psikis, agar kita tidak “dimakan” (oleh orang lain). Itulah pelajaran hidup yang diajarkan kepada kita dari kehidupan ini di dunia manusia. Sesama manusia memang bisa menjelma serigala yang memakan sesamanya. Mereka akan memanfaatkan kelengahan kita, ketidak-tahuan kita, kepolosan kita, kepercayaan kita, rasa bersalah kita, bahkan juga rasa takut kita untuk diperdaya lewat cara-cara manipulasi, intimidasi, dan lain sebagainya. Terlebih parah di negeri yang notabene serba “agamais” ini penduduknya, orang-orang baik justru dijadikan atau dipandang sebagai objek “mangsa yang paling empuk”. Apakah ada kiat, agar kita bisa membuat “benteng mental” agar tidak mudah dijadikan “mangsa empuk” oleh orang-orang yang kita jumpai maupun oleh orang-orang yang dekat dengan kita?
Brief Answer: Salah satu modus paling klasik serta paling
klise untuk memanipulasi orang lain, ialah dengan mengeksploitasi rasa taku,
sifat penakut, atau potensi ketakutan orang dimaksud, yang biasanya didahului
oleh suatu “pengkondisian” yang begitu terselubung sifatnya, sehingga
menyerupai sebentuk “modus” yang sudah sejak semula dirancang oleh sang
manipulator agar calon korbannya menjadi lengah dan tidak waspada. Karena
itulah, tidak menjadi mengherankan, sekalipun kita memiliki rasa takut dalam
diri, kiat paling terbaik ialah dengan tidak menunjukkan rasa takut tersebut,
baik lewat mimik muka, bahasa tubuh, ucapan, ataupun sebagainya.
Untuk itu, kita dapat berlatih untuk mengantisipasi ketika berhadapan
atau berjumpa dengan seseorang yang baik telah kita kenal dekat maupun orang
asing, agar tidak menjadi “mangsa empuk manipulasi”, berupa berlatih
mengucapkan “mantra” lewat “self-talk”
yang dapat berulang-ulang kita suarakan kepada diri kita sendiri sesering
mungkin dan serutin mungkin di keseharian dalam rangka menguatkan “benteng
pelindung mental”:
“Jangan takut.”
“Jangan mau dimanipulasi.”
Atau
“Jangan takut, agar tidak dimanipulasi.”
PEMBAHASAN:
Bila Aristoteles mengatakan bahwa manusia adalah
“makhluk bermain”, adapun penulis lebih mendapati bahwa manusia
kecenderungannya bersifat manipulatif terhadap sesama manusia lainnya, dimana “persona” alias “topeng” menjadi modus
paling klise dan itu sudah berlangsung sejak lama. Lantas, apakah yang
menggerakkan atau yang menjadi motivasi bagi manusia tersebut, bersikap
manipulatif terhadap sesama manusia lainnya? Tidak lain tidak bukan ialah
kepentingan pribadi berupa keegoisan sang manipulator (selfish motive). Singkatnya, para manipulator tersebut terampil
membuat Anda jatuh dalam kondisi perasaan “inferior”, apapun modusnya.
Sedia payung, sebelum hujan. Sebelum mengalami
musibah tenggelam, kita perlu belajar berenang terlebih dahulu. Sama halnya,
untuk menghadapi manusia-manusia yang sebagaimana pepatah : “Dalamnya lautan maupun tingginya gunung,
dapat diukur. Namun isi hati manusia, tidak dapat ditebak”, maka kita perlu
berlatih untuk menguatkan mental kita agar seperti yang disebut Sang Buddha
sebagai “sekokoh batu karang yang bergeming sekalipun diterpa ombak dan badai”.
Jika untuk menguatkan tubuh, kita dapat berlatih olahraga maupun beda diri,
maka untuk menguatkan mental caranya ialah dengan internalisasi lewat metode “self-talk”.
Pastilah kita sering mengalami kondisi atau
situasi, ketika kita tidak ingin menjawab ataupun meladeni seseorang yang
bertanya atau menanyakan hal-hal yang menyangkut privasi ataupun sesuatu yang
membuat kita tidak nyaman untuk menjawabnya. Untuk itu kita dapat mengucapkan
kalimat berikut ke dalam batin kita sendiri:
“Jangan takut disebut
sebagai ‘orang bodoh’ karena tidak menjawab ketika ditanya, agar tidak
dimanipulasi.”
Sebelum ini, pernahkah Anda mendengar peribahasa
dalam Bahasa Inggris : “Be a good person,
but don’t waste time to prove it”. Mengapa itu benar adanya? Jawabannya
ialah agar Anda tidak dimanipulasi untuk diekploitasi. Orang baik, cenderung
tidak dihargai, bahkan tampak begitu menggoda bagi para eksploitator untuk
mengeksploitasi kebaikan hati sang “baik hati” yang dikenal “tidak mau disebut ‘jahat’”
oleh orang lain. Untuk mengantisipasi itu terjadi, maka sering-seringlah
berlatih mengucapkan kalimat berikut ke dalam hati kita sendiri:
“Jangan takut disebut
sebagai ‘orang jahat’ karena tidak mau mengikuti keinginan orang lain, agar
tidak dimanipulasi.”
Jangan takut pula disebut sebagai “mata duitan”,
karena yang sejatinya “serakah” ialah mereka yang meminta dilayani namun tidak
dapat menghargai jirih-payah maupun profesi orang lain, seolah hanya diri
mereka sendiri saja yang berhak mencari nafkah dan menuntut imbalan—Konstitusi
Republik Indonesia, yakni UUD RI 1945, bahkan ditegaskan secara tersurat dalam
salah satu pasalnya, bahwa menuntut dan mendapatkan imbalan adalah hak asasi
setiap warganegara, tanpa terkecuali—dimana adalah mereka yang sejatinya “lebih
hina daripada pengemis” serta “penjahat hak asasi”, mengingat “bahkan pengemis
sekalipun tidak mencari makan dengan cara merampok nasi dari piring milik orang
lain”. Untuk menjadi vaksin manipulasi demikian, kita dapat secara rutin
mengatakan ini kedalam pikiran kita sendiri:
“Jangan takut disebut
sebagai ‘mata duitan’ karena menuntut upah / imbalan / upah ketika dimintakan
tolong, agar tidak dimanipulasi.”
Sang Buddha pernah bersabda, yang disebut dengan
berbuat baik, maknanya ialah : tidak merugikan orang lain, juga tidak
merugikan diri sendiri sendiri serta juga tidak menjelekkan diri kita sendiri.
Artinya, merugikan diri kita sendiri bukanlah tergolong sebagai “perbuatan
baik”. Agar kita tidak dieksploitasi melakukan “perbuatan bodoh ataupun konyol”
yang akan kita sesali sendiri di kemudian hari, untuk itu kita dapat mencoba
trik berikut, yakni menasehati jiwa kita sendiri dengan kalimat berikut:
“Jangan takut disebut
sebagai ‘pelit’ karena tidak mau memberikan ketika diminta sejumlah dana, agar
tidak dimanipulasi.”
Bila Anda tergolong orang yang sukar berkata
“TIDAK” ataupun menolak keinginan orang lain, maka mulailah untuk memahami
bahwa memiliki pendapat berbeda, menyatakan “TIDAK SETUJU”, menolak permintaan,
serta memiliki pendapat ataupun keinginan sendiri, adalah “hak asasi manusia”,
dimana kita sederajat dengan mereka dan mereka sederajat dengan kita di mata
hukum. Agar memiliki karakter yang kuat, tidak mudah diperdaya dan
digiring, di bawah inilah yang perlu kita latih dengan ucapan internalisasi ke
dalam sanubari kita sendiri:
“Jangan takut disebut
sebagai ‘tidak ramah’ karena menolak atau tegas menyatakan “TIDAK”, agar tidak
dimanipulasi.”
Orang dungu, wawasan dan khasanah pengetahuannya
sedangkal atau secetek kubangan berlumpur. Mereka tidak memahami bahwa manusia
“normal” terbagi menjadi dua, yakni introvert dan ekstrovert. Karenanya,
menjadi seorang introvert bukanlah sebuah kejahatan terlebih sebuah hal yang
dapat dicela. Nikmati saja kesendirian kita, dan biarkanlah para ekstrovert
tersebut merasa bangga memiliki banyak kawan dari kalangan preman, tukang
pukul, mafia, gengster, maupun “manusia-manusia sampah” yang “norak” lainnya.
Hargai waktu yang ada, dan menyadari bahwa sungguh berbahagia orang-orang yang
mampu” merasa bahagia dengan dirinya sendiri” dimana kita hanya seorang diri,
bagaikan rembulan yang tetap bersinar meskipun hanya sebatang kara:
“Jangan takut disebut
sebagai ‘kurang pergaulan’ atau ‘tidak nornal’ karena introvert, ketika dihina
ataupun dihakimi, agar tidak dimanipulasi.”
Ada tipe manipulator, yang sengaja bertanya ini
dan itu dengan maksud menggali informasi ataupun pengetahuan dari diri kita,
sekalipun mereka tahu / menyadari benar bahwa Anda mencari nafkah sebagai
seorang konsultan atau psikolog yang memungut tarif jasa dari sesi konsultasi
“tanya dan jawab”. Cukup sadari bahwa kita lebih baik diberikan pengakuan oleh
“orang yang tepat”, pada “waktu yang tepat”, bukan kepada semua orang yang
tidak jelas niat batinnya. Lagipula, tidak ada manusia yang lebih gagal
dalam hidupnya ketimbang orang-orang yang berupaya untuk menyenangkan semua
orang:
“Jangan takut disebut
sebagai ‘tidak berpengetahuan’ karena tidak memberikan jawaban yang lebih benar
ketika ditanya-tanya, agar tidak dimanipulasi.”
Bukanlah korban yang sepatutnya merasa takut,
yang sejatinya patut merasa takut ialah mereka yang melakukan kejahatan seperti
menganiaya ataupun melukai maupun menyakiti diri orang lain, mengingat si
pembuat kejahatan itu sendirilah yang akan mewarisi dan memetik buah Karma
Buruk yang mereka tanam sendiri. Bila kita tidak ingin dioperasi di rumah sakit
karena mengalami luka, penyakit, bencana, kecelakaan, atau sebagainya, maka
jangan pernah menanam benih-benih Karma Buruk seperti menganiaya ataupun
menyakiti maupun melukai orang lainnya:
“Jangan takut dianiaya karena
tidak memuaskan orang yang berhadapan dengan kita, agar tidak dimanipulasi.”
Adalah keliru, ketika Anda berada di pesawat yang
mengudara dan mengalami turbulensi, dengan mengutamakan putera-puteri Anda
untuk memasangkan masker oksigen kepada mereka, ketimbang terlebih dahulu
menolong / menyelamatkan diri Anda sendiri. Kita mungkin punya tanggung-jawab
kepada orang lain, namun kita pun punya tanggung-jawab terhadap diri kita
sendiri:
“Jangan takut disebut
sebagai ‘egois’ karena mementingkan diri sendiri ketika bersama-sama orang
lain, agar tidak dimanipulasi.”
Orang yang bahagia, cenderung lebih ramah, menyenangkan,
murah hati, hangat, toleran, berdamawan, kompromistik, dan lembut terhadap
orang lain. Sebaliknya, orang yang tidak bahagia atas hidupnya sendiri, lebih
cenderung tidak ramah dan tidak baik bahkan jahat terhadap orang lain. Dalam
Summerhill School, Alexander Sutherland Neill menulis, “Anak yang bermasalah adalah anak yang tidak bahagia. Dia berperang
dengan dirinya sendiri, dan konsekuensinya, dia berperang dengan seluruh dunia.”
Neill yang berpengalaman dalam mengelola sekolah juga menyebutkan, “Semua kejahatan, semua kebencian, semua
peperangan, bersumber dari ketidakbahagiaan.”
“Jangan takut disebut
sebagai ‘tidak solider’ karena tetap berbahagia ketika orang lain lebih banyak
mengeluh, agar tidak dimanipulasi.”
Sang Buddha pernah mengajarkan, “mengendalikan
kerugian” sama pentingnya dengan “mengendalikan keuntungan”. Mungkin saja kita
suatu ketika mengalami kondisi “merugi”, dan itu bisa saja tidak dapat kita
tolak / hindari terjadinya sebagai bagian dari “resiko usaha” dan harus kita
hadapi sebagai kenyataan. Namun yang terpenting ialah, kita bisa tetap memilih
untuk “tidak semakin merugi”, mengingat apa yang sudah terjadi tidak lagi dapat
diubah adanya. Untuk itu tanamkan paradigma berikut ke dalam alam bawah sadar
kita:
“Jangan takut ‘merugi’ ketika
bisa saja ‘lebih merugi’, agar tidak dimanipulasi.”
Untuk memuliakan Tuhan, adalah dengan cara
menjadi manusia yang mulia. Sebaliknya, hanyalah “KORUPTOR DOSA” yang kecanduan
ideologi KORUP yang “to good to be true”
semacam “PENGAMPUNAN / PENGHAPUSAN DOSA” maupun “PENEBUSAN DOSA” (abolition of sins). Sekalipun mereka
berdelusi sebagai kaum paling superior yang merasa berhak menghakimi kaum lainnya,
sejatinya mereka hanyalah kalangan pemalas yang begitu pemalas untuk menanam benih-benih
Karma Baik untuk mereka petik sendiri di kehidupan mendatang, dan disaat
bersamaan merupakan kalangan pengecut yang begitu pengecut untuk
bertanggung-jawab atas perbuatan-perbuatan buruk mereka sendiri. Karenanya, tidak
perlu gusar ataupun gentar ketika disebut sebagai kaum yang “merugi” karena
tidak menikmati dan mencandu iming-iming “PENGHAPUSAN DOSA”:
“Jangan takut disebut
sebagai ‘kafir’ karena memilih untuk menjadi dan tetap sebagai seorang NON yang
menjaga “akal sehat milik orang waras’, agar tidak dimanipulasi ‘ideologi KORUP
milik para KORUPTOR DOSA’.”
Jika memang “tidak jelas” atau sama sekali ”tidak
jelas” adanya alias “mencurigakan’, maka tidak perlu bohong kepada diri kita
sendiri. Jujur pada diri sendiri, adalah hal terbaik yang dapat kita lakukan
kepada diri kita sendiri. Mengingat, pengacara terbaik ialah diri kita
sendiri serta “akal sehat” berupa daya pikir kritis kita sendiri. Jangan pernah
menunggu datangnya penyesalan di kemudian hari, karena sebagaimana kata
peribahasa : “penyesalan selalu datang terlambat”. Jangan menyatakan “setuju”
ataupun “tanda tangan” maupun mentransfer sejumlah dana, ketika semuanya belum
“clean and clear”:
“Jangan takut disebut
sebagai ‘cerewet’ karena banyak mempertanyakan atau penuh keraguan ketika
ditawari ‘investasi’, siapapun itu orangnya, agar tidak dimanipulasi.”
Tidak ada yang lebih salah daripada bersikap
“seolah-olah tidak memiliki syarat”. Bila kita tidak dapat menghargai diri
kita sendiri, orang lain pun akan cenderung untuk tidak menghargai diri kita.
itulah “seni hidup”. Adalah delusi, ketika kita berasumsi bahwa orang lain akan
menghargai diri kita bila kita bersikap “tanpa syarat”. Jadilah orang yang
“penuh syarat”, agar Anda tidak dinilai dan diperlakukan sebagai seorang
“gampangan”, “murahan”, “tidak berharga”, dan stigma “murah” lainnya, sekalipun
itu orang-orang terdekat atau anggota keluarga Anda sendiri.
“Jangan takut disebut
sebagai ‘banyak syarat’ maupun ‘perhitungan’ ketika membuat komitmen ataupun
kesepakatan, agar tidak dimanipulasi.”
Hidup adalah pilihan, termasuk memilih untuk “tampil
beda sendiri”. Sang Buddha pernah bersabda : “Dan apakah orang yang mengikuti arus? Di sini, seseorang menikmati
kenikmatan indria dan melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Ini disebut
orang yang mengikuti arus. Dan apakah orang yang melawan arus? Di
sini, seseorang tidak menikmati kenikmatan indria atau melakukan
perbuatan-perbuatan buruk. Bahkan dengan kesakitan dan kesedihan, menangis
dengan wajah basah oleh air mata, ia menjalani kehidupan spiritual yang lengkap
dan murni. Ini disebut orang yang melawan arus.” Anda tahu, apa
yang disebut sebagai “menjadi seseorang yang ‘unik’”? Bisa jadi wajah atau
tubuh kita rupawan, namun yang terpenting kita menjaga benar dengan baik sifat-sifat
baik dan luhur dalam diri kita, tanpa membiarkannya dicemari oleh lingkungan
pergaulan.
“Jangan takut disebut
sebagai ‘aneh sendiri’ karena “melawan arus”, agar tidak dimanipulasi.”
Biasanya, selain modus “iming-iming”, para
manipulator begitu terampil dalam menakut-nakuti, baik secara verbal maupun
lewat bahasa tubuh. Ketika Anda dikuasai oleh ketakutan dan mereka berhasil
membuat Anda merasa takut, artinya Anda “sudah kalah sebelum benar-benar berperang”.
Sebagaimana kata pepatah yang selalu relevan dalam setiap situasi : “Si vis pacem para bellum”—jika Anda ingin
hidup damai, maka bersiap-siaplah untuk berperang.
“Jangan takut ‘diintimidasi’
karena tidak bersedia menuruti pihak yang memiliki relasi kuasa, agar tidak
dimanipulasi.”
Kita terlahir seorang diri, dan akan meninggal
seorang diri, tanpa membawa serta siapapun. Tidak ada jaminan pasangan hidup
maupun anak-anak Anda akan menjaga dan merawat Anda di kala Anda menua. Terkadang,
memiliki tim atau kelompok kerja bisa menjadi “hambatan” yang membebani itu
sendiri, ketika anggota kelompok kita justru adalah orang-orang yang tidak
kompeten serta “toxic” ataupun menyerupai
“benalu”. Mengandalkan diri kita sendiri, selalu menjadi opsi paling utama dan
terutama. Kita tidak akan pernah “kesepian” untuk seumur hidup kita, ketika
kita “memiliki diri kita sendiri” atau “kita hadir / present untuk diri kita” disaat suka dan duka terutama ketika kita
membutuhkan “kehadiran diri kita sendiri”.
“Jangan takut ‘berjalan
seorang diri’ ketika tidak ada rekan seperjalanan yang sepadan dengan kita,
agar tidak dimanipulasi.”
Segan, “tidak enakan”, terutama ketika Anda seorang
diri yang memilih untuk menjaga integritas. Sang Buddha pernah menyatakan,
sesama serigala adalah saling saling akur dalam kumpulan para serigala. Namun, serigala-serigala
tersebut tidak akan akur terhadap seekor kelinci yang jinak yang masuk ke dalam
sarang para serigala tersebut. Namun, pertanyaannya, apakah kita harus menjelma
menjadi seekor “serigala” (manusia-hewan) hanya agar dapat diterima dalam
lingkungan pergaulan para “manusia-hewan”?
“Jangan takut ‘dimusuhi’
karena berkata jujur apa adanya, agar tidak dimanipulasi.”
Mengapa dalam beragam situasi, orang baik justru
dimusuhi? Ketika sebuah lembaga atau komunitas, berisi orang-orang jahat, maka
tidak ada distingsi pemisah antara “si baik” dan “si jahat”. Ketika ada “orang
baik” masuk ke dalam komunitas tersebut, timbul-lah distingsi atau dikotomi
antara “si baik” dan “si jahat”. Itulah sebabnya, “orang-orang baik” selalu
tampak sebagai ancaman nyata di mata “para orang-orang jahat”, yang karenanya
perlu disingkirkan dan diberantas dengan seribu-satu cara, agar tidak ada lagi distingsi
demikian, sehingga mereka bisa berdelusi dan kembali hidup dengan menipu diri mereka
sendiri seolah-olah mereka bukanlah “si jahat”. Sama halnya, “si cerdas”
menjadi ancaman di tengah-tengah para “si dungu”.
“Jangan takut ‘dikucilkan’
karena memilih untuk otentik ‘menjadi diri kita sendiri’ ketika di dalam suatu
komunitas, agar tidak dimanipulasi.”
Yang terakhir, meski bukan yang paling akhir, antara
“tidak mujur” dan “mujur” bisa begitu tentatif dan tidak jelas perbedaannya. Karena
itulah, tidak perlu sedih ketika Anda ketinggalan pesawat yang telah terbang
mengudara, karena bisa jadi pesawat tersebut akan mengalami musibah saat berada
di atas langit. Kita tidak dapat berspekulasi, apakah kita benar-benar sedang “mujur”
ataukah “malang”. Ketika Anda bersedih atau berlarut-larut dalam kesedihan,
maka Anda menjadi “lemah”, karenanya memudahkan para predator untuk melakukan
penetrasi modus manipulasi verbal dan “memangsa” Anda hidup-hidup lewat modus berpura-pura
penuh perhatian dan penuh kepedulian terhadap Anda, menarik kepercayaan Anda, melemahkan
kewaspadaan Anda terhadapnya, sebelum kemudian Anda pun diperdaya dan dikuasai
bagaikan “boneka”. Kita tidak punya waktu untuk bermain-main “teka-teki” dengan
mereka.
“Jangan takut terhadap ‘ketidakmujuran’,
agar tidak dimanipulasi.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.