Melanggar SOP Internal Perusahaan dapat Dipidana, Bukan Hanya akibat Melanggar Undang-Undang
Jangan Remehkan SOP, terdapat Potensi Resiko Pidana
Dibalik Pelanggaran terhadap SOP
Question: Bila atasan di kantor seperti supervisor, manajer, atau kepala cabang ada beri perintah kepada kita untuk melakukan sesuatu yang “by pass” atau memotong prosedur yang berlaku di kantor, apa ada resiko hukumnya, mengingat kami hanya seorang bawahan yang tidak punya “daya tawar” dan takut bila tidak mengikuti perintah atasan di kantor, sekalipun kami tahu isi perintahnya itu jelas-jelas melanggar SOP di perusahaan kami?
Brief Answer: Banyak diantara anggota masyarakat kita yang
tidak memahami bahaya dibalik pelanggaran / penyimpangan terhadap SOP (standar
operational procedur) internal suatu perusahaan. Perintah atasan yang
menyimpang dari SOP, bila tidak dituruti, bisa jadi seorang bawahan / pegawai
akan ditekan secara politis, namun bila dituruti maka potensi resikonya ialah
dapat turut serta dipidana karena melanggar SOP. Pilihannya memang tidak mudah,
pada satu sisi berpotensi di-PHK (pemutusan hubungan kerja), namun pada sisi
lain terdapat ancaman dipidana karena turut-serta terlibat dalam pelanggaran
terhadap SOP yang berlaku di suatu perusahaan—kecuali perintah diberikan
langsung berdasarkan diskresi seorang direksi yang merupakan “top manajemen”
perusahaan yang berwenang menyusun serta merevisi SOP di perusahaan. Singkat
kata, atasan yang “non direksi”, tidak punya serta tidak dibenarkan melakukan
“diskresi” yang menyimpang dari SOP. Bila kita bersikap rasional, dipidana
penjara jauh lebih menakutkan daripada ancaman resiko dipecat akibat tidak
mengikuti perintah atasan.
PEMBAHASAN:
Untuk memudahkan pemahaman
serta membuktikan bahwa pembahasan demikian bukanlah sekadar wacana diatas
kertas, untuk itu SHIETRA & PARTNERS dapat mencerminkan ilustrasi
konkretnya sebagaimana putusan Mahkamah Agung RI No. 946 K/Pid.Sus/2013 tanggal
13 Juli 2015, dimana terhadap dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum,
Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
““Menimbang ... , Bahwa
perbuatan Terdakwa selaku Teller BRI tidak melaksanakan
langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank terhadap
ketentuan Undang-Undang memenuhi unsur-unsur Pasal 50 Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992;
“Bahwa alasan Kasasi Terdakwa
tidak dapat dibenarkan, karena melakukan proses transaksi RTGS dengan tanpa
melaksanakan kewajiban Terdakwa sebagai Teller dengan tidak memeriksa
kelengkapan dan keabsahan dokumen sumber dan tidak mencocokkan tanda-tangan
dengan SVS dan KCTT sebelum membukukan data ke dalam sistem merupakan tindak
pidana dan mengakibatkan BRI Cabang Majalengka mengalami kerugian kurang
lebih Rp2.471.075.000,00;
“Menimbang bahwa namun
demikian, Majelis Hakim tidak sependapat dengan Judex Facti Pengadilan
Tinggi yang telah melakukan pengurangan pidana, dengan alasan sebagai
berikut:
1. Pengurangan hukuman oleh Judex Facti Pengadilan Tinggi sedangkan Judex
Facti Pengadilan Negeri telah menjatuhkan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun
dan denda sebesar Rp5.000.000.000,00 subsidair 1 (satu) bulan kurungan menurut
rasa keadilan masyarakat sudah sesuai. Disamping hal tersebut Judex Facti
Pengadilan Negeri dalam menjatuhkan hukuman telah memberikan pertimbangan yang
cukup beralasan dengan memenuhi ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP;
2. Judex Facti Pengadilan Tinggi dalam hal mengurangi hukuman Terdakwa
tidak didasarkan pada alasan pertimbangan yang cukup memadai dan beralasan
sehingga putusannya bersifat onvoldoende gemotiveerd. Selain hal tersebut,
Judex Facti Pengadilan Tinggi dalam hal mengurangi hukuman Terdakwa tidak
memberikan keadaan yang meringankan dan memberatkan sebagai dasar pertimbangan
untuk mengurangi hukuman. Bahwa putusan Judex Facti Pengadilan Tinggi yang
demikian itu, tidak sesuai dengan syarat yang diwajibkan dalam ketentuan Pasal
197 ayat (1) huruf f KUHAP;
3. Alasan pertimbangan mengapa terdakwa harus dijatuhi hukuman seperti
dalam amar putusan Judex Facti Pengadilan Negeri didasarkan pada fakta hukum
bahwa Terdakwa dalam menjalankan tugas dan fungsi serta kewenangannya selaku
Teller dalam pemindah bukuan antar Bank atau RTGS (Real Time Gross Settlement),
tidak menjalankan berdasarkan prinsip kehati-hatian sebagai suatu kaidah hukum
normatif dalam pengelolan perbankan. Dalam fakta hukum persidangan, terdakwa
lebih cenderung memilik mengikuti keinginan buruk atau maksud jahat dari Sdr.
Maria Dafrosa sekalu Asisten Manager Operasional (AMO), untuk melakukan tindak
pidana perbankan. Padahal Terdakwa sesungguhnya mengerti dan mengetahui
kalau yang diperintahkan atau yang diingini oleh Sdr. Maria adalah salah dan merupakan
pelanggaran hukum, sehingga Terdakwa wajib menolak keinginan atau perintah Sdr.
Maria dengan alasan tidak sesuai dengan PROTAB Bank, serta bertentangan dengan
prinsip hukum dan ketentuan perbankan yang berlaku. Sebagai contoh misalnya
Terdakwa mengetahui dan menyadari bahwa untuk pencairan dana tidak boleh hanya
dilakukan 1 (satu) orang saja melainkan harus 2 (dua) orang yang specimen tanda
tangannya telah ada disimpan di BRI dan harus menggunakan Bilyet Giro, cek atau
dengan kuitansi model 107. Akan tetapi dalam kenyataannya Terdakwa tidak
mengindahkan protab dan ketentuan serta prinsip perbankan sehingga kemudian
Terdakwa melakukan pemidah-bukuan dana dari rekening giro milik RSUD Cideres
yang ada di BRI Cabang Majalengka, dengan cara RTGS sebanyak 3 (tiga) kali ke
rekening Yulianti Suminar (Bendahara Jenderal Pelayanan Medik Kementerian
Kesehatan) sebanyak 2 (dua) kali ke bank Mandiri Jakarta Kelapa Gading dan 1
(satu) kali ke rekening milik Arief Firmansyah (Bendahara Umum Kementerian
Kesehatan) ke Bank Mandiri Cabang Jakarta, dengan total pengiriman yang
dilakukan oleh Terdakwa melalui RTGS sebesar Rp2.471.000.000,00;
4. Bahwa penjatuhan hukuman yang ringan oleh Judex Facti Pengadilan
Tinggi terhadap perbutan Terdakwa a quo, akan sangat berbahaya dalam rangka
pencegahan tindak pidana perbankan, sebab Bank akan dapat menjadi sasaran atau
objek tindak pidana yang paling empuk sehingga dapat menjadi factor pemicu atau
pendorong para pelaku lainnya untuk mendapatkan keuangan Negara tanpa batas.
Sehingga berakibat merugikan keuangan Negara atau masyarakat;
5. Bahwa untuk mencegah agar dunia perbankan tidak menjadi sasaran
para pembobol Bank yang bekerjasama dengan pihak atau orang Bank, maka salah
satu instrument hukum yang digunakan adalah penjeraan Terdakwa dengan hukuman
yang adil dan proporsional serta dapat merampas atau menyita seluruh hartanya
yang diperoleh dari hasil tindak pidana.
“Menimbang bahwa berdasarkan
pertimbangan di atas, lagi pula ternyata, putusan judex facti dalam perkara ini
tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi
tersebut harus ditolak dengan memperbaiki amar putusan Pengadilan Tinggi
tersebut di atas;
“M E N G A D I L I :
- Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi II / Terdakwa : ... tersebut;
- Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I : Jaksa / Penuntut Umum
pada Kejaksaan Negeri Majalengka tersebut;
- Memperbaiki amar Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor
112/Pid.Sus/2012/PT.Bdg tanggal 14 Mei 2012 yang memperbaiki Putusan Pengadilan
Negeri Majalengka Nomor 195/Pid.B/2011/PN.Mji tanggal 31 Januari 2012 sehingga
selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
1. Menyatakan Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana ‘Perbankan’;
2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana
penjara selama 2 (dua) tahun dan pidana denda sebesar Rp5.000.000.000,00 (lima
milyar rupiah), dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka
harus diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan;”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.