Determinisme Vs. Hukum Karma Vs. Kehendak / Pilihan Bebas

Tidak Menghakimi Nasib Orang Lain, juga Tidak Menghakimi Nasib Diri Kita Sendiri. Karma Bukan untuk DIkambinghitamkan

Hukum Karma adalah Salah Satu Faktor Penggerak Roda Kehidupan, namun Bukan Satu-Satunya Faktor

Question: Bila hukum karma disebut-sebut sebagai konsep mengenai hukum sebab dan akibat, maka bukankah itu berarti bahwa doktrin demikian mengindikasikan bahwa hidup seorang manusia itu begitu rapuh, rentan, serta deterministiknya sampai-sampai menjadi korban atas karma yang bisa begitu diktator-otoriter mendikte kehidupan manusia? Jika begitu, bagaimana manusia bisa memperbaiki nasib, bila takdirnya ialah (semata-mata) menjadi korban dari karma?

Brief Answer: Banyak umat yang mengaku beragama Buddha sekalipun, telah ternyata secara salah-kaprah mengkambing-hitamkan segala sesuatunya atau mengait-kaitkan segala fenomena dengan Karma, namun telah ternyata Sang Buddha sendiri tidak menyatakan demikian. Itu jauh lebih memprihatinkan daripada kaum non-Buddhist yang menghakimi umat Buddhist bahwa nasib buruk yang menimpa mereka adalah karena Karma yang bersangkutan. Sang Buddha telah bersabda, dominan atau tidaknya Karma yang sedang berbuah pada kehidupan kita masa kini, tetap menyisakan ruang bagi pilihan / kehendak bebas (free will), karenanya kehidupan bukanlah produk hegemoni, dominasi, ataupun deterministik dari Karma—mengingat Karma bukanlah semata satu-satunya faktor penyusun unsur kehidupan.

Lebih bijaksana bila kita menyatakan bahwa Karma merupakan salah satu elemen pengisi atau motor penggerak roda kehidupan umat manusia dan kaitannya dengan dunia tempat mereka hidup. Karena kehidupan selalu menyisakan potensi bagi ruang bebas untuk kehendak bebas, karenanya setiap individu harus belajar untuk bertanggung-jawab atas pilihan bebas dan perbuatannya sendiri. Berbeda serta bertolak-belakang dengan konsepsi fatalistik berupa determinisme “sebab dan akibat”, dimana tidak terbuka ruang bebas bagi kehendak ataupun pilihan bebas, maka sejatinya seluruh umat manusia adalah korban dari “sistem Karma”, bukan sebagai subjek pelaku namun sebagai objek pelaku—pandangan mana telah ditolak oleh Sang Buddha sebagai pandangan yang keliru, sehingga menjadi ironis bilamana masih terdapat umat yang mengaku beragama Buddha namun memiliki pandangan fatalistik demikian.

PEMBAHASAN:

Bila diantara kalangan internal umat Buddhist, yang selama ini sebagian besar diantaranya yang bahkan untuk puluhan tahun beragama Buddha akan tetapi tidak pernah membaca langsung khotbah Sang Buddha sebagaimana dapat kita jumpai dalam bebagai Nikaya terjemahan dari Bahasa Pali, maka dapat kita maklumi bila banyak diantara kaum eksternal yang memiliki salah-kaprah jauh lebih menyimpang mengenai Hukum Karma yang diajarkan oleh Sang Buddha. Untuk itu penting bagi kita untuk merujuk serta berangkat langsung pada sumber otentiknya, yakni sutta-sutta pada berbagai Nikaya (Sutta Pitaka, Tipitaka), bukan memakan dan termakan uraian dalam berbagai ensiklopedia yang tidak jelas kompetensi penulisnya dan kerap dijumpai penuh distorsi atau bahkan melenceng jauh menyimpang dari apa yang telah disabdakan oleh Sang Buddha.

Dalam kesempatan ini penulis mengajak para pembaca merujuk langsung khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID 1”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, perihal “peran dan posisi Hukum Karma dana kehidupan umat manusia”, agar tidak lagi berkembang salah-kaprah baik diantara internal kalangan umat Buddhist maupun “kelirutahu” (tahu namun keliru) yang merebak diantara kalangan kaum non-Buddhist, dengan kutipan sebagai berikut:

61 (1) Sektarian

“Para bhikkhu, ada tiga doktrin sektarian ini yang, ketika dipertanyakan, diinterogasi, dan didebat oleh para bijaksana, dan dibawa menuju kesimpulan mereka, akan berakhir dalam tidak berbuat. Apakah tiga ini?

(1) “Ada, para bhikkhu, beberapa petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan seperti ini: ‘Apa pun yang dialami orang ini – apakah menyenangkan, menyakitkan, atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan – semuanya disebabkan oleh apa yang telah dilakukan di masa lalu.’ (2) Ada para petapa dan brahmana lainnya yang menganut doktrin dan pandangan seperti ini: ‘Apa pun yang dialami orang ini – apakah menyenangkan, menyakitkan, atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan – semuanya disebabkan oleh aktivitas Tuhan pencipta.’ (3) Dan ada para petapa dan brahmana lain lagi yang menganut doktrin dan pandangan seperti ini: ‘Apa pun yang dialami orang ini – apakah menyenangkan, menyakitkan, atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan – semuanya terjadi tanpa suatu sebab atau kondisi.’

[Note Kitab Komentar : Ini secara berturut-turut adalah doktrin-doktrin dari Jainisme, Theistik, dan tanpa-penyebab.]

(1) “Para bhikkhu, Aku mendatangi para petapa dan brahmana itu yang menganut doktrin dan pandangan seperti ini: ‘Apa pun yang dialami orang ini – apakah menyenangkan, menyakitkan, atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan – semuanya disebabkan oleh perbuatan-perbuatan masa lalu,’ dan Aku berkata kepada mereka: ‘Benarkah bahwa kalian para mulia menganut doktrin dan pandangan demikian?’ ketika Aku menanyakan hal ini kepada mereka, mereka menegaskannya. Kemudian Aku berkata kepada mereka: ‘Kalau begitu, adalah karena perbuatan masa lalu maka kalian mungkin melakukan pembunuhan, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan aktivitas seksual, berbohong, mengucapkan kata-kata yang memecah-belah, berkata kasar, bergosip; maka kalian mungkin penuh kerinduan, memiliki pikiran berniat buruk, dan menganut pandangan salah.’

[Note Kitab Komentar : Mereka berpendapat bahwa seseorang mengalami perasaan perasaan secara eksklusif disebabkan oleh kamma yang dilakukan di masa lalu. Sehubungan dengan hal ini, baca SN 36:21, IV 230-31, dimana Sang Buddha menjelaskan delapan penyebab bagi penyakit atau penderitaan, hanya salah satunya yang merupakan kematangan kamma masa lalu.

Brahmāli menulis: “Poinnya di sini tampaknya adalah bahwa masing-masing dari cara berbuat tidak bermanfaat ini berhubungan dengan perasaan-perasaan tertentu, dan bahwa perasaan-perasaan (atau pengalaman-pengalaman) itu hanya dapat dialami melalui perbuatan-perbuatan itu. Yang berlanjut dengan jika kammamu adalah sedemikian sehingga engkau harus mengalami perasaan-perasaan yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan buruk itu, maka engkau harus melakukannya.”

Hal yang sama, dengan perubahan seperlunya, berlaku pada kedua doktrin berikutnya, yaitu, aktivitas Tuhan pencipta dan tanpa-penyebab. Dalam tiap-tiap kasus, para pelaku menghindari tanggung jawab atas perbuatan-perbuatan mereka.]

Mereka yang mengandalkan perbuatan masa lalu sebagai kebenaran mendasar tidak memiliki keinginan [untuk melakukan] apa yang harus dilakukan dan [untuk menghindari melakukan] apa yang tidak boleh dilakukan, juga mereka tidak berusaha dalam hal ini. Karena mereka tidak memahami sebagai benar dan sah segala sesuatu yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan, maka mereka berpikiran kacau, mereka tidak menjaga diri mereka sendiri, dan bahkan sebutan personal sebagai ‘petapa’ tidak dapat dengan benar ditujukan kepada mereka. Ini adalah bantahan logisKu yang pertama pada para petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan demikian.

(2) “Kemudian, para bhikkhu, Aku mendatangi para petapa dan brahmana itu yang menganut doktrin dan pandangan seperti ini: ‘Apa pun yang dialami orang ini – apakah menyenangkan, menyakitkan, atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan – semuanya disebabkan oleh aktivitas Tuhan pencipta,’ dan Aku berkata kepada mereka: ‘Benarkah bahwa kalian para mulia menganut doktrin dan pandangan demikian?’ Ketika Aku menanyakan hal ini kepada mereka, mereka menegaskannya. Kemudian Aku berkata kepada mereka: ‘Kalau begitu, adalah karena aktivitas Tuhan pencipta maka kalian mungkin melakukan pembunuhan … dan menganut pandangan salah.’

Mereka yang mengandalkan aktivitas Tuhan pencipta sebagai kebenaran mendasar tidak memiliki keinginan [untuk melakukan] apa yang harus dilakukan dan [untuk menghindari melakukan] apa yang tidak boleh dilakukan, juga mereka tidak berusaha dalam hal ini. Karena mereka tidak memahami sebagai benar dan sah segala sesuatu yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan, maka mereka berpikiran kacau, mereka tidak menjaga diri mereka sendiri, dan bahkan sebutan personal sebagai ‘petapa’ tidak dapat dengan benar ditujukan kepada mereka. Ini adalah bantahan logisKu yang ke dua atas para petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan demikian.

(3) “Kemudian, para bhikkhu, Aku mendatangi para petapa dan brahmana itu yang menganut doktrin dan pandangan seperti ini: ‘Apa pun yang dialami orang ini – apakah menyenangkan, menyakitkan, atau bukan-menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan – semuanya terjadi tanpa suatu sebab atau kondisi,’ dan Aku berkata kepada mereka: ‘Benarkah bahwa kalian para mulia menganut doktrin dan pandangan demikian?’ Ketika Aku menanyakan hal ini kepada mereka, mereka menegaskannya. Kemudian Aku berkata kepada mereka: ‘Kalau begitu, adalah tanpa suatu penyebab atau kondisi maka kalian mungkin melakukan pembunuhan … dan menganut pandangan salah.’

Mereka yang mengandalkan ketiadaan penyebab dan kondisi sebagai kebenaran mendasar tidak memiliki keinginan [untuk melakukan] apa yang harus dilakukan dan [untuk menghindari melakukan] apa yang tidak boleh dilakukan, juga mereka tidak berusaha dalam hal ini. Karena mereka tidak memahami sebagai benar dan sah segala sesuatu yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan, maka mereka berpikiran kacau, mereka tidak menjaga diri mereka sendiri, dan bahkan sebutan personal sebagai ‘petapa’ tidak dapat dengan benar ditujukan kepada mereka. Ini adalah bantahan logisKu yang ke tiga atas para petapa dan brahmana yang menganut doktrin dan pandangan demikian.

“Ini, para bhikkhu, adalah ketiga doktrin sektarian itu yang, ketika dipertanyakan, diinterogasi, dan didebat oleh para bijaksana, dan dibawa menuju kesimpulan mereka, akan berakhir dalam tidak berbuat.

“Tetapi, para bhikkhu, Dhamma yang diajarkan olehKu ini tidak dapat dibantah, tidak kotor, tidak dapat disalahkan, dan tidak dapat dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana. Dan apakah Dhamma yang diajarkan olehKu yang tidak dapat dibantah, tidak kotor, tidak dapat disalahkan, dan tidak dapat dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana?

{Note : Penerjemah lainnya, dari aslinya teks Bahasa Pali menerjemahkannya sebagai : “Beliau sejauh ini telah menunjukkan bahwa doktrin-doktrin sektarian ini, jika dibawa pada kesimpulan, akan berakhir dalam tidak-berbuat, dan oleh karena itu kosong dan tidak membebaskan, tidak penting. Sekarang Beliau menunjukkan bahwa Dhamma yang Beliau ajarkan adalah penting dan membebaskan (sārabhāvañc’eva niyyānikabhāvañca).”]

“‘Ini adalah enam elemen’: ini, para bhikkhu, adalah Dhamma yang diajarkan olehKu yang tidak dapat dibantah … tidak dapat dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana. ‘Ini adalah enam landasan bagi kontak’ … ‘Ini adalah delapan belas pemeriksaan pikiran’ … ‘Ini adalah empat kebenaran mulia’: ini, para bhikkhu, adalah Dhamma yang diajarkan olehKu yang ini tidak dapat dibantah, tidak kotor, tidak dapat disalahkan, dan tidak dapat dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana.

“Ketika dikatakan: ‘“Ini adalah enam elemen”: ini, para bhikkhu, adalah Dhamma yang diajarkan olehKu yang tidak dapat dibantah … tidak dapat dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana,’ karena alasan apakah hal ini dikatakan? Ada enam elemen ini: elemen tanah, elemen air, elemen api, elemen udara, elemen ruang, dan elemen kesadaran. Ketika dikatakan: ‘“Ini adalah enam elemen”: ini, para bhikkhu, adalah Dhamma yang diajarkan olehKu yang tidak dapat dibantah … tidak dapat dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana,’ adalah karena ini maka hal ini dikatakan.

“Ketika dikatakan: ‘“Ini adalah enam landasan bagi kontak”: ini, para bhikkhu, adalah Dhamma yang diajarkan olehKu yang tidak dapat dibantah … tidak dapat dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana,’ karena alasan apakah hal ini dikatakan? Ada enam landasan bagi kontak ini: mata sebagai sebuah landasan bagi kontak, telinga sebagai sebuah landasan bagi kontak, hidung sebagai sebuah landasan bagi kontak, lidah sebagai sebuah landasan bagi kontak, badan sebagai sebuah landasan bagi kontak, dan pikiran sebagai sebuah landasan bagi kontak. Ketika dikatakan: ‘“Ini adalah enam landasan bagi kontak”: ini, para bhikkhu, adalah Dhamma yang diajarkan olehKu yang tidak dapat dibantah … tidak dapat dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana,’ adalah karena ini maka hal ini dikatakan.

“Ketika dikatakan: ‘“Ini adalah delapan belas pemeriksaan pikiran”: ini, para bhikkhu, adalah Dhamma yang diajarkan olehku yang tidak dapat dibantah … tidak dapat dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana,’ karena alasan apakah hal ini dikatakan? Setelah melihat suatu bentuk dengan mata, seseorang memeriksa bentuk yang menjadi landasan bagi kegembiraan; ia memeriksa bentuk yang menjadi landasan bagi kesedihan; ia memeriksa bentuk yang menjadi landasan bagi keseimbangan. Setelah mendengar suatu suara dengan telinga … Setelah mencium suatu bau-bauan dengan hidung … Setelah mengecap suatu rasa kecapan dengan lidah … Setelah merasakan suatu objek sentuhan dengan badan … Setelah mengenali suatu fenomena pikiran dengan pikiran, ia memeriksa fenomena pikiran tersebut yang menjadi landasan bagi kegembiraan; ia memeriksa fenomena pikiran tersebut yang menjadi landasan bagi kesedihan; ia memeriksa fenomena pikiran tersebut yang menjadi landasan bagi keseimbangan. Ketika dikatakan: ‘“Ini adalah delapan belas pemeriksaan pikiran”: ini, para bhikkhu, adalah Dhamma yang diajarkan olehKu yang tidak dapat dibantah … tidak dapat dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana,’ adalah karena ini maka hal ini dikatakan.

{Note : Penerjemah lain menjelaskan manopavicāra sebagai berikut: “Pemeriksaan pikiran atas delapan belas kasus, menggunakan ‘kaki’ pemikiran dan pemeriksaan (vitakkavicārapādehi).” Kata “kaki” (pāda) digunakan di sini karena vicāra aslinya bermakna “bepergian.”]

“Ketika dikatakan: ‘“Ini adalah empat kebenaran mulia”: ini, para bhikkhu, adalah Dhamma yang diajarkan olehKu yang ini tidak dapat dibantah, tidak kotor, tidak dapat disalahkan, dan tidak dapat dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana,’ karena alasan apakah hal ini dikatakan? Dengan bergantung pada enam landasan maka munculnya embrio [di masa depan] terjadi. Ketika munculnya embrio itu terjadi, maka ada batin-dan-bentuk; dengan batin-dan-bentuk sebagai kondisi, maka ada enam landasan indria; dengan enam landasan indria sebagai kondisi, maka ada kontak; dengan kontak sebagai kondisi, maka ada perasaan. Sekarang adalah bagi seorang yang merasakan maka Aku menyatakan: ‘Ini adalah penderitaan,’ dan ‘Ini adalah asal-mula penderitaan,’ dan ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan,’ dan ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’

[Note Kitab Komentar: Mengapakah Beliau memulai dengan cara ini? Untuk memudahkan pemahaman. Karena Sang Tathāgata ingin menjelaskan perputaran kedua belas kondisi, maka Beliau menjelaskan lingkaran dengan istilah ‘munculnya embrio (di masa depan)’. Karena ketika lingkaran telah ditunjukkan dengan munculnya embrio (di masa depan), maka bagian selanjutnya akan mudah dipahami. Enam elemen siapakah yang berfungsi sebagai kondisi, ibu atau ayah? Bukan keduanya, tetapi munculnya embrio (di masa depan) terjadi dengan dikondisikan oleh enam elemen dari makhluk yang sedang dilahirkan kembali.]

“Dan apakah, para bhikkhu, kebenaran mulia penderitaan? Kelahiran adalah penderitaan, penuaan adalah penderitaan, penyakit adalah penderitaan, kematian adalah penderitaan; dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan kesengsaraan adalah penderitaan; tidak mendapatkan apa yang diinginkan adalah penderitaan; singkatnya, kelima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan adalah penderitaan. Ini disebut kebenaran mulia penderitaan.

“Dan apakah, para bhikkhu, kebenaran mulia asal-mula penderitaan? Dengan ketidak-tahuan sebagai kondisi, maka [muncul] aktivitas-aktivitas berkehendak; dengan aktivitas-aktivitas berkehendak sebagai kondisi, maka kesadaran; dengan kesadaran sebagai kondisi, maka batin-dan-bentuk; dengan batin-dan-bentuk sebagai kondisi, maka enam landasan indria; dengan enam landasan indria sebagai kondisi, maka kontak; dengan kontak sebagai kondisi, maka perasaan; dengan perasaan sebagai kondisi, maka ketagihan; dengan ketagihan sebagai kondisi, maka kemelekatan; dengan kemelekatan sebagai kondisi, maka penjelmaan; dengan penjelmaan sebagai kondisi, maka kelahiran; dengan kelahiran sebagai kondisi, maka muncul penuaan dan kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan kesengsaraan. Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini. Ini disebut kebenaran mulia asal-mula penderitaan.

[Note Kitab Komentar : 438 Ini mungkin adalah contoh unik di mana kebenaran-kebenaran mulia asal mula dan lenyapnya penderitaan dijelaskan melalui seluruh dua belas faktor kemunculan bergantungan. Pada SN 12:43, II 72-73, asal-mula (samudaya) penderitaan dijelaskan melalui mata rantai dari kesadaran hingga ketagihan; lenyapnya (atthagama) melalui lenyapnya mata rantai dari ketagihan hingga penuaan dan kematian.]

“Dan apakah, para bhikkhu, kebenaran mulia lenyapnya penderitaan? Dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya ketidaktahuan maka lenyap pula aktivitas-aktivitas berkehendak; dengan lenyapnya aktivitas-aktivitas berkehendak, maka lenyap pula kesadaran; dengan lenyapnya kesadaran, maka lenyap pula batin-dan-bentuk; dengan lenyapnya batin-dan-bentuk, maka lenyap pula enam landasan indria; dengan lenyapnya enam landasan indria, maka lenyap pula kontak; dengan lenyapnya kontak, maka lenyap pula perasaan; dengan lenyapnya perasaan, maka lenyap pula ketagihan; dengan lenyapnya ketagihan, maka lenyap pula kemelekatan; dengan lenyapnya kemelekatan, maka lenyap pula penjelmaan; dengan lenyapnya penjelmaan, maka lenyap pula kelahiran; dengan lenyapnya kelahiran, maka lenyap pula penuaan dan kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan kesengsaraan. Demikianlah lenyapnya keseluruhan kumpulan penderitaan ini. Ini disebut kebenaran mulia lenyapnya penderitaan.

“Dan apakah, para bhikkhu kebenaran mulia jalan menuju lenyapnya penderitaan? Adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan ini, yaitu, pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar. Ini disebut kebenaran mulia jalan menuju lenyapnya penderitaan.

“Ketika dikatakan: ‘“Ini adalah empat kebenaran mulia”: ini, para bhikkhu, adalah Dhamma yang diajarkan olehKu yang tidak dapat dibantah, tidak kotor, tidak dapat disalahkan, dan tidak dapat dicela oleh para petapa dan brahmana bijaksana,’ adalah karena ini maka hal itu dikatakan.”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.

Konsultan Hukum HERY SHIETRA & PARTNERS