Antara HUKUM dan MORALITAS, HUKUM MORALITAS

ARTIKEL HUKUM

Ideologi Saling Memakan, Memakan atau Dimakan, Tiada Simbiosis Mutualisme Prinsip Resiprositas Bertimbal-Balik, Propaganda Anti Kesucian yang Bahkan Mendapatkan Legitimasinya dari Dogma Agama

Telah ternyata tidak sedikit kalangan pengusaha yang melakukan justifikasi diri, bahwa bila dirinya tidak bersikap “korup” seperti melakukan korupsi, kolusi, nepotisme, penipuan, dan segala bentuk sifat-sifat jahat, buruk, kotor, dan tercela lainnya yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan secara moril, etika bisnis, maupun nurani, maka dirinya tidak bisa berusaha dan mencari penghasilan. Bila yang bersangkutan hendak menggali “lubang kubur” bagi dirinya sendiri, maka itu urusan yang bersangkutan semata, potensi buah Karma Buruk untuk dipetik dikemudian hari bagi yang bersangkutan semata. Namun, “ada penjahat maka ada korban”, dimana sikap-sikap jahat akan selalu mengakibatkan jatuhnya korban dari pihak lain.

Namun, barulah menjadi tidak dapat dibenarkan, ketika sikap-sikap pragmatis tidak etis berupa pembenaran diri demikian justru dikumandangkan dan dinyatakan kepada publik, seolah-olah semua warga maupun umat manusia adalah mustahil dapat mencari nafkah tanpa merugikan ataupun mengeksploitasi hak-hak warga masyarakat lainnya, alias memiliki tendensi menyesatkan opini publik, tanpa “rasa malu” terlebih “rasa takut” berbuat jahat dan hina (dosa, pendosa, berdosa), itulah yang penulis sebutkan sebagai mendiskreditkan peradaban umat manusia, mempromosikan dan mengkampanyekan “dosa” selayaknya agen dari neraka yang bernama “iblis” atau “evil”.

Semestinya, dalam perspektif yang lebih manusiawi, humanis, terlebih “Tuhanis”, baik dosa, berdosa, maupun pendosa, adalah lebih tabu dan dicitrakan lebih kotor daripada kotoran apapun yang dapat kita temukan di muka bumi ini. bila seekor tikus maupun kotoran tikus sudah demikian menjijikkan, maka mengapa juga seorang manusia dapat menjelma menjadi seorang “tikus koruptor” dan menyentuh “dosa yang lebih kotor daripada kotoran tikus”? Seorang pengemis, tampaknya masih lebih mulia daripada mencari harta kekayaan dan kepemilikan materi dengan cara merampas hak-hak milik orang lain, yang bahkan tidak jarang merampok hak-hak orang lain yang lebih miskin daripada kondisi ekonomi dari sang pencuri, perampok, maupun sang penipu.

Lihatlah kasus-kasus korupsi oleh para aktornya yang bernama “koruptor”, memiliki kedudukan dan kekuasaan, bergelimang pangkat pada partai politik, bahkan duduk sebagai seorang menteri kabinet, memiliki nama besar, pengikut, berbagai properti, namun masih juga meng-korupsi hak-hak rakyat miskin seperti bantuan sosial dikala rakyat miskin sedang terjerat krisis ekonomi sekalipun. Artinya, keserakahan tidak mengenal kata “perut lapar”, yang lebih relevan ialah “mata yang lapar”, tidak terkecuali “bokong yang lapar” (lihat kasus Setya Novanto, telah menjabat ketua parlemen dan ketua partai politik, belum juga puas dan masih “lapar”)—dan kabar buruknya, mata serta pikiran yang mentalitas “kelaparan” tidak akan pernah terpuaskan terlebih mengenal kata “puas” dan “kenyang”, sebanyak apapun para korbannya berjatuhan.

Pernyataan pengusaha “korup” pragmatis demikian disaat bersamaan telah mendiskreditkan orang-orang “tersisihkan” yang selama ini mencari nafkah dengan cara-cara lurus, bersih, tanpa merugikan pihak manapun, tanpa eksploitasi, tanpa manipulasi, dan tanpa perbuatan tercela apapun. Betapa tidak disebut “tersisihkan”, menjadi pelaku usaha yang jujur ialah langka di republik “agamais” ini, disamping tersisih akibat Pegawai Negeri Sipil lain memberikan uang gratifikasi kepada atasannya agar dapat naik pangkat sehingga menutup jalan jenjang karir Aparatur Sipil Negara yang jujur bersih dari aksi suap-menyuap, pelaku usaha peserta tender yang tidak ber-kolusi dengan Pejabat Pembuat Komitmen tidak akan pernah berhasil memenangkan tender pengadaan barang maupun jasa apapun yang diselenggarakan oleh pemerintah di pusat maupun di daerah.

Mungkin, yang menjadi masalah, adalah salah bila hanya terdapat satu orang oknum pengusaha yang memiliki mentalitas “korup” demikian, tanpa malu dan bahkan merasa bangga membuat pembenaran diri dengan menyiarkan pandangan “korup”-nya tersebut kepada publik. Namun akan seolah tampak menjadi suatu “kelaziman”, ketika oknum-oknum tersebut menjelma “berjemaah”, terlebih mendapat legitimasi oleh berbagai dogma-dogma keyakinan keagamaan, bahwa seolah-olah menjadi “pendosa” yang “berdosa” (karena berbuat dosa) adalah “kodrat” serta “ritual pokok” umat manusia, dimana tiada konsekuensi yang cukup berarti dibalik aksi perbuatan “dosa” karena terdapat “escape clause” semacam iming-iming “penghapusan dosa” ataupun semacam terminologi “korup” lainnya bernama “penebusan dosa”.

Ketika republik “agamais” bernama Republik Indonesia ini berisi mayoritas orang-orang suci yang berusaha dalam rangka mencari nafkah secara lurus, jujur, terbuka, transparan, akuntabel, serta menaati rambu-rambu etika bisnis maupun kode etik berbisnis, maka satu orang oknum yang mengumandangkan promosi kampanye ataupun propaganda praktik usaha yang “korup” demikian akan seketika dicap sebagai “kontra revolusi” yang dipandang sebagai musuh yang sama berbahayanya dengan ideologi-ideologi semacam k0munisme, dan harus segera disingkirkan dan dibersihkan selayaknya bahaya dibalik ancaman ideologi radikalisme seperti ter0risme, agar tidak menjadi “agen pembuat pencemaran sosial”.

Diharapkan ilustrasi sederhana berikut, dapat menjadi gambaran yang cukup simbolik mengambarkan kondisi faktor penyebab lemahnya penindakan hukum di Indonesia. Di Jepang, pernah terdapat sejarah peradilan yang cukup menarik, pada salah satu provinsi di Jepang, terletak satu buah wilayah yang selama beberapa tahun terakhir dalam kondisi penuh kedamaian, membuat kalangan penyidik polisi “mati bosan” dan terobsesi untuk mencetak prestasi seperti menangkap pelaku kejahatan, agar tidak dapat disebut sebagai “makan gaji buta”. Akibatnya, ketika pada suatu hari terdapat kejadian tindak kriminal berupa pemerasan disertai ancaman pembunuhan dalam sebuah pesan kaleng kepada seorang warga setempat, polisi segera mengambil tindakan secara cepat dan efektif.

Ternyata, pelaku uang dijadiakn tersangka ialah seorang remaja, alias “kenakalan remaja”. Meski begitu, kepolisian tetap memprosesnya dengan sangat tegas dan seefektif mungkin (diliputi semangat karena pada akhirnya mereka mendapat “kasus” untuk dikerjakan), berlanjut pada tahap penuntutan yang berapi-api oleh pihak Jaksa Penuntut di hadapan persidangan. Meski pada akhirnya sang hakim membebaskan sang remaja yang menjadi terdakwa pelaku pemerasan dan ancaman pembunuhan, namun tampaknya hakim memandang “kenakalan remaja” demikian masih dapat dikoreksi lewat pendidikan dalam “rumah-tangga” (keluarga) maupun pendidikan formil di sekolah pasca peristiwa ini terjadi dan disidangkan.

Terlepas dari pro dan kontra pendirian hakim demikian (yang tampaknya akan menjadi bumerang bila sikap sang hakim ditiru dan diterapkan secara utuh di Indonesia, negeri dimana kejahatan dan penjahat berkeliaran begitu masifnya di setiap ruas jalan ibukota), yang seolah-olah melepaskan pelaku kejahatan dan terhadap kejahatan yang dilakukan oleh sang remaja yang tetap saja tidak dapat dibenarkan sifatnya, akan tetapi yang menarik dari kisah nyata demikian ialah ketika suatu negeri sangat minim kasus-kasus kejahatan, bahkan langka peristiwa kriminalitasnya (bertolak-belakang dengan kondisi di Indonesia), maka pihak aparatur penegak hukum akan cenderung dengan penuh kebanggaan, kesigapan, serta keseriusan menindak setiap pelaku kejahatan dan tidak mentolerir setiap jenis kejahatan apapun di tengah-tengah masyarakat yang dilindungi oleh para aparatur penegak hukum. Sebaliknya, di Indonesia, bagaikan kasus-kasus kejahatan yang sepanjang hari dan sepanjang tahun kian membanjiri, menjelma “over crowded” di kepala aparatur penegak hukumnya, akibatnya isi kepala sang penegak hukum menjadi “macet”.

Fase tahap kedua dari justifikasi diri para pelaku usaha “korup”, ialah apa yang dapat kita namakan sebagai mengenakan jubah “alasan pembenar” yang tampak agung untuk menyelubungi aroma bau busuk yang terpancar dari dalam dirinya, yakni menyabotase nama Tuhan. Betapa tidak, rencana jahatnya untuk berbisnis secara merugikan orang lain, bahkan merugikan konsumen pemberi bayaran yang disalah-gunakan kepercayaannya, menghadapi tantangan suara batin dan nurani yang bahkan dibungkam dan “dibunuh” oleh sang pelaku tidak bermoral itu sendiri. Cara satu-satunya yang dapat ditempuh oleh kalangan “korup” demikian ialah, membuat alibi seolah-olah semua ini adalah rencana dan seizin Tuhan, dimana bila Tuhan tidak berkehendak maka tidak akan terjadi.

Artinya, keberhasilan sang pelaku usaha dalam menipu ataupun merugikan rekan bisnisnya, konsumennya, maupun masyarakat luas, dan memperoleh keuntungan demi kepentingan pribadinya semata, adalah sebentuk “rezeki” yang diberikan langsung dari Tuhan. Meningat bila Tuhan tidak merestui, maka “rezeki” itu tidak akan pernah mampu diraih olehnya ataupun sampai ke tangannya, sehingga bila kejahatan berhasil dilakukan, itu sama artinya “izin” dari Tuhan, “license to being fraud”. Bahkan, konon, para koruptor meyakini bahwa dana hasil korupsi yang berhasil dihimpun olehnya, merupakan “rezeki” dari Tuhan, yang artinya juga telah disetujui disamping diberikan restu oleh Tuhan, bahkan juga telah direncanakan oleh Tuhan, sehingga baik hukumnya untuk dimakan apa yang diberikan dan dianugerahkan oleh Tuhan.

Dengan cara demikianlah, alibi sempurna yang menjadikan sosok “Tuhan” sebagai “alasan pembenar” dalam rangka pembenaran diri. Sejatinya, masyarakat kita senantiasa memposisikan dirinya sebagai seorang “nabi” dadakan, yang seolah-olah tahu betul apa yang dikatakan dan dikehendaki oleh Tuhan, atau mungkin bahkan sebaliknya, menyandera mulut dan lidah Tuhan, atau mungkin pula menjadikan “Tuhan” mulut dan lidah sang pelaku kejahatan. Penghiburan diri dan pembenaran diri, ternyata selisih tipis adanya. Tiada yang lebih menista nama Tuhan, selain pihak-pihak dan mereka-mereka yang mengatas-namakan Tuhan atau yang seolah mampu “membaca isi pikiran dan menerka keputusan” Tuhan (lihat kasus wabah akibat pandemik Corona Virus Tipe-2, disebutkan oleh masyarakat Indonesia bahwa virus menular mematikan tersebut adalah “azab dari Tuhan”).

Jangankan koruptor “kelas kakap”, pengusaha peserta tender besar, untuk para pedagang kecil menggunakan makanan dan minuman dalam gerobak, penjual sayur-mayur di pasar, penjual asongan, pedagang kecil, dan berbagai kalangan pelaku usaha kecil, mikro, menengah, hingga besar dan raksasa di Indonesia, kesemuanya rata-rata dan mayoritasnya justru menampilkan karakter “wajah” serupa, sebagaimana pengalaman pribadi penulis selama hampir separuh abad lamanya lahir dan tumbuh besar di Indonesia, sehingga memiliki hak untuk mengutarakan testimoni penuh kejujuran demikian. Sudah tidak terhitung lagi jumlah kejahatan, disakiti, dirugikan, dilukai, dan menjadi korban berbagai modus penipuan oleh sesama anak bangsa.

Ketika polanya selalu sama, serupa, sistematis, meluas, tidak pandang usia maupun buluh, gender, etnik, asal wilayah, asal kesukuan, tingkat pendidikan, warna kulit, maka “kelaziman” menjelma menjadi sebentuk budaya, yang mana budaya pada gilirannya mengarahkan mentalitas bangsa kita menuju apa yang kiat sebut sebagai adat-istiadat, dimana adat istiadat pada gilirannya mengarahkan nasib bangsa kita menuju apa yang dinamakan sebagai kodrat dan jati diri bangsa.

Karena sifatnya telah demikian “mendarah daging”, maka antara sikap-sikap penuh kecurangan dan kepalsuan yang jauh dari sifat-sifat kejujuran tidak lagi dapat dipisahkan dari mentalitas Bangsa Indonesia, maka satu-satunya nasehat paling bijaksana bagi masyarakat yang masih bertempat-tinggal di wilayah Indonesia ialah agar senantiasa menaruh waspada serta menyisakan ruang “negative thinking” (kecurigaan) dalam rangka melindungi diri agar tidak “termangsa” oleh para “manusia predator ‘Made in Indonesia’” sang “serigala bagi sesamanya”. Bagaikan makan nasi tanpa garam rasanya kurang lengkap, demikian para pelaku usaha kecil hingga raksasa di Indonesia berkegiatan pada kesehariannya, seolah-olah tidak lengkap berusaha tanpa melakukan praktik kecurangan dan kejahatan yang merugikan para korbannya.

Hidup dan menetap bertempat-tinggal di Indonesia, bukanlah dan tidak pernah menjadi hal mudah, semata karena “jika tidak memakan maka akan dimakan”. Bila tidak menjadi pelaku usaha yang tidak jujur dan “memakan” para konsumen pengguna jasa ataupun pengguna produk, maka menjadi pelaku usaha yang jujur justru menjadikan posisi kita menjadi rentan disalah-gunakan serta dieksploitasi oleh para warga yang “tidak malu” bahkan “tidak takut” merampok hak-hak dan nasi dari piring milik profesi orang lain yang sedang mencari nafkah—seolah-olah kita hidup pada negeri dimana kita disudutkan dan harus memilih satu diantara kedua opsi berikut, yang lagi-lagi pilihan antara “memakan atau dimakan”, seolah-olah tidak mengenal budaya “tidak saling memakan dan saling menghormati satu sama lainnya”, dimana bahkan kita harus memohon-mohon agar “tidak dimakan” dan seolah-olah harus berterima-kasih karena telah tidak memakan kita, sungguh berat dan itulah bagian terberat hidup di republik yang justru terjajah oleh bangsa sendiri.

Pada suatu waktu, penulis yang jelas sedang mencari nafkah profesi sebagai seorang Konsultan Hukum yang menjual jasa konseling seputar hukum, seseorang yang merupakan pengurus suatu tempat ibadah (dapat kita bayangkan moralitas maupun mentalitasnya, pengurus sekretariat suatu tempat ibadah. Bila pengurus tempat ibadah saja berperilaku tercela dan demikian hina, terlebih umat awam?) menyalah-gunakan nomor kontak kerja penulis, melanggar peringatan “syarat dan ketentuan layanan” (aturan main profesi penulis), semata untuk memperkosa profesi penulis dengan menggunakan identitas palsu mengaku-ngaku dari sebuah perusahaan pada suatu daerah lain. Terpaksa, sebagai tanggapan, penulis memberikannya hadiah “surat cinta” berupa puisi berikut:

Rupanya begitu ya ajaran agama *****, pantas umatnya pada TIDAK TAKUT DOSA DAN MENJADI PENDOSA.

Berdosa tapi mengharap masuk surga?

Orang KORUP bagai mengharapkan ajaran KORUP, sempurna.... Sesatnya.

Hendak berbuat dosa kepada siapa lagi, wahai PENDOSA TUKANG BUAT DOSA?

Dosa kok dikoleksi.

Surga macam apa itu isinya PENDOSA SEMUA? SURGA YANG KORUP!

Sudah berbuat dosa kepada berapa banyak korban, wahai kau umat agama *****?

Siapa lagi korban kalian selanjutnya, wahai PENDOSA?

Bangga ya jadi PENDOSA?

Menyembah dosa dong kalian, para PENDOSA?

Kok mendadak diam, hanya seperti itu saja modus dosa kalian? Mendadak alim?

Pendosa ceramah soal kesucian? Apa tidak salah?

Pendosa ya ceramah soal modus how to menipu, mencuri, memperkosa.

Sedang pikirkan modus dosa baru ya?

Penipu menyembah penipu.

Penipu Tuhannya penipu.

Penipu agamanya penipu.

Umat PENIPU.

Agama PENIPU.

Dosa, berbuat dosa, berdosa, dan menjadi pendosa, adalah hal yang memalukan, dan adalah tidak dapat dibenarkan ketika suatu keyakinan keagamaan membuatnya tampak lazim, tidak tabu, bahkan dengan bangga dikoleksi terlebih mengumbar iming-iming “penghapusan dosa”, “penebusan dosa”, ataupun dogma-dogma “korup” lainnya. Keyakinan keagamaan yang lebih humanis, lebih mengutamakan pendekatan pro terhadap korban kejahatan dan jiwa ksatria penuh tanggung-jawab, mawas dan kontrol diri, kesucian, empati dan daya simpatik (mampu prihatin dan turut merasakan), serta praktik keluhuran karakter seperti kejujuran tanpa merugikan ataupun menyakiti tidak manapun.

Kalangan rakyat jelata kita tidak kalah jahatnya dengan para elit politik korup, dimana tidak jarang kita jumpai pedagang makanan dan sayur baik penjual makanan dan minuman dalam gerobak maupun di pasar tradisional, selain menipu uang konsumen, namun juga merusak kesehatan konsumennya sendiri dengan TANPA rasa bersalah ataupun rasa takut akan akibat perbuatannya bagi kesehatan dan keselamatan, tampak menikmati profesi “menipu dan merusak”-nya, bahkan menjadikan kegiatan “menipu dan merusak” sebagai profesi utamanya, serta dapat dipastikan akan lebih galak sang pelaku ketika konsumennya melakukan teguran saat menyadari telah ditipu dan disakiti kesehatannya oleh sang pelaku. Itu sikap mereka terhadap konsumen yang membayar, bagaimana dengan sikap-sikap terhadap yang bukan konsumen? Lihatlah bagaimana bangsa ini tanpa rasa malu ataupun takut mencelakai para “per0k0k pasif” sementara sang pelaku menikmati candu nikotin.

Sendi-sendi moralitas bangsa pada republik ini telah amat sangat keropos, rapuh, ringkih, namun dibalut oleh pencitraan busana “agamais” maupun jargon-jargon dan bendera-bendera sentimentil keagamaan yang unjuk gigi serta unjuk kekuatan fisik (kekerasan fisik). Untuk urusan makanan yang masuk ke dalam mulut, masyarakat Indonesia demikian disiplin dan patuh tanpa cacat. Namun, karena fokusnya ialah kepada apa yang masuk ke dalam mulut, bukan apa yang keluar dari mulut ataupun perbuatan mereka, akibatnya ialah seperti wajah realita bangsa ini pada hari ini sebagai manifestasinya, dimana untuk urusan menjadi suporter pertandingan sepak bola kerap terjadi tawuran antar sesama anak bangsa—itu baru urusan sepak bola, sekadar sebagai penonton pula, bagaimana dengan hal lain dimana mereka sebagai pemainnya?

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.

Konsultan Hukum HERY SHIETRA & PARTNERS