ARTIKEL HUKUM
KRITIK, Musuh ataukah Kawan? TEGURAN, Serangan
ataukah Welas Asih? Kritik Bukanlah Musuh ataupun Serangan dan Ancaman,
karenanya Tidak Perlu Ditolak, ia Menyerupai Pil Pahit dan yang Pahit Tidak
Perlu Selalu Dibuang
Semua Kritik, Teguran, dan Celaan, sifatnya Netral. Namun
Sikap dan Respons Kita yang Memberinya Makna, sebagai Harus Marah ataukah
Berterimakasih
Pepatah menyebutkan, yang pahit jangan langsung dibuang, dan yang manis jangan langsung ditelan. Bukankah irasional sekaligus tampak saling kontradiktif, klien pengguna jasa konsultasi seputar hukum yang penulis bawakan serta selenggarakan, dengan berbesar hati bahkan rela membayar sejumlah tarif profesi, semata untuk diberikan kritik serta koreksi atas perbuatan hukum maupun rencana bisnis yang bersinggungan dengan isu hukum, begitupula saran dan masukan (kritik) terkait draf kontrak niaya yang hendak ditanda-tangani olehnya, untuk penulis tunjukkan dimana letak kekeliruan atau kelemahannya agar dapat diperbaiki dan dikoreksi sebagai langkah preventif.
Namun, disaat bersamaan, tidak
sedikit kuantitas warga kita, yang mengajukan komplain ketika mendapat sebuah
teguran maupun kritik, sebagai akibat minimnya keterbukaan pikiran maupun prinsip
akuntabilitas dan transparansi diri. Sebagai seorang warga serta sebagai
sesama penduduk, idealnya dan seyogianya kita bersikap profesional, dalam
artian profesional terhadap diri kita sendiri dan juga profesional terhadap
orang lain—dengan cara bergitulah, bangsa dan negara menjadi solid, kohesi
sebagai perekat sosial sebagai ketahanan budaya, saling ber-“simbiosis
mutualisme”, serta kuat (tangguh, kompetitif, serta berdaya).
Manajemen serta seni
manajerial, bukan hanya perihal bagaimana membangun relasi dengan rekan bisnis
dan pegawai, namun juga manajerial dalam membawa diri sendiri, semisal mampu
secara berkepala dingin mencermati setiap kritik dan teguran yang dialamatkan
kepada kita, disamping kesiap-sediaan untuk mengoreksi diri dalam rangka
perbaikan dan penyempurnaan diri. Bisa jadi yang mengkritik kita itulah, yang
benar, namun juga bisa jadi keliru adanya. Namun pula, kita perlu jujur dan
terbuka pada diri sendiri, bahwasannya kita sendiri pun kerap berbuat keliru,
sehingga peluangnya tetap berpotensi “bisa benar, bisa juga keliru”. Dengan tidak
membantah (“mengalah”), bukan berarti kita mengakuinya (“kalah”). Dengan bersikap
terbuka, setidaknya kita mendapatkan “feedback”
yang bisa jadi sangat berharga bagi kita di masa mendatang, sepahit apapun itu
komentar yang ditujukan kepada kita, yang tidak jarang menyerang personal pribadi
kita.
Disebut sebagai “komun!s”,
semata karena dianggap “anti kritik”. Pada satu sisi, bangsa Indonesia mengaku
sebagai “anti komun!sme” serta menolak “komun!s”. Namun ironisnya pada sisi
lain, watak atau perangai bangsa ini persis seperti pemimpin negara-negara “tangan
besi” yang mereka tolak serta anti-kan. Bagi warga yang anti (terhadap) kritik,
silahkan hijrah ke negara-negara “tangan besi” tersebut, menjadi bagian dari rakyat
yang “komun!stik” untuk dipimpin oleh seorang Kepala Pemerintahan yang juga “komun!stik”,
barulah tepat pada tempatnya. Namun negara sekaliber “demokratis”, bukanlah
tempat yang layak bagi mereka untuk menjadi warga yang saling berbagi ruang
hidup, ruang nafas, serta ruang gerak.
Terdapat sejenis kecerdasan
yang menurut teori perihal IQ (bukan EQ), disebut sebagai “kecerdasan intra-personal”,
yakni semacam kecerdasan yang mana seseorang mampu melakukan introspeksi diri tanpa
perlu menunggu mendapat teguran dari orang lain. Beranjak dari IQ inilah,
seseorang mengembangkan kecerdasan turunannya yang disebut sebagai “kecerdasan inter-personal”—yang
mana uniknya, “kecerdasan inter-personal” ini tergolong juga sebagai EQ.
Dengan kata lain, EQ merupakan kecerdasan
derivatif yang berakar dari IQ. Itulah juga sebabnya, tiada EQ yang tidak dapat
dilacak keberadaan IQ yang bersangkutan, yang mana seringkali linear adanya,
dan itulah yang paling menarik dari studi pribadi yang penulis lakukan dewasa
ini, sekalipun banyak pihak yang secara sinis menampik fakta demikian dan lebih
memilih hidup dalam kelirumologi yang mencoba (secara memaksakan diri)
memisahkan antara IQ dan EQ maupun SQ. Fakta yang penulis kemukakan demikian
merupakan hasil pengamatan dan observasi pribadi penulis selama sekian lamanya,
sebenarnya dapat masing-masing dari kita buktikan sendiri dalam keseharian,
dimana data empirik berlimpah ruah bilamana kita membuat pengamatan kita lebih
peka dan lebih elaboratif, serta secara lebih jujur pada diri kita sendiri.
Masing-masing dari kita,
bukanlah “produk” yang sudah sempurna dari sananya. Kita masih harus dan perlu
memperbaiki diri, mengintrospeksi diri, serta menyempurnakan diri kita sendiri,
dalam rangka sebagai makhluk yang masih perlu untuk terus “menjadi”. Menyempurnakan
diri, itulah misi suci hidup kita, dalam rangka hidup yang lebih bermakna,
tidak menyerupai “manusia hewan”, namun sebagai “manusia manusia” atau bahkan
derajat yang lebih tinggi, “manusia dewa”.
Bercermin diri, setidaknya
terbuka dan bila Anda berani dan serius, meminta feedback dari pihak eksternal diri, bilamana kita tidak memiliki
cermin di kediaman rumah atau kantor kita untuk refleksi diri. Kita tidak dapat
disebut sebagai seorang “manusia” hanya karena dilahirkan dalam tubuh seorang “manusia”
atau karena dilahirkan oleh sepasang “manusia”, namun adalah perilaku kita yang
menentukan apakah kita layak untuk disebut sebagai seorang “humanis” ataukah bahkan
dikategorikan sebagai “Tuhanis”, atau bahkan sebaliknya, “hewanis”, “premanis”,
dan “predatoris”. Yang manakah masing-masing dari kita?
Kini, mari kita kaji bersama
dalam tataran psikologi perilaku sang “homo
sapiens”. Terdapat unsur pembeda, ketika seseorang justru meminta pendapat,
masukan, hingga kritik (bila kita belum benar-benar mampu menguasai diri,
jangan menantang diberi sejumlah kritik. Setidaknya, biarkan orang lain
mengkritik, tanpa kita beri respons reaktif yang berlebihan), alih-alih menolak
komentar, terhadap mereka yang secara sebaliknya justru menolak segala pendapat
maupun kritik dan celaan orang lain, yakni derajat antara faktor “motivasi”
dan “demotivasi”. “Motivasi”, merupakan unsur penggerak serta
akselerasi. Sementara itu, “demotivasi” merupakan unsur penghenti laju
akselerasi. Ini menyerupai fungsi “pedal akselerasi” dan “pedal deselerasi”
pada mesin kendaraan bermotor.
Ketika seseorang menyadari
dengan pikiran yang terbuka dan pandangan jernih, bahwa berbuat jahat (menanam
Karma Buruk, dosa) adalah memalukan dan menakutkan—maka itu menjelma
“demotivasi” bagi yang bersangkutan untuk senantiasa mawas diri guna
menghindari perilaku keliru serta tidak melakukan perbuatan jahat sekecil
apapun. Disaat bersamaan, ia akan memiliki “motivasi” untuk menjadi orang baik,
tidak melakukan kejahatan, mawas diri, serta (bila perlu) menjadi orang suci
yang bebas dari noda dan cela apapun. “Motivasi” itulah, yang mendorong dirinya
untuk terbuka bahkan meminta masukan hingga kritik yang dapat menjadi input
serta cerminan objektif bagi dirinya untuk memperbaiki diri serta bertumbuh. Kita
cenderung subjektif terhadap diri kita sendiri, itulah sebabnya kita perlu dan
membutuhkan pandangan yang lebih objektif, salah satunya input dari pihak
eksternal.
Sama halnya, ketika seorang
pelaku usaha tidak ingin terjerumus dalam “permainan maut” (deadly game) dengan secara serampangan
menanda-tangani dokumen yang memiliki kekuatan hukum, maka sang pengusaha akan
meminta pendapat serta saran dan masukan dari profesional dibidang hukum, dan
menuruti setiap rekomendasi dan langkah-langkah yang disampaikan oleh sang
profesional tanpa melewatkan satupun panduan serta koreksi yang diberikan—itulah
contoh sederhana yang mencerminkan betapa “motivasi” dan “demotivasi” bagaikan
dua sisi yang ada pada satu keping yang sama.
Aliran utiliarianisme
menyebutkan, manusia cenderung menghindari hal-hal yang tidak mereka sukai
(seperti menyakitkan, derita, dsb), dan akan condong bergerak mendekati atau
mengikuti hal-hal yang mereka anggap atau komunitasnya anggap sebagai
menyenangkan dan menggembirakan (perhatikan frasa yang penulis garis-bawahi,
penjelasannya cukup panjang dan akan kita bahas bersama pada lain kesempatan).
Manusia diyakini akan takut ketika diancam akan dimasukkan ke neraka bila
berbuat buruk (“demotivasi”), dan diiming-imingi alam surgawi bila menjadi
manusia yang baik (“motivasi”). Masalahnya, umat manusia kerap dicengkeram
oleh cara berpikir yang irasional (akal sakit milik orang sakit) disamping
budaya atau kebiasaan masyarakat kita yang cenderung “dungu” serta “tidak
sehat”.
Contoh, banyak asumsi yang
berkembang secara umum menjelma “kelaziman” serta “kebiasaan umum”, bahwasannya
meneguk minum-minuman keras, menghisap bakaran produk tembakau, ataupun mabuk
akibat obat-obatan terlarang, pergaulan bebas, merupakan hal yang menyenangkan,
“keren”, gaul, serta tren untuk bisa bersosialisasi dalam pertemanan maupun
pekerjaan, bisnis, maupun kepentingan lainnya. Sang Buddha menyebutkan,
apa yang disebut sebagai menyenangkan oleh orang banyak, merupakan upaya
menyiksa diri sendiri menurut Sang Buddha. Sebaliknya, apa yang disebut
sebagai derita dan tidak menyenangkan serta dijauhi oleh orang banyak,
merupakan upaya yang menolong diri sendiri menurut Sang Buddha.
Contoh, apakah alam surgawi
idealnya dicitrakan sebagai “rumah b0rdil raksasa” ataukah “pusat meditasi
raksasa”, pilih mana? Itulah sebabnya, Sang Buddha adalah sosok yang
berani “tampil beda” serta “melawan arus” kebodohan yang banyak mengusai umat
manusia dimana kekotoran batin menutupi pandangan mereka sehingga tidak
jernih—bahkan racun pun dikonsumsi, mencelakai diri sendiri dan orang lain. Mengikuti
budaya atau kebiasaan “mainstream”,
terkadang ibarat mengalir bersama air, dimana sifat natural atau alamiahnya
ialah bergerak kebawah, bukan keatas.
Contoh cara berpikir (mindset) paling irasional, dapat kita
jumpai pada ideologi penuh iming-iming “too
good to be true”, suatu dogma yang baru kita kenali sejak lahirnya “agama
samawi”, bernama “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan
dosa”, dimana seorang pendosa alih-alih merasa risih dan jijik menjadi
seorang pendosa, justru kini berlomba-lomba menimbun diri dengan segunung
dosa—yang mana masih pula merasa terjamin telah mendapat “tiket masuk” menuju
alam surgawi saat ajal menjelang.
“Penghapusan / pengampunan
dosa” maupun “penebusan dosa” mana, semudah serta segampang “lip service” dengan menyembah, sembah
sujud, mengucapkan puja-puji, menyanyikan lagu pujian, yang mereka sebut
sebagai “melayani Tuhan” yang digambarkan menyerupai “raja tiran yang lalim”
karena akan murka ketika tidak disembah dan dipuja-puji, dan akan memberi
hadiah “nikmat” serta senang ketika disembah-sujud dan diberikan puja-puji.
Ajaran demikian bertolak-belakang dengan ibadah Buddhistik dimana ritual
umatnya ialah “ovada pattimokha”,
yang terdiri dari : menghindari perbuatan buruk (karenanya tidak
membutuhkan iming-iming “korup” sedemikian rendahnya), berbuat kebajikan
(menanam benih Karma Baik untuk dipetik sendiri buah manisnya dikemudian hari
alih-alih mengemis-ngemis dan meminta-minta kepada “langit” agar dijatuhkan
kebahagiaan dari atas langit, sebagai “hak untuk menentukan nasib sendiri”),
serta mensucikan pikiran (lewat dana,
sila, dan samadhi).
Karenanya, yang dikejar
kemudian oleh para “agamais” tersebut, bukanlah lagi menghindari neraka dan
mengejar surga, namun berfokus pada iming-iming “korup” semacam “penghapusan /
pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”, dimana adalah “merugi” bila
menjadi orang suci (suciwan) yang tidak membutuhkan iming-iming “korup”
demikian, juga adalah merugi menjadi seorang ksatria yang memilih untuk
bertanggung-jawab terhadap para korban mereka alih-alih melarikan diri,
berkelit, dan meminta agar dihapus dosa maupun hukumannya—seolah-olah sejarah
dapat dihapus (untuk lebih mendalam, silahkan telusuri istilah berikut : “Akashic Records”, dimana tiada
detail apapun dari perbuatan kita yang luput dicatat oleh gudang “Ingatan
Universal dalam Database Semesta” ini).
Postulatnya sangatlah
sederhana, yakni : Hanya seorang pendosa, yang membutuhkan iming-iming “penghapusan
/ pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”. Menjadi pula pertanyaan besar
untuk kita ajukan bersama, apakah berhak seorang pendosa hendak berceramah dan
menasehati umat lainnya untuk bersikap baik, luhur, agung, serta mulia? Sesama
pendosa dan sesama pemakan ideologi “korup” (para “korup”) hendaknya tidaklah
saling mencoba menasehati sesamanya untuk menjadi suciwan—bercerminlah lewat
teladan diri Anda sendiri, seorang “suciwan” ataukah seorang “pendosa”?
Itulah sebabnya, para pemeluk
ideologi “korup” semacam “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan
dosa”, akan menolak segala bentuk kritik maupun celaan, setercela, sejahat, dan
seburuk apapun perilaku dan perbuatannya, semata karena tidak pernah merasa
butuh untuk memperbaiki diri serta (termakan delusi, terdelusi) telah terjamin
masuk surga (“demotivasi”) berkat memakan dan menjadi pemeluk iming-iming “penghapusan
/ pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”.
Justru, adalah merugi dan
menjadi rugi, bilamana tidak mencetak segudang dosa, mengoleksi dosa, menimbun
diri dengan segunung dosa, berkubang dalam dosa, dimana umat lain melakukan
segala dosa dan maksiat tersebut namun tetap masuk surga, karenanya agar tidak
mubazir, “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa” perlu
digunakan dan dimanfaatkan dengan baik (“motivasi”). Bagi mereka, menjadi
suciwan dan ksatriawan, barulah merugi dalam arti yang sesungguhnya
(“demotivasi”). Mereka, menjelma pendosa dalam arti harfiah—serta “surga bagi
para pendosa”, sesuatu hal yang mustahil serta pernah tidak dikenal sebelum
terciptanya “agama samawi” di muka Bumi ini.
Apakah ada diantara Anda, yang
berminat menghuni surga yang sama dengan para pendosa tersebut? Jika “surga bagi
para pendosa” demikian memang eksis adanya, maka itu sama artinya
menyerupai “dunia manusia jilid kedua”, dimana lagi-lagi para penghuninya
melakukan kejahatan dan dosa, maksiat, atau apapun sebutannya, dan yang
terburuk ialah tiada penjara, aparatur penegak hukum, ataupun penegakan hukum,
semata-mata karena semua penghuninya (para pendosa) adalah para “agamais” yang
rajin beribadah (dengan cara sembah-sujud, puja-puji), sehingga kondisi “surga
para pendosa” tersebut jauh lebih kacau, lebih berantakan, lebih biadah, lebih
rusak, lebih korup, lebih berandal, lebih merana, lebih porak-poranda, dan
lebih mengenaskan daripada dunia manusia di muka Bumi ini—dimana tiada
perlindungan sama sekali bagi penghuninya yang dijadikan sebagai korban.
Bagaimana mungkin, bila seorang
hakim di pengadilan, mendengarkan suara dan aspirasi pihak korban saat mengadili
sang pelaku kejahatan, Tuhan (justru) digambarkan bahkan lebih pro terhadap
seorang pendosa alih-alih mendengarkan kehendak dan menegakkan keadilan bagi
para korban? Perhatikan analogi berikut : Untuk memuliakan dan menjaga nama baik
keluarga, jadilah anggota keluarga serta anggota komunitas yang berprestasi serta
“bersih”. Sebaliknya, untuk mencoreng nama keluarga, jadilah anggota keluarga
dan komunitas yang “kotor”.
Karenanya, menganggungkan nama
dan sosok Tuhan, ialah lewat perbuatan luhur kita secara nyata di keseharian
terhadap dunia, alam, makhluk hidup, dan sesama manusia. Tuhan, sudah utuh dan
penuh, tidak pernah membutuhkan segala puja-puji maupun sembah sujud, bahkan tidak
diakui oleh seluruh umat manusia sekalipun tetap saja Tuhan tidak berkurang
satu inci pun. Ketika eksistensi Tuhan ditentukan oleh diakui serta disembah
atau tidaknya oleh umat manusia, maka betapa “ringkih” Tuhan demikian, terancam
punah dan sirna sewaktu ketika “agama samawi” ditinggalkan umat manusia.
Kita sendirilah, yang masing-masing
perlu secara berdaya mulai belajar untuk lebih bertanggung-jawab atas hidup kita
sendiri sebagai umat manusia, dengan bersikap egaliter dan meritokrasi, yakni
kita memetik apa yang kita tanam sendiri. Yang menabur derita, akan
menuai derita. Yang menabur kebaikan, akan menuai kebahagiaan. Alih-alih,
meminta dan mengemis-ngemis dengan bayarannya berupa menjadi “budak” praktik
ritual sembah-sujud. Tidak ada yang benar-benar dapat kita curangi dalam hidup
ini, itulah pesan dibalik Hukum Karma.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.