Untung Ada HUKUM KARMA, Korban Tidak Perlu Takut bila Pelaku Tidak Bertanggung-Jawab atas Perbuatannya juga Tidak Perlu Mengemis-Ngemis agar Pelakunya Bertanggung-Jawab

SENI SOSIAL

Seri Artikel Sosiologi bersama Hery Shietra

Jika Anda merupakan Korban, jadilah Korban yang Berdaya dan Tegar alih-alih Korban yang Tidak Berdaya, Setidaknya dari Segi Pikiran dan Kejiwaan

Tanggung-Jawab, Kepentingan Siapakah, Korban atau Pelaku?

Question: Apa yang harus kita katakan, sebagai korban, agar orang yang telah merugikan kita mau bertanggung-jawab? Mengapa kesannya seolah, kita selaku korban yang harus merasa takut agar tidak jadi korban akibat perbuatan orang lain, bahkan merasa takut pula ketika pelakunya tidak mau bertanggung-jawab, bahkan korban pula yang terkesan harus mengemis-ngemis agar pelakunya mau bertanggung-jawab atas perbuatannya yang telah merugikan kami?

Brief Answer: Sang Buddha tidak pernah mengemis-ngemis agar orang lain tidak menyakiti Beliau, juga tidak pernah mengemis-ngemis agar pelaku yang melukai ataupun menyakiti Sang Buddha agar bertanggung-jawab atas perbuatannya yang telah menyakiti maupun melukai Beliau, bahkan Sang Buddha tidak pernah mengemis-ngemis belas kasih orang lain maupun kepada penjahat mana pun atas dasar perasaan takut dilukai maupun takut disakiti. Pertanyaannya, mengapa Sang Buddha demikian elegan, solid, serta tidak berpenakut? Jawabannya ialah semata karena Sang Buddha tahu betul bahwa sang pelaku kejahatan sejatinya sedang menunggu waktu hingga buah Karma Buruknya yang telah pernah menyakiti Sang Buddha akan matang untuk ia petik sendiri.

Seringkali, berdasarkan pengalaman pribadi penulis, kalangan korban terlebih dahulu dicekam ketakutan bahwa pelaku kejahatan yang telah merugikan, melukai, maupun menyakiti sang kotban, tidak akan bertanggung-jawab—seperti yang sudah-sudah, budaya masyarakat kita di Indonesia masih menampilkan corak watak “buat dosa, siapa takut?!” disamping ideologi korup semacam “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”, sekalipun kita ketahui juga bahwa “hanya seorang pendosa yang membutuhkan penghapusan dosa”—sehingga alhasil daya tawar korban menjadi lemah dan rendah jatuh ke titik nadir, semata karena bersikap seolah korban yang “butuh” sang pelaku untuk bertanggung-jawab atas perbuatannya, semata karena pelakunya menangkap kesan bahwa sang korban yang justru mengemis-ngemis kepada sang pelaku (semacam manipulasi putar-balik logika moril, dimana sejatinya pihak pelaku-lah yang paling berkepentingan untuk bertanggung-jawab atas perbuatannya, agar tidak memiliki “hutang dosa” apapun kepada korbannya).

Sehingga, kiat paling utama dan yang menjadi P3K (Pertolongan Pertama Pada Korban) bagi kalangan korban manapun yang telah disakiti, dilukai, maupun dirugikan oleh pihak lain, ialah jangan takut dan jangan menampilkan kesan bahwa diri Anda dicengkeram oleh ketakutan bahwa pelakunya tidak akan bertanggung-jawab atas perbuatannya terhadap kita. Dengan begitu, tidak akan timbul kesan seolah kita selaku korban yang membutuhkan mereka, sang pelaku kejahatan yang telah menjahati kita secara tidak bertanggung-jawab.

Karena kita tidak takut dan siap bila pelakunya benar-benar tidak bertanggung-jawab, maka kita tidak perlu mengemis-ngemis kepada sang pelaku. Pelaku yang cerdas dan memahami cara kerja Hukum Karma, ialah yang paling berkepentingan untuk membayar “hutang Karma Buruk”-nya, sehingga sejatinya daya tawar korban lebih tinggi daripada sang pelaku—lalu mengingat daya tawar korban yang lebih tinggi daripada daya tawar sang pelaku, maka korban-lah yang paling berhak menetapkan aturan main bagaimana pelakunya harus bertanggung-jawab, bukan sebaliknya sang pelaku yang masih pula menetapkan aturan mainnya secara sepihak terhadap korban. Relevan dengan hal tersebut, penulis membuat sajak dengan syair sebagai berikut:

Adalah delusi,

bila kita berpikir bahwa dengan bersikap lemah ataupun memasang sikap takut-takut,

maka orang lain akan menghargai dan menghormati diri kita.

PEMBAHASAN:

Untuk memudahkan pemahaman, ilustasi sederhana berikut dapat menjadi contoh yang memiliki kedekatan dengan keseharian para pembaca (proximity), sehingga penulis harapkan mudah untuk ditangkap dengan daya cerna paling simpel yang mampu kita pahami makna tersurat maupun makna tersiratnya apapun latar-belakang para pembaca dari segi umur maupun profesinya. Sebagai seorang pengguna kacamata dimana penulis amat sangat bergantung pada alat bantu berupa kacamata untuk dapat melihat dan membaca ataupun untuk belajar dan bekerja, sedari sejak kecil penulis telah “kenyang” menghadapi kenyataan para teman sekolah akibat sikap tidak bertanggung-jawabnya, merusak kacamata yang penulis kenakan lalu pergi begitu saja, sehingga penulis menjadi korban “tabrak lari” dan aksi-aksi pamer sikap tidak bertanggung-jawabnya sesama anak bangsa.

Alhasil, keluarga penulis yang kemudian menanggung kerugian dan kerepotan membawa penulis ke optik sesegera mungkin untuk membeli kacamata baru, disamping penulis menderita kerugian karena beberapa hari tidak dapat mengikuti kegiatan belajar di kelas akibat “rabun jauh” (penderita miopia). Dari banyak kejadian serupa dari kecil hinggga dewasa saat kini, kacamata penulis dirusak anak kecil, anak remaja, maupun orang-orang dewasa lainnya, tiada satupun dari mereka yang bertanggung-jawab—ada segelintir kecil diantaranya, namun sekadar “gimmick” yang nihil realisasi—dan mereka berpikir bahwa mereka sedang “beruntung” karena dapat lari dari tanggung-jawab atau membuat korbannya merugi sendiri karena gagal untuk menuntut tanggung-jawab. Mereka berdelusi bahwa mereka cerdik dan korban mereka adalah bodoh, namun mereka keliru, merekalah yang sejatinya “dungu” karena menyangka dapat mencurangi hidup ini meski Hukum Karma berkata sebaliknya.

Jika kejadian demikian kembali terulang, maka inilah yang akan penulis utarakan dengan nada datar saja, tanpa dicekam ketakutan apapun, tanpa panik oleh ketakutan bahwa pelakunya tidak akan bertanggung-jawab—ingat, bersikap penuh ketakutan pun terlebih mengemis-ngemis sekalipun tidak akan menjamin pelakunya akan bertanggung-jawab bila memang sifat atau watak mereka ialah terbiasa tidak bertanggung-jawab—dengan kalimat sebagai berikut, yang dapat para pembaca terapkan pula dengan adaptasi struktur kalimatnya dalam kasus-kasus serupa dan sebangun lainnya:

Kamu sudah merusak kacamata saya. Sekarang saya tanya kamu, kamu mau tanggung-jawab atau tidak?

Pelakunya mencoba berkelit dengan dalih bahwa keluarganya miskin, dan sebagainya, tanpa mau perduli bisa jadi korbannya lebih tidak mampu daripada dirinya. Ia pikir memakai kacamata miopia adalah “gaya-gaya-an”?

Itu bukan urusan saya, keluarga kamu miskin atau melarat sekalipun, bukan alasan pembenar untuk merusak barang milik orang lain. Saya tanya sekali lagi, kamu mau tanggung-jawab atau tidak?!

Sang pelaku menyatakan akan memperbaiki kacamata penulis yang telah ia rusak.

“TIDAK, saya menolak mengenakan kacamata bekas rusak, tidak nyaman dikenakan frame kacamata yang sudah tidak lagi presisi. Saya menolak dan keberatan. Saya minta tanggung-jawab berupa ganti-rugi biaya saya untuk beli kacamata baru, plus ongkos transportasi ke optik.” [Masih untung tidak dimintai ganti-kerugian immaterial berupa waktu yang terbuang percuma serta tidak mampunya mengikuti kegiatan belajar di sekolah.]

Sang pelaku menolak untuk ganti-rugi berupa pembayaran uang.

Mengapa harus saya yang harus ikut kemauan dan aturan main kamu? Kamu yang harus ikut aturan main saya! Berani berbuat, berani bertanggung-jawab. Memangnya siapa yang jadi korban disini, saya atau kamu? Memangnya siapa pelakunya yang telah merusak kacamata saya, saya atau kamu? Mengapa harus pelaku yang harus mengatur korban, seolah beban kewajiban untuk bertanggung-jawab menjadi beban korban. Mau ganti-rugi dengan mencicil, silahkan, itu tawaran yang sudah sangat toleran dari saya, namun harus jelas kapan harus lunas dan cicilan per bulannya.

Sang pelaku mulai lebih sibuk berkelit sedemikian rupa.

Ini perkataan terakhir saya, saya tidak perduli kamu mau tanggung-jawab ganti-rugi atau tidak, saya tidak akan mengemis kepada penjahat ataupun pendosa yang telah merusak kacamata saya. Kamu mau takut dosa atau tidak, itu juga bukan urusan saya, neraka itu menjadi urusan kamu sendiri. Jika kamu tidak mau tanggung-jawab ganti-rugi, maka biarlah HUKUM KARMA yang akan membalas perbuatan kamu!

Selanjutnya, kita cukup pergi berlalu untuk melanjutkan hidup, dimana selebihnya biarlah Hukum Karma yang ambil-alih perkara dimaksud. Adalah delusi, dengan bersikap lemah dan takut meminta tanggung-jawab, akan dibalas dengan penghargaan dari pelakunya. Adalah delusi pula, mengemis-ngemis pada pelaku kejahatan maka kita akan diberikan tanggung-jawab.

Pembalasan, seringkali terjadi bukan lewat tangan kita, dimana Hukum Karma bekerja dalam senyap hingga buahnya matang untuk dipetik oleh pelakunya itu sendiri. Kita bisa melanjutkan hidup tanpa membalas dendam, juga tanpa perlu mengemis-ngemis pertanggung-jawaban. Itulah yang disebut sebagai “positive thinking”.

Memakai kacamata, adalah beban tersendiri, karena harus dibayar mahal dengan pengorbanan biaya yang tidak sedikit, ketidaknyamanan frame kacamata yang berat, harus merawatnya secara rutin, sakitnya tulang hidup mengenakan hampir sepanjang hari untuk seumur hidup, disamping keterbatasan daya gerak karena potensi kacamata terjatuh. Namun, cobalah bayangkan bilamana bola mata penulis yang terkena hantam oleh tangan jahil maupun jahat milik mereka tanpa perlindungan apapun semacam kacamata, maka dapat dipastikan bola mata dan indera penglihatan penulis yang terancam kebutaan—jangankan bertanggung-jawab untuk itu, sekadar mengganti kerugian kacamata saja, mereka para pelakunya, lebih sibuk berkelit sedemikian rupa, bahkan balik menuduh penulis telah berdusta sekalipun ia yang memukul wajah penulis hingga kacamata yang penulis kenakan jatuh dan bengkok—ironisnya, pelakunya kerap bicara soal agama dan mengaku ber-Tuhan disamping rajin beribadah.

Sayangnya, agama mereka ialah “Agama DOSA”, disebut demikian semata karena mengiming-imingi ideologi “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa” bagi para pendosa. Alhasil, “enak” bagi sang pendosa (pelaku kejahatan), dan “merugi” bagi korban. Sejak saat itulah, dalam diri penulis muncul rasa muak dan jijik terhadap para umat pemeluk “Agama DOSA” manapun. Mereka tidak layak disebut sebagai manusia yang “humanis”, namun “manusia hewan” yang “hewanis” dan “predatoris”. Menjadi cukup relevan sebagaimana disabdakan oleh Sang Buddha mengenai watak umat manusia sejak zaman dahulu kala hingga dimasa yang akan datang, dengan kutipan syair sebagai berikut:

DHAMMAPADA

122. Janganlah meremehkan kebaikan (dengan berpikir), ‘Kebaikan sedikit akan tidak berakibat.’ Belanga pun akan penuh dengan tetes demi tetes air. Demikianlah, orang bijak dipenuhi kebaikan yang ia timbun sedikit demi sedikit.

123. Ibarat saudagar beharta banyak berpengawal sedikit menghindari jalan berbahaya, juga ibarat orang berharap hidup menghindari racun, demikianlah seseorang patut menghindari keburukan.

124. Jika tiada luka di tangan, seseorang dapat membawa racun dengan tangannya karena racun tidak meresap ke tangan tak berluka. Demikian pula, keburukan tidak ada pada bukan si pelaku.

125. Keburukan akan (balik) menimpa si dungu yang menyakiti orang yang tak menyakiti, bersih, tak berbintil – bagaikan debu halus ditebar melawan angin.

126. Sejumlah makhluk masuk rahim terlahir. Para pelaku keburukan masuk ke neraka. Para penimbun perbuatan sumber kebahagiaan masuk ke surga. Mereka yang tidak memelihara kekotoran batin mencapai kepadaman derita.

127. Tiada suatu kawasan di dunia, baik di angkasa, di tengah samudra, atau menyusup ke celah gegunungan – di mana pun berada, seseorang dapat lolos dari (akibat) perbuatan buruknya.

128. Tiada suatu kawasan di dunia, baik di atas angkasa, di tengah samudra, atau menyusup ke celah gegunungan – di mana pun berada, Sang raja kematian tak mampu mendapati si pelaku keburukan.

131. Makhluk-makhluk mendambakan kebahagiaan. Ia yang mencari kebahagiaan bagi diri dengan mencelakai makhluk lain dengan alat dera akan tidak mengenyam kebahagiaan setelah ajal tiba.

132. Makhluk-makhluk mendambakan kebahagiaan. Ia yang mencari kebahagiaan bagi diri tanpa mencelakai makhluk lain dengan alat dera akan mengenyam kebahagiaan setelah ajal tiba.

136. Di kala melakukan keburukan-keburukan, si dungu tidak menyadari. Ia yang berkebijaksanaan dangkal itu akan menderita karena perbuatan sendiri, bak terbakar api.

137. Barangsiapa dengan alat dera mencelakai mereka yang tidak mencelakai dan tidak mendera, ia akan segera menemui salah satu di antara sepuluh keadaan:

138. perasaan menyengat, keterpurukan, cacat tubuh, sakit keras, gangguan jiwa,

139. usikan raja, hasutan menyakitkan, kehilangan sanak keluarga, kemusnahan harta benda,

140. kebakaran rumah oleh api hutan, atau, setelah si dungu itu tiba ajal, masuk ke neraka.

143. Hanya ada beberapa saja di dunia, orang yang dengan rasa malu dapat menyingkirkan pemikiran buruk. Hanya ada beberapa saja, orang yang dengan mengusir nidera dapat terjaga, bagaikan kuda tangkas mengelak cambuk.

144. Bersemangatlah! Kerahkan kekuatan, seperti kuda tangkas tersabet cambuk! Dengan berlengkap keyakinan, tata susila, semangat, keteguhan batin, kemampuan menimbang, pengetahuan dan tindak tanduk sempurna, dan perhatian teguh, Kalian akan dapat melenyapkan derita nan tidak sedikit ini.

145. Petugas pengairan mengatur alur air. Pembuat anak panah mengeluk anak panah. Tukang kayu meliuk kayu. Orang yang mudah dinasihati menggeladi diri.

158. Orang bijak patut menempatkan diri di hal patut dulu, baru lalu memberitahu orang lain. (Dengan demikian,) ia tidak bernoda.

159. Seseorang patut menindakkan diri sebagaimana menasihati orang lain. Berlatihlah sebelum melatih karena, konon, diri sendiri sulit dilatih.

160. Diri sendirilah pelindung diri. Sosok lain siapakah dapat menjadi pelindung? Dengan ini, seseorang yang berdiri terlatih baik, akan mendapat perlindungan nan sulit didapat.

161. Oleh diri sendiri keburukan dilakukan, lahir dari diri, berasal dari diri. Keburukan itu akan mencelakai si dungu, laksana berlian melukai intan.

162. Kedursilaan yang akut melilit si pelaku, layaknya ara pencekik melilit pohon sâla. Ia memperlakukan diri sendiri sebagaimana penjahat menghendaki.

163. Perbuatan buruk dan merugikan diri amat mudah dilakukan, sebaliknya perbuatan baik dan bermanfaat amat sulit dilakukan.

164. Karena pandangan nistanya, orang dungu menyangkal ajaran para suciwan nan mulia, hidup sesuai dhamma. Pandangan nistanya muncul demi membunuh diri, layaknya buah bambu muncul demi membunuh pohonnya.

165. Oleh diri sendiri keburukan dilakukan, oleh diri sendiri pula seseorang menjadi kotor. Oleh diri sendiri keburukan tak dilakukan, oleh diri sendiri pula seseorang menjadi suci. Suci tidak suci adalah perihal pribadi. Tiada sosok lain dapat menyucikan lainnya.

167. Tak sepantasnya seseorang bergelut dengan hal rendahan, tak sepatutnya bergumul dengan kelengahan, tak semestinya berpegang pada pandangan keliru, tak seyogianya menjadi pengeruh dunia.

172. Ia yang dulunya lengah menjadi tidak lengah di kemudian waktu dapat menerangi dunia ini, laksana bulan terbebas dari awan.

173. Ia yang membendung perbuatan buruk yang dilakukan dengan kebaikan dapat menerangi dunia ini, laksana bulan terbebas dari awan.

174. Makhluk dunia ini buta. Di dunia ini sedikit makhluk melihat jelas. Ibarat burung dapat lolos dari jaring pengurung, sedikit makhluk tiba ke alam bahagia.

206. Adalah hal baik, bertemu dengan para suciwan. Berdiam bersama mereka mendatangkan kebahagiaan sepanjang masa. Seseorang tentu senantiasa berbahagia tidak bertemu dengan para dungu.

207. Sebab, berdiam bersama orang-orang dungu mendatangkan kesedihan dalam lama waktu. Berkumpul dengan mereka senantiasa membawa derita, tak ubahnya berkumpul dengan seteru. Sebaliknya, bijaksanawan memiliki kediaman bersama yang menyenangkan, layaknya himpunan sanak keluarga.

208. Karenanya, bergaullah dengan orang demikian itu, yang cendekia, bijaksana, berpengetahuan luas, mengemban kewajiban, bertata tertib, berbatin bersih, budiman, arif, laksana candra berada pada orbit purnamanya!

229. Jika para bijaksanawan, setelah menimbang matang, memuji ia yang bertindak penuh kewaspadaan, cendekia, teguh dalam kebijaksanaan dan kesusilaan,

230. siapakah pantas mencelanya yang bagaikan emas jambonada. Para dewa pun memujinya, demikian pula brahmâ.

234. Para cendekia adalah mereka yang telah mengendalikan jasmani, juga adalah mereka yang telah mengendalikan ucapan. Para cendekia adalah mereka yang telah mengendalikan batin. Mereka sungguh adalah orang yang telah berpengendalian secara menyeluruh dengan baik.

244. Hidup adalah mudah bagi ia yang tidak tahu malu, berani laksana gagak, biasa ingkar budi orang, suka mencari muka, lepas kendali, dan penuh kekotoran.

245. Sebaliknya, hidup adalah sulit bagi ia yang tahu malu, senantiasa berupaya pada laku suci, tidak melekat, terkendali, berpenghidupan bersih, dan menyadari (hakekat penghidupan bersih).

246. Barangsiapa di dunia ini membunuh kehidupan makhluk lain, bertutur kata bohong, mengambil barang yang tidak diberikan, dan menggauli istri orang lain,

247. juga barangsiapa biasa minum arak dan barang ragian, ia disebut sedang mencabut akar tunggang sendiri di dunia ini.

252. Noda orang lain mudah dilihat. Noda sendiri, sebaliknya, sulit dilihat. Karena itu, orang menebar noda orang lain seperti menampi dedak, sebaliknya menutupi noda sendiri bagaikan pemburu burung menyelinap di balik semak.

256. Bukan karena bergegas menuntaskan perkara seseorang disebut yang tegak dalam Dhamma, melainkan bijaksanawan yang dapat menimbang kedua hal, yaitu yang menjadi perkara dan bukan perkara.

258. Bukan sekadar karena bicara banyak seseorang disebut bijaksanawan, melainkan ia yang tenteram, tidak bermusuh, dan tidak berpenakut itulah disebut ‘bijaksanawan’.

259. Bukan sekadar karena bicara banyak seseorang disebut penyandang dhamma, melainkan ia yang, meskipun sedikit pengetahuan, dapat melihat dhamma secara batiniah dan tidak melalaikannya itulah sesungguhnya disebut ‘penyandang dhamma’.

260. Bukan karena berkepala beruban seseorang disebut sesepuh. Ia yang berusia lanjut itu disebut ‘si tua hampa’.

261. Sebaliknya, ia yang menembus kebenaran, meraih dhamma, tidak menyakiti, berpengendalian, terlatih, telah melunturkan noda, dan cendekia itulah disebut ‘sesepuh’.

265. Akan tetapi, ia yang meredam total keburukan kecil dan besar itulah Aku sebut ‘cerah’ karena keberadaannya sebagai peredam keburukan.

269. menjauhi keburukan-keburukan itulah disebut ‘petapa bijaksana’. Disebabkan hal itulah ia disebut ‘petapa bijaksana’. Seseorang disebut petapa bijaksana karena mengetahui kedua dunia.

270. Bukan karena mencelakai makhluk-makhluk lain seseorang disebut ariya, sebaliknya disebut ‘ariya’ karena tidak mencelakai segala jenis makhluk.

306. Ia yang biasa menuduhkan hal tidak benar akan masuk neraka. Begitu pula, ia yang setelah berbuat berkata, ‘Aku tidak berbuat.’ Keduanya adalah manusia pelaku perbuatan rendah yang, sepeninggalnya menuju ke alam lain, akan bernasib sama.

314. Perbuatan buruk, tidak dilakukan adalah lebih baik karena perbuatan buruk akan menggarang (si pelaku) di kemudian waktu. Sebaliknya, perbuatan baik, dilakukan adalah lebih baik yang, setelah dilakukan, tidak mendatangkan sesal.

315. Jagalah diri di dalam dan di luarnya, laksana orang menjaga wilayah perbatasan! Janganlah membiarkan waktu berlalu karena mereka yang membiarkannya berlalu mendapati kesedihan, berdesak sesak di neraka!

316. Barangsiapa malu terhadap hal tak memalukan, tidak malu terhadap hal memalukan; mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.

317. Juga, barangsiapa takut terhadap hal tak menakutkan, tidak takut terhadap hal menakutkan; mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.

318. Barangsiapa menganggap tercela terhadap hal tak tercela, menganggap tak tercela terhadap hal tercela; mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.

319. Sebaliknya, barangsiapa menyadari hal tercela sebagai yang tercela, menyadari hal tak tercela sebagai yang tak tercela; mereka yang memegang pandangan benar itu akan menuju ke alam bahagia.

327. Bergembiralah dalam ketidaklengahan! Jagalah kesadaran Kalian masing-masing! Entaskan diri dari kubangan, bak gajah yang terjerembab di lelumpuran dapat mengentas diri!

328. Andaikata seseorang mendapatkan orang yang cermat, bercara hidup baik, dan cendekia sebagai kawan berjalan, ia layak mengatasi segala rintangan; dapat berlega hati dan menegakkan perhatian – berjalan dengannya.

329. Andaikata seseorang tidak mendapatkan orang yang cermat, bercara hidup baik, dan cendekia sebagai kawan berjalan, ia layak berjalan sendirian, laksana seorang raja pergi meninggalkan wilayah taklukkan, laksana gajah besar Mâtanga berjalan sendirian di hutan.

330. Berjalan sendirian adalah lebih baik karena nilai persahabatan tidak ada pada si dungu. Ia patut berjalan sendirian, seperti gajah besar Mâtaõga yang bersahaja berjalan di hutan, dan tak semestinya berbuat buruk.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.

Konsultan Hukum HERY SHIETRA & PARTNERS