Kiat Menggugat BUMN / Instansi Pemerintah agar Tidak Menang Diatas Kertas

Tujuan Utama Gugatan, bukanlah untuk MENANG (TEMPORER), namun mencari SOLUSI (PERMANEN)

Putusan yang Non-Executable, hanya “Menang Gengsi” dan “Menang Moril”

Dengan Mengetahui dan Memahami Kelemahan Hukum, Kita Dipaksa Bersikap Kreatif Menyikapi Hukum Negara yang Tidak Sempurna dan Penuh Cacat Logika

Question: Banyak terjadi maupun dari banyak kasus sebagaimana diberitakan, peserta tender pengadaan barang dan/atau jasa, setelah selesai membangun gedung atau jembatan, ternyata pihak pemerintah ataupun pemerintah daerah cidera janji dengan tidak membayar apa yang menjadi hak peserta tender, dengan alasan tidak ada anggaran dari APBN/D yang dialokasikan untuk itu. Apa betul, secara hukum jika yang digugat ialah pemerintah, atau pemerintah daerah, maka sekalipun dimenangkan dan dikabulkan hakim, tidak akan pernah dapat dieksekusi semisal perintah hakim dalam amar putusan agar pemerintah daerah membayarkan sejumlah uang sebagaimana kontrak tender?

Brief Answer: Tujuan utama gugatan diajukan oleh pihak Penggugat, bukanlah untuk mengejar “kemenangan temporer” ataupun “menang gengsi”, namun untuk menjadi “solusi”, sebagai “problem solving” dalam rangka menuju “problem solved”. Untuk apakah dan apa faedahnya, menang namun “menang diatas kertas” atau semacam “menang namun non-executable” (tidak dapat dieksekusi)?

Gugatan yang mengejar “menang” ataupun “kemenangan” belaka seperti demikian, sejatinya hanya menang “gengsi” ataupun menang secara “moral”—dan biasanya kalangan pengacara sudah cukup puas dengan itu, karena disamping mendapatkan “lawyering fee”, kalangan pengacara ini juga menagih serta mengantungi “success fee”, sekalipun sama sekali tidak menyelesaikan esensi masalah atau bahkan menjadi lembaran sengketa baru yang lebih pelik dan lebih kompleks—tentunya, menjadi ladang objek “bisnis” baru bagi sang pengacara, perkara yang “dibisniskan”.

Betul bahwa aset maupun harta kekayaan baik itu pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga negara, institusi pemerintahan (seperti Kantor Pertanahan maupun Kantor Lelang Negara), entitas bisnis berbentuk Badan Usaha Milik Negara ataupun Milik Daerah (BUMN/D), tidak dapat diletakkan sita jaminan oleh pihak sipil dalam suatu upaya hukum gugat-menggugat. Karenanya, lebih kental nuansa politis dimana sekali lagi, sipil harus mengemis-ngemis “political will” pemerintah untuk mematuhi amar putusan berupa perintah untuk membayar sejumlah dana kepada pihak Penggugat yang dikabulkan gugatannya oleh Majelis Hakim di pengadilan.

Namun, ada catatan menarik mengenai “pengecualian” dalam konteks ini. Dalam kasus BUMN bernama maskapai penerbangan Gapura dan Merpati, telah pernah dimasukkan ke dalam proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan tidak mustahil benar-benar jatuh “pailit” yang konsekuensi yuridisnya ialah seluruh harta kekayaan korporasi “plat merah” tersebut masuk dalam status “sita umum (kepailitan)” oleh pihak Kurator—sekalipun, “sita jaminan perkara gugatan perdata” masih belum dimungkinkan terhadap aset kekayaan BUMN.

Pengecualian kedua ialah, anak usaha milik BUMN/D, dimana Mahkamah Konstitusi RI menyatakan bahwa entitas hukum berupa anak usaha milik BUMN/D, bukanlah tergolong “kekayaan dan keuangan negara” sehingga tidak tunduk pada domain semacam Undang-Undang Tindak pidana korupsi, Undang-Undang tentang BUMN/D, Undang-Undang Perbendaharaan Kekayaan Negara, juga tidak tunduk pada larangan meletakkan “sita jaminan” diatas aset kekayaan milik entitas hukum anak usaha milik BUMN/D.

PEMBAHASAN:

Untuk menjadi “solusi”, maka seorang konseptor ataupun litigator perlu bersikap kreatif menyikapi “jalan buntu” dari obsesi hendak men-“sita jaminan” ataupun “sita eksekusi” harta-harta / aset milik pemerintah, pemerintah daerah, institusi pemerintahan, BUMN, maupun BUMD yang didudukkan sebagai pihak Tergugat dalam suatu perkara gugatan perdata di pengadilan. Sebelum itu, tepat kiranya SHIETRA & PARTNERS mengurai satu asas dalam Hukum Acara Perdata yang mengikat kalangan hakim pemeriksa dan pemutus perkara di lembaga peradilan, yakni asas “non ultra-petitum”—asas mana bermakna, hakim tidak diperkenankan memutus melampaui / melebihi apa yang dituntut oleh pihak Penggugat sebagaimana tuntutan dalam surat gugatan. Artinya pula, memutus atau mengabulkan secara kurang atau secara lebih sedikit dari apa yang dituntut dalam surat gugatan, masih diperkenankan bagi sang hakim.

Karena itulah, daripada “kurang menuntut”, lebih baik membuat antisipasi dengan memitigasi semua “the worst case scenario”, terutama potensi pihak lawan (dalam hal ini pihak pemerintah selaku Tergugat) tidak bersikap patuh terhadap isi amar putusan yang menghukum Tergugat untuk membayar sejumlah dana kepada pihak Penggugat. Tujuannya, menyusun “petitum” (pokok tuntutan dalam gugatan perdata) secara “rapat” ialah, untuk mengantisipasi kemungkinan pihak lawan tidak patuh terhadap amar putusan, semata agar putusan menjadi “executable” secara efektif disamping efisien, dan tidak jatuh dalam kondisi “menang di atas kertas” sebagai antiklimaks upaya hukum gugat-menggugat.

Patut kita duga dan kita prediksi, bahkan perlu kita perhitungkan sejak awal sebelum merumuskan konsep surat gugatan, pokok tuntutan apakah yang hendak kita minta untuk diputus dan dikabulkan hakim, dalam rangka agar menghadirkan “solusi” bagi kepentingan pihak Penggugat? Tentu saja, panduan utamanya ialah merumuskan pokok tuntutan yang “reasonable” agar dapat dipertimbangkan hakim untuk diputuskan dan dikabulkan. Namun sebelum sampai ke situ, kita harus meyakinkan hakim bahwa poin-poin tuntutan yang kita ajukan dalam gugatan adalah penting serta patut dipertimbangkan oleh hakim pemeriksa dan pemutus perkara. Terdapat dasar argumentasi yang melatar-belakanginya, itulah yang penulis maksud sebagai “reasonable”.

Sepanjang pokok tuntutan yang kita rumuskan memang memiliki urgensi untuk dikabulkan atau terdapat dasar argumentasi logis dibaliknya, maka tiada mudarat-nya untuk dimohonkan agar dikabulkan oleh Majelis Hakim sebagai amar putusan. Untuk itulah, dalam bagian uraian kronologi (posita) di surat gugatan, perlu diuraikan latar-belakangnya sehingga hakim pun akan memaklumi atau menjadi “maklum”. Sebagai contoh, dapat kita duga dan asumsikan, bahwa jika pihak Tergugat ialah institusi pemerintahan, maka institusi pemerintahan tersebut tidak akan secara patuh ataupun sukarela menjalankan isi amar putusan, semisal amar putusan berupa perintah agar institusi pemerintah tersebut dinyatakan bersalah sehingga harus membayar sejumlah ganti-kerugian kepada pihak Penggugat.

Dengan seribu-satu alibi dan dalih, pihak Tergugat mendalilkan bahwa tiada mata anggaran yang dianggarkan untuk membiayai perintah dalam amar putusan demikian, dimana bila pemerintah tetap membayarnya, maka dapat dikategorikan atau diancam sebagai tindak pidana korupsi sebagai akibat “merugikan keuangan negara” atau menyelewengkan “budgeter budget” dalam APBN/D. Semua dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara maupun Daerah, telah dialokasikan untuk mata anggaran dan pembiayaan tertentu, sebagaimana keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Pusat maupun Daerah, namun tidak pernah ada alokasi khusus untuk membayar sejumlah dana sebagaimana disebutkan oleh putusan perkara perdata dari pengadilan.

Sehingga, prasumsi paling dasar ketika dimajukannya gugatan terhadap pemerintah maupun institusi pemerintah, tidak terkecuali terhadap BUMN/D ialah, pihak Tergugat tersebut tidak akan patuh secara sukarela terhadap isi amar putusan yang menghukum pihak Tergugat, bahkan “pasang badan” semata mengingat atau menimbang bahwa aset ataupun harta kekayaan milik pihak Tergugat tidak dapat disita ataupun dieksekusi secara perdata menurut Undang-Undang tentang Perbendaharaan (Barang Milik) Negara. Mereka, pihak Tergugat, bahkan merasa seolah sebagai “pahlawan” yang menyelematkan keuangan negara bila mereka “pasang badan” berupa sikap tidak membayar, sekalipun itu artinya “mengangkangi” institusi peradilan—bila pemerintah sendiri memberi teladan “tidak patuh (terhadap) hukum maupun putusan hakim”, maka rakyat pun akan mencontoh lewat budaya “meniru” cara hidup pejabat negara.

Lantas, “petitum” atau pokok tuntutan semacam apakah, yang harus dan wajib hukumnya, dicantumkan kedalam surat gugatan, terutama ketika pihak Tergugat notabene ialah institusi / lembaga pemerintahan maupun BUMN/D? Berikut SHIETRA & PARTNERS kutipkan salah satu “petitum” yang patut dicantumkan sebagai salah satu butir pokok tuntutan dalam surat gugatan dalam konteks sebagaimana demikian:

PRIMAIR:

- Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sepenuhnya;

- Menyatakan Tergugat telah wanprestasi membayar pengadaan jasa sejumlah Rp. ...;

- Menghukum Tergugat untuk membayar sejumlah uang senilai Rp. ... kepada Penggugat;

- Menyatakan bilamana pihak Tergugat tidak patuh terhadap perintah untuk membayar sejumlah uang senilai butir di atas, maka Penggugat berhak meng-kompensasi-kannya dengan menjadikan apa yang haknya tersebut di atas sebagai piutang, dan dianggap sebagai pelunasan pajak terutang untuk tahun-tahun pajak berjalan maupun yang akan datang, hingga berjumlah total senilai Rp. ...;

SUBSIDAIR:

- Ex Aequo et Bono. Bila Majelis Hakim berpendapat lain, mohon putusan seadil-adilnya.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.

Konsultan Hukum HERY SHIETRA & PARTNERS