Bangsa yang Tanpa Malu Gemar Merampas Hak Orang Lain, Memalukan, Tidak Punya Malu

Jalan Umum dan Jalan Raya, tempat dimana Rakyat Indonesia Menanggalkan “Persona” (Topeng) Mereka, Kultur Original suatu Bangsa

Seni Pikir dan Tulis bersama Hery Shietra

Apakah tercela ataukah sangat tercela, merampas nasi dari piring orang yang lebih miskin? Apakah tercela ataukah teramat tercela, pengedara kendaraan bermotor yang justru merampas hak pejalan kaki? Faktanya, kita dapat melihat dengan mata-kepala kita sendiri, betapa masif perilaku tercela dan tidak etis demikian mewarnai praktik kehidupan, budaya, serta berbangsa kita di Indonesia. Dalam kesempatan ini, penulis akan membuktikan betapa kultur masyarakat “Made in Indonesia” ialah dengan rumusan sebagai berikut : Egoistik + Suka Merampas Hak Orang Lain + Tidak Punya Malu + Tidak Takut Dosa + Tidak Bertanggung-Jawab = Orang Indonesia. Anda mungkin tidak sependapat, namun tidak ada “ikan” yang menyadari tentang apa yang disebut dengan “air” sekalipun selama ini mereka hidup di dalamnya.

Rakyat jelata, mencemooh dan mengolok-olok pejabat yang tertangkap tangan karena korupsi. Namun faktanya, realita memperlihatkan kepada penulis betapa sipil sekelas “office boy” sekalipun gemar melakukan korupsi terhadap dana operasional kantor tempatnya bekerja. Mereka berdelusi, bila tidak ada orang lain yang tahu perbuatan mereka, maka artinya mereka “suci dan bersih”. Bukan satu atau dua kali kejadian, nomor kontak kerja penulis disalah-gunakan oleh pihak-pihak yang mengaku memiliki sengketa tanah miliaran hingga belasan miliar rupiah, menuntut minta dilayani tanya-jawab seputar hukum namun tidak bersedia membayar tarif SEPERAK PUN meski penulis tidak memiliki harta kekayaan sebesar sang “pemerkosa profesi konsultan” tersebut.

Disebutkan oleh sejumlah media, bahwa sebuah lembaga survei internasional merilis hasil jajak-pendapat, bahwa orang Indonesia merupakan bangsa yang paling murah hati dalam hal “berdana”. Namun, mengapa disaat bersamaan bersikap egoistik dengan suka merampas hak orang lain tanpa rasa malu, terlebih rasa takut? Satu-satunya alasan paling sahih untuk menjelaskan hal tersebut, justru penulis dapatkan ketika tempat ibadah mereka mengumandangkan ceramah pemuka agama mereka, menceritakan bahwa cukup dengan berdonasi 2,5% dari perhasilan kotor sang umat—alias sekadar “recehan”, dengan tetap menikmati 97,5% uang kotor yang dihimpun olehnya, dan penerima donasi tetap saja miskin nan melarat—dalam rangka “memberishkan penghasilan”, alias praktik “money laundring” berjemaah. Koruptor manakah yang tidak senang mendengarnya? Tidak heran bila sejumlah media memberitakan, para koruptor dikenal sebagai seorang donatur yang rutin menyumbang tempat ibadah, tentu saja, dengan “recehan”.

Karenanya, motif atau modus utamanya bukanlah murni kebaikan dan kemurahan hati untuk melepas dan berkorban. Bagaimana mungkin, bangsa kita yang dikenal tidak berbudaya dalam hal mengantri, suka merampas hak orang lain, bahkan tidak takut dosa—maklum, “hanya pendosa yang butuh pengampunan dosa”—tidak punya kebiasaan bertanggung jawab, egoistik, kerap menyepelekan perasaan korban, memandang remeh janji ataupun ucapan dengan tidak ditepati, mengumbar iming-iming (modus penipuan), lantas disebut atau bahkan diberi gelar sebagai bangsa yang paling pemurah? Secara kajian anthropologi, seseorang tidaklah niscaya dapat secara serta-merta memiliki jiwa pemurah, terlebih altruistik, bilamana bahkan untuk bersabar pun tidak mampu. Sikap gemar merampas hak orang lain, telah menegasikan jargon “bangsa yang pemurah, gemar menolong, ringan tangan, suka memberi lewat berdana”?

Apa yang akan penulis uraikan berikut ini, bukanlah tudingan kepada oknum anggota masyarakat, namun telah penulis jadikan subjek penelitian sosiologi pribadi dalam kehidupan sehari-hari, dimana lapangan menjadi laboratoriumnya, dan sikap perilaku masyarakat kita di Indonesia sebagai “berjemaah” subjek penelitiannya. Konon, sejumlah pengamat sosial menyebutkan, perilaku pengendara dan pengguna jalan baik di jalan umum maupun di jalan raya, merupakan cerminan paling terang-benderang mengenai wajah asli atau watak original suatu bangsa, alias budaya atau kultur bangsa bersangkutan, apakah telah beradab, ataukah masih biadab—biadab yang diberi kekuasaan berkendara dan mengendarai kendaraan bermotor, “power tends to corrupt”.

Sudah lama penulis amati, bahkan menjadi bagian anggota masyarakat di tengah-tengah lapangan “laboratorium sosial” berupa jalan umum tidak jauh dari kediaman penulis, dimana terdapat “polisi tidur” yang melintang di jalanan, meski tidak tinggi sehingga tidak begitu mengganggu pengendara untuk melintas, namun hanya terdapat pada bagian satu lajur dari dua lajur jalan. Sebagai seorang pejalan kaki, penulis yang lebih kerap berjalan kaki untuk menjangkau tempat-tempat yang masih dapat dijangkau dengan berjalan kaki, penulis kerap melewati jalan tersebut, dan mendapati bahwa ketika penulis berjalan di sisi kiri yang mana merupakan lajur dimana tidak terdapat “polisi tidur”, sekalipun lajur sebelahnya sama sekali tidak ada pengguna jalan, namun pengendara kendaraan bermotor roda dua dari arah berlawanan melaju secara gagag perkasa (tidak takut dosa dengan menabrak dan melukai pejalan kaki) dengan melawan arus semata demi menghindari “polisi tidur”, mengintimidasi dengan ancaman “serudukan bumper banteng besi” yang mereka kendarai, bilamana penulis tidak berhenti berjalan dan menepi, maka penulis akan tertabrak dan terluka.

Mengapa kesannya seolah-olah penulis harus mengemis apa yang memang merupakan hak penulis untuk melintas di jalan lajur kiri serta hak untuk tidak diganggu serta dihargai harkat dan martabatnya selaku sesama anak bangsa? Sekali lagi, sekalipun jalur kiri para pengendara tersebut dalam kondisi kosong dari pengguna jalan lainnya, namun mereka tanpa malu melawan arus dengan merampas hak penulis selaku pejalan kaki yang hanya bisa mengalah dengan berhenti dan menepi, meski jalur yang mereka rampas ialah hak penulis untuk melintas dari arah berlawanan.

Anda lihat, alih-alih pengendara kendaraan bermotor (para pengecut yang terlampau pengecut untuk berjalan kaki) tersebut bersikap toleran dan menghargai seorang pejalan kaki, dengan serakahnya mereka masih pula merampas hak seorang pejalan kaki yang selama ini diposisikan selaku mengalah terhadap sikap arogansi mereka. Jangankan diharap untuk mampu bersikap ksatria, tahu malu pun mereka gagal. Jangankan berbangga disebut sebagai bangsa yang gemar berdana “recehan”, untuk bersabar dan mengalah terhadap pejalan kaki pun, alih-alih mengalah justru merampas. Sebelum seseorang mampu melangkah ke level atau jenjang tingkat “jiwa altruistik”, anak tangga pertama ialah sikap tahu diri, tahu malu, kemampuan untuk bersabar, kemauan untuk bersikap adil, tidak merampas, kesediaan untuk memberi, dan anak tangga paling puncaknya ialah kerelaan untuk berkorban diri.

Penulis terpaksa mengalah, agar tidak teluka oleh serudukan “banteng besi” yang dikendarai para pengendara tersebut—itukah yang disebut bangsa dengan jiwa “nasionalistik”, namun dalam keseharian gemar menyakiti, mengancam, mengintimidasi, serta merampas hak-hak sesama anak bangsa?—sebagaimana pesan orang bijak, bahwa “orang yang masih waras, sebaiknya mengalah kepada orang-orang yang tidak waras”. Bukanlah hal asing, kita mendengar, melihat, atau bahkan mengalami langsung, pejalan kaki di atas trotoar di-klakson oleh pengendara motor yang melaju kencang, dimaki, bahkan menendang pejalan kaki, ditabrak, dimana bahkan penulis pernah mengalami langsung harus sigap bergeser ke tepi jembatan di atas jembatan penyeberangan orang karena ada pengemudi kendaraan bermotor yang mengebut di atas jembatan penyeberangan orang.

Bila Anda tidak percaya, terutama bila Anda adalah seorang pelajar di fakultas psikologi ataupun sosiologi, cobalah buat “polisi tidur” di jalan perumahan Anda, dengan kondisi hanya satu dari dua lajur yang dibuat “polisi tidur”. Lalu, amati atau bahkan menjadi bagian dari subjek penelitian dengan menjadi pejalan kaki di ruas jalan tersebut untuk melihat dan mengalami langsung tragisnya perilaku pengendara kendaraan bermotor yang “heartless” terhadap pejalan kaki. Jangankan malu melaju melawan arus dan merampas hak pejalan kaki yang “malang”, takut dosa pun mereka tidak dengan menyerudukkan bumper kendaraan mereka secara intimidatif “jika wahai kamu, pejalan kaki, tidak berhenti dan menepi, kamu yang akan terluka dan terkena tabrak oleh kendaraan saya”—itulah sebabnya, Anda harus segera meloncat ke tepi, dan berhenti untuk mengalah, karena alam bawah sadar Anda menyadari betul, bahwa orang “Made in Indonesia” adalah orang-orang yang paling tidak bertanggung-jawab yang akan merugikan, melukai, ataupun menyakiti orang lain tanpa pernah bersedia mempertanggung-jawabkan perbuatannya.

Di mata bangsa “agamais” yang mengaku ber-Tuhan dan mengklaim percaya adanya “akherat”, namun disaat bersamaan menjadi pelanggan setia ideologi “korup” semacam iming-iming “penghapusan / pengampunan dosa” ataupun “penebusan dosa”, bertanggung-jawab ataupun mengambil tanggung-jawab artinya “MERUGI”, sementara itu tidak bertanggung-jawab atau lari dari tanggung jawab (hit and run) adalah “KEUNTUNGAN”—mereka berdelusi, adalah mubazir bila iming-iming “penghapusan / pengampunan” dosa tidak digunakan dan dimanfaatkan dengan baik, toh setiap hari ketika mereka beribadah, setiap hari raya keagamaan, maupun saat meninggal dunia, doa yang selalu dikumandangkan ialah bila tidak memohon “pengampunan dosa”, maka memohon “pengampunan dosa” dan “pengampunan dosa”. Hidup dari dosa, mengoleksi dan menimbun dosa, dimana karenanya mati pun karena dan demi dosa.

Tidak heran bila penulis menyebutnya sebagai “Agama DOSA” ketimbang “Agama SUCI”. Agama, terbagi menjadi tiga kategorisasi. Pertama, “Agama SUCI”, tiada orang suci yang membutuhkan iming-iming “pengampunan dosa” atau apapun itu sebutannya, bahkan merasa jijik atas itu, lebih memilih hidup dalam pengendalian diri dan malu serta takut berbuat jahat. Kedua, “Agama KSATRIA”, dimana kita ketahui, bahwa seorang ksatria bisa saja berbuat keliru dan akan mereka akui tanpa berkelit, serta kesediaan untuk bertanggung-jawab kepada para korbannya sekalipun tidak diminta ataupun dituntut. Ketiga, “Agama DOSA”, dimana para umatnya menjadi pelanggan setia bahkan mencandu “pengampunan / penghapusan dosa”—mabuk “dosa”, dosa sungguh memabukkan dan melenakan mereka yang setiap hari mengonsumsinya. Meski begitu, tiada orang mabuk yang menyadari dirinya tengah sedang mabuk.

Pengalama berikut ini, masih di jalan umum / raya, dapat lebih terang-benderang dan dapat pula para pembaca amati langsung dalam keseharian yang paling dekat dengan hidup Anda, entah sebagai seorang pejalan kaki maupun sebagai pengendara kendaraan bermotor. Fenomena sosial mana, selalu terjadi setiap kali penulis berjalan di jalan umum, sejak bertahun-tahun lampau dan tiada tendensi perubahan watak pengendara pengguna jalan, hingga saat kini, dimana ketika para pengendara tersebut berjumpa pejalan kaki di jalan, mereka tidak segan mengintimidasi lewat membunyikan klakson kendaraannya secara keras-keras untuk meminta dihormati dan menuntut diberi jalan—seolah-olah pejalan kaki merupakan “kasta rendahan” yang tidak berhak untuk menggunakan jalan—namun tidak selang beberapa meter di depan, pengendara yang sama berjumpa kondisi jalan yang separuh jalan tertutup oleh kendaraan pengendara lain yang diparkir di pinggir maupun di bahu jalan, para pengendara yang semula tega mengklakson seorang pejalan kaki, kini “mendadak alim” dan “mendadak penyabar” dengan sama sekali tidak membunyikan klakson, bahkan rela berhenti, dan menunggu dengan sabar hingga kendaraan dari arah seberang kosong lalu merayap perlahan untuk melewati kendaraaan yang terparkir.

Entah penulis harus merasa heran (karena mendapati masyarakat kita di Indonesia begitu “tidak logis”), geram, kecewa, terzolimi, geli, atau justru merasa prihatin. Yang jelas, kesemua perasaan itu tercampur-aduk menjadi satu perasaan yang membuat penulis selalu “mengurut dada” setiap kali berjalan kaki di jalan umum. Penulis, selaku pejalan kaki, merupakan makhluk hidup yang bisa terluka, merasakan rasa sakit, dan mengeluarkan darah, sesama manusia dengan para pengendara tersebut, namun diperlakukan secara tidak manusiawi. Akan tetapi, terhadap benda mati semacam kendaraan yang terparkir, entah kendaraan mana ada atau tidak ada pengemudinya, para pengendara yang melintas bersikap demikian penyabar, begitu santun, demikian sopan, teramat bersabar, dan penuh humanis bak bangsa beradab. Bukankah itu membuktikan kepada kita, betapa “manusia merupakan makhluk yang irasional”?

Apa jadinya, manusia-manusia “rasional” demikian duduk pada bangku hakim di pengadilan, dimana mereka pun tidak jarang menghakimi masyarakat secara tidak proporsional, semisal mem-bully korban yang sekadar menjerit keberatan / kesakitan, sebagai “tidak waras” atau “tidak sopan”, namun disaat bersamaan tidak mencela perilaku warga yang menyakiti sang korban. Begitupula sikap para pengendara yang justru mengklaksoni dan menatap ganas pejalan kaki, seolah-olah pejalan kaki adalah penghalang jalan mereka—namun perlakuan yang sama tidak mereka pertontonkan terhadap kendaraan (benda mati) yang terpakir di jalan—adalah mentalitas “gemar menghakimi” secara tidak rasional, sehingga jangan pernah berikan mereka kekuasaan sebagai hakim di pengadilan, bisa-bisa korban dihukum sebagai yang bersalah. Negeri kita harus mengimpor hakim, hakim yang rasional tentunya, lewat naturalisasi. Janganlah anti terhadap wacana demikian, negeri kita sudah penuh sesak oleh pemain bola naturalisasi, investor asing, direksi asing, pekerja asing, dsb.

Fenomena sosial masyarakat kita menjadi relevan ketika kita kaitkan dengan khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan salah satu sutta sebagai berikut:

“Para bhikkhu, dengan memiliki empat kualitas, orang dungu, yang tidak kompeten, dan jahat, mempertahankan dirinya dalam kondisi celaka dan terluka; ia tercela dan dicela oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak keburukan. Apakah empat ini?

Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia memuji seorang yang layak dicela. Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia mencela seorang yang layak dipuji. Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia mempercayai sesuatu yang mencurigakan. Tanpa menyelidiki dan tanpa memeriksa, ia mencurigai sesuatu yang seharusnya dipercaya. Dengan memiliki keempat kualitas ini, orang dungu, yang tidak kompeten, dan jahat, mempertahankan dirinya dalam kondisi celaka dan terluka; ia tercela dan dicela oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak keburukan.

“Para bhikkhu, dengan memiliki empat kualitas, orang bijaksana, yang kompeten, dan baik, mempertahankan dirinya dalam kondisi tidak-celaka dan tidak-terluka; ia tanpa cela dan di luar celaan oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak jasa. Apakah empat ini?

Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia mencela seorang yang layak dicela. Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia memuji seorang yang layak dipuji. Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia mencurigai sesuatu yang mencurigakan. Setelah menyelidiki dan setelah memeriksa, ia mempercayai sesuatu yang seharusnya dipercaya. Dengan memiliki keempat kualitas ini, orang bijaksana, yang kompeten, dan baik, mempertahankan dirinya dalam kondisi tidak-celaka dan tidak terluka; ia tanpa cela dan di luar celaan oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak jasa.”

Ia yang memuji seorang yang layak dicela, atau mencela seorang yang layak dipuji, melakukan lemparan yang tidak beruntung melalui mulutnya yang karenanya ia tidak menemukan kebahagiaan. [Si dungu mengumpulkan bencana dengan mulutnya.]

Lemparan dadu yang tidak beruntung adalah kecil yang mengakibatkan hilangnya kekayaan seseorang, [kehilangan] segalanya, termasuk dirinya; lemparan yang jauh lebih tidak beruntung adalah memendam kebencian terhadap orang-orang suci.

Selama seratus ribu tiga puluh enam nirabbuda, ditambah lima abbuda, pemfitnah para mulia pergi ke neraka, setelah mencemarkan reputasi mereka dengan ucapan dan pikiran jahat.

Beruntunglah penulis telah lama mengenal Buddhisme, sehingga penulis menyadari bahwa bukanlah penulis yang sejatinya bermasalah atas fenomena demikian, juga bukanlah anomali, bukan fenomena sosial yang baru, namun memang merupakan ciri khas “kekotoran batin manusia” yang notabene sudah eksis sejak dahulu kala dan akan tetap ada di muka Bumi ini pada bangsa manapun itu, hanya gradasi sebagai diferensiasinya—dimana yang membedakan ialah tebal atau tipisnya kekotoran batin tersebut, atau yang kasar dan halusnya kekotoran batin demikian—sebagaimana disabdakan oleh Sang Buddha dalam Dhammapada, dengan kutipan syair sebagai berikut:

DHAMMAPADA

122. Janganlah meremehkan kebaikan (dengan berpikir), ‘Kebaikan sedikit akan tidak berakibat.’ Belanga pun akan penuh dengan tetes demi tetes air. Demikianlah, orang bijak dipenuhi kebaikan yang ia timbun sedikit demi sedikit.

123. Ibarat saudagar beharta banyak berpengawal sedikit menghindari jalan berbahaya, juga ibarat orang berharap hidup menghindari racun, demikianlah seseorang patut menghindari keburukan.

124. Jika tiada luka di tangan, seseorang dapat membawa racun dengan tangannya karena racun tidak meresap ke tangan tak berluka. Demikian pula, keburukan tidak ada pada bukan si pelaku.

125. Keburukan akan (balik) menimpa si dungu yang menyakiti orang yang tak menyakiti, bersih, tak berbintil – bagaikan debu halus ditebar melawan angin.

126. Sejumlah makhluk masuk rahim terlahir. Para pelaku keburukan masuk ke neraka. Para penimbun perbuatan sumber kebahagiaan masuk ke surga. Mereka yang tidak memelihara kekotoran batin mencapai kepadaman derita.

127. Tiada suatu kawasan di dunia, baik di angkasa, di tengah samudra, atau menyusup ke celah gegunungan – di mana pun berada, seseorang dapat lolos dari (akibat) perbuatan buruknya.

128. Tiada suatu kawasan di dunia, baik di atas angkasa, di tengah samudra, atau menyusup ke celah gegunungan – di mana pun berada, Sang raja kematian tak mampu mendapati si pelaku keburukan.

131. Makhluk-makhluk mendambakan kebahagiaan. Ia yang mencari kebahagiaan bagi diri dengan mencelakai makhluk lain dengan alat dera akan tidak mengenyam kebahagiaan setelah ajal tiba.

132. Makhluk-makhluk mendambakan kebahagiaan. Ia yang mencari kebahagiaan bagi diri tanpa mencelakai makhluk lain dengan alat dera akan mengenyam kebahagiaan setelah ajal tiba.

136. Di kala melakukan keburukan-keburukan, si dungu tidak menyadari. Ia yang berkebijaksanaan dangkal itu akan menderita karena perbuatan sendiri, bak terbakar api.

143. Hanya ada beberapa saja di dunia, orang yang dengan rasa malu dapat menyingkirkan pemikiran buruk. Hanya ada beberapa saja, orang yang dengan mengusir nidera dapat terjaga, bagaikan kuda tangkas mengelak cambuk.

144. Bersemangatlah! Kerahkan kekuatan, seperti kuda tangkas tersabet cambuk! Dengan berlengkap keyakinan, tata susila, semangat, keteguhan batin, kemampuan menimbang, pengetahuan dan tindak tanduk sempurna, dan perhatian teguh, Kalian akan dapat melenyapkan derita nan tidak sedikit ini.

145. Petugas pengairan mengatur alur air. Pembuat anak panah mengeluk anak panah. Tukang kayu meliuk kayu. Orang yang mudah dinasihati menggeladi diri.

158. Orang bijak patut menempatkan diri di hal patut dulu, baru lalu memberitahu orang lain. (Dengan demikian,) ia tidak bernoda.

159. Seseorang patut menindakkan diri sebagaimana menasihati orang lain. Berlatihlah sebelum melatih karena, konon, diri sendiri sulit dilatih.

160. Diri sendirilah pelindung diri. Sosok lain siapakah dapat menjadi pelindung? Dengan ini, seseorang yang berdiri terlatih baik, akan mendapat perlindungan nan sulit didapat.

161. Oleh diri sendiri keburukan dilakukan, lahir dari diri, berasal dari diri. Keburukan itu akan mencelakai si dungu, laksana berlian melukai intan.

162. Kedursilaan yang akut melilit si pelaku, layaknya ara pencekik melilit pohon sâla. Ia memperlakukan diri sendiri sebagaimana penjahat menghendaki.

163. Perbuatan buruk dan merugikan diri amat mudah dilakukan, sebaliknya perbuatan baik dan bermanfaat amat sulit dilakukan.

164. Karena pandangan nistanya, orang dungu menyangkal ajaran para suciwan nan mulia, hidup sesuai dhamma. Pandangan nistanya muncul demi membunuh diri, layaknya buah bambu muncul demi membunuh pohonnya.

165. Oleh diri sendiri keburukan dilakukan, oleh diri sendiri pula seseorang menjadi kotor. Oleh diri sendiri keburukan tak dilakukan, oleh diri sendiri pula seseorang menjadi suci. Suci tidak suci adalah perihal pribadi. Tiada sosok lain dapat menyucikan lainnya.

167. Tak sepantasnya seseorang bergelut dengan hal rendahan, tak sepatutnya bergumul dengan kelengahan, tak semestinya berpegang pada pandangan keliru, tak seyogianya menjadi pengeruh dunia.

172. Ia yang dulunya lengah menjadi tidak lengah di kemudian waktu dapat menerangi dunia ini, laksana bulan terbebas dari awan.

173. Ia yang membendung perbuatan buruk yang dilakukan dengan kebaikan dapat menerangi dunia ini, laksana bulan terbebas dari awan.

174. Makhluk dunia ini buta. Di dunia ini sedikit makhluk melihat jelas. Ibarat burung dapat lolos dari jaring pengurung, sedikit makhluk tiba ke alam bahagia.

186. Kesenangan inderawi tidak pernah bisa kenyang oleh hujan kepingan emas. Kesenangan inderawi mengandung sekelumit suka, mendatangkan duka. Setelah memahami demikian,

187. orang bijak tidak mengejar kesenangan inderawi walau yang bersifat surgawi. Siswa Sammâsambuddha bersenang dalam kemusnahan kekotoran batin.

206. Adalah hal baik, bertemu dengan para suciwan. Berdiam bersama mereka mendatangkan kebahagiaan sepanjang masa. Seseorang tentu senantiasa berbahagia tidak bertemu dengan para dungu.

207. Sebab, berdiam bersama orang-orang dungu mendatangkan kesedihan dalam lama waktu. Berkumpul dengan mereka senantiasa membawa derita, tak ubahnya berkumpul dengan seteru. Sebaliknya, bijaksanawan memiliki kediaman bersama yang menyenangkan, layaknya himpunan sanak keluarga.

208. Karenanya, bergaullah dengan orang demikian itu, yang cendekia, bijaksana, berpengetahuan luas, mengemban kewajiban, bertata tertib, berbatin bersih, budiman, arif, laksana candra berada pada orbit purnamanya!

232. Seseorang patut menjaga luapan ucapan, mengendalikan ucapan. Setelah menjauhi laku buruk melalui ucapan, ia patut berlaku baik melalui ucapan.

233. Seseorang patut menjaga luapan batin, mengendalikan batin. Setelah menjauhi laku buruk melalui batin, ia patut berlaku baik melalui batin.

234. Para cendekia adalah mereka yang telah mengendalikan jasmani, juga adalah mereka yang telah mengendalikan ucapan. Para cendekia adalah mereka yang telah mengendalikan batin. Mereka sungguh adalah orang yang telah berpengendalian secara menyeluruh dengan baik.

244. Hidup adalah mudah bagi ia yang tidak tahu malu, berani laksana gagak, biasa ingkar budi orang, suka mencari muka, lepas kendali, dan penuh kekotoran.

245. Sebaliknya, hidup adalah sulit bagi ia yang tahu malu, senantiasa berupaya pada laku suci, tidak melekat, terkendali, berpenghidupan bersih, dan menyadari (hakekat penghidupan bersih).

260. Bukan karena berkepala beruban seseorang disebut sesepuh. Ia yang berusia lanjut itu disebut ‘si tua hampa’.

261. Sebaliknya, ia yang menembus kebenaran, meraih dhamma, tidak menyakiti, berpengendalian, terlatih, telah melunturkan noda, dan cendekia itulah disebut ‘sesepuh’.

270. Bukan karena mencelakai makhluk-makhluk lain seseorang disebut ariya, sebaliknya disebut ‘ariya’ karena tidak mencelakai segala jenis makhluk.

306. Ia yang biasa menuduhkan hal tidak benar akan masuk neraka. Begitu pula, ia yang setelah berbuat berkata, ‘Aku tidak berbuat.’ Keduanya adalah manusia pelaku perbuatan rendah yang, sepeninggalnya menuju ke alam lain, akan bernasib sama.

307. Banyak mereka yang berlingkar jubah di leher memiliki hal-hal buruk dan tidak berpengendalian. Mereka yang buruk itu akan masuk ke neraka oleh perbuatan buruknya.

308. Menelan bongkah besi panas laksana berlidah api adalah lebih baik. Apatah mulianya ia yang dursila, tidak berpengendalian, memakan gumpalan nasi penduduk.

314. Perbuatan buruk, tidak dilakukan adalah lebih baik karena perbuatan buruk akan menggarang (si pelaku) di kemudian waktu. Sebaliknya, perbuatan baik, dilakukan adalah lebih baik yang, setelah dilakukan, tidak mendatangkan sesal.

315. Jagalah diri di dalam dan di luarnya, laksana orang menjaga wilayah perbatasan! Janganlah membiarkan waktu berlalu karena mereka yang membiarkannya berlalu mendapati kesedihan, berdesak sesak di neraka!

316. Barangsiapa malu terhadap hal tak memalukan, tidak malu terhadap hal memalukan; mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.

317. Juga, barangsiapa takut terhadap hal tak menakutkan, tidak takut terhadap hal menakutkan; mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.

318. Barangsiapa menganggap tercela terhadap hal tak tercela, menganggap tak tercela terhadap hal tercela; mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.

319. Sebaliknya, barangsiapa menyadari hal tercela sebagai yang tercela, menyadari hal tak tercela sebagai yang tak tercela; mereka yang memegang pandangan benar itu akan menuju ke alam bahagia.

327. Bergembiralah dalam ketidaklengahan! Jagalah kesadaran Kalian masing-masing! Entaskan diri dari kubangan, bak gajah yang terjerembab di lelumpuran dapat mengentas diri!

Mempertahankan kewarasan ditengah ketidakwarasan dunia, adalah tantangan tersendiri bagi penulis ataupun bagi para pembaca yang budiman yang masih melestarikan “pikiran jernih” maupun “akal sehat”, karena sama artinya bergerak melawan arus “mainstream”—seperti disabdakan oleh Sang Buddha, tidak mudah hidup sebagai orang yang tahu malu. Karenanya, kita perlu memaklumi diri kita sendiri ketika kita merasa “letih sendiri” dan seperti “aneh sendiri”, ternyata hal yang lumrah saja ketika kita menghadapi derasnya lautan manusia yang penuh “kekotoran batin” akibat kekotoran mana justru dilestarikan oleh “Agama DOSA” yang alih-alih mempromosikan jalan hidup bebas dari dosa, justru mengkampanyekan “penghapusan / pengampunan dosa” bagi para “pecandu dosa” bernama “pendosa”, begitu toleran terhadap maksiat dan dosa namun disaat bersamaan demikian intoleran terhadap kaum “NON”. Kita patut merasa prihatin, alih-alih merasa bangga menjadi bagian dari bangsa yang masih jauh dari kata “beradab”, namun diberi kekuasaan secara bebas untuk mengendarai “banteng besi” untuk mengintimidasi pejalan kaki yang notabene sesama anak bangsa.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.

Konsultan Hukum HERY SHIETRA & PARTNERS