Kontra-Prestasi dan Kontra-Pembuktian : Apakah Sudah Saling Ber-Prestasi dan Saling dapat Membuktikan?
Siapa yang Mendalilkan Hak maupun yang Membantah
Adanya Kewajiban, Dibebani Beban Pembuktian
Beban Pembuktian secara Proporsional dan Terukur
Question: Apakah benar, lebih mudah di posisi sebagai tergugat, karena hanya perlu bertahan dan membantah (melakukan bantahan) dengan dalil “sesuka hati” karena hanya pihak penggugat yang dibebankan kewajiban oleh hakim untuk membuktikan segala klaimnya dalam gugatan? Maksudnya, apa boleh kita membantah cukup secara sumir saja? Apa ada resikonya, membantah dengan sanggahan-sanggahan yang berlebihan sekalipun?
Brief Answer: Seringkali terjadi, pihak Tergugat mendalilkan
bahwa surat gugatan yang disusun pihak Penggugat bersifat “rancu, kabur, dan
tidak jelas”, semata agar hakim pemeriksa dan pemutus perkara dalam amar
putusannya menyatakan bahwa gugatan “tidak
dapat diterima” karena “obscuure
libel” alias tidak taat terhadap asas-asas penyusunan gugatan yang baik dan
benar. Namun, apakah artinya selaku pihak Tergugat, lantas dapat dibenarkan
untuk mendalilkan bantahan secara serampangan tanpa suatu sikap runut, konsistensi
antar dalil, taat asas pembuktian hukum acara perdata, maupun kejelasan
argumentasi dalam bantah-membantah?
Itulah pertanyaan yang paling relevan untuk
diajukan dan dijadikan bahan pertimbangan dalam berlitigasi oleh kalangan Tergugat
dalam suatu perkara perdata gugat-menggugat. Asas dalam hukum acara perdata
pada khususnya agenda “pembuktian” ialah, siapa yang mendalilkan maka ia
yang dibebani kewajiban untuk membuktikan dalil-dalilnya tersebut—inilah
yang disebut sebagai tidak ber-“standar ganda”, dimana bila Penggugat yang mendalilkan
memiliki suatu hak dan pihak lain memiliki kewajiban maka pihak Penggugat
itulah yang berkewajiban memikul beban pembuktian untuk membuktikan
dalil-dalilnya sebagaimana tertuang dalam surat gugatan.
Sebaliknya, bilamana pihak Tergugat membuktikan
bahwa dirinya tidak memiliki kewajiban dan pihak Penggugat tidak memiliki hak
sebagaimana klaim-klaim dalam surat gugatan yang dibantah, maka pihak Tergugat
tersebutlah yang wajib dibebani beban pembuktian atas dalil-dalilnya demikian, sebagaimana
dituangkan dalam surat jawaban maupun saat agenda acara “pembuktian”. Itulah
yang disebut sebagai “kontra-prestasi” serta “kontra-pembuktian”, kedua belah
pihak didudukkan secara sejajar dan setara dihadapan hukum (equality before the law).
Selain itu, sistem pembuktian dalam hukum negara
yang beradab bersifat proporsional serta terukur—proporsional artinya kedua
belah pihak yang saling gugat-menggugat dibebani kewajiban pembuktian dalil-dalil
klaim maupun dalil-dalil sanggahan, dimana terukur bermakna bilamana satu pihak
lebih dominan posisinya maka dibebani kewajiban pembuktian yang lebih besar
daripada pihak lawannya yang berada dalam posisi lebih lemah akibat ketimpangan
posisi dominan semisal antara gugatan antara Pegawai / Buruh suatu perusahaan
Vs. Manajemen perusahaan.
PEMBAHASAN:
Pernah terjadi, terhadap suatu
gugatan “perbuatan melawan hukum” dimana debitor penerima dana investasi justru
menggelapkan dana milik pihak investornya, sang pelaku penggelapan yang
didudukkan sebagai pihak Tergugat mendalilkan dalam surat jawaban /
bantahannya, bahwa klaim hak berupa tagihan pihak Penggugat adalah
“berlipat-lipat ganda 1.000% hingga 100.000%”. Mungkin maksud hati pihak kuasa
pihak Tergugat, agar hakim menilai bahwa gugatan Penggugat adalah
berlebihan—asumsi yang sangat fatal serta keliru, karena justru memperlemah
posisi bertahan pihak Tergugat itu sendiri, alias kontraproduktif.
Mari kita cermati dalil
bantahan pihak Tergugat sebagaimana contoh diatas, dengan memakai perspektif
mata seorang hakim yang memeriksa dan memutus perkara gugatan dengan bantahan
model demikian. Pertama, pihak Tergugat sendiri saja sudah bersikap “rancu”
namun menuding gugatan Penggugat bersifat “rancu”—ibarat “rancu teriak rancu”—sebenarnya
berapakah sisa hutang yang bersangkutan, 1.000% dari pokok hutang yang diklaim
pihak Penggugat ataukah 100.000%? Kedua, ambil contoh pokok sisa hutang yang
diklaim pihak Penggugat, exclude
bunga ataupun “bagi hasil usaha” sebagaimana disepakati saat investasi atau
dana modal usaha milik Penggugat dipinjamkan kepada Tergugat, ialah 100.000.000
Rupiah. Lalu kita ambil klaim yang paling “lebai” (berlebihan) dari pihak
Tergugat, yakni hutang-piutang membengkak menjadi 100.000%.
Artinya, pihak Tergugat seolah
hendak mendalilkan, bahwa hutangnya hanyalah sekecil nilai dengan kalkulasi
sebagai berikut : 100.000.000 Rupiah : 100.000% = 100.000.000 Rupiah x
100/100.000 = 100.000 Rupiah. Akibatnya, dalam pembuktian dokumen berupa bukti surat
/ slip transfer atau kuitansi, pihak Tergugat dibebankan kewajiban untuk
membuktikan bahwasannya ia telah pernah membayar / mengembalikan pokok hutang
modal usaha yang dahulu ia pinjam sebesar dengan rincian sebagai berikut :
100.000.000 Rupiah — 100.000 Rupiah = 99.900.000 Rupiah.
Bila Tergugat gagal membuktikan
dalil bantahannya tersebut, maka reputasi Tergugat akan runtuh seketika itu
juga dan segala klaim lainnya akan dipandang “sebelah mata” oleh hakim, “too big to fall” sebagai resikonya.
Singkat kata, Penggugat perlu menghindari dirinya untuk mengakui adanya “klaim
hak” secara berlebihan, dan disaat bersamaan pun pihak Tergugat perlu
menghindari dirinya dari tendensi untuk membantah “tiada kewajiban” secara
serampangan, mengingat dampak atau akibatnya bisa sangat fatal serta
serius—mengingat masing-masing pihak harus dapat membuktikan dalil-dalilnya
masing-masing, baik mengakui adanya hak maupun pihak yang membantah adanya
kewajiban.
Adapun dasar hukum acara perdata
perihal pembuktian, salah satunya bertopang pada kaedah Pasal 1865 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, yang memiliki pengaturan cukup ambigu seolah-olah
hanya pihak Penggugat yang dibebani kewajiban untuk membuktikan di hadapan
persidangan, sebagai berikut: “Setiap
orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau guna menegakkan
haknya sendiri maupun membantah sesuatu hak orang lain, menunjuk pada
suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.”
Begitupula ketentuan dalam Pasal
163 HIR (hukum acara perdata di Indonesia) : “Barang siapa, yang mengatakan ia mempunyai hak, atau ia menyebutkan
suatu perbuatan untuk menguatkan hak-nya itu, atau untuk menguatkan haknya itu,
atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan
adanya haknya itu atau adanya kejadian itu.” Sementara itu bila kita
mengedepankan asas “siapa yang mendalilkan, maka ia yang dibebani kewajiban
pembuktian”, atas dasar paradigma berhukum demikian akan kita dapatkan dua
esensi “kontra-pembuktian” yang lebih terperinci, dengan rincian sebagai
berikut:
- subjek hukum yang mendalilkan
suatu hak, kepadanya dibebankan wajib bukti untuk membuktikan hak-hak yang
didalilkannya; dan juga sebaliknya
- subjek hukum yang mengajukan dalil bantahan dalam
rangka menyanggah / membantah hak yang didalilkan pihak lain, kepadanya
dipikulkan beban pembuktian untuk membuktikan dalil bantahannya dimaksud.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.