Hak untuk Tidak Diganggu, adalah Hak Asasi Manusia

Budaya Humanis dan Beradab Vs. Budaya Premanis dan Aroganis

Ada Kewajiban, maka Ada Hak. Ada Hak, maka Ada Kewajiban secara Bertimbal-Balik (Resiprositas / Resiprokal)

MENTALITAS PENJAJAH : Bersikap Seolah-olah Orang Lain Memiliki Kewajiban Delusif terhadap Anda

Disebut sebagai orang buta, karena tidak mampu membedakan mana yang terang dan mana yang gelap. Disebut sebagai orang yang jahat, karena ia gagal membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Disebut sebagai orang-orang yang dungu, ialah mereka yang tumpul dalam membuat perbedaan mana yang benar dan mana yang keliru. Begitupula mereka yang disebut sebagai arogan, disebabkan oleh faktor ke-congkak-an atau keangkuhan pribadi, sehingga tidak menaruh rasa hormat ataupun penghargaan terhadap pribadi / individu lainnya, mereka sama sekali tidak memiliki kemauan untuk membedakan mana yang merupakan “hak” dan mana yang merupakan “kewajiban”—mereka senantiasa menuntut dan mendaku “hak”, namun disaat bersamaan menolak dibebani “kewajiban” bilamana mereka memang memiliki “hak” untuk mereka tuntut dari orang lain.

Kini, penulis hendak mengajak para pembaca untuk mengikuti “tes EQ” sederhana—namun kerap diremehkan—berikut ini. Ketika Anda mendekati seseorang yang tidak Anda kenal, hendak bertanya (yang notabene Anda MEMINTA informasi dari sang warga bersangkutan), namun sang warga tidak memberi respons apapun meski ia mendengarnya, dimana kemudian Anda mengulangi pertanyaan Anda kepada sang warga, dimana untuk itu sang warga kemudian melontarkan kalimat tanggapan sebagai berikut : “Jangan ganggu (saya)”, atau seperti “Saya tidak mau diganggu”, “Saya merasa terganggu”, ataupun cukup berupa tatapan yang berbahasa tubuh “tidak bersedia diganggu”. Lantas, apa yang menjadi sikap Anda terhadap fakta yang Anda jumpai tersebut?

Menjadi kesal, marah, serta jengkel, ataukah menghargai kebebasan serta kemerdekaan sang warga selaku sesama warganegara yang mana bukan seorang “budak budak-jajahan” yang notabene “sederajat di mata hukum” (equality before the law)? Manusia, secara “nature” memiliki kecenderungan tendensi bagaikan air, mengalir ke arah bawah. Emosi maupun cara berpikir manusia yang tidak / belum beradab, sama seperti kecenderungan alamiah pergerakan air tersebut, bergerak ke arah bawah. Tujuan utama pembelajaran, yakni agar si pembelajar membudayakan serta memberadabkan dirinya sendiri. Kita perlu mendidik diri kita sendiri, sepanjang hayat hidup kita, dengan menguasai serta melampaui “otak reptil” di kepala kita.

Ketika Anda bertanya, yang notabene memohon dan meminta sesuatu (berupa informasi) dari orang lain yang bebas dan merdeka—bukan bangsa jajahan siapapun juga bukan budak-jajahan Anda, namun sederajat dengan Anda di mata hukum—tanpa menghargai pilihan bebas warga lain yang kita mintakan informasi, Anda bisa jadi berdelusi bahwa diri Anda memiliki “hak”, sehingga orang lain memiliki “kewajiban” untuk meladeni, melayani, dan memuaskan Anda dengan menjawab satu ataupun lebih pertanyaan Anda. Jika delusi Anda itu benar aanya, bahwa Anda memiliki “hak” untuk mendikte dan mengeksploitasi atau merampas kemerdekaan orang lain untuk berbicara ataukah untuk “remain silent” (tetap diam dan tidak menjawab), maka sejatinya Anda pun patut bertanya kepada diri Anda sendiri : lantas apa yang menjadi “kewajiban” Anda kepada mereka yang Anda “wajib”-kan tersebut.

Jika Anda hanya menghendaki “hak” disaat bersamaan tanpa bersedia dibebani “kewajiban” sebagai kontraprestasi-nya (asas bertimbal-balik, resiprositas), itu sama artinya Anda bermental “penjajah”, yakni “mau menang sendiri”. Bangsa yang benar-benar sudah beradab, tidak perlu segala sesuatu dicantumkan dan ditegaskan dalam konstitusi untuk membedakan mana yang merupakan hak asasi manusia dan mana yang bukan. Kita tidak akan menemukan dalam Undang-Undang Dasar RI 1945 sebagai konstitusi negara kita di Indonesia, pasal-pasal yang menyatakan bahwa “hak untuk diam”, “hak untuk tidak menjawab”, maupun “hak untuk tidak diganggu” adalah dikategorikan sebagai hak asasi manusia. Namun bukan artinya hak-hak mendasar demikian bukanlah hak-hak asasi penduduk selaku bangsa yang bebas dan merdeka—dalam artian bukan bangsa jajahan pihak manapun juga bukan budak-jajahan Anda selaku sesama anak bangsa yang sederajat di mata hukum, mengingat Negara Indonesia merupakan “negara (berdasakan) hukum”.

Mereka yang menjadi “murka” atau “emosionil” semata karena orang yang kita jumpai sekadar mengutarakan kehendak maupun mendeklarasikan hak-nya untuk “tidak mau diganggu”, berdelusi bahwa diri Anda memiliki “hak” terhadap orang lain dan warga lainnya memiliki “kewajiban” terhadap Anda, itulah yang disebut “kelirutahu”, yakni “tahu namun keliru”, persis seperti kutipan berikut di bawah ini:

316. Barangsiapa malu terhadap hal tak memalukan, tidak malu terhadap hal memalukan; mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.

317. Juga, barangsiapa takut terhadap hal tak menakutkan, tidak takut terhadap hal menakutkan; mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.

318. Barangsiapa menganggap tercela terhadap hal tak tercela, menganggap tak tercela terhadap hal tercela; mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.

319. Sebaliknya, barangsiapa menyadari hal tercela sebagai yang tercela, menyadari hal tak tercela sebagai yang tak tercela; mereka yang memegang pandangan benar itu akan menuju ke alam bahagia.

258. ... tidak berpenakut itulah disebut ‘bijaksanawan’.

[Sang Buddha, dalam “Dhammapada”]

Bagaimana bila, orang asing yang menuntut diladeni dan dilayani, sementara itu kita selaku bagian dari anggota bangsa yang bebas dan merdeka mengutarakan dan sekedar memakai hak-nya berupa kehendak bebas, dalam hal ini menyatakan “hak untuk tidak diganggu”, kemudian menjadi emosionil dan bersikap aroganistis bak “premanis” ala “barbarik”, lalu menganiaya kita? Cerminan demikian jauh dari mentalitas “humanis” terlebih “Tuhanis”—masih primitif—dimana dicirikan oleh watak “menyelesaikan setiap masalah dengan kekerasan fisik”. Maka dengan demikian juga, diri yang bersangkutan sudah membuktikan bahwa yang bersangkutan adalah pribadi yang memang tidak layak untuk menyita waktu, perhatian, ataupun kepedulian kita, bukan “orang baik-baik” alias “orang yang tidak benar”—karena tidak takut dosa merampas kemerdekaan orang lain lewat pendiktean, mengintimidasi, menjajah, bahkan menganiaya / mempersekusi warga lainnya secara tanpa hak.

Tidak jarang penulis dapati, pihak asing yang mengganggu aktivitas penulis di luar rumah, sama sekali tidak memiliki sopan-santun ataupun tata-krama, ketika semisal bertanya alamat suatu tempat, tanpa mau menyadari bahwa mereka sejatinya sedang “memohon” atau “meminta”—dimana artinya pihak yang diminta atau dimohon dapat memberi ataupun juga sebaliknya, tidak memberi—sehingga bukan pada tempatnya bersikap bak penjajah terhadap bangsa jajahan kepada sesama anak bangsa. Mereka tidak jarang bertanya dengan nada seperti seseorang memberi perintah atau selayaknya penyidik kepolisian sedang menginterogasi seorang tahanan, kental nuasa aroganistik yang notabene tidak menaruh hormat kepada lawan bicara untuk menghendaki berbicara ataukah “remain silent”.

Tata-krama ketika meminta informasi yang disebut sopan, ialah sebagai berikut : “Permisi / selamat siang, maaf mengganggu, hendak bertanya...”—Jika metode demikian yang digunakan sebagai orang asing kepada warga setempat, maka sang warga yang dimohonkan bantuan berupa informasi akan bersedia membantu sebagai “reward”-nya, mengingat sikap yang dilandasi tata-krama mencerminkan rasa respek ataupun penghormatan terhadap lawan bicara, dimana diri si penanya menyadari bahwa dirinya sudah mengganggu orang yang ia tanya, dimana pihak yang ditanya dihargai haknya bila memang memilih untuk “tidak mau diganggu”. Jika sebaliknya, Anda bersikap tidak menghargai lawan bicara dengan tiba-tiba menyandera aktivitas maupun waktu milik warga lainnya tanpa dilandasi etika komunikasi apapun, bahkan seolah memberi perintah untuk menjawab, atas dasar delusi apa bila Anda merasa berhak diberi “reward” selain akibat mentalitas aroganistik ala bangsa penjajah?

Sejatinya watak atau perangai seseorang yang belum benar-benar dapat disebut sebagai “beradab”, dapat dengan mudah kita “ukur” dan “jengkal” dengan kedua jari tangan, apakah yang bersangkutan adalah “dangkal” ataukah “dalam”, semudah kita mencermati sikap mereka terhadap orang lain. Ketika mereka memaksakan orang lain untuk dibebani “kewajiban”, secara delusif tentunya, sementara Anda sendiri tidak memiliki “hak” untuk memaksa ataupun menyandera kebebasan dan kemerdekaan orang lain, maka itulah saling satu (meski bukan satu-satunya) cerminan “alam bawah sadar” seorang arogan yang “dangkal” cara berpikirnya yang tidak mampu menghargai hak-hak warga lainnya untuk “tidak diganggu”.

Untuk bisa “mengukur” maupun “menjengkal” kedalaman ataupun kedangkalan seseorang, selengkapnya dapat kita rujuk khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, yang menggurai empat fakta perihal seseorang, dengan kutipan sebagai berikut:

“Para bhikkhu, empat fakta [tentang orang-orang] dapat diketahui dari empat fakta [lainnya]. Apakah empat ini?

(1) “Dengan menetap bersama maka perilaku bermoral mereka dapat diketahui, dan ini hanya setelah waktu yang lama, bukan secara sambil lalu; oleh seseorang yang memperhatikan, bukan oleh seseorang yang tidak memperhatikan; dan oleh seorang yang bijaksana, bukan oleh seorang yang tidak bijaksana.

(2) “Dengan berurusan [dengan mereka] maka integritas mereka dapat diketahui, dan ini hanya setelah waktu yang lama, bukan secara sambil lalu; oleh seseorang yang memperhatikan, bukan oleh seseorang yang tidak memperhatikan; dan oleh seorang yang bijaksana, bukan oleh seorang yang tidak bijaksana.

(3) “Melalui kemalangan maka ketabahan mereka dapat diketahui, dan ini hanya setelah waktu yang lama, bukan secara sambil lalu; oleh seseorang yang memperhatikan, bukan oleh seseorang yang tidak memperhatikan; dan oleh seorang yang bijaksana, bukan oleh seorang yang tidak bijaksana.

(4) “Melalui percakapan maka kebijaksanaan mereka dapat diketahui, dan ini hanya setelah waktu yang lama, bukan secara sambil lalu; oleh seseorang yang memperhatikan, bukan oleh seseorang yang tidak memperhatikan; dan oleh seorang yang bijaksana, bukan oleh seorang yang tidak bijaksana.

(1) “Dikatakan: ‘Dengan menetap bersama maka perilaku bermoral mereka dapat diketahui, dan ini hanya setelah waktu yang lama, bukan secara sambil lalu; oleh seseorang yang memperhatikan, bukan oleh seseorang yang tidak memperhatikan; dan oleh seorang yang bijaksana, bukan oleh seorang yang tidak bijaksana.’ Sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

“Di sini, para bhikkhu, dengan menetap bersama dengan orang lain, ia akan mengenalinya sebagai berikut: ‘Sejak lama perilaku yang mulia ini telah rusak, cacat, ternoda, dan bebercak, dan ia tidak secara konsisten menjalankan dan mengikuti perilaku bermoral. Yang mulia ini tidak bermoral, tidak baik.’

“Tetapi pada kasus lainnya, dengan menetap bersama dengan orang lain, ia akan mengetahui sebagai berikut: ‘Sejak lama perilaku yang mulia ini tidak rusak, tidak cacat, tidak ternoda, dan tanpa bercak, dan ia secara konsisten menjalankan dan mengikuti perilaku bermoral. Yang mulia ini bermoral, bukan tidak bermoral.’

“Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ‘Dengan menetap bersama maka perilaku bermoral mereka dapat diketahui, dan ini hanya setelah waktu yang lama, bukan secara sambil lalu; oleh seseorang yang memperhatikan, bukan oleh seseorang yang tidak memperhatikan; dan oleh seorang yang bijaksana, bukan oleh seorang yang tidak bijaksana.’

(2) “Lebih lanjut lagi dikatakan: ‘Dengan berurusan [dengan mereka] maka integritas mereka dapat diketahui, dan ini hanya setelah waktu yang lama, bukan secara sambil lalu; oleh seseorang yang memperhatikan, bukan oleh seseorang yang tidak memperhatikan; dan oleh seorang yang bijaksana, bukan oleh seorang yang tidak bijaksana.’ Sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

“Di sini, para bhikkhu, dengan berurusan dengan seseorang, ia akan mengenalinya sebagai berikut: ‘Yang mulia ini berurusan dengan satu orang dengan cara ini, dengan cara lain jika berurusan dengan dua orang, dan dengan cara lain lagi jika ia berurusan dengan tiga orang, dan dengan cara lain lagi jika ia berurusan dengan banyak orang. Caranya berurusan dalam satu kasus berbeda dengan caranya berurusan dalam kasus lain. Yang mulia ini tidak murni dalam caranya berurusan dengan orang lain, tidak murni dalam cara-caranya berurusan.’

“Tetapi dalam kasus lain, ketika berurusan dengan seseorang, ia mengenalinya sebagai berikut: ‘Dengan cara yang sama ia berurusan dengan satu orang, ia berurusan dengan dua orang, tiga orang, atau banyak orang. Caranya berurusan dalam satu kasus sama dengan caranya berurusan dalam kasus lain. Yang mulia ini murni dalam caranya berurusan dengan orang lain, bukan tidak murni dalam cara-caranya berurusan.’

“Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ‘Dengan berurusan [dengan mereka] maka integritas mereka dapat diketahui, dan ini hanya setelah waktu yang lama, bukan secara sambil lalu; oleh seseorang yang memperhatikan, bukan oleh seseorang yang tidak memperhatikan; dan oleh seorang yang bijaksana, bukan oleh seorang yang tidak bijaksana.’

(3) “Lebih lanjut lagi dikatakan: ‘Melalui kemalangan maka ketabahan mereka dapat diketahui, dan ini hanya setelah waktu yang lama, bukan secara sambil lalu; oleh seseorang yang memperhatikan, bukan oleh seseorang yang tidak memperhatikan; dan oleh seorang yang bijaksana, bukan oleh seorang yang tidak bijaksana.’ Sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

“Di sini, para bhikkhu, seseorang menderita kehilangan sanak saudara, kekayaan, atau kesehatan, tetapi ia tidak merefleksikan sebagai berikut: ‘Kehidupan manusia di dunia memang bersifat demikian (keberdiaman di dunia bersifat demikian, perolehan penjelmaan diri bersifat demikian) bahwa delapan kondisi duniawi berputar di sekeliling dunia, dan dunia berputar di sekeliling kedelapan kondisi duniawi ini, yaitu, untung dan rugi, kehilangan reputasi dan kemasyhuran, dicela dan dipuji, dan kesenangan dan kesakitan.’ Demikianlah ketika menderita kehilangan sanak saudara, kekayaan, atau kesehatan, ia berdukacita, merana, dan meratap; ia menangis sambil memukul dadanya dan menjadi kebingungan.

“Tetapi dalam kasus lain, seseorang menderita kehilangan sanak saudara, kekayaan, atau kesehatan, tetapi ia merefleksikan sebagai berikut: ‘Kehidupan manusia di dunia memang bersifat demikian bahwa delapan kondisi duniawi berputar di sekeliling dunia, dan dunia berputar di sekeliling kedelapan kondisi duniawi ini, yaitu, untung dan rugi, kehilangan reputasi dan kemasyhuran, dicela dan dipuji, dan kesenangan dan kesakitan.’ Demikianlah ketika menderita kehilangan sanak saudara, kekayaan, atau kesehatan, ia tidak berdukacita, tidak merana, dan tidak meratap; ia tidak menangis sambil memukul dadanya dan tidak menjadi kebingungan.

“Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: ‘Melalui kemalangan maka ketabahan mereka dapat diketahui, dan ini hanya setelah waktu yang lama, bukan secara sambil lalu; oleh seseorang yang memperhatikan, bukan oleh seseorang yang tidak memperhatikan; dan oleh seorang yang bijaksana, bukan oleh seorang yang tidak bijaksana.’

(4) “Lebih lanjut lagi dikatakan: ‘Melalui percakapan maka kebijaksanaan mereka dapat diketahui, dan ini hanya setelah waktu yang lama, bukan secara sambil lalu; oleh seseorang yang memperhatikan, bukan oleh seseorang yang tidak memperhatikan; dan oleh seorang yang bijaksana, bukan oleh seorang yang tidak bijaksana.’ Sehubungan dengan apakah hal ini dikatakan?

“Di sini, para bhikkhu, ketika berbicara dengan seseorang, ia mengetahui: ‘Menilai dari cara yang mulia ini memulai, memformulasikan, dan mengajukan pertanyaan, ia adalah seorang yang tidak bijaksana, bukan seorang yang bijaksana. Karena alasan apakah? Yang mulia ini tidak membicarakan hal-hal yang mendalam, damai, luhur, melampaui bidang penalaran, halus, dapat dipahami oleh para bijaksana.

Ketika yang mulia ini membicarakan Dhamma, ia tidak mampu menjelaskan, mengajarkan, menggambarkan, menegakkan, mengungkapkan, menganalisis, dan menguraikan maknanya baik secara ringkas maupun secara terperinci. Yang mulia ini adalah seorang yang tidak bijaksana, bukan seorang yang bijaksana.’

Seperti halnya seseorang yang berpenglihatan baik, dengan berdiri di tepi sebuah kolam, dapat melihat ikan kecil meloncat, ia akan berpikir: ‘Menilai dari cara ikan ini meloncat, dari riak yang ditimbulkan, dari kekuatannya, ini adalah seekor ikan kecil, bukan ikan besar,’ demikian pula, ketika berbicara dengan seseorang, ia mengetahui: ‘Menilai dari cara yang mulia ini memulai, memformulasikan, dan mengajukan pertanyaan, ia adalah seorang yang tidak bijaksana, bukan seorang yang bijaksana.’

“Tetapi dalam kasus lain, ketika berbicara dengan seseorang, ia mengetahui: ‘Menilai dari cara yang mulia ini memulai, memformulasikan, dan mengajukan pertanyaan, ia adalah seorang yang bijaksana, bukan seorang yang tidak bijaksana. Karena alasan apakah? Yang mulia ini membicarakan hal-hal yang mendalam, damai, luhur, melampaui bidang penalaran, halus, dapat dipahami oleh para bijaksana.

Ketika yang mulia ini membicarakan Dhamma, ia mampu menjelaskan, mengajarkan, menggambarkan, menegakkan, mengungkapkan, menganalisis, dan menguraikan maknanya baik secara ringkas maupun secara terperinci. Yang mulia ini adalah seorang yang bijaksana, bukan seorang yang tidak bijaksana.’

Seperti halnya seseorang yang berpenglihatan baik, dengan berdiri di tepi sebuah kolam, dapat melihat ikan besar meloncat, ia akan berpikir: ‘Menilai dari cara ikan ini meloncat, dari riak yang ditimbulkan, dari kekuatannya, ini adalah seekor ikan besar, bukan ikan kecil,’ demikian pula, ketika berbicara dengan seseorang, ia mengetahui: ‘Menilai dari cara yang mulia ini memulai, memformulasikan, dan mengajukan pertanyaan, ia adalah seorang yang bijaksana, bukan seorang yang tidak bijaksana.’

“Adalah sehubungan dengan hal ini maka dikatakan: : ‘Melalui percakapan maka kebijaksanaan mereka dapat diketahui, dan ini hanya setelah waktu yang lama, bukan secara sambil lalu; oleh seseorang yang memperhatikan, bukan oleh seseorang yang tidak memperhatikan; dan oleh seorang yang bijaksana, bukan oleh seorang yang tidak bijaksana.’

“Ini, para bhikkhu, adalah keempat fakta [tentang orang-orang] itu yang dapat diketahui dari empat fakta [lainnya].”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.

Konsultan Hukum HERY SHIETRA & PARTNERS