Perlindungan Hukum bagi Debitor Pemilik Agunan yang Diikat Hak Tanggungan

Contoh Analogi dengan Penerapan Prinsip SIMILIA SIMILIBUS

Question: Apakah sudah pernah ada, putusan Mahkamah Konstitusi yang memberikan perlindungan hukum bagi pemilik agunan berupa sertifikat tanah selaku pemberi jaminan pelunasan hutang debitor yang dijaminkan dengan Hak Tanggungan?

Brief Answer: Baik Fidusia maupun Hak Tanggungan, keduanya berangkat dari genus yang sama, yakni “jaminan kebendaan”. Bila ikatan Fidusia sebagai jaminan pelunasan hutang-piutang dengan objek agunan berupa benda bergerak seperti mesin produksi, hak tagih, kekayaan intelektual, maupun kendaraan bermotor, maka ikatan Hak Tanggungan merupakan jaminan pelunasan hutang-piutang dengan objek agunan berupa benda tidak bergerak berupa hak atas tanah. Karenanya, kaedah-kaedah hukum yang dibentuk oleh putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 18/PUU-XVII/2019 tanggal 06 Januari 2020 tentang Uji Materiil terhadap Undang-Undang Fidusia, sejatinya secara analogi dapat diterapkan / diberlakukan terhadap sengketa terkait Undang-Undang Hak Tanggungan berdasarkan asas “similia similibus”, yang bermakna : dalam perkara yang sama, harus diputus dengan hal yang sama pula.

Dalam putusannya terkait permohonan uji materiil terhadap ketentuan dalam Undang-Undang Fidusia, Mahkamah Konstitusi RI membuat pertimbangan hukum dengan kutipan sebagai berikut:

“...di satu sisi, adanya hak yang bersifat eksklusif yang diberikan kepada kreditur dan, di sisi lain, telah terjadi pengabaian hak debitur yang seharusnya juga mendapat perlindungan hukum yang sama, yaitu hak untuk mengajukan / mendapat kesempatan pembelaan diri atas adanya dugaan telah cidera janji (wanprestasi) dan kesempatan mendapatkan hasil penjualan objek jaminan fidusia dengan harga yang wajar. Dengan kata lain, dalam hal ini, penilaian perihal telah terjadinya “cidera janji” secara sepihak dan eksklusif ditentukan oleh kreditur (penerima fidusia) tanpa memberikan kesempatan kepada deditur (pemberi fidusia) untuk melakukan sanggahan dan atau pembelaan diri.

“Persoalannya adalah kapan “cidera janji” itu dianggap telah terjadi dan siapa yang berhak menentukan? Inilah yang tidak terdapat kejelasannya dalam norma Undang-Undang a quo. Dengan kata lain, ketiadaan kejelasan tersebut membawa konsekuensi yuridis berupa adanya ketidakpastian hukum perihal kapan sesungguhnya pemberi fidusia (debitur) telah melakukan “cidera janji” yang berakibat timbulnya kewenangan yang bersifat absolut pada pihak penerima fidusia (kreditur) untuk menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang berada dalam kekuasaan debitur.

“... ketidakpastian hukum yang berkaitan dengan tata cara pelaksanaan eksekusi dan kepastian tentang waktu kapan pemberi fidusia (debitur) dinyatakan “cidera janji” (wanprestasi), apakah sejak adanya tahapan angsuran yang terlambat atau tidak dipenuhi oleh debitur ataukah sejak jatuh tempo pinjaman debitur yang sudah harus dilunasinya.

Ketidakpastian demikian juga berakibat pada timbulnya penafsiran bahwa hak untuk menentukan adanya “cidera janji” dimaksud ada di tangan kreditur (penerima fidusia). Adanya ketidakpastian hukum demikian dengan sendirinya berakibat hilangnya hak-hak debitur untuk melakukan pembelaan diri dan kesempatan untuk mendapatkan penjualan objek jaminan fidusia dengan harga yang wajar.

“Bahwa dengan demikian telah jelas dan terang benderang sepanjang pemberi hak fidusia (debitur) telah mengakui adanya “cidera janji” (wanprestasi) dan secara sukarela menyerahkan benda yang menjadi objek dalam perjanjian fidusia, maka menjadi kewenangan sepenuhnya bagi penerima fidusia (kreditur) untuk dapat melakukan eksekusi sendiri (parate eksekusi).

“Namun, apabila yang terjadi sebaliknya, di mana pemberi hak fidusia (debitur) tidak mengakui adanya “cidera janji” (wanprestasi) dan keberatan untuk menyerahkan secara sukarela benda yang menjadi objek dalam perjanjian fidusia, maka penerima hak fidusia (kreditur) tidak boleh melakukan eksekusi sendiri melainkan harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada pengadilan negeri. Dengan demikian hak konstitusionalitas pemberi hak fidusia (debitur) dan penerima hak fidusia (kreditur) terlindungi secara seimbang.”

Dengan memakai metode pembentukan hukum bernama analogi, pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi RI di atas dapat pula kita maknai dalam relevansinya dengan objek agunan / jaminan pelunasan hutang-piutang berupa hak atas tanah yang diikat dengan Hak Tanggungan, yakni:

Di satu sisi, adanya hak yang bersifat eksklusif yang diberikan kepada kreditur dan, di sisi lain, telah terjadi pengabaian hak debitur yang seharusnya juga mendapat perlindungan hukum yang sama, yaitu hak untuk mengajukan / mendapat kesempatan pembelaan diri atas adanya dugaan telah cidera janji (wanprestasi) dan kesempatan mendapatkan hasil penjualan objek jaminan Hak Tanggungan dengan harga yang wajar. Dengan kata lain, dalam hal ini, penilaian perihal telah terjadinya “cidera janji” secara sepihak dan eksklusif ditentukan oleh kreditur (penerima Hak Tanggungan) tanpa memberikan kesempatan kepada deditur (pemberi Hak Tanggungan) untuk melakukan sanggahan dan atau pembelaan diri.

Persoalannya adalah kapan “cidera janji” itu dianggap telah terjadi dan siapa yang berhak menentukan? Inilah yang tidak terdapat kejelasannya dalam norma Undang-Undang a quo. Dengan kata lain, ketiadaan kejelasan tersebut membawa konsekuensi yuridis berupa adanya ketidakpastian hukum perihal kapan sesungguhnya pemberi fidusia (debitur) telah melakukan “cidera janji” yang berakibat timbulnya kewenangan yang bersifat absolut pada pihak penerima Hak Tanggungan (kreditur) untuk menjual benda yang menjadi objek jaminan Hak Tanggungan yang berada dalam kekuasaan debitur.

Ketidakpastian hukum yang berkaitan dengan tata cara pelaksanaan eksekusi dan kepastian tentang waktu kapan pemberi Hak Tanggungan (debitur) dinyatakan “cidera janji” (wanprestasi), apakah sejak adanya tahapan angsuran yang terlambat atau tidak dipenuhi oleh debitur ataukah sejak jatuh tempo pinjaman debitur yang sudah harus dilunasinya.

Ketidakpastian demikian juga berakibat pada timbulnya penafsiran bahwa hak untuk menentukan adanya “cidera janji” dimaksud ada di tangan kreditur (penerima Hak Tanggungan). Adanya ketidakpastian hukum demikian dengan sendirinya berakibat hilangnya hak-hak debitur untuk melakukan pembelaan diri dan kesempatan untuk mendapatkan penjualan objek jaminan Hak Tanggungan dengan harga yang wajar.

Sepanjang pemberi Hak Tanggungan (debitur) telah mengakui adanya “cidera janji” (wanprestasi) dan secara sukarela menyerahkan benda yang menjadi objek dalam perjanjian Hak Tanggungan, maka menjadi kewenangan sepenuhnya bagi penerima Hak Tanggungan (kreditur) untuk dapat melakukan eksekusi sendiri (parate eksekusi).

Namun, apabila yang terjadi sebaliknya, di mana pemberi Hak Tanggungan (debitur) tidak mengakui adanya “cidera janji” (wanprestasi) dan keberatan untuk menyerahkan secara sukarela benda yang menjadi objek dalam perjanjian Hak Tanggungan, maka penerima Hak Tanggungan (kreditur) tidak boleh melakukan eksekusi sendiri melainkan harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada pengadilan negeri. Dengan demikian hak konstitusionalitas pemberi Hak Tanggungan (debitur) dan penerima Hak Tanggungan (kreditur) terlindungi secara seimbang.

PEMBAHASAN:

PUTUSAN

Nomor 18/PUU-XVII/2019

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:

...

B. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PARA PEMOHON

7. Bahwa Pemohon I merupakan Pemberi Fidusia dalam Sertifikat Jaminan Fidusia (Pemberi Fidusia) Nomor W11.01617952.AH.05.01 yang mengalami kerugian secara langsung akibat dari penarikan objek jaminan fidusia yang dilakukan oleh Penerima Fidusia [Bukti P-4];

8. Bahwa Pemohon II merupakan suami dari Pemohon I [Bukti P-5] yang secara faktual terlibat aktif dalam pembayaran cicilan atau kredit mobil yang menjadi objek jaminan fidusia, sehingga ketika Penerima Fidusia melakukan tindakan penarikan objek jaminan fidusia maka Pemohon II, baik secara langsung maupun tidak langsung mengalami kerugian yang sama sebagaimana dialami Pemohon I;

9. Bahwa dengan berlakunya pasal a quo yang dimohonkan para Pemohon, senyatanya telah merugikan hak konstitusional para Pemohon. Kekuasaan yang berlebihan dan tanpa kontrol mekanisme hukum yang sewajarnya, dengan menyetarakan kedudukan Sertifikat Jaminan Fidusia dengan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, telah mengakibatkan tindakan sewenang-wenang Penerima Fidusia untuk melakukan eksekusi terhadap objek jaminan fidusia, bahkan dengan menghalalkan segala macam cara serta tanpa melalui prosedur hukum yang benar;

10. Bahwa tindakan sewenang-wenang yang dilakukan Penerima Fidusia dilakukan dengan cara menyewa jasa debt collector, untuk mengambil alih barang yang dikuasai Pemohon tanpa melalui prosedur hukum yang benar. Ada beberapa momentum tindakan paksa, tanpa menunjukkan bukti dan dokumen resmi, tanpa kewenangan, dengan menyerang diri pribadi, kehormatan, harkat dan martabat, serta mengancam akan membunuh Para Pemohon; [Bukti P-6]

11. Bahwa atas tindakannya itu, terdapat Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 345/PDT.G/2018/PN.Jkt.Sel yang menyatakan bahwa tindakan Penerima Fidusia sebagaimana dijelaskan di atas, merupakan perbuatan melawan hukum. Oleh karena itu, Penerima Fidusia bahkan telah diberikan sanksi untuk membayar denda baik Materiil maupun Immateriil. [Bukti P-7]

Adapun Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 345/PDT.G/ 2018/PN.Jkt.Sel menyatakan sebagai berikut:

a. Dalam Gugatan Konvensi:

- Dalam Eksepsi:

Menolak eksepsi T1 (PT. Astra Sedaya Finance), T2 (Idris Hutapea), T3 (M. Halomoan Tobing) dan TT (Otoritas Jasa Keuangan) untuk seluruhnya;

- Dalam Pokok Perkara:

1. Mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian;

2. Menyatakan T1 (PT. Astra Sedaya Finance), T2 (Idris Hutapea), dan T3 (M. Halomoan Tobing) telah MELAKUKAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM yang merugikan PEMOHON I;

3. Menghukum T1 (PT. Astra Sedaya Finance), T2 (Idris Hutapea), dan T3 (M. Halomoan Tobing) secara tanggung renteng membayar kerugian materiil kepada penggugat sebesar Rp. 100.000,-;

4. Menghukum T1 (PT. Astra Sedaya Finance), T2 (Idris Hutapea), dan T3 (M. Halomoan Tobing) secara tanggung renteng membayar ganti rugi kerugian immateriil kepada penggugat sebesar Rp. 200.000.000,-;

5. Menghukum TT (Otoritas Jasa Keuangan) untuk mematuhi isi putusan ini;

12. Bahwa meskipun telah ada Putusan Pengadilan terkait perselisihan antara Pemberi dan Penerima Fidusia tersebut di atas, Penerima Fidusia tetap mengabaikannya dengan tetap melakukan penarikan terhadap objek jaminan Fidusia pada tanggal 11 Januari 2019, dengan mendasarkan bahwa Perjanjian Fidusia dianggap telah berkekuatan hukum tetap dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal yang sedang dimohonkan a quo. [Bukti P-8]

13. Bahwa berdasarkan hal itu, kerugian konstitusional yang dialami para Pemohon bersifat spesifik dan aktual. Jika ketentuan pasal a quo tidak ada atau paling tidak, dapat dimaknai seperti permohonan a quo maka kerugian konstitusional para Pemohon tidak akan terjadi;

14. Bahwa dengan demikian, para Pemohon menilai perlindungan hak milik pribadi, kehormatan, harkat, dan martabat yang dijamin oleh UUD 1945 telah dilanggar dengan berlakunya ketentuan Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU No. 42/1999 yang memberikan kesempatan kepada penerima fidusia untuk melakukan perbuatan-perbuatan atau paling tidak menafsirkan pasal a quo sehingga bertindak sewenang-wenang dengan menindas harkat dan martabat serta kehormatan Para Pemohon, sehingga secara mutatis mutandis kerugian konstitusional yang dialami para Pemohon bersifat spesifik dan aktual sekaligus kerugian yang dialami para Pemohon memiliki hubungan sebab-akibat (causalitas) dengan berlakunya ketentuan pasal yang sedang dimohonkan pengujian a quo;

15. Bahwa berdasarkan uraian di atas, maka Pemohon telah memenuhi kualitas maupun kapasitas sebagai Pemohon pengujian UU No. 42/1999 terhadap UUD 1945 sebagaimana ditentukan dalam UU Mahkamah Konstitusi, Peraturan Mahkamah Konstitusi, maupun sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi yang memberikan penjelasan mengenai syarat-syarat untuk menjadi pemohon pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945. Oleh karenanya, jelas pula Para Pemohon memiliki hak dan kepentingan hukum untuk mengajukan permohonan uji materiil Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU No. 42/1999 terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4)UUD 1945;

C. POKOK PERMOHONAN

16. Bahwa permohonan ini terkait keberlakuan ketentuan Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU No. 42/1999 tentang Jaminan Fidusia yang selanjutnya berbunyi sebagai berikut:

Pasal 15 ayat (2)

Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

Pasal 15 ayat (3)

Apabila debitur cidera janji Penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjual Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri.

3. PERTIMBANGAN HUKUM

[3.2] Menimbang bahwa permohonan Pemohon adalah permohonan untuk menguji konstitusionalitas norma undang-undang, in casu Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889, selanjutnya disebut UU 42/1999), sehingga Mahkamah berwenang permohonan a quo.

[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan uraian ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon sebagai berikut:

2. Bahwa Pemohon I dan Pemohon II, suami istri, menerangkan kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagai perorangan warga negara Indonesia, yang berkedudukan sebagai Pemberi Fidusia (debitur) sebagaimana perjanjian jaminan fidusia berdasarkan sertifikat Jaminan Fidusia Nomor W11.01617952.AH.05.01 (Bukti P-4). Pemohon I dan Pemohon II mengalami kerugian atas penarikan atau eksekusi objek jaminan fidusia (mobil) oleh Penerima Fidusia (kreditur) yang dilakukan secara sewenang-wenang tanpa ada prosedur hukum dengan menggunakan debt collector walaupun Pemohon II telah secara aktif membayar cicilan atau kredit mobil yang menjadi objek jaminan. Pemohon I dan Pemohon II telah jelas menguraikan kualifikasi maupun hak konstitusionalnya, khususnya dalam hal ini hak konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, yang menurut anggapan mereka dirugikan oleh norma UU 42/1999 yang dimohonkan pengujiannya.

Berdasarkan seluruh uraian para Pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukumnya sebagaimana diuraikan di atas, dalam kualifikasinya tersebut, para Pemohon telah jelas menerangkan hak-hak konstitusionalnya yang dianggap dirugikan oleh berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan pengujian di mana kerugian dimaksud timbul dari adanya hubungan kausal antara norma yang dimohonkan pengujian dan kerugian yang dianggap dialami oleh para Pemohon sehingga apabila permohonan dikabulkan maka kerugian dimaksud tidak akan terjadi, dengan demikian terlepas dari terbukti atau tidaknya inkonstitusionalitas norma UU 42/1999 yang dimohonkan pengujian, Mahkamah berpendapat para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo;

[3.6] Menimbang bahwa karena Mahkamah berwenang mengadili Permohonan a quo dan para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan.

Pokok Permohonan

[3.7] Menimbang bahwa menurut para Pemohon norma Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (selanjutnya disebut UU 42/1999) bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945, dengan dalil-dalil sebagaimana selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara yang pada pokoknya sebagai berikut:

1. Bahwa menurut para Pemohon ketentuan Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang a quo, pada prinsipnya memberikan jaminan dan perlindungan kepastian hukum terhadap Penerima Fidusia (kreditur) dalam memberikan kredit terhadap Pemberi Fidusia (debitur). Adapun jaminan dan perlindungan kepastian hukum itu, terlihat secara tegas dalam konsideran menimbang yang merupakan landasan dibentuknya UU 42/1999. Di mana UU ini lahir atas kebutuhan yang besar dan terus meningkat bagi dunia usaha atas tersedianya dana. Oleh karena itu diperlukan jaminan Fidusia sebagai lembaga jaminan agar mampu memacu pembangunan nasional pada saat krisis ekonomi sedang melanda.

2. Bahwa menurut para Pemohon bentuk jaminan dan perlindungan kepastian hukum dalam pemberian kredit tersebut, ditunjukkan dengan pengaturan jaminan eksekusi terhadap objek fidusia. Dengan menyamakan kekuatan eksekutorial Sertifikat Jaminan Fidusia dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap [vide Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999]. Oleh karena itu, dalam Sertifikat Jaminan Fidusia dicantumkan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” layaknya sebuah putusan pengadilan [vide Pasal 15 ayat (1) UU 14/1999];

3. Bahwa menurut para Pemohon Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang a quo, disatu sisi telah memberikan penguatan hak kepada Penerima Fidusia (kreditur) untuk menjual benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri, dalam hal debitur cidera janji. Namun pada sisi yang lain pengaturan dalam pasal a quo, hanya berfokus untuk memberikan kepastian hukum atas hak Penerima Fidusia (kreditur) dengan jalan dapat melakukan eksekusi Objek Fidusia secara serta merta. Oleh karena itulah, ketentuan ini menemukan kelemahannya khususnya dalam memberikan pemaknaan detail pelaksanaannya yang justru dapat melanggar hak Pemberi Fidusia (debitur);

4. Bahwa menurut para Pemohon ketentuan pasal a quo, justru luput untuk memberikan kepastian hukum yang adil, jaminan, dan perlakuan yang sama di hadapan hukum, serta perlindungan terhadap hak milik pribadi Pemberi Fidusia (debitur). Akibatnya, pengaturan ini luput untuk menjelaskan tentang kedudukan Sertifikat Jaminan Fidusia jika dihadapkan dengan Putusan Pengadilan, mekanisme dan prosedur penyitaan Objek Fidusia, serta mekanisme untuk menentukan tindakan cidera janji debitur.

5. Bahwa menurut para Pemohon ketentuan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang a quo, khususnya sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan” telah menimbulkan ketidakpastian hukum oleh karenanya bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sebab menurut para Pemohon keberadaan frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan” dapat dimaknai secara tidak sama dan berbeda beda. Pertama, ketentuan a quo memberikan kekuasaan / legitimasi kepada penerima fidusia (kreditur) untuk secara langsung melakukan eksekusi terhadap objek fidusia dalam hal dianggap telah melakukan cidera janji. Mekanisme eksekusi itu bisa dilakukan secara serta merta tanpa melalui prosedur hukum yang benar dengan orientasi pengambil alihan objek fidusia. Hal tersebut justru dapat memunculkan kesewenang-wenangan penerima fidusia (kreditur) dalam melakukan eksekusi objek fidusia seperti halnya yang dialami oleh para Pemohon. [vide Bukti P-6]

6. Bahwa menurut para Pemohon model pemaknaan Kedua, frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan” dapat dimaknai bahwa apakah prosedur eksekusi terhadap Sertifikat Jaminan Fidusia dilakukan sama seperti prosedur dan mekanisme eksekusi sebagaimana pelaksanaan eksekusi terhadap putusan pengadilan. Oleh karenanya menurut para Pemohon materi muatan sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999, seharusnya tidak berhenti pada ketentuan yang mempersamakan antara “sertifikat fidusia” dengan “putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” tanpa mengatur lebih lanjut bagaimana prosedur eksekusi itu dapat dilaksanakan agar sesuai juga dengan mekanisme eksekusi atas putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Sehingga kurang lengkapnya materi muatan Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 tersebut berimplikasi pada pengabaian terhadap asas kepastian hukum (legal certainty) dan asas keadilan hukum (legal justice), karena lebih cenderung melindungi Penerima Fidusia daripada melindungi kepentingan konsumen (pemberi fidusia);

7. Bahwa menurut para Pemohon mestinya, dengan mempersamakan “sertifikat fidusia” dengan “putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”, maka prosedur pelaksanaan eksekusi objek fidusia juga seharusnya dipersamakan atau paling tidak serupa dengan prosedur eksekusi putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), yaitu dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 196 Herzien Inlandsch Reglement (HIR);

Pasal 196 HIR

“Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi isi keputusan itu dengan damai, maka fihak yang menang memasukkan permintaan, baik dengan lisan, maupun dengan surat, kepada ketua, pengadilan negeri yang tersebut pada ayat pertama pasal 195, buat menjalankan keputusan itu Ketua menyuruh memanggil fihak yang dikalahkan itu serta memperingatkan, supaya ia memenuhi keputusan itu di dalam tempo yang ditentukan oleh ketua, yang selama-lamanya delapan hari”.

8. Bahwa menurut para Pemohon model pemaknaan Ketiga, frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan” dapat dimaknai bahwa apakah Sertifikat Jaminan Fidusia dapat mengesampingkan putusan pengadilan atas perjanjian turunan dan perjanjian pokoknya, meskipun belum memiliki kekuatan hukum mengikat. Sebab jika ada kepastian hukum atas pertanyaan sebagaimana model pemaknaan ketiga itu, maka seharusnya kasus yang menimpa para Pemohon tidak akan terjadi. Karena ketiadaan kepastian hukum atas pemaknaan pasal a quo, para Pemohon mengalami tindakan penyitaan objek fidusia secara melawan hukum. Bahkan ketika telah ada putusan pengadilan yang menyatakan tindakan penarikan objek fidusia itu dinilai sebagai tindakan yang salah dan merupakan perbuatan melawan hukum, Penerima Fidusia tetap melakukan penarikan terhadap objek fidusia. [vide bukti P-7] dan [vide Bukti P-8]

9. Bahwa menurut para Pemohon, pengaturan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU 42/1999 juga telah memberikan hak eksklusif kepada kreditur untuk melakukan eksekusi objek fidusia bahkan kedudukannya sama dengan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, tanpa mekanisme dan prosedur penilaian yang jelas dalam melihat tindakan debitur yang dinilai “cidera janji”. Sedangkan pemberi fidusia (debitur), tidak diberikan mekanisme hukum yang setara untuk menguji kebenarannya;

10. Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, para Pemohon memohon agar Mahkamah Konstitusi menyatakan:

a. Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 tentang Jaminan Fidusia sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”;

b. Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 tentang Jaminan Fidusia sepanjang frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “dalam hal terdapat putusan pengadilan terkait objek perjanjian turunan dan perjanjian pokoknya, maka eksekusi terhadap objek jaminan fidusia, merujuk pada putusan pengadilan terkait”;

c. Pasal 15 ayat (3) UU 42/1999 tentang Jaminan Fidusia sepanjang frasa “cidera janji” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “dalam hal penentuan adanya tindakan “cidera janji” dapat dilakukan oleh Penerima Fidusia (kreditur) dalam hal tidak ada keberatan dan melakukan upaya hukum, atau paling tidak dalam hal adanya upaya hukum maka melalui putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap”;

[3.12] Menimbang bahwa setelah mendengar dan membaca secara saksama permohonan para Pemohon dan keterangan para pihak beserta bukti-bukti yang diajukan, pada intinya permohonan a quo menguji konstitusionalitas Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU 42/1999 yang menurut para Pemohon bertentangan dengan UUD 1945 dengan alasan-alasan sebagaimana yang terurai pada Paragraf [3.7]. Terhadap dalil-dalil para Pemohon tersebut, sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan hal-hal sebagai berikut:

1. Bahwa pengertian Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda. Dari pengertian tersebut dalam Jaminan Fidusia melekat kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

2. Bahwa Jaminan Fidusia merupakan jaminan yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada pemegangnya, yang artinya penyerahan benda jaminan secara constitutum posseisorium, di mana penyerahan kepada penerima fidusia (kreditur) adalah hak milik atas benda atas dasar kepercayaan, sedangkan fisik benda yang menjadi objek jaminan tetap ada pada pemberi fidusia (debitur).

3. Bahwa Jaminan Fidusia merupakan perjanjian yang bersifat accesoir dengan perjanjian utamanya yang artinya bahwa perjanjian pokoknya adalah berupa perjanjian pinjam-meminjam atau perjanjian lain yang dapat dinilai dengan uang sepanjang yang menjadi objek perjanjian fidusia adalah benda bergerak, baik berwujud atau tidak berwujud maupun benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan.

4. Bahwa Jaminan Fidusia mengandung asas preferensi artinya kreditur penerima fidusia berkedudukan sebagai kreditur yang diutamakan dari kreditur lainnya (asas droit de preference) di samping itu juga melekat asas bahwa Jaminan Fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dalam tangan siapapun benda tersebut berada (asas droit de suite atau zaaksgevolg) serta asas bahwa Jaminan Fidusia adalah asesoritas yang artinya Jaminan Fidusia merupakan perjanjian ikutan.

5. Bahwa Jaminan Fidusia mengandung syarat publisitas yang bersifat mutlak atau absolut yang artinya bahwa Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan mengikat dan bersifat eksekutorial setelah didaftarkannya perjanjian fidusia tersebut dan telah dikeluarkan sertifikat Jaminan Fidusia yang di dalamnya tercantum irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Dengan demikian, terhadap sertifikat jaminan fidusia melekat kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

[3.13] Menimbang bahwa setelah mencermati prinsip-prinsip perjanjian Jaminan Fidusia sebagaimana diuraikan tersebut dalam Paragraf [3.12] selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan asas kepastian hukum dan keadilan yang menjadi syarat fundamental berlakunya sebuah norma dari undang-undang, dalam konteks UU 42/1999, sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap para pihak yang menjadi subjek hukum dan objek benda yang menjadi jaminan dalam perjanjian Jaminan Fidusia tersebut;

Bahwa perjanjian Jaminan Fidusia dilakukan oleh pihak pemberi hak fidusia yang dalam hal ini disebut sebagai debitur dan pihak penerima hak fidusia yang dalam hal ini disebut sebagai kreditur. Pemberian hak fidusia tersebut oleh debitur kepada kreditur sebagai jaminan adanya hubungan hukum utang-piutang yang menjadi perjanjian pokok dengan tujuan agar kreditur mempunyai jaminan hak tagih dalam pemenuhan pembayaran utang debitur yang dapat dilakukan dengan cara melakukan eksekusi terhadap barang jaminan tersebut.

Salah satu karakteristik dari perjanjian fidusia adalah adanya penyerahan hak milik barang yang menjadi jaminan dari debitur kepada kreditur sehingga secara yuridis seolah-olah barang yang dalam penguasaan debitur sesungguhnya sudah beralih menjadi hak milik kreditur, sementara itu penguasaan secara fisik terhadap barang jaminan tersebut tetap berada pada debitur berdasarkan asas kepercayaan.

Bahwa lebih lanjut, apabila dicermati perjanjian Jaminan Fidusia yang objeknya adalah benda bergerak dan/atau tidak bergerak sepanjang tidak dibebani hak tanggungan dan subjek hukum yang dapat menjadi pihak dalam perjanjian dimaksud adalah kreditur dan debitur, maka perlindungan hukum yang berbentuk kepastian hukum dan keadilan seharusnya diberikan terhadap ketiga unsur tersebut di atas, yaitu kreditur, debitur, dan objek hak tanggungan. Dengan identifikasi terhadap persoalan perjanjian Jaminan Fidusia tersebut, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan sejauh mana Undang-Undang Jaminan Fidusia khususnya norma dari pasal-pasal yang berkaitan dengan perjanjian jaminan fidusia telah bekerja dalam mewujudkan bentuk perlindungan hukum baik kepastian hukum maupun keadilan bagi pihak-pihak yang terikat oleh suatu perjanjian fidusia dan objek yang menjadi Jaminan dalam perjanjian fidusia tersebut.

[3.14] Menimbang bahwa untuk mendapatkan deskripsi yang lengkap dalam menilai ada atau tidaknya permasalahan yang berkaitan dengan bentuk perlindungan hukum baik kepastian hukum maupun keadilan terhadap pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian fidusia termasuk juga objek yang menjadi Jaminan Fidusia, maka tidak dapat dilepaskan dari esensi dasar norma yang mengatur tentang sifat perjanjian Jaminan Fidusia terutama terhadap norma pasal yang dipersoalkan oleh para Pemohon yaitu Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU 42/1999. Norma yang termuat dalam pasal a quo merupakan norma yang bersifat fundamental. Sebab, dari norma yang termuat dalam pasal tersebutlah terbit kekuatan eksekusi yang dapat dilaksanakan sendiri oleh pemegang jaminan fidusia (kreditur) yang kemudian banyak menimbulkan permasalahan, baik terkait dengan konstitusionalitas norma maupun implementasi.

Bahwa berkaitan dengan permasalahan konstitusionalitas Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 yang memberikan “titel eksekutorial” terhadap sertifikat fidusia dan “mempersamakan dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap” di dalamnya terkandung makna bahwa sertifikat fidusia mempunyai kekuatan eksekusi tanpa disyaratkan adanya putusan pengadilan yang didahului oleh adanya gugatan secara keperdataan dan pelaksanaan eksekusinya diperlakukan sama sebagaimana halnya terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Dari kandungan makna sebagaimana yang tersirat dalam norma Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 tersebut di atas secara sederhana dapat dipahami bahwa sertifikat fidusia memberikan hak yang sangat kuat kepada penerima fidusia, dalam hal ini kreditur, karena sertifikat fidusia langsung dapat bekerja setiap saat ketika pemberi fidusia, dalam hal ini debitur, telah dianggap cidera janji.

Argumentasinya adalah karena, secara hukum, dalam perjanjian fidusia hak milik kebendaan sudah berpindah menjadi hak penerima fidusia (kreditur), sehingga kreditur dapat setiap saat mengambil objek jaminan fidusia dari debitur dan selanjutnya menjual kepada siapapun dengan kewenangan penuh ada pada kreditur dengan alasan karena kekuatan eksekusi dari sertifikatnya telah dipersamakan dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Bahwa dalam perspektif kandungan makna sebagaimana diuraikan tersebut di atas nampak jelas dan terang benderang bahwa aspek konstitusionalitas yang terdapat dalam norma Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 di atas tidak mencerminkan adanya pemberian perlindungan hukum yang seimbang antara pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian fidusia dan juga objek yang menjadi Jaminan Fidusia, baik perlindungan hukum dalam bentuk kepastian hukum maupun keadilan.

Sebab, dua elemen mendasar yang terdapat dalam pasal a quo, yaitu “titel eksekutorial” maupun “dipersamakannya dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap”, berimplikasi dapat langsung dilaksanakannya eksekusi yang seolah-olah sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap oleh penerima fidusia (kreditur) tanpa perlu meminta bantuan pengadilan untuk pelaksanaan eksekusi.

Hal tersebut menunjukkan, di satu sisi, adanya hak yang bersifat eksklusif yang diberikan kepada kreditur dan, di sisi lain, telah terjadi pengabaian hak debitur yang seharusnya juga mendapat perlindungan hukum yang sama, yaitu hak untuk mengajukan / mendapat kesempatan pembelaan diri atas adanya dugaan telah cidera janji (wanprestasi) dan kesempatan mendapatkan hasil penjualan objek jaminan fidusia dengan harga yang wajar. Dengan kata lain, dalam hal ini, penilaian perihal telah terjadinya “cidera janji” secara sepihak dan eksklusif ditentukan oleh kreditur (penerima fidusia) tanpa memberikan kesempatan kepada deditur (pemberi fidusia) untuk melakukan sanggahan dan atau pembelaan diri.

[3.15] Menimbang bahwa berkenaan dengan pertimbangan perihal tidak adanya perlindungan hukum yang seimbang kepada kreditur dan debitur dalam perjanjian fidusia sebagaimana diuraikan dalam pertimbangan sebelumnya, penting bagi Mahkamah untuk mengaitkan hal tersebut dengan prinsip adanya penyerahan hak milik objek jaminan fidusia dari debitur selaku pemberi fidusia kepada kreditur selaku penerima fidusia. Prinsip penyerahan hak milik yang berkenaan dengan objek fidusia tersebut mencerminkan bahwa sesungguhnya substansi perjanjian yang demikian secara nyata menunjukkan adanya ketidakseimbangan posisi tawar antara pemberi hak fidusia (debitur) dengan penerima hak fidusia (kreditur) karena pemberi fidusia (debitur) berada dalam posisi sebagai pihak yang membutuhkan.

Dengan kata lain, disetujuinya substansi perjanjian demikian oleh para pihak sesungguhnya secara terselubung berlangsung dalam “keadaan tidak bebas secara sempurna dalam berkehendak,” khususnya pada pihak debitur (pemberi fidusia). Padahal, kebebasan kehendak dalam sebuah perjanjian merupakan salah satu syarat yang fundamental bagi keabsahan sebuah perjanjian (vide Pasal 1320 KUHPerdata).

Bahwa dengan mencermati beberapa permasalahan yang berkaitan dengan konstitusionalitas norma Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 yang memberikan “titel eksekutorial” dan “mempersamakan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” telah ternyata dapat berdampak pada adanya tindakan secara sepihak yang dilakukan oleh kreditur yaitu kreditur melakukan eksekusi sendiri terhadap objek jaminan fidusia dengan alasan telah berpindahnya hak kepemilikan objek fidusia tanpa melalui proses eksekusi sebagaimana seharusnya sebuah pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu seharusnya dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri.

Sebagai konsekuensi logisnya, tindakan secara sepihak yang dilakukan oleh kreditur selaku penerima hak fidusia berpotensi (bahkan secara aktual telah) menimbulkan adanya tindakan sewenang-wenang dan dilakukan dengan cara yang kurang “manusiawi”, baik berupa ancaman fisik maupun psikis yang sering dilakukan kreditur (atau kuasanya) terhadap debitur yang acapkali bahkan dengan mengabaikan hak-hak debitur.

[3.16] Menimbang bahwa meskipun berdasarkan pertimbangan di atas sesungguhnya telah tampak adanya persoalan konstitusionalitas dalam norma Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999, oleh karena Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 berkait langsung dengan Pasal 15 ayat (3) UU 42/1999, selain karena permohonan para Pemohon a quo juga mendalilkan kaitan demikian dalam permohonannya, maka Mahkamah akan mempertimbangkan terlebih dahulu konstitusionalitas norma Pasal 15 ayat (3) UU 42/1999.

Bahwa setelah dicermati dengan saksama telah ternyata ketentuan yang diatur dalam norma Pasal 15 ayat (3) UU 42/1999 merupakan lanjutan dari ketentuan yang diatur dalam norma Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 yang secara substansi merupakan konsekuensi yuridis akibat adanya “titel eksekutorial” dan “dipersamakannya sertifikat jaminan fidusia dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap” sebagaimana substansi norma yang terkandung dalam Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999.

Bahwa substansi norma dalam Pasal 15 ayat (3) UU 42/1999 berkaitan dengan adanya unsur debitur yang “cidera janji” yang kemudian memberikan hak kepada penerima fidusia (kreditur) untuk menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri.

Persoalannya adalah kapan “cidera janji” itu dianggap telah terjadi dan siapa yang berhak menentukan? Inilah yang tidak terdapat kejelasannya dalam norma Undang-Undang a quo. Dengan kata lain, ketiadaan kejelasan tersebut membawa konsekuensi yuridis berupa adanya ketidakpastian hukum perihal kapan sesungguhnya pemberi fidusia (debitur) telah melakukan “cidera janji” yang berakibat timbulnya kewenangan yang bersifat absolut pada pihak penerima fidusia (kreditur) untuk menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang berada dalam kekuasaan debitur.

Dengan demikian, telah ternyata bahwa dalam substansi norma Pasal 15 ayat (3) UU 42/1999, juga terdapat permasalahan konstitusionalitas turunan yang tidak dapat dipisahkan dengan permasalahan yang sama dengan ketentuan yang substansinya diatur dalam norma Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999, yaitu ketidakpastian hukum yang berkaitan dengan tata cara pelaksanaan eksekusi dan kepastian tentang waktu kapan pemberi fidusia (debitur) dinyatakan “cidera janji” (wanprestasi), apakah sejak adanya tahapan angsuran yang terlambat atau tidak dipenuhi oleh debitur ataukah sejak jatuh tempo pinjaman debitur yang sudah harus dilunasinya.

Ketidakpastian demikian juga berakibat pada timbulnya penafsiran bahwa hak untuk menentukan adanya “cidera janji” dimaksud ada di tangan kreditur (penerima fidusia). Adanya ketidakpastian hukum demikian dengan sendirinya berakibat hilangnya hak-hak debitur untuk melakukan pembelaan diri dan kesempatan untuk mendapatkan penjualan objek jaminan fidusia dengan harga yang wajar.

[3.17] Menimbang bahwa tidak adanya kepastian hukum, baik berkenaan dengan tata cara pelaksanaan eksekusi maupun berkenaan dengan waktu kapan pemberi fidusia (debitur) dinyatakan “cidera janji” (wanprestasi), dan hilangnya kesempatan debitur untuk mendapatkan penjualan objek jaminan fidusia dengan harga yang wajar, di samping sering menimbulkan adanya perbuatan “paksaan” dan “kekerasan” dari orang yang mengaku sebagai pihak yang mendapat kuasa untuk menagih pinjaman utang debitur, dapat bahkan telah melahirkan perbuatan sewenang-wenang yang dilakukan oleh penerima fidusia (kreditur) serta merendahkan harkat dan martabat debitur.

Hal demikian jelas merupakan bukti adanya persoalan inkonstitusionalitas dalam norma yang diatur dalam Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU 42/1999. Sebab, kalaupun sertifikat fidusia mempunyai titel eksekutorial yang memberikan arti dapat dilaksanakan sebagaimana sebuah putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, prosedur atau tata-cara eksekusi terhadap sertifikat fidusia dimaksud harus mengikuti tata-cara pelaksanaan eksekusi sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 196 HIR atau Pasal 208 RBg.

Dengan kata lain, eksekusi tidak boleh dilakukan sendiri oleh penerima fidusia melainkan harus dengan mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri. Ketentuan Pasal 196 HIR atau Pasal 208 RBg selengkapnya adalah:

“Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi isi keputusan itu dengan damai, maka fihak yang menang memasukkan permintaan, baik dengan lisan, maupun dengan surat, kepada ketua, pengadilan negeri yang tersebut pada ayat pertama pasal 195, buat menjalankan keputusan itu Ketua menyuruh memanggil fihak yang dikalahkan itu serta memperingatkan, supaya ia memenuhi keputusan itu di dalam tempo yang ditentukan oleh ketua, yang selama-lamanya delapan hari”.

Bahwa lebih lanjut penting ditegaskan oleh Mahkamah, tanpa bermaksud mengabaikan karakteristik fidusia yang memberikan hak secara kebendaan kepada pemegang atau penerima fidusia (kreditur), sehingga pemegang atau penerima fidusia (kreditur) dapat melakukan eksekusi sendiri terhadap barang yang secara formal adalah miliknya sendiri, demi kepastian hukum dan rasa keadilan yaitu adanya keseimbangan posisi hukum antara pemberi hak fidusia (debitur) dan penerima fidusia (kreditur) serta untuk menghindari timbulnya kesewenang-wenangan dalam pelaksanaan eksekusi, Mahkamah berpendapat kewenangan eksklusif yang dimiliki oleh penerima hak fidusia (kreditur) tetap dapat melekat sepanjang tidak terdapat permasalahan dengan kepastian waktu perihal kapan pemberi hak fidusia (debitur) telah “cidera janji” (wanprestasi) dan debitur secara suka rela menyerahkan benda yang menjadi objek dari perjanjian fidusia kepada kreditur untuk dilakukan penjualan sendiri. Dengan kata lain, dalam hal ini, pemberi fidusia (debitur) mengakui bahwa dirinya telah “cidera janji” sehingga tidak ada alasan untuk tidak menyerahkan benda yang menjadi objek perjanjian fidusia kepada penerima fidusia (kreditur) guna dilakukan penjualan sendiri oleh penerima fidusia (kreditur).

Bahwa dengan demikian telah jelas dan terang benderang sepanjang pemberi hak fidusia (debitur) telah mengakui adanya “cidera janji” (wanprestasi) dan secara sukarela menyerahkan benda yang menjadi objek dalam perjanjian fidusia, maka menjadi kewenangan sepenuhnya bagi penerima fidusia (kreditur) untuk dapat melakukan eksekusi sendiri (parate eksekusi).

Namun, apabila yang terjadi sebaliknya, di mana pemberi hak fidusia (debitur) tidak mengakui adanya “cidera janji” (wanprestasi) dan keberatan untuk menyerahkan secara sukarela benda yang menjadi objek dalam perjanjian fidusia, maka penerima hak fidusia (kreditur) tidak boleh melakukan eksekusi sendiri melainkan harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada pengadilan negeri. Dengan demikian hak konstitusionalitas pemberi hak fidusia (debitur) dan penerima hak fidusia (kreditur) terlindungi secara seimbang.

[3.18] Menimbang bahwa dengan pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan di atas telah cukup alasan bagi Mahkamah untuk menyatakan norma Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999, khususnya frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” hanya dapat dikatakan konstitusional sepanjang dimaknai bahwa “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang telah terjadinya “cidera janji” (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”.

Sementara itu, terhadap norma Pasal 15 ayat (3) UU 42/1999 khususnya frasa “cidera janji” hanya dapat dikatakan konstitusional sepanjang dimaknai bahwa “adanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji”, sebagaimana selengkapnya akan dituangkan dalam amar putusan perkara a quo;

Bahwa pendirian Mahkamah sebagaimana yang akan ditegaskan dalam amar putusan perkara a quo tidaklah serta-merta menghilangkan keberlakuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan eksekusi sertifikat jaminan fidusia yang bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum kepada para pihak yang terikat dalam perjanjian fidusia, sepanjang sejalan dengan pertimbangan dan pendirian Mahkamah a quo.

Dengan demikian, baik eksekusi yang dilaksanakan oleh kreditur sendiri karena telah ada kesepakatan dengan pihak debitur maupun eksekusi yang diajukan melalui pengadilan negeri, tetap dimungkinkan bantuan dari kepolisian dengan alasan untuk menjaga keamanan dan ketertiban dalam proses pelaksanaan eksekusi. Bantuan demikian sudah merupakan kelaziman dalam setiap pengadilan negeri menjalankan fungsi dalam pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam perkara perdata pada umumnya.

[3.19] Menimbang bahwa dengan telah dinyatakannya inkonstitusional terhadap frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” dalam norma Pasal 15 ayat (2) dan frasa “cidera janji” dalam norma Pasal 15 ayat (3) UU 42/1999, meskipun Pemohon tidak memohonkan pengujian Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 namun dikarenakan pertimbangan Mahkamah berdampak terhadap Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999, maka terhadap frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” dalam Penjelasan norma Pasal 15 ayat (2) dengan sendirinya harus disesuaikan dengan pemaknaan yang menjadi pendirian Mahkamah terhadap norma yang terdapat dalam Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 dengan pemaknaan “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”, sebagaimana selengkapnya akan dituangkan dalam amar putusan perkara a quo.

Oleh karena itu tata cara eksekusi sertifikat jaminan fidusia sebagaimana yang diatur dalam ketentuan lain dalam Undang-Undang a quo, disesuaikan dengan Putusan Mahkamah a quo;

[3.20] Menimbang bahwa oleh karena permohonan para Pemohon berkaitan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU 42/1999 dapat dibenarkan oleh Mahkamah, namun oleh karena pemaknaan terhadap frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” sebagaimana yang termuat dalam norma Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 dan frasa “cidera janji” sebagaimana yang termuat dalam Pasal 15 ayat (3) UU 42/1999, seperti halnya yang dimohonkan oleh para Pemohon berbeda dengan pendirian Mahkamah di dalam memaknai frasa-frasa dalam norma-norma dimaksud. Oleh karena itu Mahkamah berpendapat bahwa permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.

5. AMAR PUTUSAN

Mengadili:

1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;

2. Menyatakan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889) sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”;

3. Menyatakan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889) sepanjang frasa “cidera janji” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “adanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji”.

4. Menyatakan Penjelasan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889) sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”;

5. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;

6. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.

Konsultan Hukum HERY SHIETRA & PARTNERS