Cacat Falsafah Paling Mendasar Konsep HAK ASASI MANUSIA, Tidak Realistis

Pendosa Ditempatkan di Neraka, Orang Jahat Ditempatkan di Penjara, Manusia Iblis Ditempatkan di Tiang Pancung, dan Manusia Sampah Ditempatkan di Tong Sampah, itu Disebut PROPORSIONAL Sesuai Tempatnya Masing-Masing

Makna Vonis dan Eksekusi Hukuman Pidana sebagai “YOU ASKED FOR IT!

Question: Sebenarnya apa yang disebut sebagai “hak asasi manusia” atau “human rights”, terutama “hak untuk hidup” yang antinominya ialah “vonis maupun eksekusi hukuman mati” dimana keduanya kerap saling dibenturkan, apakah ada cacat argumentasinya, terhadap pihak-pihak yang menyebut bahwa “hak untuk hidup” sifatnya ialah “non-derogable right” alias “hak yang tidak dapat disimpangi atas alasan apapun”? Bukankah praktiknya selama ini di jalanan, bila ada penjahat yang melakukan perlawanan, petugas polisi boleh menembak mati sang penjahat hingga tewas seketika di tempat, itu namanya apa jika bukan “eksekusi di tempat”, demi melindungi korban?

Brief Answer: Secara falsafah, seseorang kriminil yang melakukan kejahatan, bukan divonis ataupun dieksekusi hukuman pidana, namun ia sendiri yang meminta untuk dihukum dan dieksekusi dengan secara sengaja dan sadar melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku (asas legalitas non-retroaktif). Sehingga, bilamana ada kalangan-kalangan yang tetap memilih untuk melanggar hukum positif maupun asas fiktif “semua orang dianggap tahu hukum” (atau jenis-jenis kejahatan yang sifatnya tergolong primitif seperti membunuh, merampok, mencuri, menipu, menganiaya, premanisme, hingga peredaran obat-obatan terlarang, dsb), yang karenanya sebagai konsekuensi yuridisnya divonis pidana penjara atau bahkan divonis hukuman mati, maka yang terjadi sesungguhnya ialah “YOU ASKED FOR IT!” (mereka sendiri yang memintanya). Berani berbuat, berani dimintakan pertanggung-jawaban secara hukum pidana.

Aparatur penegak hukum yang murni menjadi penegak hukum dengan niat semata demi menegakkan hukum, semisal karena latar belakang keluargannya atau pribadi sang aparatur penegak hukum itu sendiri yang telah pernah menjadi korban, maka motivasinya menegakkan hukum ialah “Agar tidak ada lagi dan tidak boleh ada lagi yang menjadi KORBAN seperti kami!” Itulah sebabnya, demi menghentikan agresi Jepang dalam Perang Dunia ke-2, Jepang di-bom atom. Jika Perang Dunia terus berlanjut dan tidak segera diakhiri seketika itu juga, maka korban jiwanya akan jauh lebih masif serta meluas daripada korban jiwa akibat bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki. Karena itulah, secara moral maupun etika, dijatuhkannya bom atom ke Jepang, sejatinya pihak Jepang itu sendiri yang “memintanya” dimana warga Jepang dapat mengajukan tuntutan moral terhadap pemerintahannya sendiri karena melakukan penjajahan ke negara-negara lainnya.

PEMBAHASAN:

Bila ada satu bagian tubuh kita yang membusuk akibat infeksi kuman atau bakteri, maka dokter yang baik akan menyarankan Anda untuk mengamputasinya. Demi kebaikan, sang pasien perlu menerima kenyataan dan merelakannya. Telur yang busuk, perlu segera dipisahkan dari telur-telur lainnya, agar telur-telur lainnya tidak terkontaminasi dan ikut membusuk. Begitupula manusia-manusia yang memilih menjadi “manusia sampah”, perlu dieliminir sedari dini demi kebaikan yang lebih besar, sebagaimana khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID IV”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, dengan kutipan sebagai berikut:

10 (10) Sampah

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Campā di tepi Kolam Seroja Gaggārā. Pada saat itu para bhikkhu sedang mengecam seorang bhikkhu atas suatu pelanggaran. Ketika sedang dikecam, bhikkhu itu menjawab dengan cara mengelak, mengalihkan pembicaraan pada topik yang tidak berhubungan, dan memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan.

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: [169] “Para bhikkhu, usir orang ini! Para bhikkhu, usir orang ini! Orang ini harus dikeluarkan. Mengapakah putra orang lain harus menjengkelkan kalian?

[Kitab Komentar : Maknanya tampaknya adalah bahwa si bhikkhu yang bermasalah, karena perilakunya, bukanlah seorang siswa sejati Sang Buddha dan oleh karena itu dapat dianggap sebagai “putra” (yaitu, siswa) dari guru lain.]

“Di sini, para bhikkhu, selama para bhikkhu tidak melihat pelanggarannya, seseorang tertentu memiliki gaya yang sama dalam hal (1) berjalan pergi dan (2) berjalan kembali, (3) melihat ke depan dan (4) berpaling, (5) membungkukkan badan dan (6) menegakkan bagian-bagian tubuhnya, dan (7) mengenakan jubah dan (8) membawa jubah luar dan mangkuknya seperti para bhikkhu baik lainnya. Akan tetapi, ketika mereka melihat pelanggarannya, maka mereka mengenalinya sebagai kerusakan di antara para petapa, bagaikan sekam dan sampah di antara para petapa. Kemudian mereka mengusirnya. Karena alasan apakah? Agar ia tidak merusak para bhikkhu yang baik.

“Misalkan ketika sebuah lahan gandum sedang tumbuh, setangkai gandum yang rusak akan muncul yang hanya berupa sekam dan sampah di antara gandum-gandum lainnya. Selama buahnya belum muncul, akarnya akan tampak sama seperti [tanaman] lainnya, gandum-gandum yang baik; tangkainya akan tampak sama seperti [tanaman] lainnya, gandum-gandum yang baik; dedaunannya akan tampak sama seperti [tanaman] lainnya, gandum-gandum yang baik. Akan tetapi, ketika buahnya muncul, mereka mengenalinya sebagai gandum rusak, hanya sekam [170] dan sampah di antara gandum-gandum lainnya. Maka mereka mencabutnya di akarnya dan membuangnya keluar dari lahan gandum. Karena alasan apakah? Agar gandum rusak itu tidak merusak gandum-gandum yang baik.

“Demikian pula selama para bhikkhu tidak melihat pelanggarannya, seseorang tertentu di sini memiliki gaya yang sama dalam hal berjalan pergi … dan membawa jubah luar dan mangkuknya seperti para bhikkhu baik lainnya. Akan tetapi, ketika mereka melihat pelanggarannya, mereka mengenalinya sebagai kerusakan di antara para petapa, hanya sekam dan sampah di antara para petapa. Maka mereka mengusirnya. Karena alasan apakah? Agar ia tidak merusak para bhikkhu yang baik.

“Misalkan ketika sebuah tumpukan besar padi sedang ditampi, padi-padi yang utuh dan berbiji membentuk suatu tumpukan di satu sisi, dan angin meniup padi-padi yang rusak dan sekam ke sisi lainnya. Kemudian si pemilik mengambil sapu dan menyapunya lebih jauh lagi. Karena alasan apakah? Agar padi-padi rusak dan sekam itu tidak merusak padi-padi yang baik.

“Demikian pula selama para bhikkhu tidak melihat pelanggarannya, seseorang tertentu di sini memiliki gaya yang sama dalam hal berjalan maju … dan membawa jubah luar dan mangkuknya seperti para bhikkhu baik lainnya. Akan tetapi, ketika mereka melihat pelanggarannya, mereka mengenalinya sebagai [171] kerusakan di antara para petapa, hanya sekam dan sampah di antara para petapa. Maka mereka mengusirnya. Karena alasan apakah? Agar ia tidak merusak para bhikkhu yang baik.

“Misalkan seseorang memerlukan sebuah saluran untuk sumur. Ia akan membawa kapak tajam dan pergi ke hutan. Ia akan memukul sejumlah pohon dengan bilah kapaknya. Ketika dipukul, pohon yang kokoh dan padat akan memberikan suara yang padat, tetapi pohon yang lapuk, rusak, dan membusuk di dalam akan memberikan suara yang kosong. Orang itu akan memotong pohon itu pada akarnya, memotong pucuknya, dan membersihkannya dengan seksama, dan menggunakannya sebagai saluran pada sumurnya.

“Demikian pula selama para bhikkhu tidak melihat pelanggarannya, seseorang tertentu di sini memiliki gaya yang sama dalam hal berjalan maju … dan membawa jubah luar dan mangkuknya seperti para bhikkhu baik lainnya. Akan tetapi, ketika mereka melihat pelanggarannya, mereka mengenalinya sebagai kerusakan di antara para petapa, hanya sekam dan sampah di antara para petapa. Maka mereka mengusirnya. Karena alasan apakah? Agar ia tidak merusak para bhikkhu yang baik.” [172]

Dengan hidup bersama dengannya, mengenalinya sebagai seorang pemarah yang berkeinginan jahat;

seorang pencemar, keras kepala, dan kurang-ajar, iri, kikir, dan menipu.

Ia berbicara kepada orang-orang bagaikan seorang petapa,

[berkata kepada mereka] dengan suara tenang,

tetapi diam-diam ia melakukan perbuatan jahat,

Menganut pandangan sesat, dan tanpa hormat.

Walaupun ia penuh tipu daya, pengucap kebohongan;

kalian harus mengenalinya sebagaimana adanya ia sesungguhnya;

kemudian kalian seluruhnya harus berkumpul dalam kerukunan

dan dengan tegas mengusirnya.

Tinggalkanlah sampah!

Lenyapkan teman-teman yang rusak!

Sapulah sekam, bukan-petapa yang menganggap diri mereka sendiri adalah para petapa!

Setelah mengusir mereka yang berkeinginan jahat,

yang berperilaku dan memiliki tempat kunjungan yang buruk,

berdiam dalam kerukunan, senantiasa penuh perhatian,

yang murni dengan yang murni;

maka, dalam kerukunan, awas,

kalian akan mengakhiri penderitaan.

Para pengusung konsep hak asasi manusia, senyatanya telah “berstandar ganda” (double standart) dengan tidak pernah memikirkan kepentingan kalangan korban. Bahkan, penjahat pelaku tindak pidana berat yang layak untuk dihukum mati, dibela dengan menyebut-nyebut “hak untuk hidup”, seolah-olah para korban jiwa dari sang kriminil tidak punya “hak untuk hidup”. Disamping itu, ajaran agama samawi yang mengandung “moral hazard” berupa menegasikan “perspektif korban”, dengan semata berpihak kepada kalangan orang jahat (hanya PENDOSA dan KORUPTOR DOSA yang butuh “PENGHAPUSAN / PENGAMPUNAN / PENEBUSAN DOSA”), dimana Allah memberikan “kabar gembira” bagi kalangan penjahat / pendosa dengan menghapus dosa-dosa para penjahat / pendosa tersebut, dan disaat bersamaan menghadirkan “kabar buruk / duka” bagi kalangan korban yang hanya bisa “gigit jari” alias dirampas haknya untuk menuntut keadilan.

Yang menjadi “hak asasi KORBAN”, ialah menuntut dan mendapatkan keadilan. Allah, sejatinya telah melanggar “hak asasi KORBAN” dengan menghapus dosa-dosa kalangan PENJAHAT (PENDOSA PECANDU PENGHAPUSAN DOSA). Terhadap dosa dan maksiat, begitu kompromistik, namun terhadap kaum yang berbeda keyakinan begitu intoleran. Babi, disebut “haram”, dan kaum “NON” di-“kafir-kafirkan”. Adapun “PENGHAPUSAN DOSA” (yang bundling dengan “DOSA-DOSA UNTUK DIHAPUSKAN”) justru disebut “halal” serta dijadikan maskot “halal lifestyle”, dimana para pendosa pemeluknya berlomba-lomba mengoleksi segudang dosa, memproduksi segunung dosa, berkubang dalam samudera dosa, dan bersimbah dosa, agar tidak “merugi”—akan tetapi berilusi memonopolisir alam surgawi, surganya kalangan PENDOSAWAN.

Ideologi KORUP semacam “abolition of sins” dikampanyekan tanpa rasa malu diumbar secara vulgar dan tanpa ditabukan, sekalipun berbuat dosa adalah “AURAT TERBESAR”, alih-alih mempromosikan gaya hidup higienis dari dosa dan maksiat. Sehingga menjadi pertanyaan mendasar, dogma-dogma yang bahkan lebih KORUP dari komun!sme demikian (paham atau ideologi komun!sme bahkan sama sekali tidak mempromosikan “PENGHAPUSAN DOSA”, bagi PENDOSA tentunya), adalah “Agama SUCI yang bersumber dari Kitab SUCI” ataukah “Agama DOSA yang bersumber dari Kitab DOSA”?—kesemuanya dikutip dari Hadis Sahih Muslim:

- No. 4852 : “Dan barangsiapa yang bertemu dengan-Ku dengan membawa kesalahan sebesar isi bumi tanpa menyekutukan-Ku dengan yang lainnya, maka Aku akan menemuinya dengan ampunan sebesar itu pula.

- No. 4857 : “Barang siapa membaca Subhaanallaah wa bi hamdihi (Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya) seratus kali dalam sehari, maka dosanya akan dihapus, meskipun sebanyak buih lautan.

- No. 4863 : “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengajarkan kepada orang yang baru masuk Islam dengan do'a; Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, dan anugerahkanlah aku rizki).”

- No. 4864 : “Apabila ada seseorang yang masuk Islam, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengajarinya tentang shalat kemudian disuruh untuk membaca do'a: Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii wa'aafini warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, sehatkanlah aku dan anugerahkanlah aku rizki).”

- No. 4865 : “Ya Rasulullah, apa yang sebaiknya saya ucapkan ketika saya memohon kepada Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: 'Ketika kamu memohon kepada Allah, maka ucapkanlah doa sebagai berikut; 'Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, selamatkanlah aku,”

- Aku mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina’.” [Shahih Bukhari 6933]

- Dari Anas radhiallahu ‘anhu, ia berkata : Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : Allah ta’ala telah berfirman : “Wahai anak Adam, selagi engkau meminta dan berharap kepada-Ku, maka Aku akan mengampuni dosamu dan Aku tidak pedulikan lagi. Wahai anak Adam, walaupun dosamu sampai setinggi langit, bila engkau mohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku memberi ampun kepadamu. Wahai anak Adam, jika engkau menemui Aku dengan membawa dosa sebanyak isi bumi, tetapi engkau tiada menyekutukan sesuatu dengan Aku, niscaya Aku datang kepadamu dengan (memberi) ampunan sepenuh bumi pula. (HR. Tirmidzi, Hadits hasan shahih) [Tirmidzi No. 3540]

PENDOSA, namun hendak berceramah perihal akhlak, hidup suci, luhur, adil, jujur, mulia, agung, lurus, bertanggung-jawab, berjiwa ksatria, dan bersih? Bukankah itu menyerupai ORANG BUTA yang hendak menuntun kalangan BUTAWAN lainnya, berbondong-bondong menuju lembah-jurang nista yang kelam dan deras terperosok masuk ke dalamnya secara berjemaah, dimana neraka pun dipandang dan diyakini sebagai surga. Sekalipun para PENDOSA PECANDU PENGHAPUSAN DOSA tersebut merupakan kaum pemalas yang begitu pemalas merepotkan diri untuk menanam benih-benih Karma Baik untuk mereka petik sendiri buah manisnya di kehidupan mendatang, dan disaat bersamaan merupakan pengecut yang begitu pengecut untuk bertanggung-jawab atas perbuatan-perbuatan buruk mereka sendiri yang telah pernah atau masih sedang menyakiti, melukai, maupun merugikan pihak-pihak lainnya, namun justru sibuk mabuk serta kecanduan “PENGHAPUSAN DOSA”, masih juga mereka berdelusi sebagai kaum paling superior yang berhak untuk menghakimi kaum lainnya serta mengklaim diri mereka sebagai “polisi moral”?

Siapakah yang paling mengharap dihapus dosa-dosanya? Tentunya para PENDOSA maupun KORUPTOR DOSA. Orang suci yang terlatih dalam disiplin diri ketat bernama “self-control”, orang berjiwa ksatria yang berani tampil untuk bertanggung-jawab atas perbuatannya sendiri sehingga korban tidak perlu menuntut terlebih mengemis-ngemis pertanggung-jawaban, tidak pernah butuh “PENGHAPUSAN DOSA”. Semakin BERDOSA, semakin sang PENDOSA tergila-gila mencandu dan mabuk “PENGHAPUSAN DOSA”. Mabuk “DOSA-DOSA UNTUK DIHAPUSKAN” dan disaat bersamaan juga kecanduan “PENGHAPUSAN DOSA” (keduanya bersifat “bundling” alias komplomenter dua sisi dalam sekeping mata logam, bagaikan odol dan sikat gigi), lewat teladan mabuk serta kecanduan sang nabi junjungan para BUTAWAN—juga masih dikutip dari Hadis Muslim:

- No. 4891. “Saya pernah bertanya kepada Aisyah tentang doa yang pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memohon kepada Allah Azza wa Jalla. Maka Aisyah menjawab; 'Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan.’

- No. 4892. “Aku bertanya kepada Aisyah tentang do'a yang biasa dibaca oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka dia menjawab; Beliau membaca: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan.’

- No. 4893. “dari 'Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di dalam do'anya membaca: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukkan sesuatu yang telah aku lakukan, dan dari keburukkan sesuatu yang belum aku lakukan.’”

- No. 4896. “dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwasanya beliau pemah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, ampunilah kesalahan, kebodohan, dan perbuatanku yang terlalu berlebihan dalam urusanku,  serta ampunilah kesalahanku yang Engkau lebih mengetahui daripadaku. Ya Allah, ampunilah aku dalam kesungguhanku, kemalasanku, dan ketidaksengajaanku serta kesengajaanku yang semua itu ada pada diriku. Ya Allah, ampunilah aku atas dosa yang telah berlalu, dosa yang mendatang, dosa yang aku samarkan, dosa yang aku perbuat dengan terang-terangan dan dosa yang Engkau lebih mengetahuinya daripada aku,”

- Aisyah bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR Bukhari Muslim]

Konsultan Hukum HERY SHIETRA & PARTNERS