PENDOSA PECANDU PENGHAPUSAN DOSA (KORUPTOR DOSA) Belum Terbebaskan dari KEKOTORAN BATIN, Justru dengan Bangga Mengoleksi Segunung KEKOTORAN BATIN
Question: Mengapa ada yang bilang, bahwa hidup dan dunia ini adalah tidak ideal adanya?
Brief Answer: Karena Allah lebih PRO terhadap penjahat
(pendosa), ketimbang bersikap adil kepada para korban dari para penjahat
(pendosa) tersebut yang telah menyakiti, melukai, maupun merugikan sang korban.
Kehidupan umat manusia sudah cukup berat serta penuh tragedi, dan kondisi dunia
ini sudah cukup memprihatinkan. Namun, dengan sadistiknya kemudian Allah
(justru) mewahyukan “Agama DOSA”—yang mempromosikan “PENGHAPUSAN DOSA” bagi
PENDOSA maupun KORUPTOR DOSA, alih-alih mengkampanyekan gaya hidup higienis
dari dosa-dosa dan maksiat—dimana penjahat (PENDOSA PECANDU PENGHAPUSAN DOSA)
dimasukkan ke surga, sehingga lengkap sudah penderitaan korban yang ibarat sudah
terluka, masih ditambah dengan ditaburkan garam ke luka tersebut. Itulah sebabnya,
Pangeran Siddhatta Gotama memilih untuk berjuang memutus belenggu rantai karma
(break the shackle of kamma) agar
tidak lagi terlahir dalam rahim manapun, yang karenanya tidak lagi menjadi
bagian dari alam manapun di dunia ini.
PEMBAHASAN:
Terhadap dosa dan maksiat,
demikian kompromistik. Namun, terhadap kaum yang berbeda keyakinan, begitu
intoleran. Babi, disebut sebagai “HARAM”. Akan tetapi telah ternyata iming-iming
KORUP semacam “PENGHAPUSAN / PENGAMPUNAN DOSA” maupun “PENEBUSAN DOSA” (justru)
ironisnya disebut “HALAL” serta dijadikan maskot “HALAL LIFESTYLE”. Ini dan itu
disebut “haram”. ini dan itu disebut “dilarang Allah”. Akan tetapi pada muaranya,
ialah mabuk serta kecanduan “PENGHAPUSAN DOSA” (abolition of sins) dimana sifatnya bundling dengan “DOSA-DOSA UNTUK
DIHAPUSKAN”. Berikut bukti, bahwa Allah lebih PRO terhadap penjahat (PENDOSA
PECANDU PENGHAPUSAN DOSA)—kesemuanya dikutip dari Hadis Sahih Muslim:
- No.
4852 : “Dan barangsiapa yang bertemu dengan-Ku dengan membawa kesalahan sebesar isi
bumi tanpa menyekutukan-Ku dengan yang lainnya, maka Aku akan menemuinya dengan
ampunan sebesar itu pula.”
- No.
4857 : “Barang siapa membaca
Subhaanallaah wa bi hamdihi (Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya) seratus
kali dalam sehari, maka dosanya akan
dihapus, meskipun sebanyak buih lautan.”
- No.
4863 : “Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam mengajarkan kepada orang yang baru masuk Islam dengan do'a;
Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku,
tunjukkanlah aku, dan anugerahkanlah aku rizki).”
- No.
4864 : “Apabila ada seseorang yang masuk
Islam, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengajarinya tentang shalat kemudian
disuruh untuk membaca do'a: Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii wa'aafini
warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku,
kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, sehatkanlah aku dan anugerahkanlah aku
rizki).”
- No.
4865 : “Ya Rasulullah, apa yang sebaiknya
saya ucapkan ketika saya memohon kepada Allah Yang Maha Mulia dan Maha
Agung?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: 'Ketika kamu
memohon kepada Allah, maka ucapkanlah doa sebagai berikut; 'Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku,
selamatkanlah aku,”
- Aku
mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:
“Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja
yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya,
‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina’.” [Shahih
Bukhari 6933]
- Dari Anas radhiallahu ‘anhu, ia berkata :
Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : Allah
ta’ala telah berfirman : “Wahai anak Adam, selagi engkau meminta dan berharap
kepada-Ku, maka Aku akan mengampuni dosamu dan Aku tidak pedulikan lagi.
Wahai anak Adam, walaupun dosamu sampai
setinggi langit, bila engkau mohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku memberi
ampun kepadamu. Wahai anak Adam, jika engkau menemui Aku dengan membawa dosa sebanyak isi bumi, tetapi engkau tiada menyekutukan
sesuatu dengan Aku, niscaya Aku datang kepadamu dengan (memberi) ampunan
sepenuh bumi pula”. (HR. Tirmidzi, Hadits hasan shahih) [Tirmidzi No.
3540]
PENDOSA,
namun hendak berceramah perihal akhlak, hidup suci, luhur, adil, jujur, mulia,
agung, lurus, bertanggung-jawab, berjiwa ksatria, dan bersih? Siapakah yang
paling mengharap dihapus dosa-dosanya? Tentunya para PENDOSA. Semakin BERDOSA,
semakin sang PENDOSA tergila-gila mencandu dan mabuk “PENGHAPUSAN DOSA”. Mabuk
“DOSA-DOSA UNTUK DIHAPUSKAN” dan disaat bersamaan juga mabuk “PENGHAPUSAN
DOSA”, lewat teladan mabuk serta kecanduan sang nabi pemabuk junjungan para
pemabuk berikut yang dijadikan patokan “standar moral” mayoritas penduduk di dunia
ini—juga masih dikutip dari Hadis Muslim:
- No.
4891. “Saya pernah bertanya kepada Aisyah
tentang doa yang pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
memohon kepada Allah Azza wa Jalla. Maka Aisyah
menjawab; 'Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah berdoa
sebagai berikut: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan
yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan.’”
- No.
4892. “Aku bertanya kepada Aisyah tentang
do'a yang biasa dibaca oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka dia
menjawab; Beliau membaca: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku
lakukan dan yang belum aku lakukan.’”
- No.
4893. “dari 'Aisyah bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam di dalam do'anya membaca: ‘Ya Allah, aku
berlindung kepada-Mu dari keburukkan
sesuatu yang telah aku lakukan, dan dari keburukkan sesuatu yang belum aku
lakukan.’”
- No. 4896. “dari Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam bahwasanya beliau pemah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, ampunilah kesalahan, kebodohan, dan
perbuatanku yang terlalu berlebihan dalam urusanku, serta ampunilah
kesalahanku yang Engkau lebih mengetahui daripadaku. Ya Allah, ampunilah aku dalam kesungguhanku, kemalasanku, dan ketidaksengajaanku serta kesengajaanku yang semua itu ada pada
diriku. Ya Allah, ampunilah aku atas
dosa yang telah berlalu, dosa yang mendatang, dosa yang aku samarkan, dosa yang
aku perbuat dengan terang-terangan dan dosa yang Engkau lebih mengetahuinya
daripada aku,”
- Aisyah
bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya
bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu
maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi
seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR
Bukhari Muslim]
Bukankah sangat bertolak-belakang dari arti “ideal”,
ketika “Agama DOSA dari Kitab DOSA” justru selama ini diberi merek atau label
sebagai “Agama SUCI dari Kitab SUCI”, dimana para umat pemeluknya berdelusi
sebagai kaum paling superior yang merasa berhak menghakimi kaum lainnya? Sayangnya,
“berlari dari tanggung-jawab” demikian, hanya membuahkan kesia-siaan belaka. Sebanyak
apapun seseorang yang tidak berani bertanggung-jawab atas perbuatan-perbuatan buruknya
sendiri, yang lebih sibuk mengharap dan memohon “PENGHAPUSAN DOSA” (too good to be true) alih-alih menggunakan
waktu yang ada untuk bersikap penuh tanggung-jawab, sekalipun para PENDOSA
PECANDU PENGHAPUSAN DOSA tersebut 24 dalam sehari, 7 hari dalam seminggu, dan
365 hari dalam setahun melakukan ritual “PENGHAPUSAN DOSA”, dirinya hanya berakhir
atau bernasib sebagai seorang “KORUPTOR DOSA” sebagai muaranya.
Kesia-siaan
perilaku “konyol” para manusia pengecut (disebut “pengecut”, karena tidak
berani bertanggung-jawab ataupun menghadapi konsekuensi atas perbuatan-perbuatan
buruk mereka sendiri. Berani berbuat, namun tidak berani bertanggung-jawab),
hanya berputar-putar serta terpaku di tempat sebagai “KORUPTOR DOSA”,
sebagaimana disinggung lewat khotbah Sang Buddha dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang
Buddha, JILID IV”,
Judul Asli : “The Numerical Discourses of
the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan
Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan
Indra Anggara, dengan kutipan:
38 (7) Brahmana
Dua brahmana ahli kosmologi
mendatangi Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau. Ketika mereka
telah mengakhiri ramah-tamah ini, mereka duduk di satu sisi dan berkata kepada Beliau:
[Kitab Komentar : Biasanya,
lokāyatika brāhmaṇā digambarkan sebagai penganut
materialisme; akan tetapi di sini, mereka tampaknya hanya para spekulator
tentang dunia.]
“Guru Gotama, Pūraṇa Kassapa mengaku maha-tahu dan maha-melihat dan
memiliki pengetahuan dan penglihatan atas segala sesuatu: ‘Apakah aku sedang
berjalan, berdiri, tertidur, atau terjaga, pengetahuan dan penglihatan secara
konstan dan terus-menerus ada padaku.’ Ia berkata sebagai berikut: ‘Dengan pengetahuan
tanpa batas, aku berdiam dengan mengetahui dan melihat dunia ini sebagai tidak
terbatas.’ [429] Tetapi Nigaṇṭha Nātaputta juga mengaku maha-tahu dan maha-melihat dan memiliki
pengetahuan dan penglihatan atas segala sesuatu: ‘Apakah aku sedang berjalan,
berdiri, tertidur, atau terjaga, pengetahuan dan penglihatan secara konstan dan
terus-menerus ada padaku.’ Ia berkata sebagai berikut: ‘Dengan pengetahuan tanpa
batas, aku berdiam dengan mengetahui dan melihat dunia ini sebagai terbatas.’
Jika keduanya yang mengaku memiliki pengetahuan membuat pengakuan yang
saling bertentangan, siapakah yang mengatakan yang sebenarnya dan siapakah
yang keliru?”
“Cukup, brahmana, biarkanlah
itu: ‘Jika keduanya yang mengaku memiliki pengetahuan membuat pengakuan yang
saling bertentangan, siapakah yang mengatakan yang sebenarnya dan siapakah yang
keliru?’ Aku akan mengajarkan Dhamma kepada kalian. Dengarkan dan
perhatikanlah. Aku akan berbicara.”
“Baik, Tuan,” para brahmana itu
menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:
“Misalkan, brahmana, ada empat
orang yang berdiri di empat penjuru memiliki gerakan dan kecepatan yang luar
biasa dan langkah yang luar biasa. Kecepatan mereka bagaikan kecepatan sebatang
anak panah ringan yang dengan mudah ditembakkan oleh seorang pemanah dengan
busur yang kuat – seorang yang terlatih, terampil, dan berpengalaman - menembus
bayangan pohon palem. Langkah mereka sedemikian sehingga dapat menjangkau dari
samudra timur hingga samudra barat.
“Kemudian orang yang berdiri di
arah timur berkata sebagai berikut: ‘Aku akan mencapai ujung dunia dengan
melakukan perjalanan.’ Dengan memiliki umur kehidupan seratus tahun, hidup
selama seratus tahun, ia akan berjalan selama seratus tahun tanpa berhenti
kecuali untuk makan, minum, mengunyah, dan mengecap, untuk buang air besar dan
buang air kecil, dan untuk menghalau keletihan dengan tidur; namun ia akan
mati dalam perjalanan itu tanpa mencapai ujung dunia. [430]
“Kemudian orang yang berdiri di
arah barat berkata sebagai berikut … orang yang berdiri di arah utara berkata sebagai
berikut … orang yang berdiri di arah selatan berkata sebagai berikut: ‘Aku akan
mencapai ujung dunia dengan melakukan perjalanan.’ Dengan memiliki umur
kehidupan seratus tahun, hidup selama seratus tahun, ia akan berjalan selama
seratus tahun tanpa berhenti kecuali untuk makan, minum, mengunyah, dan
mengecap, untuk buang air besar dan buang air kecil, dan untuk menghalau
keletihan dengan tidur; namun ia akan mati dalam perjalanan itu tanpa
mencapai ujung dunia. Karena alasan apakah?
“Aku katakan, brahmana, bahwa dengan
berlari seperti ini seseorang tidak dapat mengetahui, melihat, atau mencapai
ujung dunia. Namun Aku katakan bahwa tanpa mencapai ujung dunia maka
tidak akan dapat mengakhiri penderitaan.
“Lima objek kenikmatan
indria ini, brahmana, disebut ‘dunia’ dalam disiplin Yang Mulia. Apakah
lima ini? Bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata yang diharapkan, diinginkan,
disukai, menyenangkan, terhubung dengan kenikmatan indria, menggoda;
suara-suara yang dikenali oleh telinga … bau-bauan yang dikenali oleh hidung …
rasa kecapan yang dikenali oleh lidah … objek-objek sentuhan yang dikenali oleh
badan yang diharapkan, diinginkan, disukai, menyenangkan, terhubung dengan
kenikmatan indria, menggoda. Kelima objek kenikmatan indria ini disebut
‘dunia’ dalam disiplin Yang Mulia.
(1) “Di sini, brahmana, dengan
terasing dari kenikmatan-kenikmatan indria … seorang bhikkhu masuk dan berdiam
dalam jhāna pertama … Ini disebut seorang bhikkhu yang, setelah sampai di ujung
dunia, berdiam di ujung dunia. Orang-orang lain mengatakan tentangnya: ‘Ia juga
termasuk dalam dunia ini; ia juga belum terbebaskan dari dunia ini.’ Aku juga
mengatakan demikian: ‘Ia juga termasuk dalam dunia ini; ia juga belum
terbebaskan dari dunia ini.’ [431]
(2)-(4) “Kemudian, dengan
meredanya pemikiran dan pemeriksaan, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam
jhāna ke dua … jhāna ke tiga … jhāna ke empat … Ini disebut seorang bhikkhu
yang, setelah sampai di ujung dunia, berdiam di ujung dunia. Orang-orang lain
mengatakan tentangnya: ‘Ia juga termasuk dalam dunia ini; ia juga belum
terbebaskan dari dunia ini.’ Aku juga mengatakan demikian: ‘Ia juga termasuk
dalam dunia ini; ia juga belum terbebaskan dari dunia ini.’
(5) “Kemudian, dengan
sepenuhnya melampaui persepsi bentuk-bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak
indria, dengan tanpa perhatian pada persepsi keberagaman, [dengan menyadari]
‘ruang adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan
ruang tanpa batas. Ini disebut seorang bhikkhu yang, setelah sampai di ujung
dunia, berdiam di ujung dunia. Orang-orang lain mengatakan tentangnya: ‘Ia juga
termasuk dalam dunia ini; ia juga belum terbebaskan dari dunia ini.’ Aku juga
mengatakan demikian: ‘Ia juga termasuk dalam dunia ini; ia juga belum
terbebaskan dari dunia ini.’
(6)-(8) “Kemudian, dengan
sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, [dengan menyadari] ‘kesadaran
adalah tanpa batas,’ ia masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas
… Dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, [dengan
menyadari] ‘tidak ada apa-apa,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam
landasan kekosongan … Dengan sepenuhnya melampaui landasan kekosongan, ia masuk
dan berdiam dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan persepsi. Ini
disebut seorang bhikkhu yang, setelah sampai di ujung dunia, berdiam di ujung
dunia. Orang-orang lain mengatakan tentangnya: ‘Ia juga termasuk dalam dunia
ini; ia juga belum terbebaskan dari dunia ini.’ Aku juga mengatakan demikian: ‘Ia
juga termasuk dalam dunia ini; ia juga belum terbebaskan dari dunia ini.’
(9) “Kemudian, dengan
sepenuhnya melampaui landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, seorang
bhikkhu masuk dan berdiam dalam lenyapnya persepsi dan perasaan, dan setelah
melihat dengan kebijaksanaan, noda-nodanya sepenuhnya dihancurkan. Ini
disebut seorang bhikkhu yang, [432] setelah sampai di ujung dunia, berdiam di
ujung dunia, seorang yang telah menyeberangi kemelekatan pada dunia.”