Penghukuman Bayar Biaya Nafkah Anak Tidak dapat Disertai Dwangsom

Dwangsom (Uang Paksa) terhadap Penghukuman Bayar Nafkah ataukah Penghukuman Menyerahkan Hak Asuh Anak?

Sekelumit tentang Aturan Hukum “Dwangsom” (Uang Paksa) dalam Hukum Acara Perdata

Question: Bila suami digugat cerai, disertai tuntutan biaya nafkah bagi mantan istri maupun anak, apakah bisa disertai tuntutan uang paksa dalam surat gugatan? Bila memang tidak bisa, maka apakah uang paksa bisa dikabulkan oleh hakim atas dasar ketidakpatuhan mantan suami untuk menyerahkan anak-anak sekalipun hak asuh diberikan oleh hakim kepada sang ibu?

Brief Answer: Petitum (pokok tuntutan dalam gugatan perdata) berupa “uang paksa” (dwangsom), tidak dapat dikabulkan oleh Majelis Hakim di pengadilan (Hukum Acara Perdata baik di Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri adalah sama), dimana “uang paksa” hanya dapat dikabulkan petitum-nya bila diktum lain dalam amar putusan tidak tersangkut-paut pembayaran sejumlah nominal uang. Meski demikian, memang menjadi pertanyaan hukum yang cukup relevan, apakah “uang paksa” bisa dimohon dan dikabulkan untuk petitum berupa penyerahan penguasaan atas anak kepada pihak Penggugat yang dikabulkan “hak asuh”-nya? Idealnya serta seharusnya, Majelis Hakim di pengadilan dapat memilah, antara petitum “uang paksa” dalam hal kelalaian dalam membayar biaya hidup / nafkah ataupun petitum “uang paksa” terkait ketidak-sukarelaan pihak Tergugat untuk menyerahkan anak ke tangan pihak yang diberikan “hak asuh” oleh pengadilan.

Kini, kita akan membahas “faktor politis”-nya, yakni dalam praktik di lapangan terdapat kesulitan politis yang membuat eksekusi terhadap amar putusan terkait diktum penghukuman membayar sejumlah biaya nafkah bagi mantan istri maupun anak, yang kerap tidak dapat dieksekusi, dimana “faktor sosiologis”-nya ialah adalah “tabu” menyita-eksekusi harta benda milik sang mantan suami ataupun sang ayah dari sang anak. Yang kerap terjadi juga ialah pihak yang dihukum untuk menyerahkan anak, tidak kunjung menyerahkan penguasaan fisik sang anak kepada pihak yang diberikan “hak asuh” oleh pengadilan, sehingga sejatinya urgensi untuk menjatuhkan amar putusan berupa “uang paksa” lebih relevan dalam hal yang disebutkan terakhir demikian.

PEMBAHASAN:

Terdapat sebuah ilustrasi konkret yang cukup relevan sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan lewat putusan Mahkamah Syar’iyah Lhoksukon register Nomor 553/Pdt.G/2016/MS-Lsk tanggal 05 April 2017, perkara gugat cerai. Dimana terhadapnya, Majelis Hakim membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:

“Menimbang, bahwa fakta yang ditemukan dalam persidangan dimana disetiap sidang Majelis selalu menanyakan dan menyarankan agar Penggugat dengan Tergugat berdamai dan bersatu kembali dalam rumah tangga, namun hingga putusan ini dibacakan upaya tersebut tetap tidak berhasil. Kondisi yang demikian semakin meyakinkan Majelis tentang keadaan rumah tangga yang sebenarnya, sehingga berdasarkan hal ini juga Majelis berkesimpulan bahwa rumah tangga Penggugat dengan Tergugat dalam perkara aquo benar-benar telah pecah dan tidak harmonis lagi serta tidak ada niat baik lagi untuk bersatu dalam membentuk rumah tangga sebagaimana yang diharapkan;

“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas Majelis berkesimpulan bahwa rumah tangga Penggugat dan Tergugat dalam Perkara aquo dapat digolongkan dalam suatu rumah tangga yang telah terjadi keributan yang terus menerus yang sulit untuk didamaikan antara satu dengan lainnya. Rumah tangga seoerti ini jika disatukan kembali dalam satu rumah tangga dapat dipastikan tidak akan dapat menciptakan kondisi rumah tangga sebagaimana tujuan syariat yaitu untuk membentuk hubungan yang baik penuh cinta kasih dan saling berbagai antara satu dengan lainnya;

“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas bahwa kondisi rumah tangga Penggugat dengan Tergugat dalam keadaan keributan dan perselisihan yang sulit untuk didamaikan.

“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, Majelis Hakim berpendapat telah cukup alasan bagi Penggugat untuk melakukan perceraian dengan Tergugat berdasarkan Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf (f) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam yang mengisyaratkan adanya perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus dapat dibuktikan oleh Penggugat dipersidangan, oleh karenanya gugatan Penggugat tersebut patut untuk dikabulkan;

“Menimbang, bahwa dalam petitum nomor 3 gugatan Penggugat meminta agar anaknya dengan Tergugat yang bernama Maulina, umur 8 tahun ditetapkan berada dalam asuhan (hadhanah) Penggugat;

“Menimbang, bahwa oleh berdasarkan pengakuan Penggugat dan keterangan saksi-saksi dimuka sidang bahwa anak tersebut masih dibawah umur dan belum mumayyiz, berdasarkan fakta hukum keempat di atas ibunya dikatagorikan sebagai ibu yang baik bagi anaknya tersebut. dan dipersidangan Penggugat telah nyata sehat secara jasmani dan rohani dan juga berkelakuan baik selama sidang, serta penagukuan Penggugat bahwa anak tersebut sekarang berada pada Penggugat, hal ini terbukti bahwa Penggugt memiliki karakter yang baik dan tidak tercela. Maka untuk menjamin terpeliharanya keselamatan jasmani dan rohani anak tersebut sebagaimana maksud Pasal 2 huruf (b) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, Penggugat dipandang cakap dan mempunyai kemampuan secara hukum untuk memelihara dan mengasuh anak tersebut dengan baik;

“Menimbang, bahwa fakta hukum poin 3 dan 4 di atas dan jika dikaitkan dengan Pasal 105 (a) Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan anak yang belum mumayyiz atau belum berusia 12 tahun berada dalam pengasuhan ibunya, oleh karena itu terhadap anak tersebut menurut hukum harus didahulukan untuk ibunya untuk mengasuhnya. Oleh karenananya gugatan Penggugat dalam hal ini dikabulkan;

“Menimbang, bahwa meskipun demikian, karena pemeliharaan dan pengasuhan anak adalah semata-mata ditujukan untuk kepentingan anak, maka akan lebih baik jika anak yang bersangkutan tetap mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari kedua orang tuanya secara langsung, oleh karena itu Majelis Hakim berpendapat lebih patut dan adil jika kedua orang tuanya juga mendapatkan hak yang sama menurut kepatutan untuk tetap memperhatikan perkembangan baik fisik maupun mental anak tersebut, hal ini didasari pemikiran agar hubungan silaturrahim antara anak dengan kedua orang tuanya tetap terjaga dengan baik;

“Menimbang, bahwa meskipun anak tersebut berada dalam pengasuhan dan pemeliharaan (hadhanah) Penggugat, Majelis Hakim perlu menetapkan dan memerintahkan agar Penggugat memberikan hak kepada Tergugat sebagai ayah anak tersebut untuk mencurahkan kasih sayang kepada anak tersebut dalam waktu-waktu tertentu menurut kepatutan demi tumbuh-kembang fisik mental anak, secara arif dan bijaksana;

“Menimbang, bahwa terhadap gugatan Penggugat yang dimohonkan kepada Majelis Hakim untuk menghukum Tergugat apabila tidak bersedia melaksanakan putusan ini, harus dibebankan menjalankan dwangsom, Majelis Hakim akan memprtimbangkan sebagai berikut:

“Menimbang, bahwa menurut ketentuan Pasal 660 huruf a Rv. menyebutkan bahwa (1) tuntutan tentang uang paksa (dwangsom) harus diajukan bersama-sama dalam bentuk satu kesatuan dengan gugatan pokok, (2) tuntutan uang paksa (dwangsom) harus didasarkan kepada posita yang jelas, (3) besarnya uang paksa (dwangsom) tidak berkenaan dengan gugatan pembayaran sejumlah uang, (4) tuntutan uang paksa (dwangsom) harus dicantumkan secara jelas dan tegas dalam petitum;

“Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal tersebut dihubungkan dengan petitum angka 2 (dua) dan 4 (empat) surat gugatan Penggugat dapat diketahui bahwa tuntutan dwangsom diajukan oleh Penggugat berkenaan dengan gugatan pembayaran sejumlah uang, padahal berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 791 K/Sip/1972 jo Pasal 611 Rv uang paksa (dwangsom) tidak bisa dituntut bersama-sama dengan tuntutan pembayaran sejumlah uang;

“Menimbang, bahwa penghukuman dengan instrument hukum uang paksa (dwangsom) adalah dimaksudkan hanya untuk dan terhadap putusan Pengadilan yang menghukum Tergugat untuk melakukan dan atau tidak melakukan suatu perbuatan, dwangsom tidak dapat dikenakan untuk dan terhadap pembayaran sejumlah uang dan atau tuntutan kebendaan lainnya, yang dalam hal ini kelalaian terhadap nafkah anak atau dengan kata lain dwangsom hanya dapat diterapkan pada putusan yang tidak bisa dilakukan dengan penyitaan, eksekusi ataupun dilelang, karena dalam perkara a quo dapat dilakukan eksekusi riil, penyitaan atau pelelangan, oleh karena itu vide Putusan Mahkamah Agung Nomor 1172 K/Pdt/2005, tanggal 30 Januari 2006 Majelis Hakim berpendapat uang paksa (dwangsom) tidak dapat dilakukan untuk dan terhadap tuntutan Penggugat, sehingga oleh karena itu petitum Penggugat tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima;

“Menimbang, bahwa dengan demikian Majelis Hakim berpendapat bahwa gugatan Penggugat dalam hal ini tidak berdasarkan hukum, sehingga tidak dapat diterima;

“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka gugatan Penggugat dapat dikabulkan untuk sebagian;

M E N G A D I L I :

1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;

2. Menjatuhkan talak satu bain shugra Tergugat (TERGUGAT) terhadap Penggugat (PENGGUGAT);

3. Menetapkan anak yang bernama: ANAK KANDUN, yang berumur 8 tahun diasuh dan dipelihara oleh Penggugat;

4. Menghukum Tergugat untuk membayar nafkah anak yang bernama ANAK KANDUNG (perempuan) yang berumur 8 tahun setiap bulannya sebesar Rp. 300.000,- (tiga ratus ribu rupiah);

5. Menghukum Tergugat untuk menyerahkan anak yang bernama ANAK KANDUNG (perempuan) yang berumur 8 tahun kepada Penggugat;

6. Memerintahkan Panitera Mahkamah Syar’iyah Lhoksukon untuk mengirimkan salinan putusan perkara ini yang telah berkekuatan hukum tetap kepada Pegawai Pencatat Nikah masing-masing pada Kantor Urusan Agama Kecamatan Sawang Kabupaten Aceh Utara dan Kantor Urusan Agama Pengasing Kabupaten Aceh Tengah, untuk dicatat dalam register yang disediakan untuk itu;

7. Menolak selain dan selebihnya;”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.

Konsultan Hukum HERY SHIETRA & PARTNERS