Problematika HGB Diatas Tanah HPL Milik Instansi Pemerintah

Kelebihan Perjanjian Sewa Tanah Diatas HPL daripada HGB Diatas HPL

Question: Pihak instansi pemegang HPL menolak untuk memperpanjang ataupun memperbaharui sertifikat HGB kami yang berdiri diatas HPL milik instansi pemerintah ini. Kami hanya diberi opsi menyewa yang harus kami bayar setiap tahunnya agar bisa tetap menempati bangunan kami yang berdiri di atas HPL ini. Bagaimana pandangan hukumnya?

Brief Answer: Dari satu sudut pandang, tampaknya kurang ideal bila hanya diberi kesempatan menyewa tanah yang berada di atas HPL (hak pengelolaan) milik institusi pemerintahan. Namun, bilamana diberi opsi untuk memperoleh HGB ataupun Hak Pakai diatas HPL, bisa jadi warga akan terbebani oleh BPHTB (Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan), sementara perjanjian sewa semata bukanlah “hak atas tanah” sehingga tidak dapat dibebani oleh BPHTB. Terlagi pula “HGB diatas HPL”, merupakan “HGB semu”, mengingat pihak instansi pemerintah pemegang HPL dapat menolak memberikan izin untuk memperpanjang ataupun memperbaharui HGB, sehingga “HGB diatas HPL” lebih menyerupai “sewa jangka waktu panjang 30 tahun disertai beban BPHTB”.

PEMBAHASAN:

Terdapat sebuah ilustrasi konkret yang cukup mencerminkan ambivalensi demikian, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk putusan Mahkamah Agung RI sengketa pajak BPHTB atas tanah, register Nomor 332 K/TUN/2009 tanggal 19 Pebruari 2010, perkara antara:

- PT. PADI MAS REALTY, sebagai Pemohon Kasasi, semula sebagai Penggugat; melawan

- DIREKTUR PERATURAN PERPAJAKAN I, DIREKTORAT JENDERAL PAJAK, DEPARTEMEN KEUANGAN, selaku Termohon Kasasi, semula sebagai Tergugat.

Penggugat merupakan pengelola tanah milik PT. Kereta Api (persero) berdasarkan Perjanjian Kejasama dengan cara BOT antara PT. Kereta Api (persero) dan PT. Padi Mas Realty. Adapun pokok keberatan Penggugat ialah diterbitkannya obyek sengketa berupa tagihan BPHTB oleh Tergugat yang mengacu pada Undang-undang tentang BPHTB, karena Penggugat memperoleh “HGB diatas HPL” milik PT. Kereta Api (persero). Dalam surat keberatan yang diajukan oleh Penggugat, mendapat respon:

- Surat Kepala Kantor Wilayah DJP Jakarta Pusat, Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Tanah Abang Dua, tanggal 7 Agustus 2008, hal Pengenaan BPHTB atas perolehan HGB diatas HPL, yang memberikan tanggapan:

Perolehan HGB diatas HPL termasuk obyek Pajak BPHTB sesuai dengan Pasal 2 ayat (3) huruf C Undang-undang No.21 Tahun 1997 tentang BPHTB sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No.20 Tahun 2000.”

- Surat Kepala Kantor Wilayah DJP Jakarta Pusat, Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Tanah Abang Dua, tanggal 26 September 2008, hal Penegasan atas penetapan pengenaaan BPHTB terhadap status HGB diatas HPL:

“Bahwa HPL adalah hak menguasai Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya (subyek haknya), dimana diatas HPL dapat diberikan kepada Instansi Pemerintah termasuk Pemerintah Daerah, BUMN / BUMD, PT. Persero, Badan Otorita, serta Badan-Badan Hukum Pemerintah lainnya yang ditunjuk Pemerintah, sepanjang tugas dan fungsinya berkaitan dengan pengelolaan tanah (Pasal 67 Per.MNA / Kepala BPN No.9 / 1999). Pasal 2 Undang-undang No.20 Tahun 2000 tentang BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang meliputi pemindahan hak dan pemberian hak baru. Pemberian hak baru, meliputi pemberian hak baru sebagai kelanjutan dari pelepasan hak dan pemberian hak baru diluar pelepasan hak. Dalam hal pengenaan BPHTB atas perolehan HGB / Hak Pakai tidak membeda-bedakan apakah merupakan pemberian hak baru diatas tanah Negara atau apakah merupakan pembebanan hak. Maka pemberian HGB baru diatas HPL adalah termasuk pemberian hak baru diluar pelepasan hak sehingga terutang BPHTB.

Penggugat mendalilkan, pemberian HGB diatas HPL tidak bisa dianalogikan sebagai HGB yang terkena obyek BPHTB. Pasal 2 ayat (3) huruf (c) Undang-undang No.20 Tahun 2000 tentang BPHTB, mengatur bahwa perolehan hak atas tanah dan bangunan terdiri dari :

a. Pemindahan Hak, karena : Jual beli, tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris pemasukan dalam Perseroan atas Badan Hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan perolehan, penunjukan pembeli dan lelang, pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha.

b. Pemberian Hak Baru, karena:

- Kelanjutan Pelepasan Hak (Pembebasan);

- Diluar Pelepasan Hak (Tanah Negara).

Penggugat lalu mendalilkan, dasar Penerbitan Status HGB diatas HPL ada 2 (dua) cara, yaitu:

1.) Berdasarkan perjanjian sewa tanah jangka waktu panjang (30 tahun).

2.) Berdasarkan Perjanjian Kerjasama Operasi (KSO) dengan cara Built, Operate dan Transfer (BOT).

3.) Cara penerbitan haknya adalah berdasarkan perjanjian. Dalam perjanjian, pihak mitra diwajibkan untuk mengurus membiayai dan mentaati hal-hal sebagai berikut:

- Membayar sejumlah uang kompensasi tanah kepada Instansi yang bersangkutan.

- Membiayai dan melakukan pengosongan hunian liar.

- Mengsertipikatkan status HPL keatas nama Instansi yang bersangkutan.

- Pihak Mitra diberikan jangka waktu hak pemanfaatan untuk selama 30 tahun.

- Pihak Mitra diberikan sesuatu hak, yaitu HGB diatas HPL.

- Pihak Mitra / pihak ketiga dengan alasan apapun dilarang untuk mengalihkan hak atas tanah Instansi.

- Setelah berakhirnya perjanjian, seluruh tanah dan bangunan wajib dikembalikan kepada pemilik tanah (pemegang HPL).

Adapun dasar Perolehan HGB ada 2 (dua) cara, yaitu:

1.) Berdasarkan pemberian hak baru, karena:

- Kelanjutan pelepasan hak (pembebasan tanah).

- Diluar pelepasan hak (tanah Negara).

- Cara perolehan haknya adalah berdasarkan Akta Jual Beli.

2.) Berdasarkan status HGB diatas HPL (merupakan pembebanan Hak dan bukan perolehan hak).

Dasar perbedaan status HGB diatas HPL, masih menurut pihak Penggugat, adalah sebagai berikut:

a. status HGB dengan status HGB diatas HPL selain subtansinya berbeda, cara perolehan haknya tidak sama.

b. berdasarkan fakta yang disyaratkan dalam perjanjian, terbukti pihak mitra / pihak ketiga pada hakekatnya bukan membeli atau menerima perolehan hak atas tanah dan bangunan dari Instansi yang bersangkutan, melainkan hanya memperoleh hak untuk memanfaatkan tanah untuk selama jangka waktu sewa dan/atau KSO dengan cara BOT.

c. bentuk hukum pemanfaatan tanah aset Instansi yang bersangkutan tersebut, antara lain adalah dengan cara mendirikan suatu hak yang lebih rendah daripada HPL yang dimiliki oleh Instansi yang bersangkutan, bentuk hukum ini termasuk kriteria pembebanan hak (sesuai dengan penjelasan Pasal (2) ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha (HGU), HGB, dan HPL.

d. HPL yang dimiliki oleh Instansi tidak akan dihapus dengan dibebaninya HPL tersebut dengan suatu hak yang lebih rendah, misalnya HGB dan/atau Hak Pakai (HP) sebagai contoh.

e. Hak apa yang lebih tinggi sehingga dapat dibebani dengan hak yang lebih rendah, dapat digambarkan sebagai berikut:

1.) Hak Milik (HM) dapat dibebani dengan hak yang lebih rendah berupa HGB / HP / sewa tanah.

2.) HPL dapat dibebani dengan hak yang lebih rendah berupa HGB / HP / sewa tanah.

3.) Sedangkan HGU, HGB dan HP tidak dapat dibebani dengan hak yang lain.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, status HM sama derajatnya dengan HPL, karena sama-sama dapat dibebani dengan HGB/HP dengan cara sewa dan/atau KSO/BOT. Perbedaannya HM adalah aset milik perseorangan, sedangkan HPL adalah milik Instansi / BUMN. Sedangkan Perbedaan HGB diatas Tanah Negara dengan HGB diatas HPL.

a. HGB diatas tanah Negara, ketentuannya sebagai berikut:

1.) HGB timbul, tanah Negara hapus, karena terjadi pemberian hak.

2.) Terbitnya HGB berdasarkan SK pemberian hak dari Instansi yang berwenang (BPN).

3.) setelah HGB berakhir, tanahnya menjadi tanah Negara.

b. Adapun HGB diatas HPL ketentuannya sebagai berikut:

1.) HGB timbul, HPL tidak dihapus, karena hanya terjadi pembebanan hak.

2.) Terjadi HGB, karena berdasarkan perjanjian.

3.) Setelah berakhir, tanahnya tetap milik Instansi / pemegang HPL.

Dengan demikian terdapat 3 (tiga) kriteria pembebanan hak, yakni:

- Hak yang dibebani tidak dihapus.

- Terjadinya hak yang membebani berakhir (HGB, HP, hak sewa tanah) berdasarkan perjanjian.

- Setelah hak yang membebani berakhir, tanah dan bangunan yang dimanfaatkan oleh mitra / pihak ketiga, berdasarkan KSO / BOT harus kembali utuh sepenuhnya menjadi milik Instansi (pemegang HPL).

Berdasarkan argumentasi hukum di atas, Pengguat berpendirian bahwa pemberian “HGB diatas HPL” tidak termasuk salah satu jenis perolehan hak yang diatur dalam UU No.20 Tahun 2000 tentang BPHTB, mengingat:

a. Status HGB diatas HPL tidak termasuk pemberian hak baru diluar pelepasan hak (pembebasan), oleh karena tidak ada terjadi pelepasan hak sebelumnya.

b. Status HGB diatas HPL tidak termasuk pemberian hak baru diluar pelepasan hak, oleh karena pemberian hak baru diluar pelepasan hak itu adalah pemberian hak diatas tanah Negara.

c. Status HGB diatas HPL tidak termasuk salah satu jenis pemberian hak, melainkan merupakan / termasuk kriteria pembebanan hak.

d. Dengan demikian HGB diatas HM dan HGB diatas HPL pada hakekatnya adalah sama, yaitu merupakan pembebanan hak. Hak semacam ini tidak termasuk / diatur dalam hak atas tanah yang terkena obyek BPHTB.

Mengacu pada ketentuan peraturan Perundang-undangan sebagai berikut:

- Pasal 24 ayat (1) PP RI No.40 Tahun 1996 tanggal 17 Juni 1996 tentang HGU, HGB dan HP atas tanah (status HGB diatas HPL adalah merupakan pembebanan hak).

- PP RI No.46 Tahun 2002 tentang PNBP, status HGB diatas HPL tidak termasuk status hak yang terkena uang pemasukan kepada Negara bukan pajak.

Direktorat Jenderal Pajak dalam mengenakan BPHTB atas pemberian HGB diatas HPL, sekadar merupakan interpretasi sepihak, dengan menyatakan “UU BPHTB tidak membeda-bedakan pemberian HGB, baik HGB diatas tanah Negara, HGB diatas tanah hak milik, maupun HGB diatas tanah HPL. Pemberian HGB diatas tanah HPL memenuhi ketentuan Pasal 2 Undang-undang BPHTB, sehingga terutang BPHTB sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya Surat Keputusan Pemberian Hak.”

Sementara pihak Penggugat menilai Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang BPHTB tidak menyatakan secara eksplisit bahwa HGB diatas HPL sebagai yang terkena obyek BPHTB. Pasal 27A Undang-undang No.21 Tahun 1997 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2000 (Undang-undang BPHTB) mengatur: “Terhadap hal-hal yang tidak diatur dalam Undang-undang ini berlaku ketentuan dalam Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.”

Sikap Direktur Jenderal Pajak yang menetapkan status HGB diatas HPL, dianalogikan sebagai HGB yang terkena obyek BPHTB sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (3) Undang-undang No.20 Tahun 2000 tentang BPHTB adalah tidak berdasar, kebijakan semacam demikian merupakan pemaksaan kehendak / pembenaran daripada ketidakbenaran, sehingga menimbulkan biaya ekonomi tinggi serta tidak memberikan kepastian hukum bagi dunia usaha. Pemberian “HGB diatas HPL” tidak teratur dalam obyek pajak BPHTB sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (1) dan (3) huruf (c) Undang-undang No.20 Tahun 2000 tentang BPHTB.

Yang menjadi pokok tuntutan dalam gugatan Penggugat, ialah agar Pengadilan Tata Usaha Negara memutuskan:

- Menyatakan batal atau tidak sah Surat Direktur Peraturan Perpajakan I, Direktorat Jenderal Pajak tentang pengenaan BPHTB atas Pemberian HGB diatas HPL.

- Mewajibkan kepada Tergugat untuk mencabut Surat Direktur Peraturan Perpajakan I, Direktorat Jenderal Pajak tentang pengenaan BPHTB atas Pemberian HGB diatas HPL.

Adapun bantahan dari pihak Tergugat, mendalilkan bahwa obyek gugatan yang diajukan Penggugat adalah bukan merupakan obyek yang dapat diajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. UU BPHTB tidak membeda-bedakan pemberian HGB, baik HGB diatas tanah Negara, HGB diatas tanah hak milik, maupun HGB diatas tanah HPL. Pemberian HGB diatas tanah HPL memenuhi ketentuan Pasal 2 Undang-Undang BPHTB, sehingga terhutang BPHTB sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak.

Tergugat menyimpulkan bahwa obyek gugatan berupa surat konfirmasi dari Direktorat Pajak perihal pembebanan BPHTB terhadap pemberian HGB diatas PHL, merupakan surat biasa dalam proses surat menyurat (korespondensi) yang berisi penjelasan mengenai ketentuan-ketentuan Perundang-undangan yang berlaku. Surat Tergugat yang menjadi obyek gugatan tidak menciptakan, atau menentukan mengikatnya atau menghapuskan suatu hubungan hukum Tata Usaha Negara yang telah ada dan tidak dimaksudkan untuk menimbulkan suatu akibat hukum Tata Usaha Negara.

Terhadap gugatan Penggugat, Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta kemudian menjatuhkan putusan Nomor 195/G/2008/PTUN.JKT tanggal 19 Maret 2009, dengan amar sebagai berikut:

“MENGADILI :

DALAM EKSEPSI:

- Menerima eksepsi Tergugat.

DALAM POKOK PERKARA:

- Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima.”

Dalam tingkat banding atas permohonan Penggugat, putusan PTUN di atas telah dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta sebagaimana putusan Nomor 124/B/2009/PT.TUN.JKT Tanggal 25 Juni 2009.

Pihak perusahaan mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung RI membuat pertimbangan serta amar putusan secara sumir saja, dengan kutipan sebagai berikut:

“Menimbang, bahwa atas keberatan-keberatan tersebut Mahkamah Agung berpendapat sebagai berikut:

“Mengenai Keberatan Dalam Eksepsi dan Pokok Perkara:

“Bahwa keberatan-keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan karena Judex Factie tidak salah dalam menerapakan hukum, yaitu bahwa obyek sengketa bukan keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004;

“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula ternyata bahwa putusan Judex Factie dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi PT. PADI MAS REALTY harus ditolak;

M E N G A D I L I :

- Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : PT. PADI MAS REALTY tersebut;”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.

Konsultan Hukum HERY SHIETRA & PARTNERS