Konsekuensi Yuridis Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang Dinyatakan Cacat Formal / Materiil oleh Pengadilan Pidana, dapat Kembali Mendakwa Ulang

Kewenangan Jaksa Penuntut Umum dalam Membuat Dakwaan Ulang setelah Dakwaan Sebelumnya Dinyatakan Cacat Hukum oleh Hakim Pengadilan Pidana

Question: JIka hakim di pengadilan menyatakan bahwa dakwaan jaksa penuntut umum memang disusun secara tidak cermat dan tidak memenuhi syarat formal ataupun materil sebuah surat dakwaan, lalu dinyatakan dakwaan gugur atau cacat formal, apakah artinya jaksa bisa kembali mendakwa ulang dengan dakwaan baru ataukah terdakwa kembali akan diperiksa dari awal di kantor polisi?

Brief Answer: Pada tanggal 31 Oktober 2022, Mahkamah Konstitusi RI dalam putusannya sebagaimana register Nomor 28/PUU-XX/2022 perkara pengujian Undang-Undang (judicial review) terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), telah pernah membuat putusan dengan kutipan sebagai berikut terkait surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang dinilai disusun secara tidak cermat:

“Terhadap surat dakwaan jaksa penuntut umum yang telah dinyatakan batal atau batal demi hukum oleh hakim dapat diperbaiki dan diajukan kembali dalam persidangan sebanyak 1 (satu) kali, dan apabila masih diajukan keberatan oleh terdakwa / penasihat hukum, hakim langsung memeriksa, mempertimbangkan, dan memutusnya bersama-sama dengan materi pokok perkara dalam putusan akhir.”

Akan tetapi, akan cukup sukar memahami begitu saja amar putusan Mahkamah Konstitusi RI di atas, tanpa mengetahui pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi yang mendahului putusannya, dimana kutipan pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi berikut dapat cukup menjelaskan secara lebih terperinci maksud dan makna amar putusan di atas:

“Menimbang, ... Selanjutnya, atas surat dakwaan baru yang diajukan tersebut, pengadilan memeriksa dan memutus perkara pidana yang didakwakan kepada diri terdakwa. Dengan demikian, sesungguhnya putusan pengadilan yang menyatakan dakwaan batal atau batal demi hukum, secara yuridis tidak menghilangkan kewenangan jaksa penuntut umum untuk mengajukan terdakwa kembali ke pemeriksaan sidang pengadilan.

“Namun, yang menjadi persoalan krusial selanjutnya adalah tidak terdapatnya jangka waktu kapan surat dakwaan tersebut diperbaiki dan berapa kali surat dakwaan tersebut dapat diperbaiki serta berapa kali pula hakim dapat menyatakan surat dakwaan jaksa penuntut umum batal atau batal demi hukum. Dengan demikian, tanpa kejelasan status dan batasan waktu kapan perkaranya akan selesai hal tersebut menjadikan terdakwa dan/atau korban tindak pidana dapat kehilangan hak konstitusionalnya karena dalam ketidakpastian dan ketidakadilan hukum.

“Menimbang bahwa ketidakjelasan mengenai berapa kali perbaikan surat dakwaan dapat dilakukan untuk mengajukan kembali terdakwa di persidangan dan batasan berapa kali hakim dapat menjatuhkan putusan sela, menjadikan status terdakwa dan perlindungan hak korban tindak pidana menjadi persoalan yang harus dijawab dan diantisipasi oleh Mahkamah agar diperoleh adanya kepastian dan keadilan hukum bagi terdakwa dan korban tindak pidana serta kepentingan umum.

“Dengan demikian, cukup beralasan apabila Mahkamah memberikan batasan mengenai berapa kali jaksa penuntut umum dapat mengajukan perbaikan surat dakwaan sehingga terdakwa dapat diajukan kembali pada sidang pengadilan dan berapa kali pula hakim dapat menjatuhkan putusan sela atas surat dakwaan yang diajukan keberatan oleh terdakwa / penasihat hukum.

“Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, berkenaan dengan frasa ‘batal demi hukum’ sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan norma Pasal 143 ayat (3) KUHAP, menurut Mahkamah dapat menciptakan kepastian dan keadilan hukum, apabila dimaknai pengajuan perbaikan surat dakwaan hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali setelah surat dakwaan dinyatakan batal atau batal demi hukum oleh hakim.

“Artinya, pada dakwaan kedua yang diajukan jaksa penuntut umum, apabila masih diajukan keberatan mengenai keterpenuhan syarat formil dan materiil surat dakwaan, maka hakim harus memeriksa surat dakwaan tersebut secara bersama-sama dengan materi pokok perkara yang kemudian diputus secara bersama-sama dalam putusan akhir.”

PEMBAHASAN:

PUTUSAN

Nomor 28/PUU-XX/2022

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA,

2. DUDUK PERKARA

B. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON

c. Kerugian hak konstitusional Pemohon tersebut bersifat spesifik (khusus) dan aktual karena 143 ayat (3) KUHAP telah diberlakukan dalam proses pidana terhadap Pemohon dimana Pemohon adalah Terdakwa yang pernah didakwa sebanyak 3 (tiga) kali oleh Kejaksaan Negeri Purwokerto di Pengadilan Negeri Purwokerto:

a. Dakwaan pertama tertanggal 12 Februari 2020;

b. Dakwaan kedua tertanggal 31 Agustus 2020; dan

c. Dakwaan ketiga tertanggal 25 Oktober 2021

Yang dimana terhadap ketiga dakwaan tersebut telah terdapat 6 (enam) putusan, 3 (tiga) putusan Pengadilan Negeri Purwokerto yang menyatakan dakwaan batal demi hukum. Dan 3 (tiga) putusan Pengadilan Tinggi Semarang yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Purwokerto yang menyatakan surat dakwaan batal demi hukum.

a. Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor. 30/Pid.B/2020/PN.Pwt tertanggal 10 Maret 2020;

b. Putusan Pengadilan Tinggi Semarang Nomor. 177/Pid/2020/PT.Smg tertanggal 15 April 2020;

c. Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor. 154/Pid.Sus/2020/PN.Pwt tertanggal 27 Oktober 2020;

d. Putusan Pengadilan Tinggi Semarang Nomor.480/Pid.Sus/2020/PT.Smg tertanggal 5 Januari 2021;

e. Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor. 189/Pid.Sus/2021/PN.Pwt tertanggal 6 Januari 2022;

f. Putusan Pengadilan Tinggi Semarang Nomor. 59/Pid.Sus/2022/PT. Smg tertanggal 21 Februari 2022.

Bahwa telah ada 3 (tiga) surat dakwaan yang dikenakan kepada Pemohon yang telah dinyatakan batal demi hukum melalui 3 (tiga) Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto dan 3 (tiga) Putusan Pengadilan Tinggi Semarang, namun tidak menutup kemungkinan akan ada lagi perbaikan untuk dakwaan jilid keempat, perbaikan untuk dakwaan Jilid kelima dan seterusnya tanpa adanya limitatif ataupun pembatasan terhadap proses perbaikan surat dakwaan yang dinyatakan batal demi hukum, namun hal yang lebih penting dan lebih menarik adalah apakah proses surat dakwaan batal demi hukum ini harus dilakukan perbaikan oleh jaksa penuntut umum ataukah seharusnya diberikan suatu penafsiran bahwa dakwaan yang dinyatakan batal demi hukum harus kembali ke proses penyidikan.

Karena berkaca pada proses perkara pidana pada diri Pemohon yang telah ada 3 (tiga) surat dakwaan, telah menunjukan jaksa penuntut umum mengalami kebuntuan dalam melakukan perbaikan, yang mana kebuntuan ini harus di urai atau baru dapat diselesaikan jika proses penyidikan dimulai ulang untuk menata dan menyusun suatu berkas perkara yang komprehensif agar nantinya dakwaan tidak dinyatakan batal demi hukum kembali.

Bahwa dengan belum adanya penafsiran terhadap arti batal demi hukum terhadap Pasal 143 ayat (3), menyebabkan perkara yang dialami Pemohon terus kembali berulang-ulang tanpa adanya titik terang penyelesaian dan kepastian hukum, yang dimana harus adanya dakwaan sesuai dengan ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf b, maka diperlukan suatu terobosan untuk memberikan tafsir terhadap Pasal 143 ayat (3) perihal arti surat dakwaan batal demi hukum secara konkrit.

Bahwa selain belum adanya tafsir terhadap Pasal 143 ayat (3) surat dakwaan batal demi hukum, Jaksa Penuntut Umum tidak memiliki batasan berapa kali dapat mengajukan perbaikan atas surat dakwaan yang dinyatakan batal demi hukum, sehingga Jaksa Penuntut Umum memiliki kewenangan yang bersifat tidak terbatas dalam mengajukan perbaikan surat dakwaan yang telah dinyatakan batal demi hukum.

d. Berdasarkan uraian di atas, jelas terdapat hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak konstitutional Pemohon dengan berlakunya Pasal 143 ayat (3) dalam KUHAP yang diuji dalam permohonan ini, karena pemberlakuan Pasal 143 ayat (3) yang diuji dalam permohonan ini telah menyebabkan hak konstitutional Pemohon atas “pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil” dan hak konstitusional Atas due process of law sebagaimana diberikan oleh Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 telah dirugikan;

e. Jika permohonan ini dikabulkan maka jelas Pasal 143 ayat (3) dalam KUHAP yang diuji dalam permohonan ini dapat diterapkan dengan penafsiran bahwa dakwaan yang dinyatakan batal demi hukum harus kembali ke proses penyidikan dengan pembatasan berapa kali perbaikan atas surat dakwaan yang dinyatakan batal demi hukum dapat dilakukan lagi terhadap Pemohon sehingga hak konstitutional Pemohon tidak akan dirugikan lagi karena norma Pasal 143 ayat (3) KUHAP akan ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat atau bertentangan secara bersyarat kecuali diberikan penafsiran dan pemaknaan tertentu sehingga nantinya konstitusional Pemohon menjadi pasti, termasuk tidak ada lagi kerugian konstitusional warga negara yang lain yang turut merasa hak konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya norma Pasal 143 ayat (3) dalam KUHAP, tidak akan terjadi dan terulang lagi di masa-masa yang akan datang oleh semua warga Negara Indonesia.

C. ARGUMENTASI PERMOHONAN

8. Bahwa Pasal 143 ayat (3) KUHAP menyatakan:

“Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum”.

9. Bahwa meskipun sepintas ketentuan yang terdapat dalam Pasal 143 ayat (3) KUHAP terlihat jelas, namun dalam praktik telah menimbulkan pengertian yang sifatnya multi tafsir dan pengertian yang multitafsir melanggar asas lex certa serta asas lex stricta sebagai asas umum dalam pembentukan perundang-undangan pidana.

10. Bahwa pengujian ini didasari pada perkara-perkara nyata yang terjadi pada diri Pemohon yang didakwa sampai 3 (tiga) kali sejak bulan Februari 2020 yang dimana terhadap surat dakwaan dinyatakan batal demi hukum oleh 3 (tiga) Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto dan 3 (tiga) Putusan Pengadilan Tinggi Semarang.

Serta kasus-kasus nyata lainnya yang Pemohon temukan yang memiliki kemiripan atau kesamaan dengan kasus Pemohon:

a. Perkara terhadap Terdakwa Ali Rofi yang didakwa sebanyak 3 (tiga) kali dengan 3 (tiga) Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto yang menyatakan dakwaan batal demi hukum serta 3 (tiga) Putusan Pengadilan Tinggi Semarang yang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto:

1) Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor. 31/Pid.B/2020/PN.Pwt tertanggal 10 Maret 2020.

2) Putusan Pengadilan Tinggi Semarang Nomor. 176/Pid/2020/PT.Smg tertanggal 15 April 2020.

3) Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor. 155/Pid.Sus/2020/PN.Pwt tertanggal 27 Oktober 2020.

4) Putusan Pengadilan Tinggi Semarang Nomor. 481/Pid.Sus/2020/PT.Smg tertanggal 5 Januari 2021.

5) Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor. 188/Pid.Sus/2021/PN.Pwt tertanggal 6 Januari 2022.

6) Putusan Pengadilan Tinggi Semarang Nomor. 58/Pid.Sus/2022/PT. Smg tertanggal 21 Februari 2022

b. Perkara atas Terdakwa Ratna Budhiwaty yang didakwa sebanyak dua kali, yang telah ada 2 (dua) Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat yang menyatakan dakwaan batal demi hukum:

1.) Putusan PN JAKARTA BARAT Nomor 2080/Pid.Sus/2019/PN Jkt.Brt Tanggal 28 Januari 2020 — Penuntut Umum: Sumidi, S.H. dan Terdakwa: Ratna Budhiwaty, yang amarnya menyatakan Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Nomor Reg.Perkara: PDS 10/JKT.BRT/12/2019 tertanggal 17 Desember 2019 batal demi hukum.

2.) Putusan PN JAKARTA BARAT Nomor 333/Pid.Sus/2020/PN Jkt.Brt Tanggal 14 April 2020 — Penuntut Umum:1. Sumidi, S.H., 2. Dwi Agus Setyoningrum, S.H., M.H., 3. Nur Lidia Sari, S.H., 4. Ary Iqbal Setio Nasution, S.H. dan Terdakwa: Ratna Budhiwaty, dengan amar putusan Menyatakan Surat Dakwaan No. Reg. Perk.: PDS-10/JKT.BRT/12/2019 tertanggal 20 Februari 2020 Batal Demi Hukum.

Terdakwa RATNA BUDHIWATY telah didakwa sebanyak 2 (dua) kali, yang dimana dua surat dakwaan tersebut telah dinyatakan batal demi hukum, sampai sejauh ini sepengetahuan Pemohon belum ada perbaikan surat dakwaan ketiga oleh Jaksa penuntut Umum. Sehingga perkara atas Ratna Budhiwaty tidak mendapat kepastian hukum.

c. Putusan PN Surabaya Nomor 2946/PID.SUS/2015/PN SBY Tanggal 6 Januari 2016 — Jaksa Penuntut: Kusbiantoro, S.H. dan Terdakwa: Ach. Budi Siswanto, S.H., yang amarnya menyatakan Dakwaan Penuntut Umum No. Reg. Perk: PDM-701/Euh.2/10/2015 tanggal 23 Nopember 2015 atas diri Terdakwa Ach. Budi Siswanto,S.H.. Batal Demi Hukum.

Terhadap perkara Terdakwa: Ach. Budi Siswanto yang Pemohon ketahui tidak ada upaya perbaikan surat dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum, sehingga perkara atas Terdakwa: Ach. Budi Siswanto menjadi menggantung dan jauh dari kepastian hukum.

d. Putusan PN Kisaran Nomor 914/Pid.B/2018/PN Kis Tanggal 27 September 2018 — Penuntut Umum: David, S.H. dan Terdakwa: Herman Als Herman Butong, dengan amar yang Menyatakan surat dakwaan Penuntut Umum No. REG. PERK: PDM-72/BB/Ep.2/09/2018 tanggal 3 September 2018 batal demi hukum.

Terhadap surat dakwaan yang dinyatakan batal demi hukum sejak Putusan tanggal 27 September 2018, Jaksa Penuntut Umum tidak melakukan perbaikan surat dakwaan. Sehingga perkara atas Terdakwa Herman Als Herman Butong menjadi menggantung dan tidak ada kepastian hukum.

e. Putusan Pengadilan Negeri Palu Nomor 498/Pid.Sus/2020/PN Pal Tanggal 15 Februari 2021 — dengan Penuntut Umum: Irna Indira Ratih, S.H. dan Terdakwa: Adin Ausa. Amar Putusan Menyatakan surat dakwaan Penuntut Umum No. Reg. Perk.: PDM-72/PL/Eku.2/ 11 /2020, tanggal 23 Nopember 2020, batal demi hukum.

Sejak diputusnya perkara tanggal 15 Februari 2021 sampai saat ini Jaksa Penuntut Umum tidak melakukan perbaikan surat dakwaan, yang menyebabkan perkara atas Terdakwa Adin Ausa menggantung dan tidak mendapat kepastian hukum lebih dari 1 (satu) tahun lamanya.

f. Putusan PN Palembang Nomor 1340/Pid.Sus/2021/PN Plg Tanggal 11 Nopember 2021 — Penuntut Umum: Selly Agustina, S.H. dan Terdakwa: Aryadi Bin Arifin, dengan amar putusan Menyatakan surat dakwaan Penuntut Umum Nomor: Reg Perkara PDM-189/Eku.2/09/2021, tertanggal 30 September 2021 Batal demi hukum.

Sejak diputusnya perkara tanggal 11 Nopember 2021 sampai saat ini Jaksa Penuntut Umum tidak melakukan perbaikan surat dakwaan, yang menyebabkan perkara atas Terdakwa Aryadi Bin Arifin menggantung dan tidak mendapat kepastian hukum.

g. Putusan PN Majene Nomor 30/Pid.Sus/2019/PN Mjn Tanggal 8 Mei 2019 — Penuntut Umum: Nursurya, S.H., M.H. dan Terdakwa: Rusdi, S.P., dengan amar putusan yang menyatakan surat dakwaan Penuntut Umum Nomor Reg. Perkara: PDM-02/ Mjene/Euh/05/2019, tanggal 3 Mei 2019 batal demi hukum.

Yang dimana terhadap Putusan Pengadilan Negeri Majene telah dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi Makasar Nomor 279/PID.SUS/2019/PT MKS tanggal 27 Mei 2019.

Sejak diputusnya perkara perlawanan oleh Pengadilan Tinggi Makasar tanggal 27 Mei 2019, sepengetahuan Pemohon sampai saat ini Jaksa Penuntut Umum tidak melakukan perbaikan surat dakwaan, yang menyebabkan perkara atas Terdakwa RUSDI SP menggantung dan tidak mendapat kepastian hukum lebih dari 2 (dua) tahun lamanya.

h. Putusan PN Jakarta Timur Nomor 966/Pid.Sus/2019/PN Jkt.Tim Tanggal 22 Oktober 2019 — Penuntut Umum: Budiyaningsih, S.H. dan Terdakwa: Eko Widodo, dengan amar putusan yang menyatakan surat dakwaan Nomor Reg. Perk.: PDM-92/JKT.TM/09/2019 batal demi hukum.

Sejak diputusnya perkara tanggal 22 Oktober 2019 sampai saat ini, sepengetahuan Pemohon Jaksa Penuntut Umum tidak melakukan perbaikan surat dakwaan, yang menyebabkan perkara atas Terdakwa Eko Widodo menggantung dan tidak mendapat kepastian hukum lebih dari 1 (satu) tahun lamanya.

11. Bahwa, kenyataan-kenyataan yang diuraikan diatas, menurut hemat Pemohon, seluruhnya merupakan akibat negatif dari tidak jelasnya pengertian dan tafsir norma atau konsep “batal demi hukum” yang terdapat dalam Pasal 143 ayat (3) KUHAP, yang saat ini dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya di Mahkamah Konstitusi.

Elastisitas norma itulah yang digunakan secara sewenang-wenang oleh negara, yang seluruh aspeknya telah merugikan pemohon. Aspek terkecil yang merugikan pemohon dari tindakan sewenang-wenang Negara adalah pemohon didakwa berkali-kali untuk hal yang sama, berdasarkan fakta yang satu dan lain saling menyangkal, baik fakta itu tidak ada sebelumnya atau fakta ditemukan belakangan sendiri oleh Jaksa Penuntut Umum.

12. Sejauh ini, dan atau setidak-tidaknya dalam kasus a quo, ilmu hukum acara pidana, apalagi hukum pidana formil belum mendefinisikan dan memberi penafsiran terhadap Pasal 143 ayat (3) KUHAP.

Selengkapnya norma Pasal 143 ayat (3) mengatur “Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum”. Apa yang dimaksud dengan batal demi hukum? Apa akibatnya terhadap status Terdakwa? Apakah dakwaan batal demi hukum berakibat Terdakwa (Pemohon) kembali menjadi warga negara bebas, tanpa lebel Terdakwa? Bila terdakwa berstatus sebagai tanpa status hukum pidana, logiskah jaksa Penuntut Umum hanya memperbaiki dakwaan untuk diajukan kembali, sampai Tiga Jilid Dakwaan terhadap terdakwa (Pemohon) untuk disidangkan kembali?

Upaya Hukum Terhadap Putusan Sela Yang Menyatakan Dakwaan Batal Demi Hukum

13. Bahwa terhadap Putusan yang menyatakan dakwaan batal demi hukum, Penuntut Umum dapat mengajukan perlawanan ke Pengadilan Tinggi sebagaimana yang diatur didalam Pasal 156 ayat (3) KUHAP “Dalam hal penuntut umum berkeberatan terhadap keputusan tersebut, maka ia dapat mengajukan perlawanan kepada pengadilan tinggi melalui pengadilan negeri yang bersangkutan.” Keputusan disini maksudnya adalah Putusan Sela yang menyatakan dakwaan batal demi hukum.

14. Bahwa Pasal 156 ayat (3) merupakan bentuk upaya hukum dari Jaksa Penuntut Umum, setelah surat dakwaan dinyatakan batal demi hukum sebagaimana Pasal 143 ayat (3).

Secara kewenangan Penuntut Umum memiliki kewenangan untuk mengajukan surat dakwaan, kemudian memberikan tanggapan atas eksepsi Terdakwa, dan mengajukan perlawanan atas putusan sela yang menyatakan dakwaan batal demi hukum. Hal ini berbeda dengan upaya yang dimiliki Terdakwa hanya berupa eksepsi, dimana untuk melindungi terdakwa dari surat dakwaan, diberikan suatu hak kepada terdakwa maupun penasehat hukum untuk mengajukan upaya hukum yang disebut dengan Eksepsi yaitu: Tangkisan / keberatan atau pembelaan yang tidak mengenai atau tidak ditujukan terhadap materi pokok perkara surat dakwaan tetapi keberatan (eksepsi) terhadap cacat formal yang melekat pada surat dakwaan (M.Yahya Harahap, 2000: 123).

15. Bahwa dalam tataran praktek selama ini, dalam hal suatu surat dakwaan dinyatakan batal demi hukum sebagaimana Pasal 143 ayat (3) KUHAP, Jaksa Penuntut Umum memiliki pilihan apakah akan langsung melakukan perbaikan ataukah akan mengajukan perlawanan pada Pengadilan Tinggi sebagaimana Pasal 156 ayat (3) KUHAP, dalam hal perlawanan Jaksa Penuntut Umum pada Pengadilan Tinggi terhadap Putusan Sela yang menyatakan dakwaan batal demi hukum ditolak oleh Pengadilan Tinggi, maka Jaksa Penuntut Umum akan melakukan perbaikan kembali terhadap surat dakwaan dan kembali mengajukan surat dakwaan baru atau surat dakwaan untuk yang kedua kalinya ke Pengadilan.

Permasalahan kembali muncul karena perbaikan surat dakwaan yang dilakukan Jaksa Penuntut Umum tidak pernah pasti berapa lama, sebagaimana yang dialami Pemohon, antara dakwaan pertama (tanggal 12 Februari 2020) dan dakwaan kedua (tanggal 31 Agustus 2020) berjarak 6 (enam) bulan lamanya, dakwaan kedua dan dakwaan ketiga (tanggal 25 Oktober 2021) berjarak 14 (empat belas) bulan lamanya, sehingga kepastian hukum atas diri Pemohon menjadi terkatung-katung.

16. Bahwa pilihan yang diambil Jaksa Penuntut Umum untuk langsung melakukan perbaikan setelah putusan sela yang menyatakan dakwaan batal demi hukum atau akan mengajukan upaya perlawanan ke Pengadilan Tinggi atas putusan sela, pada prinsipnya akan berimplikasi pada kapan putusan tersebut berkekuatan hukum tetap, sehingga permohonan penafsiran terhadap frasa “batal demi hukum” pada Pasal 143 ayat (3) KUHAP harus dikembalikannya berkas perkara kepada penyidik setelah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap.

Putusan berkekuatan hukum tetap ini dapat terjadi pada saat putusan sela yang menyatakan batal demi hukum tidak dilakukan perlawanan oleh Jaksa Penuntut Umum atau setelah Putusan Pengadilan Tinggi yang menguatkan Putusan Sela yang menyatakan dakwaan batal demi hukum.

Konsep Batal Demi Hukum

17. Apabila mengacu kepada doktrin hukum, maka “konsep batal demi hukum” adalah secara hukum tindakan hukum itu harus dianggap tidak pernah ada (never existed) sejak semula.

Masalahnya adalah sekalipun begitu, konsep tersebut tidak bekerja secara serta-merta atau otomatis. Hemat Pemohon konsep tersebut harus diberi bentuk, secara semua pihak, Jaksa penuntut umum dan terdakwa memiliki penilaian yang sama atau obyektif tentang status dakwaan dan status terdakwa serta akibat lainnya, termasuk dan tidak terbatas pada pengembalian berkas perkara ke penyidik untuk disidik ulang kembali.

“Dakwaan” yang batal demi hukum, oleh karena itu logis dikonstruksi secara hukum sebagai hal yang sedari awal harus diberi kualifikasi tidak pernah ada (never existed), setidak-tidaknya tidak memiliki dasar logis dan obyektif untuk dijadikan preferensi pada tahapan pra-ajudikasi.

Logis, karena konsep tersebut memiliki pertalian dalam sifat dengan ajaran sifat melawan hukum materil. Dalam ajaran ini konsep ‘batal demi hukum’ (nietigheid van rechtswege) berakibat suatu perbuatan untuk sebagian atau keseluruhan bagi hukum dianggap tidak pernah ada (dihapuskan) tanpa diperlukan suatu keputusan hakim atau keputusan suatu badan pemerintahan batalnya sebagian atau seluruh akibat ketetapan itu.

Bahwa, oleh karena, Dakwaan telah dianggap tidak ada (never existed), sehingga menjadi hal yang wajar jika Majelis Hakim memuat amar putusan yang memerintahkan kepada Jaksa Penuntut Umum untuk melepaskan Pemohon dari Rumah Tahanan, oleh karena Konsekuensinya, Jaksa Penuntut Umum harus dianggap secara tidak lagi memiliki kewenangan menahan terdakwa dengan segala akibat hukumnya.

3. PERTIMBANGAN HUKUM

[3.13.1] Bahwa secara doktriner surat dakwaan adalah suatu akta yang dibuat oleh jaksa penuntut umum yang berisi susunan / konstruksi yuridis atas fakta-fakta perbuatan terdakwa yang terungkap sebagai hasil penyidikan dengan cara merangkai yang menjadi perpaduan antara fakta-fakta perbuatan tersebut dengan unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan pidana dalam undang-undang yang bersangkutan.

Lebih lanjut, apabila ditinjau dari sudut kepentingan yang berkaitan dengan pemeriksaan suatu perkara tindak pidana, maka fungsi suatu surat dakwaan dapat di bagi menjadi 3 (tiga) kategori kepentingan, yakni:

1) Bagi jaksa penuntut umum: Surat dakwaan berfungsi sebagai dasar pembuktian yuridis dari suatu tuntutan pidana dan penggunaan upaya hukum.

2) Bagi terdakwa / penasihat hukum: Surat dakwaan berfungsi sebagai dasar dalam mempersiapkan suatu pembelaan atas suatu dakwaan terhadap suatu tindak pidana yang didakwakan kepadanya.

3) Bagi hakim: Surat dakwaan berfungsi sebagai dasar dan batas ruang lingkup pemeriksaan di persidangan, serta sebagai dasar pertimbangan hukum dalam menjatuhkan putusan pidana.

[3.13.2] Bahwa berkaitan dengan syarat-syarat surat dakwaan, berdasarkan ketentuan Pasal 143 ayat (2) KUHAP, surat dakwaan harus memenuhi syarat-syarat dalam pembuatan surat dakwaan, baik secara formil maupun materiil.

Adapun syarat formil surat dakwaan yang dimaksudkan adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP, meliputi: 1.) Surat dakwaan harus diberi tanggal dan tanda tangan penuntut umum. 2.) Surat dakwaan harus memuat secara lengkap identitas terdakwa yang meliputi nama lengkap, tempat lahir, umur / tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan terdakwa.

Sedangkan syarat materiil surat dakwaan adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP, meliputi: 1.) Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan; 2.) Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.

Adapun berkenaan dengan surat dakwaan batal demi hukum (van rechtswege nietig / null end void) yang artinya dakwaan tersebut tidak memenuhi syarat sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP. Terhadap surat dakwaan batal demi hukum tersebut, bukan berarti bahwa perkara tersebut sejak semula dianggap tidak pernah ada (never existed) sebagaimana pengertian “batal demi hukum” pada umumnya.

Lebih lanjut, berkenaan dengan jenis-jenis surat dakwaan, secara normatif surat dakwaan dapat dibagi menjadi:

1. Dakwaan Tunggal. Arti surat dakwaan tunggal adalah surat dakwaan yang hanya memuat satu tindak pidana saja yang didakwakan. Surat dakwaan tunggal diterapkan karena tidak terdapat kemungkinan untuk mengajukan secara alternatif atau dakwaan pengganti lainnya.

2. Dakwaan Alternatif. Arti surat dakwaan alternatif adalah surat dakwaan yang memuat satu jenis tindak pidana yang didakwakan, namun antara dakwaan yang satu dengan yang lainnya tidak terdapat kualifikasi tindak pidana yang berbeda. Terhadap dakwaan jenis ini meskipun diajukan secara berlapis, tetapi hanya satu dakwaan saja yang akan dibuktikan. Bahkan, tata cara pembuktian dakwaan tidak perlu dilakukan secara berurutan sesuai lapisan dakwaannya, tetapi langsung dapat pada dakwaan yang dipandang terbukti. Sebab, apabila salah satu dakwaan telah terbukti maka dakwaan pada lapisan lainnya tidak perlu dibuktikan lagi.

3. Dakwaan Subsidair / Subsidiaritas. Arti surat dakwaan subsidair / subsidiaritas adalah surat dakwaan yang pembuktiannya dilakukan secara berurutan, dimulai dari lapisan dakwaan teratas sampai dengan lapisan yang dipandang terbukti. Dalam tuntutan pidana jaksa penuntut umum, terhadap bagian dakwaan yang tidak terbukti harus dinyatakan secara tegas dan terdakwa agar dibebaskan dari lapisan dakwaan yang bersangkutan, oleh karenanya terhadap terdakwa hanya dapat dikenakan dakwaan yang terbukti di antara lapisan dakwaan yang didakwakan.

4. Dakwaan Kumulatif. Arti surat dakwaan kumulatif adalah surat dakwaan yang berisi beberapa jenis tindak pidana sekaligus, di mana kesemua jenis tindak pidana yang didakwakan tersebut harus dibuktikan satu per satu. Dalam tuntutan pidana jaksa penuntut umum, terhadap bagian dakwaan yang tidak terbukti harus dinyatakan secara tegas dan terdakwa agar dibebaskan dari lapisan dakwaan yang bersangkutan. Dakwaan jenis ini diterapkan dalam hal terdakwa melakukan beberapa tindak pidana yang masing-masing merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri dan mempunyai jenis kualifikasi yang berbeda.

5. Dakwaan Kombinasi. Arti surat dakwaan kombinasi adalah surat dakwaan yang disusun dalam bentuk kombinasi / gabungan antara dakwaan alternatif dengan dakwaan kumulatif dan/atau subsidair. Terhadap dakwaan jenis ini dibutuhkan seiring dengan perkembangan / kompleksitas varian tindak pidana, baik dalam bentuk / jenisnya maupun dalam modus operandi yang dipergunakan.

Bahwa berkenaan dengan hal tersebut apabila dicermati secara saksama salah satu syarat utama dalam penyusunan surat dakwaan adalah adanya uraian secara cermat yang mengandung arti adanya sifat imperatif berupa ketelitian jaksa penuntut umum dalam mempersiapkan surat dakwaan yang akan diterapkan bagi terdakwa. Sebab, surat dakwaan merupakan dasar untuk melakukan pemeriksaan bagi seorang terdakwa dalam persidangan yang kebenarannya akan dibuktikan berdasarkan alat-alat bukti yang diajukan untuk selanjutnya hasil pembuktian dalam persidangan tersebut dijadikan dasar untuk menjatuhkan putusan bagi hakim apakah akan terbukti atau tidaknya kesalahan terdakwa.

Oleh karena itu, surat dakwaan menjadi syarat yang fundamental untuk dapat atau tidaknya seseorang dipersalahkan karena telah melakukan tindak pidana dan selanjutnya dijatuhi pidana yang salah satunya berupa perampasan kemerdekaan seseorang.

Dengan menempatkan kata “cermat” pada awal rumusan norma Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP, secara filosofis dapat dipahami bahwa pembuat undang-undang menghendaki agar jaksa penuntut umum dalam membuat surat dakwaan harus dilakukan dengan hati-hati dan teliti.

Bahkan lebih dari itu, oleh karena surat dakwaan merupakan syarat yang fundamental yang dapat berakibat hukum atas perampasan kemerdekaan seseorang apabila kesalahannya dapat dibuktikan, sedangkan kemerdekaan seseorang merupakan salah satu hak konstitusional yang dijamin dalam UUD 1945.

Maka, dalam perspektif perlindungan hukum, undang-undang, dalam hal ini KUHAP, telah memberikan batasan terhadap surat dakwaan yang tidak memenuhi persyaratan, baik formil maupun materiil, berakibat dapat dibatalkan bahkan batal demi hukum [vide Pasal 143 ayat (2) KUHAP].

Bahwa berkaitan putusan yang menyatakan surat dakwaan batal atau batal demi hukum, sama sekali belum mempertimbangkan materi pokok perkara, sehingga terhadap putusan tersebut belum melekat unsur nebis in idem [vide Pasal 76 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)].

Oleh karena itu, selain jaksa penuntut umum dapat mengajukan upaya hukum perlawanan kepada pengadilan tinggi atas putusan pengadilan negeri yang menyatakan batal atau batal demi hukum surat dakwaan, jaksa penuntut umum masih berwenang juga untuk mengajukan lagi atas perkara yang bersangkutan dalam pemeriksaan sidang pengadilan dengan jalan mengganti surat dakwaan yang lama dan mengajukan surat dakwaan baru yang telah diperbaiki dan disempurnakan sedemikian rupa sehingga benar-benar memenuhi syarat surat dakwaan yang ditentukan Pasal 143 ayat (2) KUHAP.

Selanjutnya, atas surat dakwaan baru yang diajukan tersebut, pengadilan memeriksa dan memutus perkara pidana yang didakwakan kepada diri terdakwa. Dengan demikian, sesungguhnya putusan pengadilan yang menyatakan dakwaan batal atau batal demi hukum, secara yuridis tidak menghilangkan kewenangan jaksa penuntut umum untuk mengajukan terdakwa kembali ke pemeriksaan sidang pengadilan.

[3.15] Menimbang bahwa KUHAP sebenarnya juga mengatur mengenai pengubahan surat dakwaan dan bukan perbaikan surat dakwaan setelah surat dakwaan dinyatakan batal demi hukum oleh hakim. Pengubahan surat dakwaan dimaksud diatur dalam Pasal 144 KUHAP yang berbunyi:

(1) Penuntut Umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang, baik dengan tujuan untuk menyempurnakan maupun untuk tidak melanjutkan penuntutannya.

(2) Pengubahan surat dakwaan tersebut dapat dilakukan hanya satu kali selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum sidang dimulai.

(3) Dalam hal Penuntut Umum mengubah surat dakwaan ia menyampaikan turunannya kepada tersangka atau penasihat hukum dan penyidik.

Berdasarkan ketentuan di atas dapatlah disimpulkan bahwa pengubahan surat dakwaan dilakukan oleh jaksa penuntut umum, waktu pengubahan tersebut adalah 7 (tujuh) hari sebelum sidang, pengubahan surat dakwaan hanya satu kali saja, dan turunan perubahan surat dakwaan haruslah diberikan kepada tersangka atau penasihat hukum dan penyidik.

Ketentuan ini hanya mengatur mengenai prosedur perubahan surat dakwaan, sedangkan materi surat dakwaan tidak diatur apa yang diperbolehkan atau apa yang tidak boleh diubah, sehingga dapat diambil kesimpulan pengubahan dan/atau penyempurnaan terhadap surat dakwaan boleh dilakukan tanpa suatu pembatasan, bahkan sampai untuk tidak melanjutkan penuntutan asalkan tidak melewati tenggang waktu sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 144 KUHAP.

Hal demikian menunjukkan bahwa surat dakwaan adalah hal yang sangat mendasar sehingga jaksa penuntut umum diberi kesempatan untuk melakukan pengubahan sebelum perkara dilakukan pemeriksaan di persidangan dan perbaikan setelah dinyatakan batal atau batal demi hukum oleh hakim dalam pemeriksaan di persidangan.

[3.16] Menimbang bahwa persoalan selanjutnya yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah terhadap surat dakwaan dinyatakan batal atau batal demi hukum apabila tidak memenuhi syarat formil atau materiil dan surat dakwaan kabur (obscuur libel) berapa kali dapat diajukan terhadap terdakwa di persidangan. Sebab, terhadap surat dakwaan yang dinyatakan batal atau batal demi hukum, jaksa penuntut umum jika keberatan dapat mengajukan upaya hukum perlawanan kepada pengadilan tinggi melalui pengadilan negeri yang bersangkutan [vide Pasal 156 ayat (3) KUHAP].

Bahwa sebagaimana dipertimbangkan sebelumnya, terhadap surat dakwaan yang dinyatakan batal atau batal demi hukum, di samping jaksa penuntut umum dapat mengajukan upaya hukum perlawanan juga berwenang mengajukan kembali perkara yang bersangkutan dalam pemeriksaan sidang pengadilan jika upaya hukum perlawanan ditolak oleh pengadilan tinggi, dengan jalan mengganti surat dakwaan yang lama dan mengajukan surat dakwaan baru yang telah diperbaiki dan disempurnakan sedemikian rupa sehingga benar-benar memenuhi syarat surat dakwaan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 143 ayat (2) KUHAP.

Namun, yang menjadi persoalan krusial selanjutnya adalah tidak terdapatnya jangka waktu kapan surat dakwaan tersebut diperbaiki dan berapa kali surat dakwaan tersebut dapat diperbaiki serta berapa kali pula hakim dapat menyatakan surat dakwaan jaksa penuntut umum batal atau batal demi hukum. Dengan demikian, tanpa kejelasan status dan batasan waktu kapan perkaranya akan selesai hal tersebut menjadikan terdakwa dan/atau korban tindak pidana dapat kehilangan hak konstitusionalnya karena dalam ketidakpastian dan ketidakadilan hukum.

Bahwa secara normatif permasalahan yang menjadi penyebab dari persoalan tersebut di atas, bukan semata-mata masalah penerapan atau implementasi norma, sebab praktik hukum yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum yang dapat mengajukan surat dakwaan berkali-kali atas suatu perkara yang sama dengan surat dakwaan yang sudah diperbaiki, setelah sebelumnya pernah dinyatakan batal atau batal demi hukum, dapat terjadi akibat KUHAP tidak memberikan kejelasan pemaknaan Pasal 143 ayat (3) yang diputus berdasarkan putusan sela.

Demikian pula untuk hakim atau pengadilan negeri, juga dapat disebabkan karena tidak diaturnya atau ditegaskannya berapa kali surat dakwaan dapat dinyatakan batal/batal demi hukum oleh hakim melalui putusan sela. Selain dialami oleh Pemohon telah ternyata terhadap hal serupa juga dialami oleh saksi Pemohon dan beberapa terdakwa lainnya sebagaimana yang didalilkan dalam pokok permohonan.

Dengan demikian, tanpa bermaksud menilai kasus konkret yang dialami Pemohon dan saksi-saksi yang diajukan, menurut Mahkamah terdapat celah dalam pengaturan mengenai perbaikan surat dakwaan a quo yang berdampak pada timbulnya ketidakpastian dan ketidakadilan hukum, baik bagi terdakwa dan/atau korban tindak pidana. Terlebih, secara universal hal tersebut tidak sejalan dengan asas litis finiri oportet yang menegaskan bahwa setiap perkara harus ada akhirnya.

[3.17] Menimbang bahwa ketidakjelasan mengenai berapa kali perbaikan surat dakwaan dapat dilakukan untuk mengajukan kembali terdakwa di persidangan dan batasan berapa kali hakim dapat menjatuhkan putusan sela, menjadikan status terdakwa dan perlindungan hak korban tindak pidana menjadi persoalan yang harus dijawab dan diantisipasi oleh Mahkamah agar diperoleh adanya kepastian dan keadilan hukum bagi terdakwa dan korban tindak pidana serta kepentingan umum.

Dengan demikian, cukup beralasan apabila Mahkamah memberikan batasan mengenai berapa kali jaksa penuntut umum dapat mengajukan perbaikan surat dakwaan sehingga terdakwa dapat diajukan kembali pada sidang pengadilan dan berapa kali pula hakim dapat menjatuhkan putusan sela atas surat dakwaan yang diajukan keberatan oleh terdakwa / penasihat hukum.

Bahwa sejalan dengan pentingnya pembatasan-pembatasan dimaksud, hal tersebut tidak dapat dipisahkan dari kewenangan hakim yang memeriksa dan mengadili perkara pidana, di mana sesungguhnya juga melekat kewenangan untuk dapat mempertimbangkan keterpenuhan syarat suatu surat dakwaan, baik secara formil maupun materiil serta dakwaan yang dinilai kabur secara ex-officio dapat dipertimbangkan bersama-sama dengan materi pokok perkara.

Namun demikian hal tersebut dapat dikecualikan apabila terhadap perkara pidana yang bersangkutan diajukan keberatan (eksepsi) berdasarkan ketentuan Pasal 156 ayat (1) KUHAP, baik adanya keberatan dari terdakwa / penasihat hukum karena pengadilan tidak berwenang mengadili perkara yang bersangkutan, dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, maka hakim dapat menerima ataupun menjatuhkan putusan bersama-sama dengan putusan akhir setelah pemeriksaan materi pokok perkara selesai [vide Pasal 156 ayat (2) KUHAP].

Adapun bunyi selengkapnya Pasal 156 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP sebagai berikut:

1. Dalam hal terdakwa atau penasihat hukum mengajukan keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, maka setelah diberi kesempatan kepada penuntut umum untuk menyatakan pendapatnya, hakim mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil keputusan.

2. Jika hakim menyatakan keberatan tersebut diterima, maka perkara itu tidak diperiksa lebih lanjut, sebaliknya dalam hal tidak diterima atau hakim berpendapat hal tersebut baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka sidang dilakukan.

Bahwa berpijak dari ketentuan norma Pasal 156 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP tersebut di atas, apabila dicermati secara saksama, sesungguhnya tidak ada keharusan bagi hakim untuk menjatuhkan putusan sela pada setiap adanya keberatan (eksepsi) dari terdakwa / penasihat hukum berkaitan dengan pengadilan tidak berwenang mengadili perkara yang bersangkutan, surat dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 156 ayat (1) KUHAP.

Dengan demikian, menurut Mahkamah, oleh karena ketentuan norma Pasal 156 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP a quo tidak bersifat imperatif atau opsional, maka demi terciptanya kepastian dan keadilan hukum bagi terdakwa dan korban pelaku tindak pidana dan juga kepentingan umum, eksistensi Pasal a quo menjadi alasan fundamental untuk dilakukannya pembatasan atas surat dakwaan yang dapat diperbaiki dan dapat diajukannya kembali terdakwa di persidangan secara berulang-ulang.

Di samping itu, juga bagi hakim di dalam menjatuhkan putusan sela atas adanya keberatan dari terdakwa / penasihat hukum berkaitan dengan pengadilan tidak berwenang mengadili perkara yang bersangkutan, dakwaan tidak dapat diterima atau dakwaan harus dibatalkan.

[3.18] Menimbang bahwa di samping pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan tersebut di atas, oleh karena sesungguhnya kesempatan untuk mengajukan keberatan atas surat dakwaan jaksa penuntut umum hanyalah hak dan bukan kewajiban, maka sejatinya adanya pembatasan atas perbaikan surat dakwaan yang disebabkan batal atau batal demi hukum dan pembatasan hakim dalam menjatuhkan putusan sela atas adanya keberatan dari terdakwa / penasihat hukum, tidak mengurangi hak-hak terdakwa maupun penuntut umum, bahkan hakim, di dalam keleluasaan memeriksa suatu perkara pidana.

Sebab, hakim pengadilan pidana yang memeriksa dan mengadili perkara yang bersangkutan dapat melakukan pemeriksaan atas materi perkara besama-sama dengan syarat formil lainnya, yang kemudian atas perkara tersebut dapat dijatuhkan putusan pada putusan akhir secara bersamaan. Hal demikian sejalan dengan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan [vide Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman].

Lebih lanjut, pembatasan perbaikan surat dakwaan jaksa penuntut umum akibat surat dakwaan yang batal atau batal demi hukum dan putusan sela yang dapat dijatuhkan oleh hakim, di samping memberikan kepastian dan keadilan hukum bagi terdakwa dan korban tindak pidana serta kepentingan umum, juga untuk menghindari adanya perkara yang berpotensi melewati batas daluwarsa penuntutan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 78 dan Pasal 79 KUHP.

Terlebih, dalam praktik peradilan, hakim secara ex officio dalam memeriksa dan mengadili perkara pidana tanpa ada keberatan (eksepsi) dari terdakwa / penasihat hukum berkaitan dengan kewenangan mengadili perkara yang bersangkutan, surat dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan batal demi hukum secara ex officio dapat menjatuhkan putusan sela ataupun tetap memeriksa materi pokok perkara dan kemudian menjatuhkan putusan akhir secara bersama-sama.

Oleh karena, meskipun ditemukan adanya kekurangan syarat formil dan materiil terhadap surat dakwaan akan menjadi pertimbangan hukum tersendiri bagi hakim yang mengadili perkara dimaksud dengan mempertimbangkan secara komprehensif. Dalam kaitan inilah apakah hakim akan menitik-beratkan putusannya pada aspek keadilan formil, keadilan materiil, atau memadukan antara keduanya di dalam menilai dan memutus perkara yang bersangkutan.

Dengan demikian, dengan telah diputusnya pada putusan akhir yang mencakup juga materi pokok perkara, maka upaya hukum yang tersedia atas perkara dimaksud dapat ditempuh oleh pihak-pihak yang berkeberatan. Terlebih, terhadap perkara yang demikian apabila diajukan kembali dengan perbaikan surat dakwaan oleh jaksa penuntut umum maka akan terkendala dengan ketentuan tentang ne bis in idem, yang artinya perkara dengan terdakwa dan materi perbuatan tindak pidana yang sama telah diputus oleh pengadilan dan telah berkekuatan hukum tetap, baik yang terbukti maupun yang tidak terbukti, maka perkara tersebut tidak dapat diperiksa kembali untuk kedua kalinya [vide Pasal 76 KUHP].

[3.19] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, berkenaan dengan frasa “batal demi hukum” sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan norma Pasal 143 ayat (3) KUHAP, menurut Mahkamah dapat menciptakan kepastian dan keadilan hukum, apabila dimaknai pengajuan perbaikan surat dakwaan hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali setelah surat dakwaan dinyatakan batal atau batal demi hukum oleh hakim.

Artinya, pada dakwaan kedua yang diajukan jaksa penuntut umum, apabila masih diajukan keberatan mengenai keterpenuhan syarat formil dan materiil surat dakwaan, maka hakim harus memeriksa surat dakwaan tersebut secara bersama-sama dengan materi pokok perkara yang kemudian diputus secara bersama-sama dalam putusan akhir.

Dengan demikian, pemaknaan atas frasa “batal demi hukum” sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan norma Pasal 143 ayat (3) KUHAP dimaknai menjadi sesuai dengan yang dinyatakan dalam amar putusan a quo.

[3.20] Menimbang bahwa dengan telah diberikan pemaknaan baru oleh Mahkamah terhadap frasa “batal demi hukum” sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan norma Pasal 143 ayat (3) KUHAP, maka terhadap perkara-perkara yang saat ini sudah pernah dinyatakan surat dakwaan jaksa penuntut umum batal atau batal demi hukum, baik sekali maupun lebih oleh hakim, maka dapat diajukan untuk 1 (satu) kali lagi dan kemudian hakim memeriksanya bersama-sama dengan materi pokok perkara. Sementara itu, terhadap perkara-perkara yang belum pernah sama sekali diajukan surat dakwaan oleh jaksa penuntut umum dalam persidangan, berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam putusan a quo.

Namun demikian, melalui putusan a quo penting bagi Mahkamah untuk menegaskan, bahwa untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam penyusunan surat dakwaan agar jaksa penuntut umum melakukan pemeriksaan secara saksama dan berjenjang terhadap surat dakwaan sebelum diajukan dalam persidangan di pengadilan negeri.

Sebab, jaksa penuntut umum adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas kebijakan penuntutan, yang pada satu sisi berhubungan dengan perlindungan hak asasi manusia, dan di sisi lain dakwaan dapat berakibat perampasan kemerdekaan seseorang. Oleh karena itu, dengan adanya kecermatan dalam penyusunan surat dakwaan maka dapat dihindari adanya surat dakwaan yang batal atau batal demi hukum.

Di samping itu, penting pula bagi Mahkamah untuk mengingatkan hakim dalam menangani perkara agar selalu menjaga integritas, dengan tetap mengedepankan kepastian dan keadilan hukum. Sehingga, kemungkinan adanya putusan sela yang menyatakan surat dakwaan jaksa penuntut umum batal atau batal demi hukum secara berulang-ulang tidak lagi terjadi. Karena, sebagaimana dipertimbangkan di atas, sejatinya hakim dapat memberikan penilaian atas suatu perkara dari aspek keadilan formil, materiil ataupun memadukan keduanya dengan tetap berorientasi pada peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.

[3.21] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, telah ternyata ketentuan norma Pasal 143 ayat (3) KUHAP menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan hukum. Namun, oleh karena Mahkamah akan memberikan pemaknaan bersyarat terhadap norma Pasal a quo tidak sebagaimana yang dimohonkan oleh Pemohon, dengan demikian Mahkamah berpendapat dalil permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.

[3.22] Menimbang bahwa dengan telah dinyatakannya frasa “batal demi hukum” sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan norma Pasal 143 ayat (3) KUHAP inkonstitusional secara bersyarat maka terhadap pasal-pasal lain yang berkaitan, pemberlakuannya menyesuaikan dengan putusan a quo.

[3.23] Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain dari permohonan Pemohon a quo tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dipandang tidak ada relevansinya.

4. KONKLUSI

Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum tersebut di atas, Mahkamah berkesimpulan:

[4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan Pemohon;

[4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo;

[4.3] Pokok permohonan beralasan menurut hukum untuk sebagian.

5. AMAR PUTUSAN

Mengadili:

1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;

2. Menyatakan frasa “batal demi hukum” dalam ketentuan norma Pasal 143 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Tahun 1981, Nomor 3209), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Terhadap surat dakwaan jaksa penuntut umum yang telah dinyatakan batal atau batal demi hukum oleh hakim dapat diperbaiki dan diajukan kembali dalam persidangan sebanyak 1 (satu) kali, dan apabila masih diajukan keberatan oleh terdakwa / penasihat hukum, hakim langsung memeriksa, mempertimbangkan, dan memutusnya bersama-sama dengan materi pokok perkara dalam putusan akhir”;

3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.

Konsultan Hukum HERY SHIETRA & PARTNERS