Semestinya Somasi Cidera Janji Membayar, Sudah Merupakan Bukti Persangkaan bahwa Kondisi Keuangan Debitor sedang Tidak Sehat
Laporan Keuangan menjadi Persyaratan Mutlak Memohon
Pailit / PKPU, Syarat yang Tidak Realistis
Question: Tidak ada debitor yang mau mengakui bahwa kondisi keuangannya sudah tergolong bangkrut karena “lebih besar pasak daripada tiang”. Apakah benar, untuk bisa pailitkan debitor yang tidak mau bayar tunggakan hutangnya, harus ada laporan keuangan yang diterbitkan oleh pihak debitor itu sendiri? Mana ada debitor yang mau dipailitkan karena laporan keuangan yang mereka terbitkan sendiri? Mana ada debitor yang mau sukarela berikan laporan keuangannya? Mana ada “jeruk yang makan jeruk”? Kalau tiba-tiba pun kami bisa peroleh laporan keuangannya, nanti kami dipidana oleh si debitor, dengan alasan mencuri rasia isi dapur perusahaan mereka.
Brief Answer: Betul bahwa ada kecenderungan Pengadilan Niaga yang
dewasa ini mensyaratkan adanya “laporan keuangan” dalam gugatan / permohonan
pailit maupun PKPU terhadap kalangan debitor. Secara logika yang sederhana,
bila debitor cidera janji membayar hutangnya, maka itu sudah merupakan bukti
“persangkaan” bahwa pihak debitor dalam kondisi keuangan yang “tidak sehat”,
dimana neraca keuangannya dalam posisi “liability”
lebih besar daripada “equity”. Bila
tidak demikian, maka sang debitor patut dimaknai punya “itikad tidak baik”,
mengingat memiliki likuiditas berupa dana cadangan maupun aset berharga yang
dapat cairkan dalam tempo waktu yang tidak terlampau lama, dalam rangka
membayar hutangnya, akan tetapi secara sengaja tidak dilakukan.
Bila debitor bersikap jujur dengan menerbitkan laporan keuangan yang
menggambarkan kondisi keuangannya sudah dalam kondisi “sakit” (insolven), lalu
diganjar “punishment” berupa di-PKPU
atau bahkan di-pailit-kan, sementara bersikap tidak jujur dengan tidak punya
kemauan (sekalipun punya kemampuan untuk itu) melunasi, lalu diganjar “reward” dengan tidak dipailitkan, maka
itu menjelma sebentuk “moral hazard”
tersendiri. Semestinya Majelis Hakim di Pengadilan Niaga bersikap arif dan
bijaksana, dengan memahami kesukaran di lapangan bahwa hampir mustahil ada “debitor
nakal” yang bersedia menyerahkan laporan keuangan secara sejujur-jujurnya
kepada kreditor mereka.
PEMBAHASAN:
Kita perlu memahami konteks,
bukan hanya teks. Bila yang memohon pailit ataupun PKPU, ialah pihak debitor
itu sendiri, maka laporan keuangan dapat menjadi persyaratan mutlak agar
permohonan dapat dikabulkan oleh Pengadilan Niaga. Sebaliknya, bila yang
memohon ialah dari kalangan kreditor terhadap debitornya, maka laporan keuangan
tidak semestinya menjadi persyaratan, cukup adanya somasi yang diterbitkan oleh
pihak kreditor kepada debitornya karena wanprestasi membayar ataupun melunasi
hutangnya. Undang-Undang tentang Kapailitan dan PKPU, hanya dapat dibaca dan
diberi makna secara logis dengan membedakan konteksnya secara proporsional,
bukan digeneralisir tanpa dasar rasio yang realistis.
Memperoleh laporan keuangan yang
jujur dari pihak debitor saja, sudah begitu menyerupai “miracle”. Terlebih, bila yang dipersyaratkan oleh Pengadilan Niaga ialah
berupa “financial audit” kondisi
keuangan debitor, hampir menyerupai syarat yang tidak akan mungkin dapat
dipenuhi kalangan debitor, terutama ketika debitornya telah tergolong “macet”
dan mulai mendapat surat tagihan atas tunggakannya. Untuk memudahkan pemahaman,
dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan ilustrasi konkretnya sebagaimana putusan
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat sengketa Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(PKPU) register Nomor 252/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN.Niaga.Jkt.Pst. tanggal 22 Juli
2021, perkara antara:
- PT. BANK CTBC INDONESIA, sebagai
Pemohon PKPU; melawan
- PT. FIRGA UTAMA MANDIRI, selaku
Termohon PKPU.
Termohon PKPU selaku Debitur
dari Pemohon PKPU terikat hubungan hukum pinjam meminjam uang. Dari jumlah
utang pokok sebesar Rp.1,884,167,809.76, Termohon PKPU baru membayarkan
pinjaman uang total sebesar Rp. 80,000,000 sejak 30 September 2020 sampai
dengan 24 Mei 2021, debitur (Termohon PKPU) tidak melakukan pembayaran sesuai dengan
komitmen di Perjanjian Fasilitas Kredit.
Pasal 222 ayat (3) UU
Kepailitan dan PKPU mengatur bahwa Kreditor yang memperkirakan bahwa Debitor
tidak dapat melanjutkan utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih,
dapat memohon agar kepada Debitor diberi penundaan kewajiban pembayaran utang, untuk
memungkinkan Debitor mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran
pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada Kreditornya. Atas
kewajiban-kewajiban Termohon PKPU tersebut, Pemohon PKPU telah memberikan
Teguran Hukum (Somasi) yaitu melalui Surat-Surat Peringatan sebagai berikut:
i. Surat Peringatan Pertama
tanggal 24 Mei 2020 Perihal Surat Peringatan Pertama;
ii. Surat Peringatan Kedua
tanggal 21 Juli 2020 Perihal Surat Peringatan Kedua;
iii. Surat Peringatan Ketiga
tanggal 28 Juli 2020 Perihal Surat Peringatan Ketiga;
Surat-Surat tersebut adalah
Pernyataan Lalai dari Bank (Pemohon PKPU) yang pada pokoknya memberikan
kesempatan kepada Termohon PKPU untuk menyelesaikan seluruh kewajibannya. Atas
kelonggaran waktu yang diberikan oleh Pemohon PKPU, Termohon PKPU sama sekali
tidak ada itikad baik untuk membayar kewajibannya, sehingga telah terbukti
bahwa Termohon PKPU sudah tidak dapat lagi melanjutkan membayar utang-utangnya
yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih atau setidaknya tidak beritikad baik untuk
melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih.
Oleh karena itu berdasarkan
Ketentuan Pasal 222 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU, Pemohon PKPU dengan ini
mengajukan Permohonan PKPU terhadap Termohon PKPU dengan tujuan untuk
memberikan kesempatan kepada Termohon PKPU untuk mengajukan sebuah rencana
perdamaian yang pada pokoknya berisi penawaran pembayaran atau skema
restrukturisasi utang yang komprehensif dan berkepastian hukum kepada para
Kreditornya termasuk kepada Pemohon PKPU.
Dimana terhadap permohonan PKPU
yang diajukan oleh sang kreditor terhadap debitornya demikian, Majelis Hakim
pada Pengadilan Niaga membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa Pasal 222
ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, menentukan bahwa “Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang diajukan oleh Debitur yang mempunyai lebih dari 1 (satu) Kreditur atau oleh
Kreditur”;
“Menimbang, bahwa selanjutnya
Pasal 222 ayat (3) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, menentukan bahwa ‘Kreditor yang memperkirakan
bahwa Debitor tidak dapat melanjutkan membayar utang yang telah jatuh waktu dan
dapat ditagih, dapat memohon agar kepada Debitor diberi Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang untuk memungkinkan Debitor mengajukan rencana perdamaian yang
meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruhnya Utang kepada Krediturnya’;
“Menimbang, bahwa kemudian
Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang RI Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menentukan bahwa “Permohonan pernyataan
pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti
secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi”;
“Menimbang, bahwa ketentuan
Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang RI Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ini, juga menjadi syarat untuk
dikabulkannya permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) - oleh
karena adanya PKPU dapat berakibat terjadinya kepailitan;
“Menimbang, bahwa untuk dapat
dikabulkannya suatu permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang,
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang mensyaratkan permohonan tersebut harus memenuhi ketentuan
Pasal 222 ayat (1), ayat (3) dan Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang
syarat-syaratnya sebagai berikut:
1. Debitor memiliki dua kreditor atau lebih;
2. Debitor tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu
dan dapat ditagih;
3. Kreditor memperkirakan bahwa Debitor tidak dapat melanjutkan
pembayaran utangnya;
4. Terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana;
Ad. 2. Debitor tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh
waktu dan dapat ditagih;
“Menimbang, bahwa Pasal 1 angka
6 dan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang - menentukan sebagai
berikut:
- Pasal 1 angka 6:
“Utang adalah kewajiban yang
dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang
Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul
di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau
undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak dipenuhi
memberi hak kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan
Debitor.”
- Penjelasan Pasal 2 ayat (1):
“Yang dimaksud dengan “utang
yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih” adalah kewajiban untuk membayar utang
yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan
waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau
denda oleh instansi yang berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter,
atau majelis arbitrase.”
“Menimbang, bahwa Pemohon
mendalilkan Termohon memiliki utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih,
dan untuk menguatkan dalilnya tersebut Pemohon telah mengajukan bukti-bukti
surat berupa bukti P-1 sampai dengan P-32;
“Menimbang, bahwa sebagaimana
disebutkan dalam permohonannya, Pemohon PKPU pada pokoknya mendalilkan bahwa
Termohon mempunyai utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih sejumlah Rp.
2,533,233,702.92 sebagaimana Akta Perjanjian Kredit Nomor 64 pada tanggal 22
Oktober 2015 ... , yang dibuat dibawah tangan sesuai dengan bukti P-4, P-6,
P-8, P-9, sampai dengan bukti P-14, bukti P-16 sampai dengan bukti P-18 yaitu
Akta Salinan Perjanjian Kredit antara Pemohon selaku Kreditor dengan Termohon
selaku Debitor beserta beberapa kali terjadi perubahan atas akta perjanjian
fasilitas kredit dengan perincian: ...;
“Menimbang, bahwa berdasarkan
bukti-bukti sebagaimana tersebut di atas, terkait dalil adanya utang Termohon
PKPU kepada Pemohon PKPU sebesar Rp. 2,533,233,702.92 (Dua Milyar lima ratus
tiga puluh tiga juta dua ratus tiga puluh tiga ribu tujuh ratus dua koma
sembilan dua rupiah) Majelis Hakim menilai ketentuan Debitor tidak membayar
sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih telah terpenuhi;
Ad. 3. Kreditor memperkirakan bahwa Debitor tidak dapat melanjutkan pembayaran
utangnya;
“Menimbang, bahwa pemohon dalam
permohonannya pada pada angka 11 (sebelas) menyatakan sebagai berikut : PEMOHON
PKPU telah memberikan Teguran Hukum (Somasi) yaitu melalui Surat- Surat
Peringatan sebagai berikut:
- Surat Peringatan Pertama Nomor:024/EKS/SME-PT/05/2020 tanggal 24 Mei 2020
Perihal Surat Peringatan Pertama;
- Surat Peringatan Kedua Nomor:030/EKS/SME-PT/07/2020 tanggal 21 Juli 2020
Perihal Surat Peringatan Kedua;
- Surat Peringatan Ketiga Nomor:030/EKS/SME-PT/07/2020 tanggal 28 Juli 2020
Perihal Surat Peringatan Ketiga;
Bahwa atas tegoran / somasi
tersebut Termohon PKPU sama sekali tidak ada itikad baik untuk membayar
kewajibannya, sehingga telah terbukti bahwa Termohon PKPU sudah tidak dapat
lagi melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat
ditagih;
“Menimbang, bahwa ketidakmampuan
seorang debitor dapat dinilai dari kondisi keuangan suatu perusahaan atau
seseorang apakah lebih kecil dari nilai utang yang dimilikinya atau bagaimana
kondisi bisnis yang dimilikinya apakah berjalan dengan baik atau tidak,
sehingga hakim akan menilai apakah kondisi bisnis yang baik masih bisa
dipertahankan untuk membayar utang yang belum lunas. Ketidakmampuan dalam
pembayaran utang juga dapat dinilai oleh debitor sebagai pemilik harta benda,
jadi jika kreditor menilai dibitor sudah tidak mampu untuk membayar utangnya,
maka penilaian kreditor haruslah berdasarkan pada financial audit dan bukan
atas pertimbangan subyektif semata berupa somasi / tegoran yang telah dilakukan
oleh Pemohon.
“Menimbang, bahwa oleh
karena selama persidangan pemohon tidak membuktikan adanya financial audit yang
menunjukkan adanya data-data keuangan yang mendukung perkiraan bahwa Debitor
tidak dapat melanjutkan pembayaran utangnya sebagaimana tersebut diatas yang
merupakan penilaian subyektif dari pemohon sehingga pemohon belum bisa
memperkirakan apakah debitor tidak dapat melanjutkan pembayaran utangnya;
“Menimbang, bahwa berdasarkan
uraian pertimbangan hukum sebagaimana tersebut di atas, Majelis Hakim
berpendapat permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang dari Pemohon tidak
memenuhi ketentuan Pasal 222 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, sehingga berdasarkan Pasal
225 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, sehingga permohonan penundaan
kewajiban pembayaran utang sementara dari Pemohon harus ditolak;
“M E N G A D I L I :
- Menolak permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)
dari Pemohon tersebut;”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.