Falsafah Hukum Dibalik Hukum Prosedural Pidana (KUHAP)

Ketentuan Praperadilan Sudah Saatnya Dihapuskan dari Hukum Prosedural Pidana (KUHAP)

Terdapat adagium hukum klasik yang berbunyi : menegakkan hukum tidak dapat dengan cara melanggar “hukum prosedural”. Bila kita konsisten mengusung konsep “keadilan substantif”, maka mengapa kita justru menitik-beratkan pada “hukum prosedural”? Disitulah tepatnya, terdapat inkonsistensi doktrin klasik dalam teks-teks ilmu hukum pidana di Tanah Air, sebuah “contradictio in terminis” dimana kedua postulat di atas sejatinya saling menegasikan satu sama lainnya. Kini, cobalah para pembaca visualisasikan sosok dua orang pemain catur yang memainkan bidak catur di atas papan catur. Pemain yang kesatu, patuh terhadap “aturan main” di atas papan catur, sementara itu pemain yang kedua justru tidak pernah mematuhi “aturan main” di atas papan catur. Pertanyaan sederhananya, siapakah yang dapat Anda prediksi akan keluar sebagai pemenangnya? Tidak butuh gelar profesor untuk mengetahui dan memprediksi hasilnya.

Tentunya saja pemain kedua yang akan memenangkan seluruh permainan catur di atas papan catur demikian. Tidak ada kejahatan yang dilakukan di ruang terang-benderang, hampir seluruh kejahatan terjadi di ruang temaram dimana juga tidak ada penjahat yang membiarkan barang bukti kejahatannya tergeletak di jalan umum, terutama kejahatan berjenis “kerah putih” (white collar crime) maupun kejahatan korporasi, tidak terkecuali modus-modus mafia tanah, mafia kepailitan, mafia lelang, dan berbagai mafia lainnya yang justru menjadikan instrumen hukum sebagai “alat kejahatan” (law as a tool of crime) disamping modusnya yang rapih, penuh selubung, dan tersistematis.

Perhatikan pendapat seorang akademisi hukum yang menyatakan bahwa seorang terdakwa boleh berbohong di persidangan, karena tidaklah dapat kita menuntut agar seorang terdakwa bersikap jujur di persidangan. Karenanya juga, kita tidak dapat dengan naif berharap agar alat-alat bukti yang disodorkan oleh pihak terdakwa adalah benar alat bukti yang sahih, terlebih keterangan terdakwa itu sendiri untuk diharapkan telah berkata jujur apa adanya—keterangan terdakwa merupakan salah satu kriteria “alat bukti” menurut “hukum prosedural pidana”. Kebohongan adalah “bukti”? Bila keterangan terdakwa adalah “alat bukti”, maka mengapa hakim tidak seketika memvonis bersalah terhadap seorang terdakwa yang didakwa di persidangan?

Kita patut menduga, bahwa segala keterangan saksi maupun barang bukti yang disodorkan pihak terdakwa, adalah hasil rekayasa dan manipulasi, mengigat adanya asas “non self incrimination”. Namun, kita cenderung membuat patokan standar yang kelewat berlebihan bagi aparatur penegak hukum, dimana sang aparatur penegak hukum wajib serta harus sepenuhnya patuh dan tunduk pada “aturan main”. Alhasil, sebagian besar waktu dan sumber daya aparatur penegak hukum habis terkuras semata karena tuntutan aspek prosedural demikian. Ruang persidangan, tidak ubahnya pertarungan di atas papan catur. Ketika aparatur penegak hukum wajib serta berkewajiban untuk patuh terhadap aturan main di atas papan catur, sementara itu pihak terdakwa bebas untuk melanggar “aturan main” demikian, maka sudah jelas siapa yang akan keluar sebagai pemenang dan siapa yang akan menjadi pecundangnya. Menjadi tidak mengherankan, tren terkini menunjukkan maraknya putusan praperadilan yang dimenangkan oleh pihak tersangka.

Menurut Anda, apakah prosedur adalah hukum? Jika prosedur adalah hukum, maka mereka yang menguasai seluk-beluk dan celah-celah prosedur tersebut akan menguasai hukum. Anda patut menyebutnya sebagai “keadilan prosedural”, bukan “keadilan substantif”. Kita masih ingat kasus praperadilan yang diajukan dan dimenangkan oleh seorang profesor hukum dari Universitas Negeri ternama, dan kini menjabat sebagai Wakil Menteri Hukum, ia berhasil memenangkan praperadilan bukan karena dirinya orang bersih—ada yang menyuap, artinya (pasti dan seharusnya) ada yang disuap—namun semata karena memahami betul seluk-beluk dan setiap inci celah dari prosedur yang diatur dalam hukum acara pidana.

Sederhananya, praperadilan hanya memeriksa aspek formil atau administrasi, bukan aspek materiil. Karenanya, seseorang tersangka yang dibebaskan karena sang tersangka mengajukan praperadilan, ia bersifat “bebas tidak murni”, bukan “bebas murni”. Bersalah atau tidaknya seorang tersangka secara substantif, hanya dapat terjadi di ruang peradilan perkara pidana dimana pokok materi perkara dan pembuktian disidangkan, bukan dalam forum praperadilan. Idealnya, berangkat dari paradigma di atas, ketentuan hukum mengenai praperadilan dihapuskan untuk seluruhnya, dan disaat bersamaan menegaskan kewajiban bagi penyidik untuk segera melimpahkan berkas perkara untuk proses penuntutan dan pihak kejaksaan untuk segera mengajukan dakwaan ke persidangan tanpa adanya penundaan (justice delayed is justice denied), menjadi krusial agar status sang tersangka dapat segera mendapat kepastian menjadi terpidana-narapidana ataukah akan dinyatakan “bebas tidak bersalah” oleh Majelis Hakim, bukan hakim tunggal sebagaimana dalam putusan praperadilan.

Perhatikan sikap para akademisi hukum yang mengagung-agungkan prosedur diatas segalanya, lewat pendapatnya yang menyatakan penggunaan kewenangan upaya paksa seperti penangkapan, penahanan, penetapan tersangka, penggeledahan, pemeriksaan dan penyadapan harus digunakan secara ketat dengan indikator-indikator yang jelas dan terukur. Serta dibuka peluang bagi pihak yang merasa dirugikan hak-haknya untuk mengajukan keberatan, baik terhadap institusi yang menggunakan upaya paksa tersebut maupun melalui praperadilan. Singkatnya, aparatur penegak hukum dituntut untuk patuh terhadap prosedur, mengakibatkan keterangan orang intel sekalipun menjadi “mentah”.

Pihak pengamat hukum menggunakan istilah adanya “bukti ilegal” maupun hasil penyadapan “tidak sah”. Mereka membuat penekanan demikian dalam rangka memastikan alat-alat bukti diperoleh dengan cara-cara yang sah secara prosedural. Singkatnya, aparatur penegak hukum wajib patuh pada “aturan main” dalam hukum prosedural pidana—istilah hukum acara pidana perlu diubah menjadi hukum prosedural pidana, karena seseorang Tersangka dapat dibebaskan dalam praperadilan semata karena alasan terdapat cacat prosedur dalam proses penyidikan, sebagai contoh. Istilah “hukum acara pidana” cukup mengecoh publik, mengingat sejatinya ketentuan seperti Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sepenuhnya merupakan aturan-aturan tentang prosedural yang dijadikan norma hukum.

Mudah sekali untuk merancang impunitas bagi pelaku kejahatan, semisal terjadi persekongkolan antara pihak tersangka dan pihak aparatur penegak hukum, dengan modus sebagai berikut : aparatur penegak hukum mengumpulkan seluruh alat-alat bukti namun proses menghimpunnya terjadi secara tidak prosedural—semisal tanpa mendapat persetujuan dari pihak pengadilan—dengan tujuan agar pihak tersangka dapat mengajukan praperadilan dan memenangkannya tanpa ada kesulitan yang berarti. Alhasil, sebagai konsekuensi yuridisnya, segala alat bukti yang dinyatakan “cacat prosedur” oleh putusan hakim praperadilan, tidak lagi dapat dijadikan alat bukti dalam proses penyidikan-ulang. Karena seluruh alat bukti yang ada tidak lagi dapat digunakan untuk proses penyidikan ulang, maka tidak ada lagi alat / barang bukti yang tersisa, karenanya sang pelaku masuk dalam posisi “imun” dari hukum pidana. Itulah, yang melatar-belakangi berpendirian penulis agar praperadilan dihapuskan dari KUHAP. Cukuplah seorang tersangka wajib untuk segera didakwa dan dituntut ke muka persidangan agar sesegera mungkin mendapatkan kepastian status sebagai “benar bersalah” ataukah “dibebasksan”. Semestinya KUHAP cukup berfokus pada akselerasi pelimpahan berkas perkara sejak tahap penyelidikan dan penyidikan, tanpa menunda-nunda proses dakwaan, tuntutan, dan putusan vonis pengadilan.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.

Iklan Official hukumhukum.com : MATHEMATICS SPECIALIST. Tutor by Mr. Wendy Agustian (Since 1998)

Teaching Mathematics is to teach the students Mathematical concepts, not memorization!

Menyediakan Jasa Kursus Privat & Group Pelajaran Matematika SD, SMP, SMU bagi Siswa di Jakarta, Tangerang, dan Sekitarnya. Kurikulum Lokal maupun Internasional.

Untuk Pendaftaran Murid, Portofolio Kompetensi Mengajar, maupun Kerja Sama, Hubungi: E-Mail : mathematics.specialist.id@gmail.com WA : (+62) 08788-7835-223.

Mathematics Specialist was established in 1998 by Mr. Wendy when he was 15. This is a private tuition that runs by Mr. Wendy himself as sole teacher. He has deep understanding about Mathematics for Primary up to Junior College and Foundation Studies (Grade 1 up to 12), mastering multiples curriculums of Mathematics.

Mathematics for Commerce (Math-C) and Science (Math-S) within UNSW Foundation Studies (UFS) in Indonesia. "Most of the students I handle are not aware of this at all. So for the students who are intended to take UNSW Foundation Studies in Indonesia, if you have questions, do not hesitate to ask. It will be best to prepare yourself way earlier before you really start the program, because it is nearly impossible to form or fix the basics when it has been started."

[NOTE : Pelafalan huruf vokal "e" pada nama Bapak W(e)ndy Agustian, diucapkan sebagaimana pelajafan "e" dalam kata "kepada", bukan "e" pada kata "sen".]

Iklan Resmi di atas telah diverifikasi otentikasinya oleh SHIETRA & PARTNERS.

Konsultan Hukum HERY SHIETRA & PARTNERS