Tersangka yang Bodoh, Menunda-Nunda dan Mengulur-Ngulur Waktu untuk Berdamai dengan Korban Pelapor : Restorative Justice di Pengadilan Tidak Menghapus Kesalahan Pidana
Question: Sekalipun sudah ditetapkan sebagai tersangka, pihak yang kami laporkan tidak berinisiatif ataupun serius meminta maaf maupun mengajukan proposal perdamaian. Sebenarnya siapakah, yang seharusnya proaktif menawarkan perdamaian, yang konon ada semacam “restorative justice” dalam proses hukum pidana kita di Indonesia?
Brief Answer: Biarkan saja pihak Terlapor / Tersangka mengulur-ngulur
waktu untuk meminta maaf, mengakui kesalahannya, dan mengganti-kerugian dalam
rangka untuk membuka potensi berdamai. Mengapa? Ketika proses hukum pidana masih
di tingkat penyelidikan maupun penyidikan, laporan / aduan masih memungkinkan
dicabut oleh pihak Korban Pelapor.
Sebaliknya, ketika proses pidana telah memasuki
tahap pembacaan surat dakwaan maupun surat tuntutan, sekalipun kemudian pihak Terdakwa
berubah pikiran dan mulai membuka diri untuk berdamai, meminta maaf serta dimaafkan,
dan sekalipun telah mengganti seluruh kerugian Korban, sang Terdakwa tetap
divonis pidana sekalipun secara lebih ringan.
Dengan kata lain, merupakan atau menjadi kepentingan
pihak Terlapor / Tersangka untuk sesegera mungkin menawarkan dirinya untuk
meminta maaf dan berdamai dengan pihak Korban Pelapor, agar berkas perkara
tidak sampai tahap persidangan karena aduan / laporan masih dapat dicabut oleh
pihak Korban Pelapor.
PEMBAHASAN:
Untuk memudahkan pemahaman,
dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan ilustrasi konkretnya
sebagaimana putusan Pengadilan Negeri Sumenep perkara pidana register Nomor 60/Pid.Sus/2025/PN.Smp
tanggal 27 Mei 2025, dimana terhadap dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum
(JPU), Majelis Hakim membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang,
bahwa selain pertimbangan di atas, Majelis Hakim dalam menjatuhkan pidana
kepada Terdakwa juga akan mempertimbangkan keadaan-keadaan khusus sebagai
berikut;
“Menimbang,
bahwa sesuai fatka hukum dan bukti surat dipersidangan telah terjadi perdamaian antara Saksi Korban dengan
Terdakwa, dan kerugian yang diderita oleh korban dari tindak pidana yang
dilakukan Terdakwa telah dipulihkan dengan adanya permintaan maaf dari Terdakwa
dan pemaafan dari Saksi Korban;
“Menimbang,
bahwa oleh karena kerugian yang diderita oleh Saksi Korban telah dipulihkan
dengan adanya surat pernyataan damai sebelum adanya putusan perkara aquo,
maka Majelis Hakim berpendapat bahwa perkara ini dapat diputus dan diselesaikan
dengan menggunakan pendekatan keadilan
restoratif (restorative justice)
sebagaimana ketentuan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif;
“Menimbang,
bahwa Majelis Hakim berpendapat bahwa perkara a quo memenuhi kriteria perkara
yang dapat diputus dan diselesaikan dengan menggunakan pendekatan keadilan
restoratif berdasarkan hal-hal sebagai berikut:
- Tindak pidana yang didakwakan kepada Terdakwa
adalah tindak pidana dengan ancaman hukuman maksimal 5 (lima) tahun penjara
dalam salah satu dakwaan (vide Pasal 6 ayat (1) huruf c Perma Nomor 1 Tahun
2024);
- Telah ada perdamaian secara tertulis yang
ditandatangani oleh Terdakwa dan korban yang berisi penggantian kerugian
(vide Pasal 18 ayat (1) huruf a Perma Nomor 1 Tahun 2024);
- Dengan adanya perdamaian tersebut maka kerugian
yang diderita korban telah dipulihkan sehingga memulihkan pula hubungan antara
Terdakwa dengan Korban dan/atau masyarakat, dan menganjurkan pertanggung-jawaban Terdakwa (vide Pasal 3 ayat (1) huruf a, b, c Perma Nomor 1
Tahun 2024);
- Penerapan
prinsip Keadilan Restoratif dalam perkara ini tidak bertujuan untuk
menghapuskan pertanggung-jawaban pidana Terdakwa karena Terdakwa sebagaimana dipertimbangkan di atas
tetap dinyatakan bersalah dan mampu bertanggung-jawab atas perbuatannya (vide
Pasal 3 ayat (2) Perma Nomor 1 Tahun 2024);
“Menimbang,
bahwa oleh karena perkara aquo dapat diselesaikan dengan pendekatan keadilan
restoratif, dan telah ada perdamaian antara Terdakwa dengan korban, dan telah
ada pemulihan kerugian yang diderita korban maka sebagaimana ketentuan
Pasal 19 ayat (1) Perma Nomor 1 Tahun 2024, perdamaian dan kesediaan Terdakwa untuk bertanggung jawab atas kerugian
korban sebagai akibat tindak pidana menjadi
alasan yang meringankan hukuman dan/atau menjadi pertimbangan untuk menjatuhkan
pidana bersyarat / pengawasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
sehingga Majelis Hakim berpendapat bahwa pidana yang paling adil untuk
dijatuhkan kepada Terdakwa sesuai dengan pendekatan keadilan restoratif yang
telah diterapkan dalam perkara ini adalah pidana bersyarat / pidana percobaan
sebagaimana ketentuan Pasal 14a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
“Menimbang,
bahwa sesuai Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 Tentang Pemasyarakatan, fungsi
penjatuhan pidana sebagai upaya untuk menyadarkan Narapidana agar menyesali
perbuatannya dan mengembalikan menjadi warga masyarakat yang baik, taat kepada
hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial, keagamaan, sehingga
tercapai kehidupan masyarakat yang aman, tertib dan damai. Terdakwa yang selama
dalam pemeriksaan perkara aquo telah dikenakan penahanan, maka hal tersebut
sudah menjadi efek jera dan pembelajaran bagi Terdakwa supaya tidak mengulangi
lagi perbuatannya. Selain itu, pemidanaan dalam perkara aquo juga lebih
ditujukan untuk mengembalikan hubungan kekeluargaan antara Terdakwa dan korban,
sehingga terhadap lamanya penjatuhan pidana dalam perkara aquo akan diputuskan
sebagaimana tercantum dalam amar putusan ini;
“Menimbang,
bahwa untuk menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa maka perlu dipertimbangkan
terlebih dahulu keadaan yang memberatkan dan yang meringankan Terdakwa sebagai
berikut:
Keadaan yang memberatkan:
- Perbuatan Terdakwa meresahkan masyarakat;
Keadaan yang meringankan:
- Terdakwa berlaku sopan dipersidangan;
- Terdakwa
mengakui perbuatannya;
- Terdakwa belum pernah dihukum;
- Terdakwa menyesali perbuatannya;
- Ada
perdamaian antara Terdakwa dan korban;
“Memperhatikan,
Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP jo. Putusan MK Nomor 1/PUU-XI/2013 tanggal 16
Januari 2014, Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2024
Tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, dan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana serta peraturan
perundang-undangan lain yang bersangkutan;
“M E N G A D I L I :
1. Menyatakan Terdakwa Taufiqurrahman Bin Suwahmad
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ”secara
melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan dengan memakai ancaman kekerasan
terhadap orang lain” sebagaimana dalam dakwaan alternatif kedua Penuntut Umum;
2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena
itu dengan pidana penjara selama 5 (ima) bulan;
3. Menetapkan bahwa pidana tersebut tidak perlu
dijalani kecuali jika di kemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain
karena Terdakwa melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan selama 1
(satu) tahun berakhir;
4. Memerintahkan Terdakwa dibebaskan dari tahanan
seketika setelah putusan ini diucapkan;
5. Menetapkan barang bukti, berupa:
- 1
(Satu) pucuk senapan angin merk sharp river warna hitam;
- 1
(Satu) buah pisau warna putih panjang 27 Cm bergagang besi;
- 1
(Satu) buah sarung pisau dari kain warna hitam;
Dimusnahkan;”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.
