Kiat Cerdas KPR Anti Macet bagi Debitor Pembeli Rumah dengan Fasilitas Kredit Bank

Nasabah Debitor yang Cerdas ialah Nasabah Debitor yang Tahu dan Paham “Cacat Celah Hukum” di Indonesia

Antara BUNGA TERSELUBUNG, Bunga ANUITAS, dan Kredit KPR, Jebakan “Lingkaran Setan” kalangan Perbankan di Tanah Air

Question: Apakah ada kiat tertentu, agar dari sejak awal kita sebagai pembeli produk properti, tidak sampai terjebak dalam kredit macet KPR di bank?

Brief Answer: KPR, akronim dari “Kredit Pemilikan Rumah”, bisa menjadi penolong bagi masyarakat selaku pengguna jasa produk perbankan, namun juga bisa menjadi petaka yang betul-betul menjebak serta menjerat (yang tentunya merugikan) pihak nasabah debitor bila tidak mengetahui seluk-beluk instrumen hukum semacam produk perbankan serta konsekuensi-kosekuensi ataupun bahaya dan potensi dibaliknya.

Salah satu perspektif salah-kaprah alias kekelirutahuan (tahu, namun keliru) yang kerap dijumpai pada kasus-kasus kredit macet fasilitas KPR perbankan, ialah persepsi dari sudut pandang pihak nasabah debitor, bahwasannya memiliki sejumlah nominal dana untuk membayar separuh lebih harga produk properti, dan menguras seluruh dana tersebut untuk membayar uang muka pembelian, dengan harapan total nominal kredit pinjaman menjadi rendah berimbas pada bunga cicilan yang juga diharapkan akan rendah.

Namun, kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi pada tahun-tahun berikutnya, apakah sang nasabah debitor masih memiliki pemasukan “income” dan faktor likuiditas lainnya, atau ada kebutuhan mendesak yang membutuhkan sejumlah dana sisa cadangan, sebagai akibatnya alokasi untuk mencicil cicilan bulanan bunga dan pokok hutang pun terpakai habis. Masuklah sang nasabah debitor ke dalam kondisi gagal cicil dan gagal melunasi, yang konsekuensi utamanya bukanlah “bunga” kredit, namun faktor komponen pembebanan semacam “denda”, “bunga terhadap bunga”, dan lain sebagainya yang hanya dipahami oleh perbankan itu sendiri.

Yang paling harus diwaspadai oleh seluruh kalangan nasabah debitor produk lembaga keuangan, ialah praktik “bunga terselubung”. Sebagian besar perbankan yang beroperasi di Indonesia, kerapkali mengambil laba atau profit usaha dengan porsi terbesar bukanlah dari komponen pembebanan “bunga”, namun “denda” bilamana debitornya menunggak—komponen yang kerap membuat total “outstanding” hutang debitor menjadi “bengkak” serta menjelma “hutang yang menggunung”. Perhatikan norma hukum bentukan yurisprudensi sebagaimana tertuang dalam putusan Mahkamah Agung R.I. No. 2027 K/Pdt/1984, tanggal 23 April 1986: [Sumber: Majalah Hukum Varia Peradilan No. 18 Tahun II. Maret 1987 Hlm. 5.]

Mahkamah Agung R.I. dalam putusannya telah membenarkan pertimbangan judex facti dengan menolak keberatan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi, dengan pertimbangan yang pada intinya sebagai berikut:

Bahwa meskipun persoalan denda (penalty) serta ongkos-ongkos lainnya telah diperjanjikan oleh para pihak, namun menurut Mahkamah Agung, karena denda yang telah diperjanjikan tersebut jumlahnya terlampau besar, sehingga pada hakekatnya merupakan suatu “BUNGA YANG TERSELUBUNG” maka berdasar atas rasa keadilan, hal tersebut tidak dapat dibenarkan oleh Mahkamah Agung. Karena itu tuntutan tentang pembayaran denda tersebut harus ditolak.

Betul bahwa komponen “denda” merupakan “bunga yang terselubung”, namun praktik di seluruh perbankan yang beroperasi di Indonesia, baik perbankan swasta nasional, swasta asing, tidak terkecuali BUMN/D, tetap membebani nasabah debitornya dengan komponen pembebanan “denda”, bahkan “denda terhadap tunggakan denda”, disamping “bunga” serta “bunga-berbunga”. Namun, sang debitor harus merepotkan diri mengajukan gugatan perdata ke hadapan pengadilan yang tentunya, memiliki konsekuensi logis berupa waktu, tenaga, serta biaya.

Sehingga, perlu dari sejak awal disusun kalkulasi atau strategi, untuk memitigasi “the worst case scenario” untuk mengantisipasi masa mendatang yang serba tidak pasti, agar jangan sampai gagal cicil dan likuiditas tetap tersedia untuk mencicil rutin cicilan bulanan—itulah kata kuncinya, agar kalangan nasabah debitor tidak terjebak dalam “lingkaran setan” yang tidak mungkin dapat keluar dari jerat hutang yang terus berlipat-lipat dan menggunung tidak terkendali dalam tempo waktu menunggak yang singkat sekalipun. Komponen pembebanan berupa “denda”, dalam semua kasus kredit macet, merupakan “killing factor”, dimana seluruh kalangan debitor perlu memahami benar-benar fakta tersebut.

PEMBAHASAN:

Salah satu kiatnya, ialah tidak menguras seluruh dana yang dimiliki seorang nasabah debitor untuk membayar separuh lebih harga properti yang dibeli dengan fasilitas KPR, dengan asumsi keliru bahwa dengan cara demikian bunga cicilan bulanan akan menjadi lebih ringan untuk ditanggung mengingat pokok hutang awalnya dapat lebih rendah. Sebagai ilustrasi sederhana, seorang nasabah debitor memiliki dana sejumlah 500 juta Rupiah untuk membeli produk properti senilai 700 juta Rupiah. Secara tanpa berpikir panjang, sang nasabah debitor menguras seluruh dananya untuk membayar separuh lebih harga produk properti yang dibeli olehnya, dan selebihnya yakni selisih dengan harga produk properti, 200 juta Rupiah, meminjam dana dengan fasilitas KPR dari perbankan dengan masa kredit selama 10 tahun.

Namun, kita tidak dapat berasumsi bahwa kondisi ekonomi akan “status quo” dan “stagnan” selayaknya “zona aman”—tiada “zona aman”, itu adalah delusi. Perlu adanya langkah mitigasi yang diperhitungkan dari sejak awal, seperti “prepare for the worst case”. Tahun pertama dan tahun kedua, mungkin cicilan lancar dibayarkan oleh sang nasabah debitor. Namun, “force majeure” bisa saja terjadi dan terus menghantui, seperti akibat resesi ekonomi global akibat pandemik, bencana alam, peperangan antar negara yang mengguncang ekonomi global, ataupun krisis ekonomi nasional akibat faktor politik, hingga berbagai faktor tidak terduga lainnya semacam mengalami sakit, pemutusan hubungan kerja akibat perusahaan melakukan efisiensi tenaga kerja dan menggantikannya dengan “pada modal” teknologi robotik seperti dewasa ini, dsb.

Pada tahun ketiga, sang nasabah debitor gagal bayar cicilan bulanan, dan tunggakan menjadi tidak lagi sanggup terbayarkan akibat menggunung berlipat-lipat oleh sebab “bunga terselubung”—jebakan “iblis” bagai “lingkaran setan”, dimana sekali terjebak pada “bunga terselubung”, maka sang debitor dapat dipastikan tidak dapat melunasi, dan dalam perspektif itulah, seluruh perbankan di Indonesia merupakan “rentenir” alias “intah darat” yang seolah dibiarkan dan dilegalkan oleh pemerintah. Kesemua kemungkinan tersebut, tetap terbuka peluang terjadinya menimpa kita tanpa terkecuali, karenanya bersikap rasional merupakan kearifan itu sendiri dan perlu kita perhitungkan dari sejak awal.

Akan lebih cerdas serta bijaksana, bilamana sang nasabah debitor menyisihkan separuh dana miliknya, sebagai dana cadangan. Sebagai contoh, sang nasabah debitor mambayar harga properti yang dibelinya dengan dana 400 juta Rupiah, sehingga kredit yang dipinjam dengan fasilitas KPR bank ialah 300 juta Rupiah, dimana 100 juta Rupiah menjadi dana cadangan yang didepositokan—akibatnya, bunga dari dana deposito dapat sedikit-banyaknya menjadi kompensasi terhadap bunga kredit KPR, yang mana konsekuensi yuridisnya ialah menutup ruang potensi gagal cicil “cicilan bulanan”, yang artinya resiko “bunga terselubung” dapat dihindari dan ditekan seminimal mungkin. Jika memungkinkan, jangka waktu kredit KPR pun cukup 6 tahun alih-alih 10 tahun sehingga total bunga fasilitas kredit KPR dapat ditekan.

Perlu dipahami pula, bahwa sistem cicilan pada lembaga keuangan perbankan, terdiri dari sistem “bunga efektif menurun” dan sistem “bunga anuitas”. Pada sistem “bunga efektif menurun”, cicilan yang dibayar setiap bulannya oleh nasabah debitor, mengurangi pokok hutang dalam “outstanding” yang menjadi dasar perhitungan bunga pada cicilan berikutnya. Sebagai contoh, pokok hutang awal ialah 100 juta Rupiah, bila pada bulan cicilan pertama sang nasabah debitor telah mencicil pokok hutang 3 juta Rupiah, maka bunga pada cicilan bulan kedua ialah (100 juta - 3 juta Rupiah) x tingkat suku bunga per bulan. Alhasil, bunga cicilan pada bulan-bulan selanjutnya akan terus menurun. Cara atau sistem seperti ini adalah lebih adil (fairness) bagi kalangan nasabah debitor.

amun, seperti telah penulis singgung di muka, seluruh kalangan perbankan di Indonesia ialah “rentenir terselubung” (rentenir dalam wujud “white collar” yang dilegalkan pemerintah, bahkan perbankan milik pemerintah dan pemerintah daerah turut menjadi pemain didalamnya, yang notabene kesemuanya “diawasi” oleh Otoritas Jasa Keuangan), sehingga yang diterapkan oleh para perbankan kita di Indonesia, ialah “sistem bunga anuitas”, dimana sekalipun nasabah debitor belum menikmati seluruh masa kredit, namun bulan-bulan awal cicilan hingga separuh masa waktu kredit, adalah untuk mencicil komponen “total bunga untuk seluruh masa kredit” semata. Alhasil, pokok hutang tidak berkurang atau hanya berkurang sedikit pada paruh awal keseluruhan masa waktu kredit. Konsekuensi yuridis penerapan “sistem bunga anuitas” ialah:

1.) nasabah debitor merugi bila hendak menebus atau melunasi sebagian ataupun seluruh sisa pokok hutangnya, sekalipun dibebaskan dari pinalti, mengingat pokok hutang belum berkurang atau hanya berkurang sedikit sekalipun masa kredit sudah berjalan separuhnya dan nasabah debitor rutin mencicil “cicilan bulanan” setiap bulannya tanpa pernah menunggak.

2.) bila nasabah debitor ditengah masa berjalannya kredit hendak menjual objek rumah yang dibeli olehnya dengan fasilitas kredit KPR tersebut, atau ketika terjadi “kredit macet” dan objek agunan dilelang eksekusi oleh bank, maka nasabah debitor betul-betul akan menderita kerugian, mengingat sekalipun, sebagai contoh, dari 10 tahun masa kredit, debitor baru menikmati 5 tahun masa kredit, namun pihak bank telah menagih dan menarik seluruh komponen “total bunga” untuk 10 tahun, sehingga ketika pada tahun ke-5 tersebut nasabah debitor hendak menjual rumahnya atau terjadi “lelang eksekusi” terhadap agunan, maka bank tetap memungut dan meraup seluruh “total bunga” untuk 10 tahun.

Keserakahan (secara “terselubung”) kalangan perbankan di Indonesia, mengakibatkan kalangan nasabah debitor selaku konsumen pengguna jasa lembaga keuangan, betul-betul berdiri “seorang diri” menghadapi “rentenir kerah putih yang merangkap sebagai mafia tanah”. Jika pemerintah selaku otoritas maupun regulator, hendak hadir di tengah masyarakat untuk memberi perlindungan hukum bagi kalangan debitor menghadapi dominasi perbankan selaku entitas korporasi raksasa (adanya ketimpangan dari segi daya tawar dan posisi dominan), maka pemerintah dapat saja (bila ada “political will” untuk itu) membentuk regulasi, yang mengatur bahwa sang nasabah debitor hendak menjual agunan ataupun agunan akan dilelang eksekusi oleh bank ditengah masa kredit yang masih berjalan, maka sistem bunga dari semula “anuitas” harus dan wajib dikalkulasi ulang menjadi atau dihitung dengan perhitungan “sistem bunga efektif menurun”, dengan menghitung berapa total cicilan bulanan yang selama ini setiap bulannya telah dicicil oleh sang debitor, dalam rangka penerapan asas keadilan, asas proporsional dalam pembebanan bunga, dan asas keseimbangan. Sebenarnya pihak nasabah debitor dapat mengajukan gugatan dalam satu paket, dalam artian menggugat ketentuan “bunga terselubung” disamping menggugat keberlakuan “sistem bunga anuitas”.

Beragam bank bersikap tidak jujur dan tidak transparan di muka, dengan tidak menginformasikan kepada calon nasabah debitornya, sistem bunga yang akan diterapkan oleh pihak bank saat ada calon nasabah debitor hendak mengajukan permohonan fasilitas KPR. Untuk memudahkan identifikasi, masyarakat selaku calon nasabah debitor dapat mengajukan pertanyaan berikut, sebagai cara mudah mengetahui sistem bunga manakah yang diterapkan oleh bank bersangkutan. “Jika setelah mencicil cicilan bulanan pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya, maka untuk cicilan bulan berikutnya, apakah besaran cicilan bulanannya tetap saja sama dengan total cicilan bulan-bulan awal?

Jika jawabannya ialah “Ya, tetap sama besar cicilan per bulannya dan untuk setiap bulannya sampai masa kredit berakhir”, maka itulah indikasi mutlak bahwa bank bersangkutan menerapkan “sistem bunga anuitas”, yang bermakna : cicilan bulanan Anda selaku nasabah debitor, pada paruh pertama masa kredit, adalah digunakan untuk mencicil dan membayar “total bunga” untuk seluruh masa kredit, sekalipun Anda selaku nasabah debitor belum menikmati seluruh masa kredit. Itulah cerminan nyata serta konkret tidak terbantahkan, betapa berbagai perbankan di Indonesia beroperasi layaknya “lintah darat” yang notabene diawasi, diizinkan, dan dibiarkan oleh otoritas dibidang jasa keuangan.

Berbagai perbankan di Indonesia, tumbuh besar secara pesat, masif, serta merajalela karena makmur memakan “bunga terselubung”, bercermin dari banyaknya keluhan para Klien SHIETRA & PARTNERS, dalam sesi konseling hukum, menguraikan betapa piutang yang diklaim bank saat mempailitkan sang nasabah debitor, sebagian besarnya ialah akibat “bunga terselubung” yang “membengkak” serta “menggunung” berkali-kali lipat dari sisa hutang yang sebenarnya, sehingga menjelma mustahil dapat dilunasi oleh sang debitor.

Keluhan-keluhan dan kekecewaan masyarakat, terjadi secara masif ribuan kasus setiap tahunnya di Indonesia, korban-korban yang terus bertumbangan dengan pola yang sama yang terus terulang, serta telah terjadi sepanjang tahun dan akan masih terjadi untuk tahun-tahun berikutnya, ialah keluhan seputar praktik “sistem bunga anuitas”, dimana negara tidak pernah hadir dan abai sehingga praktik “rentenir berkedok bank” demikian bisa tetap lestari bahkan merajai praktik lembaga keuangan.

Perhatikan salah satu contoh petikan kecil dari ribuan kasus serupa, yang dapat dicerminkan lewat keluhan konsumen jasa keuangan perbankan khususnya produk KPR, sumber : https:// id.quora .com /Apakah-Anda-menyesal-telah-mengambil-KPR, dengan tajuk “Apakah Andamenyesal telah mengambil KPR”, diakses per tanggal 29 Maret 2022, yang mungkin juga pernah Anda alami atau tersangkut didalamnya secara relevan:

Ya… jujur saya sangat menyesalinya. Karena kurang ilmu, jadi terkena jebakan KPR. Ya KPR saya bilang jebakan, karena itu pedang bermata dua. Kalo dari sudut pandang marketing itu memang indah, tapi realita di lapangan sangatlah berbeda. Sangat dinamis.

Realita hidup memang tak seindah apa yang kita rencanakan atau yang di rencanakan marketing KPR. Pendapatan itu tidak pasti, tapi angsuran KPR pasti.

Angsuran kredit apapun itu sangat kaku, statis dan tidak fleksibel. Padahal pendapatan orang itu sangat dinamis dan fleksibel apalagi kalau sumber pendapatan dari bisnis atau berdagang.

Apalagi dengan akad konvensional, sangat tidak fair ternyata. Kredit dengan jaminan properti. Di angsur tepat waktu kena bunga yang bunganya berubah2 cenderung bertambah. Bayar telat masih kena denda, masih di teror collectornya.

[NOTE : Jusuf Hamka pernah membuat pernyataan, Bank Syariah lebih kejam daripada bank swasta, karena kredit pinjaman tidak boleh dilunasi ditengah masa kredit.]

Di-lunasi di tengah2 jangka waktu ternyata pokok kreditnya masih banyak, ternyata yang terbayar duluan bunganya, bukan pokok kreditnya. Karena malas sama collector nya akhirnya berencana di bayar lunas, eh di bayar lunaspun masih kena pinalty.

Ga di bayar, jaminan di lelang dengan harga sangat rendah dari harga beli. Wkwkwk… ibarat timbangan sangat jomplang sekali.

=====

Yang pertama sesudah menikah, saya mengambil rumah KPR 15th, harga 140jt di tahun 2003, angsuran per bulan sekitar 900rb. Di bank swasta terbesar.. saat ada rejeki pelan pelan di kurangi nilai angsuran dan jangka waktu, dan alhamdulillah lunas sebelum waktunya. Bank tersebut sangat kooperatif dan membantu nasabah ketika ingin pelunasan sebagian (top up) sehingga lebih cepat kami jalani

Karena kebutuhan ruang dan anak anak tidak mungkin sekamar berdua terus maka kami membeli rumah baru, seharga 1,4M dan oleh bank ‘dibeli’ lalu dijual kembali ke kami seharga 2.9M dan di cicil 15 th. Itu adalah konsep KPR bank syariah.

Belakangan ternyata niat kami untuk melakukan hal yang sama, pelunasan sebagian misalnya tidak semudah di bank swasta biasa.. prosesnya ribet dan diskon atau pengurangan angsuran sangat kecil, alasannya margin sudah dipatok oleh bank sejak awal, tidak bs berkurang banyak.. bayangkan katanya syariah konsepnya tp kalo kita mau bayar lebih awal malah ribet dan susah turun nilainya.

[NOTE : Itulah akibat “agama yang dibisniskan”. Agama adalah agama, bisnis adalah bisnis. Hanya akan mencoreng dan menodai keluhuran agama, ketika agama “dibisniskan”. Sama halnya, agama adalah agama, dan pemerintahan adalah pemerintahan; jangan mempolitisir agama untuk kepentingan politik, dalam rangka menjaga keluruhan serta kemurnian agama.]

Keluhan serupa oleh nasabah debitor terkait fasilitas KPR yang tampak menyerupai mengandung “cacat tersembunyi” (pahit-nya muncul dibelakang hari, dan baru “terkaget-kaget” dikemudian hari), dapat kita jumpai dalam  https:// id.quora .com /Adakah-yang-pernah-mengambil-KPR-selama-20-25-tahun-dan-sudah-lunas-Bagaimana-pengalamanmu-mencicil-selama-itu, diakses per tanggal 29 Maret 2022, dengan kutipan sebagai berikut:

Saya mengambil KPR Griya BNI dengan tenor 20 tahun. Plafond pinjaman saya 190 juta dan sudah berjalan kurang lebih 5 tahun. Saat ini saya akan melunasi pinjaman tersebut, tetapi sungguh sangat menyakitkan karena total cicilan saya sebesar 127 jt hanya diakui sebagai angsuran pokok sebesar 17 juta saja.

Artinya saya terkena bunga sebesar 110 juta belum lagi ditambah biaya adm diawal sebesar 12 jt dan denda pelunasan yang juga lumayan 0.5% dari sisa pinjaman (sekitar 5 juta).

[NOTE : Nominal tersebut “kecil” di mata korporasi raksasa penuh keserakahan semacam perbankan, namun tidak kecil bagi rakyat jelata, yang bekerja “full time” selama satu bulan pun belum tentu dapat mendapatkan nafkah sebesar itu. Arogansi secara terselubung, “maunya selalu menang dan enak sendiri”. Secara kalkulasi bisnis, bank lebih banyak diuntungkan dari debitor yang “macet” ketimbang debitor yang “tidak macet” kreditnya, semata demi meraup “bunga terselubung”.]

Artinya secara total 5 tahun saya hanya membayar bunganya saja. Saya sungguh menyesal telah mengambil pinjaman dari KPR BNI tersebut dan memastikan seluruh keluarga dan saudara saya tidak mengambil KPR BNI Griya.

[NOTE : Sayangnya dan ironisnya, negara tidak pernah benar-benar hadir di tengah masyarakat. Lihatlah kasus Jiwasraya yang merugikan ribuan nasabah dengan total kerugian masyarakat mencapai triliunan Rupiah, Otoritas Jasa Keuangan mengawasi Jiwasraya, namun kemudian pihak otoritas “lepas tangan”, sekalipun juga Jiwasraya notabene ialah BUMN, Badan Usaha Milik Negara.]

Saya dalam situasi tidak begitu paham ketika tanda tangan akad kredit, dimana waktu itu sales KPR tidak memberi keterangan yang jelas tentang pinjaman saya. Tidak ada uraian berupa tabel angsuran perbulan.

Karena pinjaman harus cair segera saya hanya menanda tangani perjanjian kredit yang berhalaman2 tanpa sempat saya baca dan pahami dengan baik. Hal ini adalah kesalahan saya yang fatal. Seharusnya saya menunda penanda tanganan dan meminta waktu untuk mempelajari akad tersebut. Tapi nasi sudah jadi bubur semoga lain kali saya lebih hati-hati.

Kita cukup belajar dari pengalaman baik maupun pengalaman buruk orang lain, tanpa harus terjebak pada kondisi serupa. Informasi serta bekal pengetahuan yang berangkat dari pengalaman konsumen atau pengguna jasa lainnya, menjadi penting ketika kita terlibat dengan pihak-pihak korporasi raksasa dengan “klausula baku”-nya yang mendominasi daya tawar, bahkan tiada negosiasi ataupun tawar-menawar sama sekali. Sekalipun Republik Indonesia mengaku sebagai “negara hukum”, namun dalam banyak kasus, sebagaimana contoh-contoh di atas dapat para pembaca lihat dan nilai sendiri, negara tidak benar-benar hadir di tengah-tengah masyarakat dan hukum tidak benar-benar eksis untuk masyarakat “rakyat jelata”. Sekalipun eksis, hadir, dan mengawasi, namun lihatlah nasib ribuan nasabah Jiwasraya yang terkatung-katung—hal tersebut konteksnya ialah BUMN milik pemerintah yang diawasi langsung oleh OJK.

Dari banyak putusan pengadilan yang telah penulis evaluasi, banyak hakim yang tidak memahami perihal “bunga terselubung”, sehingga melegalkan praktik “bunga terselubung” ala “rentenir” kalangan perbankan, maupun praktik “sistem bunga anuitas” yang tidak pernah adil terhadap kalangan nasabah debitor, yang selalu ditempatkan pada posisi serba tersudutkan dan lemah, tanpa daya tawar apapun juga tanpa diberi perlindungan oleh negara lewat representasi lembaga peradilannya.

Kita selaku masyarakat dan rakyat jelata, yang perlu harus pandai-pandai menjaga diri dalam “kesendirian” (solo fighter) dan mengetahui segala “cacat celah hukum” yang terus-menerus dibiarkan serta dilestarikan oleh pemerintah—bila tidak dapat disebut sebagai “dipelihara” oleh negara. Itulah, hukum ala Indonesia, “hukum Made in Indonesia”. Dapatkah kita ber-slogan, “cintai hukum dalam negeri” sebagaimana pemerintah kita gencar mempromosikan “cintai produk dalam negeri”?

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.

Konsultan Hukum HERY SHIETRA & PARTNERS