Adakah yang Lebih PENTING daripada Hukum Agama?

LEGAL OPINION

Bukan Persoalan Mana yang Lebih Tinggi, namun Mana Hukum yang Lebih PENTING, Lebih MEMBUMI, dan Lebih BERFAEDAH

Question: Banyak orang, semata agar tampak menjadi seorang pembela Tuhan (seolah dapat membuat Tuhan merasa tersanjung, meski Tuhan tidak butuh “penjilat”), menyatakan secara membuta bahwa “hukum agama” adalah hukum tertinggi. Apakah betul demikian adanya bila kita tinjau secara filsafat, disiplin ilmu yang membolehkan atau memberi kita ruang untuk mengkritisi serta mempertanyakan secara bebas dan mandiri, mencerna sebelum menerimanya begitu saja?

Brief Answer: “Hukum agama” manakah yang Anda ataupun mereka maksudkan? “Hukum agama A”, “hukum agama B”, ataukah “hukum agama” milik agama lainnya? Kita hidup dalam era peradaban dengan kemajemukan, karenanya kita perlu menghormati dan mengasuh kemajemukan ini, serta menghargainya sebagai penghayatan terhadap sila “Bhinneka Tunggal Ika”. Bersikukuh menyatakan “hukum agama” sebagai hukum yang tertinggi, sama artinya menjadikan agama sebagai supremasi diatas negara, alih-alih negara dengan supremasi hukum (negara hukum)—yang akibatnya agama akan dinodai dan dicemari oleh segala bentuk politisasi alias agama yang akan bernasib dipolitisir bahkan agama untuk memobilisasi simpatisan ataupun agama itu sendiri yang dijadikan komoditas untuk dimobilisir.

“Hukum (ciptaan) Tuhan” itu sendiri terbagi menjadi dua penggolongan besar, yang pertama ialah berupa “hukum agama” sebagaimana tertuang dalam dogma-dogma perintah dan larangan dalam berbagai kitab agama samawi. Sementara itu yang kedua, ialah hukum-hukum semacam hukum alam, hukum fisika, tidak terkecuali HUKUM KARMA juga merupakan “hukum (ciptaan) Tuhan”. Perihal mana yang lebih tinggi, itu sama sekali tidak penting serta tidak membawa faedah untuk dibahas ataupun ditetapkan. Yang lebih berfaedah, ialah mengidentifikasi dan memahami manakah hukum yang lebih bermanfaat, yang lebih “membumi”, yang lebih berfaedah, serta yang lebih PENTING.

Agama semestinya murni, netral, dan dibiarkan bersih dari anasir politik apapun, sehingga tipe negara yang ideal ialah negara berjenis “sekular” yang membebaskan para rakyatnya untuk memeluk atau tidak memeluk keyakinan keagamaan manapun itu tanpa ancaman rasa takut apapun, dimana hukum negara tidak akan diintervensi agama tertentu manapun. Agama yang baik berfokus pada praktik latihan pemuliaan internal batin diri para umatnya (sentripetal), bukan mengatur orang lain lewat embel-embel kemasan “hukum agama”.

Berbeda karakter dengan “hukum negara” yang bersifat sentrifugal, dalam artian mengatur segenap orang-orang pada umumnya. Ketika “hukum agama” yang dikemukakan, maka dalil-dalil keagamaan ataupun “hukum agama” akan dijadikan komoditas bagi seseorang ataupun sebagian umat untuk menghakimi orang lainnya, bahkan hingga mengeksekusi maupun persekusi. Karenanya, agama biarlah menjadi urusan batin masing-masing tanpa intervensi negara, koridornya semata urusan keyakinan—dan juga berlaku prinsip sebaliknya, agama tidak mengintervensi jalannya roda negara dan pemerintahan serta segenap kehidupan sosial rakyatnya.

Agama adalah agama, dan hukum adalah hukum—alih-alih mengemasnya menjadi “hukum agama” ataupun “hukum negara”. Ketika dua hukum eksis disaat bersamaan, maka yang tercipta kemudian ialah “dualisme hukum”, yang bisa jadi saling sejalan namun bisa jadi juga saling bertolak-belakang. Sebagai contoh, bila Anda yakin bahwa “hukum agama” adalah yang tertinggi, maka mengapa di Indonesia saat pemilihan umum berlangsung, suara warga wanita dihitung sebagai “one women, one vote” alih-alih “one women, half vote” sebagaimana hukum agama Islam?

“Hukum negara” yang justru dipakai oleh Republik Indonesia sejak republik ini merdeka dan mengadakan “pesta demokrasi”, mengkampanyekan serta mempromosikan “one man & women, one vote”, prinsip demokrasi mana merupakan adaptasi dari Barat. Contoh lainnya ialah keterwakilan kaum wanita di parlemen sebagai para “wakil rakyat”, suara anggota parlemen wanita diatur oleh “hukum negara” sebagai sejajar dan sederajat dengan anggota parlemen yang bergender pria. Diakui ataupun tidak diakui, rakyat di Indonesia telah selama beberapa dekade sangat menikmati aturan-aturan “hukum negara” demokratis alih-alih menerapkan “hukum agama” yang nir-demokrasi.

PEMBAHASAN:

Kita mengenal pula “hukum negara” semacam hak asasi manusia, yang salah satunya menjunjung kebebasan memeluk dan memilih keyakinan maupun kepercayaan sesuai pilihannya masing-masing, yang tidak dapat diderogasi dengan alasan apapun, bahkan diakomodir kedalam Konstitusi Republik Indonesia berupa UUD RI 1945. Menjadi bertolak-belakang dengan “hukum agama” berikut, merujuk Hadist Tirmidzi Nomor 2533:

- “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan 'TIDAK ADA TUHAN SELAIN ALLAH DAN BAHWA MUHAMMAD RASUL ALLAH', menghadap kiblat kami, memakan sembelihan kami, dan melakukan shalat dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan MENUMPAHKAN DARAH dan MERAMPAS HARTA mereka.”

Bila “hukum negara” lewat Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia maupun Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia menyatakan hak untuk hidup dan tidak “main hakim sendiri” (persekusi) merupakan hak asasi yang tidak dapat diderogasi sebagai bagian dari bangsa beradab dan “negara hukum” (due process of law), maka kontradiktif secara kontras dan ekstrem akan kita jumpai dalam “hukum agama” berikut:

- QS 9:29. Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah (upeti) dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.

- QS 9:14. Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman.

- QS 66:9. Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahannam dan itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.

- QS 2:191. Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir. [Balas dizolimi dengan pembunuhan, itukah keadilan dan kedamaian dalam islam?]

- QS 5:33. Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.

- QS 8:12. Ingatlah, ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah pendirian orang-orang yg telah beriman”. Kelak aku akan jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka PENGGALLAH KEPALA MEREKA dan PANCUNGLAH TIAP-TIAP UJUNG JARI MEREKA.

QS 9:5. Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. [Sebagai bukti, selama ini kaum mana dan siapa yang lebih suka menyerang, alih-alih yang dizolimi. Bagaimana mungkin, yang diserang justru yang sembunyi-sembunyi mengintai dan mengepung, sebelum kemudian menangkapi orang-orang untuk dibunuh?]

Praktik perbudakan tidak kalah jahat dan kejinya dengan penjajahan. Berbagai konvensi atau traktat internasional maupun undang-undang di Republik Indonesia pun telah sejak lama menyatakan tidak dapat berkompromi terhadap praktik perbudakan, dengan alasan apapun—namun “hukum agama” justru menolerir, mengkampanyekan, dan mempromosikan praktik perbudakan, sebagaimana merujuk:

- QS An-Nissa 25 : ‘Dan (diharamkan bagi kamu mengawini) wanita yang bersuami kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari Isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina.’

“Hukum agama” itu sendiri telah ternyata inkonsisten antara dalil-dalil internalnya, sehingga tidak cocok serta tidak memadai diterapkan sebagai “hukum” pada suatu negara yang memerlukan ketegasan dan konsistensi ketika diberlakukan di tengah masyarakat umum. Salah satunya dicerminkan dalam konteks “berhala teriak berhala”, merujuk pada : Umar bin al-Khattab, rekan Muhammad terusik dengan apa yang dilihatnya. “Umar mendekati Batu Hitam dan menciumnya serta mengatakan, ‘Tidak diragukan lagi, aku tahu kau hanyalah sebuah batu yang tidak berfaedah maupun tidak dapat mencelakakan siapa pun. Jika saya tidak melihat Utusan Allah mencium kau, aku tidak akan menciummu.” [Sahih al-Bukhari, Volume 2, Buku 26, Nomor 680]

“Hukum negara” tidak menolerir praktik mencuri bila bukan karena terpaksa sekali semisal terancam mati akibat kelaparan (salahkan nasib pemberian Tuhan, dimana kesenjangan ekonomi demikian timpang antara si kaya dan si miskin), terlebih perzinahan, sudah pasti akan dihukum pidana oleh “hukum negara”. Namun, mengapa “hukum agama” dapat demikian intoleran terhadap kaum yang berbeda keyakinan, akan tetapi disaat bersamaan amat kompromistik terhadap dosa dan maksiat? Bila zina, menurut “hukum agama” dinyatakan akan dihukum “rajam”, namun mengapa “hukum agama” yang sama menyatakan secara kontradiktif dengan kutipan berikut:

- Shahih Bukhari 6933 : “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar telah menceritakan kepada kami Ghundar telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Washil dari Al Ma’rur berkata, “Aku mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina.”

Cukup pembahasan perihal “mana hukum yang lebih tinggi”. Yang lebih berfaedah, ialah membahas perihal manakah hukum yang lebih PENTING bagi kemaslahatan dan kebaikan seluruh umat manusia bersama, yang lebih membumi, dan yang lebih aplikatif. Terdapat kisah yang menggugah sekaligus menginspirasi perihal Hukum Karma, sebagaimana dituturkan oleh seorang bhikkhu bernama Ajahn Brahm, dalam bukunya “Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya 3!”, Penerjemah oleh Tasfan Santacitta, Awareness Publication, Jakarta, Maret 2012, dengan kutipan sebagai berikut:

Cenayang Tulen

Saya akan bercerita mengenai salah satu cenayang, medium yang paling banyak diselidiki di dunia, cenayang tulen bernama Edgar Cayce (1877-1945). Ia hidup di Virginia Beach, Amerika Serikat, pada masa di antara Perang Dunia Pertama dan Kedua.

Alasan mengapa ia merupakan cenayang sejati adalah karena ia begitu rendah hati. Selama hidupnya, ia melakukan penerawangan berkali-kali. Karena ia hidup di Amerika, banyak dokter dari New York, Washington, dan banyak lagi, datang dan merisetnya berulang-ulang kali. Hasilnya selalu menunjukkan bahwa ia adalah cenayang tulen.

Bahkan selama ia masuk dalam keadaan “trans”, para peneliti ini menyelipkan potongan kayu di antara kuku dan daging kukunya. Ini seperti metode penyiksaan, untuk menguji apakah ia mungkin hanya sekadar pura-pura, karena selama ini tak ada seorang pun yang mampu menahan sakit dari siksaan semacam itu hanya dengan kekuatan tekad.

Edgar membiarkan mereka melakukannya begitu seringnya, sampai ia berkata, “Tidak. Saya tidak bisa merasakan apa yang kalian lakukan ketika saya sedang ‘trans’, namun saya jelas merasakannya ketika saya keluar dari ‘trans’.”

Ia mampu melakukan hal-hal luar biasa ini. Ketika ia masuk dalam keadaan hipnosis, dan kapan pun mereka menyebutkan nama seseorang kepadanya, ia bisa menyebutkan cara merawat dan jenis obat untuk menyembuhkan orang itu, entah itu obat yang tak diketahui atau dalam dosis yang benar-benar tidak lazim, namun cara pengobatannya selalu manjur.

Saya ingat suatu kasus yang sangat mengesankan. Dalam keadaan “trans”, mereka bertanya mengenai seorang pasien yang penyakitnya sangat parah. Edgar Cayce mengatakan bahwa inilah obat yang mereka butuhkan dan obat itu bisa menyembuhkan pasien. Jadi ketika ia keluar dari keadaan “trans”, mereka pergi ke apotek, dan ahli farmasi di sana megnatakan, “Saya tidak pernah dengar mengenai obat itu.”

Mereka kembali membuatnya masuk ke dalam keadaan “trans” dan sekali lagi bertanya, “Apakah betul itu obatnya?” Ia mengatakan, “Betul. Itu obatnya, namun memang benar Anda tak bisa mendapatkannya di Virginia Beach. Mereka memiliki obat itu di apotek di St. Louis.”

St. Louis itu sangat jauh. Pada zaman itu, mereka tak ada e-mail, jadi mereka harus mengirim telegram ke apotek di St. Louis. Lalu ahli farmasi di sana mengirimkan pesan kembali, “Tidak pernah dengar tentang obat itu.”

Maka mereka kembali membuat Edgar masuk dalam keadaan “trans” untuk ketiga kalinya. Kali ini ia berkata, “Dengar, obat itu ada dalam apotek di St. Louis itu. Di rak ketiga dari sebelah kiri, tepat di barisan paling belakang.”

Itulah bunyi telegram yang mereka kirim, dan tak lama kemudian ada jawaban dari apotek di St. Louis : “KETEMU!”

Inilah contoh yang menunjukkan bahwa kemampuan cenayang satu ini adalah memang tulen.

Suatu hari, ketika ia dalam keadaan “trans”, mereka menanyakan kepadanya perptanyaan berikut ini, “Apakah hukum yang paling penting di dunia?” Ia menjawab, “Hukum karma.” Ini terjadi sekitar tahun 1930-an, ketika belum banyak orang mengetahui ataupun mengenal istilah itu.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.

Konsultan Hukum HERY SHIETRA & PARTNERS