KODE ETIK Vs. PROSEDUR Vs. TELADAN NYATA

Kode Etik Jaksa Republik Indonesia

Teladan merupakan Standar Etik Tertinggi, Namun Tidak Tertulis

Question: Mengapa ya, sebagai masyarakat umum yang ingin tahu apa yang menjadi kode etik profesi seperti hakim, notaris, PPAT, polisi, pers, dan lain sebagainya, kok rasanya seperti membaca anggaran dasar perusahaan ataupun semacam SOP, tidak fokus dan banyak diantaranya tidak terkait etika ataupun etik?

Tidak Perlu Seluruh Ahli Waris Turut Ikut Serta Menggugat

Satu Orang Ahli Warus sudah Cukup untuk Menggugat

Question: Apakah seluruh ahli waris harus ikut menggugat sebagimana kewajiban hukum acara perdata bahwa jika “almarhum (pihak) Tergugat” meninggal dunia maka seluruh ahli waris pihak Tergugat harus didudukkan sebagai Para Tergugat yang menggantikan posisi “almarhum Tergugat”?

Modus-Modus Kejahatan para MAFIA LELANG yang Kerap menjadikan Kantor Lelang Negara sebagai “Law as a Tool of Crime”

Larangan Kreditor Pemohon Lelang Eksekusi Hak Tanggungan untuk Ikut sebagai Peserta Lelang Membeli Agunan

MAFIA TANAH yang Menyalah-Gunakan Instrumen Hukum Hak Tanggungan dan Lelang Eksekusi, Itulah “the PERFECT CRIME”, Kejahatan Kerah Putih yang Banyak Memakan Korban

Question: Mengapa kreditor pemegang hak tanggungan, ketika melelang agunan ke Kantor Lelang Negara, yang bersangkutan selaku pemohon lelang maupun afiliasinya tidak boleh ikut serta sebagai peserta lelang alias dilarang membeli objek agunan yang ia sendiri mohonkan lelang?

Menyalahgunakan Lembaga Peradilan untuk Memutihkan Penyimpangan Hukum maupun Prosedur

Bila Input-nya Hitam-Kotor, Output-nya Tidak dapat Dibenarkan untuk Diputih-Bersihkan

Lembaga Peradilan Semestinya Menegakkan Hukum sebagai Penegak Hukum, Bukan Justru menjadi “Tukang Stempel” Aksi Ilegal yang Melanggar / Membengkokkan Hukum

Beri Dis-insentif bagi Pelanggar Hukum, dan Beri Insentif bagi Warga yang Patuh terhadap Hukum, Itu Barulah Mendidik

Question: Apa bisa, lembaga pengadilan kita salah-gunakan untuk melegalkan apa yang sejak semula ilegal?

Surat Keputusan dan/atau Perbuatan / Tindakan, Itulah Dua Kriteria Objek Tata Usaha Negara yang dapat Digugat Warga ke PTUN

Objek Gugatan ke PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara) Bukan Lagi Sebatas Surat Keputusan Tata Usaha Negara

Era Baru Perluasan Makna Objek Tata Usaha Negara yang dapat Digugat Warga Sipil ke PTUN

Question: Selain surat keputusan kepala kantor pemerintahan, apakah saja yang bisa dijadikan alasan atau dalil untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)?

Putusan Inkracht Tidak Identik NEBIS IN IDEM ketika Menggugat Ulang

Makna “Perkara Gugatan yang Berisi Putusan yang Positif”

4 Jenis Peluang / Kemungkinan Nasib sebuah Gugatan : Dikabulkan, Ditolak, Tidak Diterima, Dicabut

Question: Yang namanya putusan “inkracht”, artinya putusan itu sudah memiliki “kekuatan hukum tetap”, dan konon jika kembali mengajukan gugatan atas pokok perkara yang sama maka akan ditolak oleh pengadilan dengan alasan “nebis in idem” agar tidak terjadi overlaping alias menghidari terjadinya tumpang-tindih antar putusan. Apakah selalu seperti itu, pola berpikir hukum acara perdata di Indonesia?

Ambivalence of a Paradox, Ambivalensi sebuah Paradoks

HERY SHIETRA, Ambivalence of a Paradox, Ambivalensi sebuah Paradoks

If we want to live in peace,

Then we must be ready for war,

So that we are not consumed by false hope.

Those who are not ready to go to war at any time,

Will always come out as a party that can be easily defeated.

Meminjam Hutang Tanpa Persetujuan / Pengetahuan Istri, Tetap menjadi HUTANG RUMAH-TANGGA SUAMI-ISTRI yang Turut Menikmatinya

Prinsip Penting bagi Kalangan Istri (yang) Cerdas : “KNOW YOUR HUSBAND!

Kalangan Istri Patut Menduga, bahwa Suaminya Meminjam Modal Milik Pihak Ketiga untuk Membeli Berbagai Perlengkapan / Operasional Usaha Berbiaya Tinggi

Profil Pendapatan Suami yang Tidak “Matching” dengan Pengeluaran Rumah Tangga, Istri Wajib Menduga Suami Meminjam Dana Milik Pihak Ketiga

Question: Sebagai seorang istri, saya sama sekali tidak tahu-menahu, terlebih memberikan persetujuan, suami berhutang kepada orang lain. Mendadak, beberapa waktu kemudian, ada orang datang menagih piutang dengan alasan suami saya telah pernah meminjam hutang darinya, sementara itu saya sama sekali tidak pernah tahu-menahu adanya hutang-piutang semacam itu, terlebih menyetujuinya. Bukankah secara hukum perkawinan, suami wajib meminta persetujuan istri dan istri harus ikut tanda-tangan perjanjian hutang itu, barulah hutang-piutang menjadi sah mengikat adanya?

Meninggalnya Pemberi Kuasa, Proses Sidang Gugat-Menggugat Tetap Berlanjut

Pihak Ketiga yang Beritikad Baik (Tidak Tahu-Menahu Meninggalnya Lawan dan Gugat-Menggugat), Dilindungi oleh Hukum

Yang DI-Sita Eksekusi, Bukanlah Orangnya, namun HARTA BENDANYA

Question: Dalam jalannya proses persidangan dimana saya berkedudukan sebagai pihak Penggugat, ada selentingan “kabar burung” bahwa salah satu principal dari pihak Tergugat telah ternyata meninggal dunia. Setelah saya konfrontasi kuasa hukumnya (pengacara), apakah principalnya tersebut masih hidup atau sudah meninggal, ia jawab “tidak tahu”. Apakah kondisi ini, jika memang betul principal dari pengacara tersebut telah meninggal dunia adanya, mengakibatkan gugatan yang saya ajukan menjadi gugur demi hukum ataukah bisa terus berlanjut dan mengikat ahli-waris dari salah satu Tergugat yang meninggal dunia itu? Konon beredar “kabar burung”, jika itu yang terjadi, maka putusan bisa bersifat “non executable”, apa benar seperti itu hukumnya di Indonesia?

Sukarnya Menghadapi Orang dengan Mental TUKANG LANGGAR

Kode Etik Profesi maupun Peraturan Hukum Setebal Apapun, adalah Percuma bila Aparatur ataupun Warganya Bermental TUKANG LANGGAR

Kode Etik dan Norma Hukum hanya untuk Orang dengan Mental Patuh Hukum dan Beretika. Hukum yang Dikenal dan Diakui oleh TUKANG LANGGAR hanyalah Hukum Rimba

Bila Anda menuntut bukti konkret bahwasannya adalah percuma membuat Kode Etik Profesi yang demikian tebal maupun peraturan perundang-undangan yang mengatur hidup penduduknya mulai dari A hingga Z, dimana sekalipun Kode Etik maupun peraturan perundang-undangan tersebut saat kini sudah menyerupai “hutan rimba belantara”, pelanggaran akan tetap terjadi secara masif, tidak terkecuali pelanggaran-pelanggaran paling primitif yang dikenal sepanjang peradaban umat manusia, sehingga tidak efektif juga tidak tepat guna, contoh sempurnanya ada pada seorang Kepala Divisi Propam POLRI yang bernama Ferdy Sambo, yang pada medio tahun 2022 melakukan pembunuhan secara tersistematis terhadap ajudannya sendiri—alias aksi persekusi ala “main hakim sendiri”, yang mana belum cukup sampai di situ, sang Kadiv Propam juga melakukan aksi kejahatan berjemaah bersama sejumlah jenderal dan perwira Polri dalam rangka “obstruction of justice”, hingga press realease berisi “olah Tempat Kejadian Perkara” versi “prank”.

Hak untuk Tidak Diganggu, adalah Hak Asasi Manusia

Budaya Humanis dan Beradab Vs. Budaya Premanis dan Aroganis

Ada Kewajiban, maka Ada Hak. Ada Hak, maka Ada Kewajiban secara Bertimbal-Balik (Resiprositas / Resiprokal)

MENTALITAS PENJAJAH : Bersikap Seolah-olah Orang Lain Memiliki Kewajiban Delusif terhadap Anda

Disebut sebagai orang buta, karena tidak mampu membedakan mana yang terang dan mana yang gelap. Disebut sebagai orang yang jahat, karena ia gagal membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Disebut sebagai orang-orang yang dungu, ialah mereka yang tumpul dalam membuat perbedaan mana yang benar dan mana yang keliru. Begitupula mereka yang disebut sebagai arogan, disebabkan oleh faktor ke-congkak-an atau keangkuhan pribadi, sehingga tidak menaruh rasa hormat ataupun penghargaan terhadap pribadi / individu lainnya, mereka sama sekali tidak memiliki kemauan untuk membedakan mana yang merupakan “hak” dan mana yang merupakan “kewajiban”—mereka senantiasa menuntut dan mendaku “hak”, namun disaat bersamaan menolak dibebani “kewajiban” bilamana mereka memang memiliki “hak” untuk mereka tuntut dari orang lain.

Antara Hukum, Ancaman Hukuman, dan Irasional Warga Masyarakat yang Diatur Oleh Norma Hukum

Ancaman Hukum Tidak Selalu Berbanding Lurus dengan Tingkat Kepatuhan Warga Masyarakat selaku Subjek Pengemban Hukum

Ketika Hukum Menemui Jalan Buntu, (maka) Bukan lagi menjadi Tugas serta Peran Utama Profesi Hukum

Tampaknya pemerintah kita sedang ber-euforia ria merancang, membentuk, serta menerbitkan berbagai Undang-Undang yang serba “gemuk” (penuh berlemak) ala “omnibus law”—dimana bahkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana versi buatan “anak bangsa” dirancang serta diterbitkan secara “omnibus law”—meski saat kali pertamanya Kepala Negara kita terpilih serta menjabat sebagai Kepala Pemerintahan, janji politik pertamanya kepada publik ialah akan menyederhanakan peraturan perundang-undangan, yang terbukti ialah sebaliknya dalam realita kali keduanya sang Kepala Negara menjabat sebagai Kepala Pemerintahan. Bahkan, tampaknya pemerintah kita turut berdelusi-ria, bahwasannya semakin banyak aturan dibentuk maka tingkat kepatuhan masyarakat akan secara sendirinya meningkat serta terdongkrak serta. Pemerintahan yang delusif, menghasilkan “output” berupa masyarakat yang juga delusif.

Konsultan Hukum HERY SHIETRA & PARTNERS