Ambivalence of a Paradox, Ambivalensi sebuah Paradoks

HERY SHIETRA, Ambivalence of a Paradox, Ambivalensi sebuah Paradoks

If we want to live in peace,

Then we must be ready for war,

So that we are not consumed by false hope.

Those who are not ready to go to war at any time,

Will always come out as a party that can be easily defeated.

When we want to live in peace,

Then we must be ready to be rejected by others,

So as not to be toyed with by self-delusions.

We don’t have to torture ourselves,

Just for the sake of getting acceptance by others.

If we want to live prosperous and sufficient in terms of material,

So we must be prepared to experience losses in every step of our business,

So that we understand what is called business risk.

Those who do not dare to face the reality of “no pain, no gain”,

Will tend to have a naive and narrow mindset.

If we want to live well,

Then we must be prepared to become commoners,

So that we are not gripped by fear behind success or failure.

When we are controlled by an obsession,

To gain or maintain power,

Then the future will seem so scary,

Especially when the power is out of our hands.

If we want to live valued,

Then we must be prepared to become someone with fangs as sharp as a cobra,

Where even a saint occasionally needs to show his fangs, so as not to become an object of bullying.

As the saying goes,

“Be a good person, but don’t waste time to prove it.”

When we want to live freely,

Then we must be ready to let go,

Don’t always try to hold on tight to whatever we get and have so far.

Because it is said,

Attachment,

Is a source of suffering.

When we want to be a flow winner,

Then we must be prepared to move against the tide,

Even if that means a struggle without any guarantees, we will be able to survive and be safe in the face of the swift currents.

Like water,

It naturally moves downwards,

Not to the top.

Those who conquer themselves and become victors in life,

Always are those who fight against the tide,

Not the other way around.

When we want to live happily,

Then we must be prepared to face sorrow,

Especially when we hang out with people we don’t like,

Or when we have to part with the people we love.

As the saying goes,

There is no party that doesn’t end.

When we want to live lightly without being gripped by loneliness,

So we must be prepared to walk alone,

Especially when no one is worthy of being our life journey companion.

Sometimes we need to be interdependent,

Sometimes we also need to be an independent solitary in our lives.

Able to live independently,

Become an important capital of human life.

No guarantee,

That your wife, husband, and children will still be by our side until we die.

When we want to be ourselves and live our own lives,

Then we must be ready to revolt,

Especially the customs and traditions of the family or community of the country where we live, born, and grow up.

No one knows and understands us better,

Besides ourselves,

Is not it?

Like a farmer,

Sometimes wishing for sunny weather,

Sometimes expecting wet weather,

Changing seasons,

Changing weather,

Changing color of the sky,

The change in lighting from night to day and vice versa,

Resembling a cycle that is always changing,

Spring won’t look that beautiful,

Without preceded by autumn.

There’s a time to lay down to rest,

There are also times when we have to roll up our sleeves to work,

And there is also a time for us to play.

As one famous figure said,

After dark,

Come light.

Sometimes we have to be prepared not to be liked by others,

In order to be liked by others.

Often we also need to be firm and tough,

Ready to conflict at any time when needed,

Get into the heart of trouble,

If we really want to live free from problems.

No individual is more of a failure than those who are always trying to please everyone.

Dare to be disliked,

In order to be liked.

Dare to be rejected,

In order to be accepted.

That’s what’s called,

The art of living behind the ambivalence of a paradox.

© HERY SHIETRA Copyright.

 

Jika kita ingin hidup damai,

Maka kita harus siap untuk berperang,

Agar kita tidak termakan harapan semu.

Mereka yang tidak siap untuk sewaktu-waktu berperang,

Akan selalu keluar sebagai pihak yang dapat dengan mudah dikalahkan.

Ketika kita ingin hidup tenang,

Maka kita harus siap ditolak oleh orang lain,

Agar tidak dipermainkan oleh delusi diri.

Kita tidak perlu menyiksa diri kita sendiri,

Semata demi mendapat penerimaan oleh orang lain.

Jika kita ingin hidup makmur dan berkecukupan dari segi materi,

Maka kita harus siap mengalami kerugian dalam setiap langkah usaha kita,

Agar kita memahami apa itu yang disebut sebagai resiko usaha.

Mereka yang tidak berani menghadapi kenyataan “no pain, no gain”,

Akan cenderung memiliki pola berpikir yang picik serta sempit.

Jika kita ingin hidup sejahtera,

Maka kita harus siap untuk menjadi rakyat jelata,

Agar kita tidak dicengkeram oleh ketakutan dibalik keberhasilan maupun kegagalan.

Ketika kita dikuasai oleh sebuah obsesi,

Untuk mendapatkan ataupun mempertahankan kekuasaan,

Maka masa depan akan tampak begitu menakutkan,

Terutama ketika kekuasaan itu lepas dari tangan kita.

Jika kita ingin hidup dihargai,

Maka kita harus siap untuk menjadi seseorang dengan gigi taring setajam ular kobra,

Dimana orang suci sekalipun sesekali perlu menunjukkan gigi taringnya, agar tidak menjadi objek perundungan.

Seperti kata pepatah,

Be a good person, but don’t waste time to prove it.

Ketika kita ingin hidup bebas,

Maka kita harus siap untuk melepas,

Tidak selalu berupaya untuk menggenggam erat-erat apapun yang kita peroleh dan miliki selama ini.

Karena konon,

Kemelekatan,

Adalah sumber derita.

Ketika kita ingin menjadi seorang pemenang arus,

Maka kita harus siap untuk bergerak melawan arus,

Sekalipun itu artinya perjuangan tanpa jaminan kita akan dapat tetap bertahan dan selamat menghadapi derasnya arus yang ada.

Seperti air,

Secara alamiahnya bergerak ke arah bawah,

Bukan ke arah atas.

Mereka yang berhasil menaklukkan dirinya sendiri dan menjadi pemenang kehidupan,

Selalu adalah mereka yang berjuang melawan arus,

Bukan sebaliknya.

Ketika kita ingin hidup bahagia,

Maka kita harus siap menghadapi kesedihan,

Terutama ketika kita berkumpul dengan orang-orang yang tidak kita sukai,

Ataupun ketika kita harus berpisah dengan orang-orang yang kita cintai.

Seperti pepatah yang menyebutkan,

Tiada pesta yang tidak usai.

Ketika kita ingin hidup ringan tanpa dicekam rasa kesepian,

Maka kita harus siap berjalan seorang diri,

Terutama ketika tidak ada orang yang layak menjadi teman perjalanan hidup kita.

Terkadang kita perlu bersikap interdependen,

Terkadang pula kita perlu menjadi seorang soliter yang independen dalam hidup kita.

Mampu hidup mandiri,

Menjadi modal penting kehidupan seorang manusia.

Tiada jaminan,

Bahwa istri, suami, maupun anak-anak Anda akan tetap berada di samping kita hingga kita tutup usia.

Ketika kita ingin menjadi diri kita sendiri dan menjalani hidup kita sendiri,

Maka kita harus siap untuk melakukan pemberontakan,

Terutama terhadap kebiasaan maupun budaya tradisi keluarga ataupun komunitas negara dimana kita hidup, dilahirkan, dan bertumbuh.

Tiada seorang pun yang lebih memahami dan mengerti perihal diri kita,

Selain diri kita sendiri,

Bukankah begitu?

Seperti seorang petani,

Terkadang mengharapkan cuaca cerah,

Terkadang mengharapkan cuaca basah,

Pergantian musim,

Pergantian cuaca,

Pergantian warna langit,

Pergantian penerangan dari malam menjelma siang dan sebaliknya,

Menyerupai siklus yang selalu berubah,

Musim semi tidaklah akan tampak seindah itu,

Tanpa didahului musim gugur.

Ada saatnya untuk berbaring untuk beristirahat,

Ada pula saat dimana kita harus menyingsingkan lengan baju untuk bekerja,

Dan ada saatnya pula kita untuk bermain.

Seperti kata seorang tokoh,

Habis gelap,

Terbitlah terang.

Terkadang kita harus siap untuk tidak disukai oleh orang lain,

Dalam rangka disukai oleh orang lain.

Seringkali juga kita perlu bersikap tegas dan keras,

Siap untuk berkonflik sewaktu-waktu bila dibutuhkan,

Masuk ke dalam jantung masalah,

Jika kita benar-benar ingin hidup bebas dari masalah.

Tiada seorang individu yang lebih gagal daripada mereka yang selalu berupaya menyenangkan hati setiap orang.

Berani untuk tidak disukai,

Dalam rangka untuk disukai.

Berani untuk ditolak,

Dalam rangka untuk diterima.

Itulah yang disebut sebagai,

Seni hidup dibalik ambivalensi sebuah paradoks.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Konsultan Hukum HERY SHIETRA & PARTNERS