Sukarnya Menghadapi Orang dengan Mental TUKANG LANGGAR

Kode Etik Profesi maupun Peraturan Hukum Setebal Apapun, adalah Percuma bila Aparatur ataupun Warganya Bermental TUKANG LANGGAR

Kode Etik dan Norma Hukum hanya untuk Orang dengan Mental Patuh Hukum dan Beretika. Hukum yang Dikenal dan Diakui oleh TUKANG LANGGAR hanyalah Hukum Rimba

Bila Anda menuntut bukti konkret bahwasannya adalah percuma membuat Kode Etik Profesi yang demikian tebal maupun peraturan perundang-undangan yang mengatur hidup penduduknya mulai dari A hingga Z, dimana sekalipun Kode Etik maupun peraturan perundang-undangan tersebut saat kini sudah menyerupai “hutan rimba belantara”, pelanggaran akan tetap terjadi secara masif, tidak terkecuali pelanggaran-pelanggaran paling primitif yang dikenal sepanjang peradaban umat manusia, sehingga tidak efektif juga tidak tepat guna, contoh sempurnanya ada pada seorang Kepala Divisi Propam POLRI yang bernama Ferdy Sambo, yang pada medio tahun 2022 melakukan pembunuhan secara tersistematis terhadap ajudannya sendiri—alias aksi persekusi ala “main hakim sendiri”, yang mana belum cukup sampai di situ, sang Kadiv Propam juga melakukan aksi kejahatan berjemaah bersama sejumlah jenderal dan perwira Polri dalam rangka “obstruction of justice”, hingga press realease berisi “olah Tempat Kejadian Perkara” versi “prank”.

Psikopat bernama Sambo ini notabene seorang polisi, yang karenanya tentu tahu betul (menu makanan sehari-harinya) adanya aturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana berupa larangan pembunuhan serta merupakan domain Penyidik Kepolisian untuk menyidik, menangkap, serta menahan, juga merupakan domain Jaksa Penuntut Umum untuk mendakwa dan menuntut bilamana sang ajudan memang telah pernah mem-perkosa sang istri dari “Psiko Sambo”. Psikopat tersebut juga telah disumpah jabatan, bahkan memegang jabatan sebagai kepala divisi “polisinya polisi” yang karenanya tahu betul dan memiliki kewajiban untuk menegakkan Kode Etik Polisi terhadap setiap anggota POLRI tanpa terkecuali. Namun, masih juga melanggar dengan begitu masif dan berjemaah, dengan gagah perkasa—gagah perkara melanggar, akan tetapi bersikap pengecut dengan membunuh warga lain memakai tangan orang lain, karenanya tidak salah bila masyarakat memberinya gelar “Jenderal BANCI” meski pistol yang disandang olehnya hanya dimiliki pejabat sekelas Jenderal Polisi.

Bagi masyarakat yang mengikuti perkembangan aturan perihal Kode Etik POLRI, tentu akan terkejut membandingkan Kode Etik POLRI yang dibentuk tahun 2020-an dan versi Kode Etik POLRI yang lama, dimana Kode Etik POLRI terbaru substansi pengaturan di dalamnya sangat tebal juga “gemuk”. Yang unik dari fakta demikian ialah, jarang atau bahkan masyarakat kita tidak menyadari bahwasannya kasus pembunuhan terencana—karena memakai tangan orang lain, sehingga pembunuhan terjadi tidak secara spontan sifatnya—oleh sang “Psiko Sambo” terjadi tidak lama setelah Kode Etik POLRI terbaru dibentuk dan diterbitkan pada medio tahun 2020-an, dan tetap saja dilanggar oleh para perwira POLRI bahkan oleh Kepala Divisi PROPAM POLRI yang notabene mengemban tugas utama menegakkan etik anggota POLRI.

Artinya apa, jika tidak lain tidak bukan mencerminkan betapa mengutak-atik, mengubah, mengganti, menambah tebal peraturan perundang-undangan maupun Kode Etik Profesi, tidaklah manjur dan tidak efektik menghadapi para warga ataupun pejabat bermentalkan “tukang langgar”. Ciri khas “tukang langgar” sangatlah khas, yakni tidak patuh terhadap aturan yang ada—lebih tepatnya tidak punya kemauan untuk patuh juga tidak memiliki budaya tertib maupun patuh—disamping kebiasaan tidak menghargai eksistensi maupun hak-hak warga lainnya. Apakah Kepala POLRI harus kembali merevisi dan menambah tebal Kode Etik POLRI yang sudah sangat tebal seperti sekarang ini substansi pengaturannya, karena terbukti dilanggar secara masif oleh para petinggi POLRI itu sendiri? Kode Etik POLRI masih “fresh from the oven”, namun seketika itu juga dilanggar oleh kepala pucuk pimpinan divisi PROPAM, bukankah itu ironi?

Apakah para petinggi maupun Kepala POLRI sudah buta, sehingga orang buta dan jahat semacam “Psiko Sambo” bisa terpilih menjabat jabatan tertinggi penegakan etik kalangan anggota POLRI, seolah tiada anggota POLRI lain yang lebih tidak buta dari pada sang psikopat berpistol ini? Orang buta hendak menuntun orang buta lainnya, itukah fungsi jabatan Kadiv PROPAM POLRI? Bagaimana mungkin orang jahat diharapkan dapat memberantas orang jahat? Orang jahat akan cenderung kompromistis terhadap sesama penjahat lainnya, lewat semboyan “sesama penjahat jangan saling mendahului ataupun menjatuhkan”. Psikopat diberikan pistol, itulah akibatnya, harus dibayar mahal oleh masyarakat maupun institusi POLRI itu sendiri. Fakta lapangan, sebagaimana telah menjadi “rahasia umum”, sejak penulis masih sangat belia, memang sudah menjadi wajah, watak, atau budaya kalangan anggota kepolisian kita di Indonesia senyatanya tidak “jauh panggang dari api” dengan arogansi psikopat bernama Sambo, para “preman berseragam”.

Sebenarnya cukup miris ketika kita melihat fenomena kian tebalnya Kode Etik Profesi maupun peraturan perundang-undangan suatu negara, karena itu merupakan pertanda bahwa mentalitas warganya ialah tidak cukup sehat ketika hidup berdampingan dengan masyarakat lainnya, karenanya perlu diatur dengan sejumlah aturan yang ketat serta rapat. Namun lihatlah, sekalipun peraturan perundang-undangan telah demikian masif mengatur, lengkap dengan segala macam ancaman sanksinya, pelanggaran tetap saja terjadi dimana berbagai lembaga pemasyarakatan tetap dengan masalah klasik-klise-nya, “over capacity” penghuni meski pemerintah telah menerapkan kebijakan “obral remisi” serta “pembebasan bersyarat”. Sebaliknya, kontras dengan itu, orang baik-baik dan beretika, hanya butuh satu norma hukum juga satu norma etik, yakni : MORALITAS, kesadaran mana berangkat dari kesadaran internal pribadi, tanpa perlu lembaga penegak eksternal diri.

Perihal kepatuhan, sukar mengharap seseorang untuk patuh terhadap hukum terlebih terhadap Kode Etik, karenanya kepatuhan dimulai dengan menumbuh-kembangkan serta pembiasaan untuk patuh terhadap moralitas dalam diri, sedari sejak dini. Senada denga itu, khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID 1”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi Wijaya dan Indra Anggara, menguraikan pentingnya moralitas dalam bermasyarakat, dengan kutipan:

53 (3) Seorang Brahmana Tertentu

Seorang brahmana mendatangi Sang Bhagavā … dan berkata kepada Beliau:

“Guru Gotama, dikatakan: ‘Suatu Dhamma yang terlihat secara langsung, suatu Dhamma yang terlihat secara langsung.’ Dengan cara bagaimanakah Dhamma itu terlihat secara langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana?”

(1) “Brahmana, seseorang yang tergerak oleh nafsu, dikendalikan oleh nafsu, dengan pikiran dikuasai oleh nafsu, menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, dan penderitaan keduanya, dan ia mengalami penderitaan batin dan kesedihan. Tetapi ketika nafsu ditinggalkan, ia tidak menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, atau penderitaan keduanya, dan ia tidak mengalami penderitaan batin dan kesedihan. Dengan cara inilah Dhamma itu terlihat secara langsung …

(2) “Brahmana, seseorang yang penuh kebencian, dikendalikan oleh kebencian, dengan pikiran dikuasai oleh kebencian, menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, dan penderitaan keduanya, dan ia mengalami penderitaan batin dan kesedihan. Tetapi ketika kebencian ditinggalkan, ia tidak menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, atau penderitaan keduanya, dan ia tidak mengalami penderitaan batin dan kesedihan. Dengan cara ini juga, bahwa Dhamma itu terlihat secara langsung …

(3) “Brahmana, seseorang yang terdelusi, dikendalikan oleh delusi, dengan pikiran dikuasai oleh delusi, menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, dan penderitaan keduanya, dan ia mengalami penderitaan batin dan kesedihan. Tetapi ketika delusi ditinggalkan, ia tidak menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, atau penderitaan keduanya, dan ia tidak mengalami penderitaan batin dan kesedihan. Dengan cara ini juga, bahwa Dhamma itu terlihat secara langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana.”

“Bagus sekali, Guru Gotama! Bagus sekali, Guru Gotama! Guru Gotama telah menjelaskan Dhamma dalam banyak cara, seolah-olah menegakkan apa yang terbalik, mengungkapkan apa yang tersembunyi, menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat, atau menyalakan pelita dalam kegelapan agar mereka yang berpenglihatan baik dapat melihat bentuk-bentuk. Sekarang aku berlindung kepada Guru Gotama, kepada Dhamma, dan kepada Sagha para bhikkhu. Sudilah Guru Gotama menganggapku sebagai seorang umat awam yang telah berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”

~0~

55 (5) Nibbāna

Brahmana Jāussoī mendatangi Sang Bhagavā … dan berkata kepada Beliau:

“Guru Gotama, dikatakan: ‘Nibbāna yang terlihat secara langsung, nibbāna yang terlihat secara langsung.’ Dengan cara bagaimanakah nibbāna terlihat secara langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana?”

(1) “Brahmana, seseorang yang tergerak oleh nafsu, dikendalikan oleh nafsu, dengan pikiran dikuasai oleh nafsu, menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, dan penderitaan keduanya, dan ia mengalami penderitaan batin dan kesedihan. Tetapi ketika nafsu ditinggalkan, ia tidak menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, atau penderitaan keduanya, dan ia tidak mengalami penderitaan batin dan kesedihan. Dengan cara inilah nibbāna terlihat secara langsung.

(2) “Brahmana, seseorang yang penuh kebencian, dikendalikan oleh kebencian …

(3) “Brahmana, seseorang yang terdelusi, dikendalikan oleh delusi, dengan pikiran dikuasai oleh delusi, menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, dan penderitaan keduanya, dan ia mengalami penderitaan batin dan kesedihan. Tetapi ketika delusi ditinggalkan, ia tidak menghendaki penderitaannya sendiri, penderitaan orang lain, atau penderitaan keduanya, dan ia tidak mengalami penderitaan batin dan kesedihan. Dengan cara ini juga, bahwa nibbāna terlihat secara langsung.

“Ketika, Brahmana, seseorang mengalami hancurnya nafsu tanpa sisa, hancurnya kebencian tanpa sisa, dan hancurnya delusi tanpa sisa, maka dengan cara ini juga, nibbāna itu terlihat secara langsung, segera, mengundang seseorang untuk datang dan melihat, dapat diterapkan, untuk dialami secara pribadi oleh para bijaksana.”

“Bagus sekali, Guru Gotama! … Sudilah Guru Gotama menganggapku sebagai seorang umat awam yang telah berlindung sejak hari ini hingga seumur hidup.”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.

Konsultan Hukum HERY SHIETRA & PARTNERS