Korbannya merupakan Anggota Keluarga Sendiri, Terdakwa Dihukum Lebih Berat oleh Pengadilan

Korbannya adalah Keluarga Terdakwa, Bukanlah Alasan Pemaaf yang dapat Menghapus Kesalahan Pidana

Question: Ada beredar beragam pandangan yang simpang-siur, salah satunya ialah bahwa kalau korbannya adalah masih satu keluarga dengan si tersangka, maka hukuman bagi tersangka akan diringankan. Namun “akal sehat” saya berkata lain, semisal kasus pemerkosaan oleh seorang kakek atau seorang ayah terhadap puteri kandung maupun cucunya sendiri, maka terhadap pelakunya lebih layak untuk diperberat hukumannya, mengingat seorang kakek atau ayah semestinya melindungi puteri dan cucunya alih-alih memperdaya. Mana yang betul, perihal isu tersebut?

Brief Answer: Menyikapi isu hukum demikian, maka kita perlu merujuk falsafah pemidanaan, yakni ketika seorang pelaku tindak pidana telah melukai, merugikan, ataupun menyakiti warga lainnya yang masih termasuk satu keluarga dari sang pelaku, maka faktor masih adanya pertalian darah ataupun semenda demikian menjadi “keadaan yang memberatkan” kesalahan pidana pihak Terdakwa. Itulah juga sebabnya, kasus-kasus seperti Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) semisal seorang suami menganiaya sang istri atau seperti seorang ayah menganiaya sang anak, maka akan dihukum lebih berat—alih-alih diringankan hukumannya.

Biasanya, bila antara pelaku dan korban masih tergolong anggota keluarga, maka pihak korban akan sungkan melaporkan kepada pihak berwajib, lebih cenderung diselesaikan secara kekeluargaan. Ketika pihak korban tersudutkan sehingga memutuskan untuk melaporkan, “delik aduan” demikian sudah tergolong sebagai “ultimum remedium”. Biasanya pula, bila anggota keluarga yang menjadi korban membuat ekspresi berupa pendapat ataupun pernyataan bahwa perbuatan sang pelaku adalah keliru, sang pelaku akan bersikap “keras kepala” (ignorant) serta mengedepankan “ego” subjektif pribadi secara sepihak. Akan lain ceritanya bila ada pihak eksternal keluarga yang menjadi hakimnya yang mengadili dan menjatuhkan hukuman, barulah sang pelaku tidak lagi bisa bersikap arogan terhadap anggota keluarganya sendiri yang selama ini atau telah pernah menjadi korban.

PEMBAHASAN:

Apa yang menjadi pendirian SHIETRA & PARTNERS demikian, bukanlah suatu wacana, namun memang sudah terdapat preseden yang menjadi “best practice” peradilan di Indonesia—salah satunya dapat penulis ilustrasikan lewat contoh konkret putusan Mahkamah Agung RI perkara pidana “penggelapan dalam keluarga” register Nomor 179 K/Pid/2019 tanggal 13 Maret 2019, dimana Jaksa Penuntut Umum menuntut Terdakwa:

1. Menyatakan bahwa Terdakwa Babatang bin Kacco (Alm) terbukti bersalah melakukan tindak pidana “Penggelapan” sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 372 KUHPidana Penuntut Umum;

2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Babatang bin Kacco dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan dikurangi dengan masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa, dengan perintah Terdakwa tetap ditahan.

Terhadap dakwaan serta tuntutan pihak Penuntut Umum, yang kemudian menjadi Putusan Pengadilan Negeri Tenggarong, Nomor 274/Pid.B/2018/PN Trg, tanggal 28 Agustus 2018, dengan amar sebagai berikut:

MENGADILI :

1. Menyatakan Terdakwa Babatang bin Kacco (Alm) tersebut di atas, terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan tetapi bukan merupakan tindak pidana;

2. Melepaskan Terdakwa oleh karena itu dari segala tuntutan hukum;

3. Memerintahkan Terdakwa dibebaskan dari tahanan segera setelah putusan ini diucapkan;

4. Memulihkan hak-hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, harkat serta martabatnya;

5. Menetapkan barang bukti berupa:

- 1 (satu) lembar foto copy kuitansi tanda terima uang a.n. Babatang Rp450.000.000,00 (empat ratus lima puluh juta rupiah) tanggal 25 Januari 2017 yang sudah dilegalisir;

- 1 (satu) lembar foto copy kuitansi tanda terima uang a.n. Sdr. Babatang Rp450.000.000,00 (empat ratus lima puluh juta rupiah) tanggal 1 April 2017 yang sudah dilegalisir;

- 1 (satu) lembar foto copy surat pernyataan penggarapan / penguasaan tanah a.n. Babatang tanggal 24 Oktober 2018 yang sudah dilegalisir;

Tetap terlampir dalam berkas perkara;

6. Membebankan biaya perkara kepada negara;”

Pihak Kejaksaan selaku Penuntut Umum mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung RI membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:

“Menimbang bahwa terhadap alasan kasasi yang diajukan Pemohon Kasasi / Penuntut Umum tersebut, Mahkamah Agung berpendapat sebagai berikut:

- Bahwa alasan kasasi Penuntut Umum dapat dibenarkan, karena putusan Judex Facti / Pengadilan Negeri salah menerapkan hukum dan keliru dalam mempertimbangkan fakta-fakta hukum yang relevan secara yuridis sebagaimana yang terungkap di dalam persidangan berdasarkan alat-alat bukti yang diajukan secara sah sesuai ketentuan hukum, yaitu Terdakwa melakuan perbuatan tanpa sepengetahuan dan izin dari saksi Nasi, ibu Terdakwa, sebagai pemilik tanah dalam perkara a quo yang terletak di Rt.05, Kelurahan Bukit Merdeka, Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara, seluas + 2,2 ha, telah membuat surat kepemilikan atas tanah tersebut dengan mengatas-namakan Terdakwa, kemudian menjualnya kepada pihak lain dengan harga Rp900.000.000,00 (sembilan ratus juta rupiah), dan tidak menyerahkan sedikitpun uang penjualan tanah tersebut kepada ibunya yaitu saksi Nasi;

- Bahwa Terdakwa mengetahui jika ibunya (saksi Nasi), membeli tanah seluas 2,2 ha tersebut dari saksi Hamzah seharga Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) yang uang pembeliannya diperoleh dari harta milik ibunya di Sulawesi Selatan, dengan kata lain tanah yang dibeli dari saksi Hamzah tersebut terdapat didalamnya hak dari saksi Nasi (ibu Terdakwa), sehingga meskipun tanah yang dibeli dari saksi Hamzah tersebut diatas-namakan Terdakwa hanya karena ibu Terdakwa buta huruf, tidak mengetahui serta karena kepercayaan ibunya kepada Terdakwa, bukan berarti tanah hasil beli dari saksi Hamzah tersebut sebagai milik sah Terdakwa, karena uang pembelian tanah tersebut bersumber dari hasil jual beli tanah dan rumah kepunyaan ibunya di Sulawesi Selatan, dan setelah tanah tersebut dibeli, juga dikerjakan saksi Nasi bersama Terdakwa. Dengan demikian hak milik tanah yang dibeli dari saksi Hamzah tersebut masih merupakan hak milik saksi Nasi, jika kemudian tanah hasil beli dari saksi Hamzah seluas 2,2 ha tersebut dijual Terdakwa sebesar Rp900.000.000,00 (sembilan ratus juta rupiah) dan uang tersebut dimiliki sendiri oleh Terdakwa tanpa membagi kepada ibunya sedikitpun, perbuatan Terdakwa memenuhi unsur penggelapan, meskipun kata Terdakwa tanah dan bangunan milik ibunya tersebut sudah diganti tanah milik Terdakwa di tempat yang sama di Sulawesi Selatan, akan tetapi tidak terdapat bukti yang menguatkan dalil Terdakwa tersebut;

- Bahwa dengan pertimbangan di atas, maka berdasarkan ketentuan hukum kasasi Penuntut Umum dapat dikabulkan dan membatalkan putusan Judex Facti / Pengadilan Negari tersebut, selanjutnya mengadili sendiri dengan menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Penggelapan”, melanggar Pasal 372 KUHPidana sesuai dakwaan tunggal Penuntut Umum;

- Bahwa dengan demikian Terdakwa harus dijatuhi pidana berupa pidana penjara dengan mempertimbangkan keadaan yang memberatkan dan meringankan Terdakwa, sebagaimana tercantum dalam amar putusan;

“Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, perbuatan Terdakwa telah memenuhi unsur-unsur pidana dalam Pasal 372 KUHPidana, sebagaimana didakwakan dalam Dakwaan Tunggal, oleh karena itu Terdakwa tersebut telah terbukti bersalah dan dijatuhi pidana;

“Menimbang bahwa dengan demikian terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Penuntut Umum tersebut dan membatalkan putusan Putusan Pengadilan Negeri Tenggarong, Nomor 274/Pid.B/2018/PN.Trg, tanggal 28 Agustus 2018 untuk kemudian Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara ini dengan amar putusan sebagaimana yang akan disebutkan di bawah ini;

“Menimbang bahwa sebelum menjatuhkan pidana, Mahkamah Agung akan mempertimbangkan keadaan yang memberatkan dan meringankan bagi Terdakwa:

Keadaan yang memberatkan:

- Perbuatan Terdakwa meresahkan dan merugikan orang lain secara materiil dan immaterial, dalam hal ini ibu Terdakwa sendiri, saksi Nasi;

Keadaan yang meringankan:

- Terdakwa menyesali perbuatannya;

- Terdakwa sopan dan berterus terang di persidangan;

M E N G A D I L I :

- Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi / Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Kutai Kartanegara Kalimantan Timur tersebut;

- Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Tenggarong, Nomor 274/Pid.B/2018/PN Trg, tanggal 28 Agustus 2018, tersebut;

MENGADILI SENDIRI:

1. Menyatakan Terdakwa BABATANG bin KACCO (Alm) telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Penggelapan”;

2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan;

3. Memerintahkan supaya Terdakwa ditahan;

4. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;

5. Menetapkan agar barang bukti:

- 1 (satu) lembar foto copy kuitansi tanda terima uang a.n. Sdr. Babatang Rp450.000.000,00 (empat ratus lima puluh juta rupiah) tanggal 25 Januari 2017 yang sudah dilegalisir;

- 1 (satu) lembar foto copy kuitansi tanda terima uang a.n. Sdr. Babatang Rp450.000.000,00 (empat ratus lima puluh juta rupiah) tanggal 1 April 2017 yang sudah dilegalisir;

- 1 (satu) lembar foto copy surat pernyataan penggarapan / penguasaan tanah a.n. Babatang tanggal 24 Oktober 2008 yang sudah dilegalisir; Tetap terlampir dalam berkas perkara;

6. Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara pada tingkat kasasi sebesar Rp2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah);”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.

Konsultan Hukum HERY SHIETRA & PARTNERS