Tipe Negara PATRON SYSTEM Vs. MERIT SYSTEM

Fenomena Puncak Gunung Es Tipe Negara PATRONASE, dan Bahaya Dibaliknya

Menurut para pembaca, manusia adalah makhluk rasional ataukah sebaliknya, irasional? Kajian anthropologi maupun ilmu filsafat telah sampai pada satu kesimpulan bulan, “manusia adalah makhluk yang TIDAK rasional.” Pelaku usaha yang tidak menjunjung “kode etik niaga”, akan cenderung menyalah-gunakan pengetahuannya perihal “irasionalitas pasar maupun perilaku konsumen”, lalu mengeksploitasinya demi mengejar profit / laba usaha. Semisal, harga komoditi “ayam potong” di pasar tradisional maupun swalayan cenderung stagnan dan stabil pada harga jual sekian rupiah, namun tidak sejalan dengan harga ayam hidup di tingkat peternak yang anjlok sehingga mengundang demonstrasi / unjuk rasa kalangan peternak “ayam potong”.

Mengapa itu bisa terjadi, dan dimana “benang kusut”-nya? Hal tersebut terjadi semata karena pelaku usaha, tepatnya tengkulak dan penguasa distribusi, tahu betul bahwa sekalipun harga di tingkat peternak jatuh drastis, namun ketika tengkulak menjual di harga yang tetap sama sebelumnya, tetap saja barang jualan mereka yakni “ayam potong” tersebut akan laku terjual dan dibeli oleh konsumen. Sama seperti kasus oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha dihukumnya dua produsen besar kendaraan bermotor roda dua asal Jepang, yang terbukti melakukan kartel harga jual kendaraan bermotor jenis skutik beberapa tahun lampau, dimana pihak produsen dan manufaktur tahu betul, irasional pasar di Indonesia yang mana dijual dan dilepas dengan harga berapa pun, akan tetap terserap oleh pasar.

Karenanya, negara selaku otoritas dan regulator, perlu mengintervensi setiap kegiatan usaha maupun gerak warganya di dalam negeri, terutama dalam sektor atau segmen dimana irasional warganya terlibat yang cenderung dimanipulasi serta diekploitasi demi kepentingan segelintir pihak yang tidak bertanggung-jawab. Karenanya pula, hukum yang beradab dan memberdayakan, tidak boleh mengasumsikan warganya adalah warga yang mampu memandang, menilai, dan memutuskan rasional; namun harus memandang setiap warganya sebagai individu yang berpotensi hidup dalam sikap irasional dan untuk itu perlu diarahkan, diberi koridor, dilindungi, bahkan dibatasi dari “kehendak bebasnya” agar tidak cenderung menyakiti dan merugikan diri mereka sendiri—semisal dari pembatasan terhadap akses konsumsi barang madat yang melemahkan kesadaran.

Begitupula cara publik membuat opini publik, kepentingan publik, hingga budaya publik, tidak lepas dari faktor irasional umat manusia. Sebagai contoh, seorang Ketua Mahkamah Konstitusi RI bernama Akil Mochtar, sempat digemari oleh pers dan produk-produk putusannya tidak pernah mengundang cibiran ataupun kritikan dari para kritikus ataupun pengamat hukum. Barulah, ketika Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap-tangan yang bersangkutan akibat kasus kolusi, penyalah-gunaan wewenangnya untuk jual-beli putusan sengketa pemilihan kepada daerah, publik mengutuk sang Hakim Konstitusi. Jika saja, sebagai contoh lainnya, Hakim Konstitusi Patrialis Akbar tidak pernah ditangkap akibat jual-beli putusan, maka putusan terkait uji materiil importasi hewan ternak dari negara pandemik wabah virus penyebab penyakit kuku dan mulut hewan berkuku belah, akan dipandang oleh publik luas sebagai putusan yang wajar saja adanya kerena kedelapan Hakim Konstitusi lainnya memberi putusan senada dengan suara bulat.

Pertanyaan yang layak penulis ajukan kepada para pembaca ialah, bilamana sang Hakim-Kolusif tersebut tidak pernah tertangkap-tangan oleh pihak berwajib, bisa jadi ia akan diangkat dan terpilih kembali sebagai Ketua Hakim Konstitusi RI untuk kesekian kalinya. Bukanlah fenomena sosial baru di republik bernama Indonesia ini, Kepala Daerah yang pernah mendekam di penjara karena dihukum akibat melakukan praktik korupsi ataupun kolusi selama menjabat, telah ternyata ketika sang kriminil bebas dari masa hukumannya, terpilih untuk kedua kalinya oleh masyarakat setempat dan kembali menduduki kursi kekuasaan Kepala Daerah—yang mana ironisnya, kembali tertangkap untuk kedua kalinya pula atas korupsi ataupun kolusi yang sama.

Sayangnya, “political will” pemerintah tidak “pro” terhadap kepentingan fundamentil rakyat—dengan mengatas-namakan rakyat berhak memilih pemimpinnya, namun menihilkan realita perihal “irasional” warga pemilih—kebijakan terkait pemilihan umum kepada daerah masih memberi ruang gerak dan ruang bermain bagi para narapidana eks-Kepala Daerah yang telah pernah terjerat kasus korupsi maupun kolusi. Merujuk pada teori ilmu Hukum Tata Negara, tipe negara demikian masihlah tergolong terbelakang bila tidak dapat disebut sebagai primitif, yakni sebatas tipe “negara hukum” (rechtsstaat), bukan tipe “negara kesejahteraan” (welfare state) dimana negara mengintervensi hampir setiap sendi kehidupan rakyatnya agar irasional penduduknya tidak merugikan kepentingan sang penduduk itu sendiri.

Karenanya, dengan berpedoman pada paradigma berhukum di atas, tipe negara demokratik tidaklah identik dengan tipe negara “welfare state”. Justru kontras dengan itu kita akan menemukan sebaliknya, negara komun!stik seperti China, terbukti berhasil memakmurkan rakyatnya, dan rakyatnya begitu mencintai pemimpin negaranya meski dari partai politik tunggal, sehingga persis seperti pepatah tokoh dari “Negeri Tirai Bambu” tersebut, yakni : “Tidak penting kucing dengan warna bulu putih atau hitam, yang penting bisa menangkap tikus.” Idealnya, hukum dibentuk secara demokratis, dan ditegakkan secara komun!stik (tanpa tebang pilih). Namun, kondisi di Indonesia yang konon “demokratis”, justru menampilkan rona wajah sebaliknya, hukum dibentuk secara tidak transparan, dimana penegakannya sarat kepentingan.

Kita berlanjut pada fenomena petinggi kepolisian yang melakukan aksi kriminalitas, sebelum Kepala Divisi Propam POLRI bernama Fredy Sambo berkat keberanian “ciutan” anak buahnya yang menjadi “wistle blower” sehingga kasus pembunuhan berencana oleh sang Kadiv Propam terungkap ke publik, citra POLRI sempat menempati posisi terpuncak berdasarkan survei publik. Akan tetapi, ketika kembali terungkap oleh media massa peristiwa menggemparkan dimana Kepala Polsek, Kepala Polres, hingga Kepala Polda terlibat kasus penjualan alat bukti berupa obat-obatan terlarang, dimana para anggota kepolisian justru terlibat sebagai pelaku hingga “bodyguard” bandar perjud!an hingga obat-obatan terlarang, barulah citra POLRI kembali merosot—artinya, selama ini reputasi dan penilaian oleh publik tidak dilakukan berbasis kinerja POLRI, akan tetapi sekadar dari “ada atau tidaknya pemberitaan sensasional tertangkapnya para perwira POLRI” sebagai tolak-ukur parameternya.

Ketika kesemua itu berhasil ditutup rapat oleh para pelakunya, maka otomatis citra POLRI akan tetap berada di posisi terpuncak—itulah postulat yang kita dapatkan dari fenomena sosial di republik ini. Namun, ketika semua itu terungkap, secara reaktif publik mengutuk dan mencerca serta mencela institusi POLRI sebagai “sarang penyamun” (dalam kasus “Sambo Empire”, yang terlibat “obstruction of justice” terdiri dari berbagai perwira maupun polisi berpangkat tinggi). Bukankah itu cara berpikir yang sangat dangkal dari masyarakat kita yang sarat dan kental sikap irasional? Jika terungkap, kutuk. JIka tidak terungkap, puji. Tidak penting bagi mereka, apapun hasil kinerjanya, bukan menjadi tolak-ukur penilaian ataupun evaluasi.

Seorang mantan petinggi POLRI pernah menyebutkan pada salah satu stasiun radio swasta nasional, bahwa fenomena terungkapnya perwira dan petinggi dibawah institusi POLRI atas kasus-kasus pengedaran obat-obatan terlarang, merupakan “fenomena puncak gunung es”, yang muncul dan terlihat oleh publik ialah apa yang muncul di atas permukaan air samudera, namun badan gunung es yang ada di bawah permukaan airnya itu jauh lebih besar dan lebih masif. Penguasa yang pandai membaca situasi ini, tepatnya potensi yang dapat dieksploitasi dari sikap dan sifat irasional masyarakat di Indonesia, dapat menerapkan kebijakan berikut ini untuk dimanfaatkan : “Yang penting ialah menutup rapat-rapat bau busuknya, tidak penting sebanyak apa yang kami buat jadi busuk dan sebanyak apapun kebusukan yang ada di dalamnya.”

Pernahkah Anda bertanya-tanya, jika polisi kita saja begitu “hewanis”, “aroganis”, “premanis”, “kriminalis”, “predatoris”, dan “barbarisnis”, maka bagaimana dengan kalangan preman maupun kriminal-sipil kita lainnya di luar sana? JIka para polisi kita tidak dapat disebut sebagai “penjahat” yang “jahat”, lantas yang disebut sebagai “penjahat” dan “jahat” ialah yang seperti apakah? Para “preman pasar”, yang kerap memeras dan menganiaya warga, notabene masih lebih “baik” ketimbang para polisi tersebut yang di-“sumpah jabatan”, memakan gaji yang bersumber dari pajak yang dibayarkan oleh rakyat—namun kemudian menyakiti, merugikan, dan mengabaikan kepentingan rakyat—semata karena sang “preman pasar” tidak pernah di-“sumpah jabatan” untuk melindungi dan mengayomi masyarakat.

Kejahatan kedua terbesar kalangan POLRI ialah, memonopoli penegakan hukum, akses hukum pidana, bahkan memonopoli penggunaan senjata api, memonopoli hak “main hakim sendiri”, memonopoli hak menahan, menggeledah, maupun menyita, memonopoli hak ases peradilan pidana, namun disaat bersamaan acapkali mengabaikan dan menelantarkan aduan warga korban pelapor, bahkan tidak jarang memeras korban pelapor dengan seribu satu modus terselubung. Memonopoli, artinya harus bertanggung-jawab terhadap warga yang mereka monopoli haknya. Hak memonopoli, melahirkan kewajiban, dimana secara bertimbal-balik menjadi hak dari rakyat sipil—yang mana bilamana diabaikan ataupun ditelantarkan, sama artinya merampas hak rakyat dan menyanderanya secara melawan kepentingan bangsa ataupun melenceng dari tujuan semula dibentuknya negara.

Dahulu kala, sebelum hukum negara terbentuk, setiap warga bebas “main hakim sendiri” dan menggunakan senjata api ataupun senjata tajam untuk membela diri dan menegakkan keadilan. Akan tetapi saat kini, ketika hukum negara diterbitkan, kesemua itu dirampas oleh POLRI, dan disaat bersamaan tidak tampak sikap bertanggung-jawab kalangan POLRI yang justru lebih sibuk memperkaya diri dengan mengeploitasi warga korban pelapor—tidak terkecuali bersikap “kurang hajar” dan pamer arogansi terhadap warga sipil. Secara “de jure”, kita menyebut negara kita sebagai “negara hukum” (the rule of law). Akan tetapi bila kita berbicara secara “de facto”, negara bernama Republik Indonesia ini ialah “negara (milik) polisi dan politisi”, kerajaan di dalam republik.

Adapun “the pure democratic theory” menyebutkan, harus senantiasa ada “opt. in” dan “opt. out” atas segala sesuatunya, namun kita selaku rakyat sipil, tidak pernah diberikan opsi untuk “opt. out” terhadap monopoli kewenangan POLRI—tersandera hingga anak dan cucu kita. Satu-satunya kesan mendalam yang senantiasa penulis temui, ketika masih muda hingga saat dewasa ini berprofesi dibidang hukum ialah, polisi pada kantor polisi manapun itu, polisi dibawah payung POLRI dan jajaran dibawahnya ialah “lebih preman daripada preman”. Kesan kedua ialah, PENGECUT. Hanya seorang pengecut yang beraninya terhadap rakyat sipil yang telah dilucuti haknya untuk menyandang senjata api. Selalu penulis membuat tantangan terbuka terhadap kalangan polisi di Tanah Air:

“Atas segala sikap tidak bersahabat dan arogansi Anda, jika Anda masih menyebut Anda sebagai ‘jantan’ dan ‘jentelmen’, dengan ini saya, rakyat sipil yang kerap dipaksa menelan sikap arogansi dan pengabaian terhadap kewajiban Anda, menantang Anda, wahai Bapak Polisi, kita adu duel ‘satu lawan satu’ dan ‘tangan kosong’, di atas RING TINJU dengan ATURAN MAIN DUNIA PERTINJUAN.”

Mengingat karena mereka memonopoli hak akses pidana dan penegakan hukum pidana, maka mereka menjadi “besar kepala” serta “tends to corrupt”, dimana sebaliknya daya tawar publik-sipil menjadi lemah dan tertekan hingga ke titik nadir. Itulah kelemahan sistem ketatanegaraan kita di Indonesia, rakyat-sipil tidak diberi hak ataupun pilihan bebas untuk mencabut mandatnya agar kedaulatan kembali ke tangan rakyat. Kondisi demikian sangat jauh dari idealnya “supremasi sipil”. Semakin besar kekuasaan dan mutlak kekuasaan itu diemban oleh POLRI, maka “absolute power, corrupt absolutely”. Mungkin sudah saatnya kita menerapkan atau mengadopsi sistem keamanan dalam negeri seperti di Amerika Serikat, dimana ada pembagian kekuasaan, antara yang menjadi yurisdiksi “Polisi Federal” dan ada yang menjadi domain “Polisi Negara Bagian”.

Se-”bobrok” apapun pelayanan publik pada kantor-kantor pelayanan publik, tetap saja para Aparatur Sipil Negara atau Pegawai Negeri Sipil tersebut tidak akan dipecat, “business as usual”, akibatnya tiada “merit system” dan rakyat menjadi “kelas dua” yang harus mengemis-ngemis atas apa yang memang sudah menjadi haknya. Sama halnya, se-“bobrok” apapun institusi POLRI, tetap saja POLRI tidak mungkin dibubarkan, jadilah negara kita ibarat memberikan “cek dengan blangko kosong” kepada POLRI. Kesemua fenomena mana membuat penulis cenderung masuk pada kesimpulan yang cukup radikal, yakni : tidak penting suatu negeri mau berbentuk demokratik ataukah sebaliknya komun!stik, liberal!s ataukah over-protektif, sepanjang sistem ketatanegaraannya tidak bertopang pada “merit system”, maka negara tersebut cenderung “korup” para pejabat dan petingginya, yang pada gilirannya “welfare state” jauh panggang dari api.

Jika Anda pikir, seorang Kapolsek akan naik pangkat dan tingkat menjadi Kapolda, Kapolda menjadi Kadiv pada POLRI, sebagai contoh, dinilai dan ditentukan berdasarkan basis kinerja, maka Anda keliru besar. Jika Anda berasumsi, bahwa seorang kepala kantor pemerintahan akan dipromosikan menjadi kepala kantor wilayah ataupun duduk sebagai pejabat pada suatu direktorat di kementerian, berdasarkan basis kinerja, maka Anda juga keliru besar. Penulis tidak menuduh ataupun menuding tanpa dasar, karena kesemua itu adalah fenomena real di Indonesia sejak dahulu kala—meski jargon Kementerian Pemberdayaan Aparatur Sipil Negara saat kini mengkampanyekan reformasi tubuh Aparatur Sipil Negara. TIADA SAMA SEKALI “MERIT SYSTEM” pada agenda reformasi aparatur kita, yang ada ialah semata berapa banyak dan besar “setoran” dari bawahan kepada atasan, alias budaya “patronase” antara klien dan sang patron, masih budaya lama namun dengan kemasan yang berbeda.

Antara negara “patron system” dan tipikal negara “merit system”, tidak pernah saling berjalan secara linear, namun saling bertolak-belakang satu sama lainnya. Lantas, secara lebih konstruktif, bagaimana kiat memulai pembangunan budaya “merit system” ini? Jawaban tegasnya ialah dimulai dengan menyadari betapa sikap dan cara berpikir irasional menguasai masyarakat kita, yang perlu dikikis secara gradual, secara evolutif alih-alih secara revolutif, agar masyarakat kita mampu melihat, memandang, dan menilai secara lebih rasional. Lihatlah, Partai Golkar, melahirkan rezim Orde Baru yang harus digulingkan lewat “people power”, ataupun pernah dikepalai oleh “Mega Koruptor e=KTP Setya Novanto”, namun tetap saja hingga saat reformasi ini bergulir masih bercokol menjadi Partai Politik tiga besar dalam setiap pemilihan umum.

Tengoklah sosok Ketua Umum Parpol bernama PDIP, anak dari pemimpin rezim Orde Lama yang juga harus digulingkan lewat “people power”, dimana sang Ketua Umum selalu menjadikan sosok ayahnya tersebut sebagai “maskot” partai untuk “berjualan”, namun masyarakat kita tidak memiliki “trauma kolektif”, dan tetap saja mmeberi simpati dan memilihnya sebagai Parpol yang mendominasi dalam berbagai pemilihan umum. Untuk mulai menjadi bangsa yang rasional, kita perlu memulainya dengan mau belajar dari pengalaman sejarah masa lampau. Yang perlu diberi “punishment”, berikan “punishment”. Yang layak diberikan “reward”, berikan “reward”. Bukan sebaliknya, secara tidak pada proporsinya, memberi “reward” terhadap apa yang patut mendapatkan “punishment”.

Secara perlahan, “merit system” akan terbentuk di tengah masyarakat, lalu merembes ke dalam sendi institusi pemerintahan dan menjiwai atau menginspirasi segenap pola berpikir petinggi dan pemimpin bangsa. Tentu, untuk mengikis budaya lama dan memperkenalkan budaya baru ini, butuh komitmen setidaknya hingga beberapa generasi ke depan. Yang terpenting dari kesemua itu, tentu saja, bukan sekadar berwacana dan berteori, namun keberanian untuk memulai langkah pertamanya, lalu melanjutkan dan memupuknya secara konsisten, dilandasi komitmen dan itikad baik segenap bangsa.

Secara prediktif pribadi penulis, bila sistem ketatanegaraan kita masih berjalan seperti sekarang ini dan seperti selama ini, “patron system”, negeri ini cepat atau lambat akan kolaps juga. Mungkin bukan dialami oleh generasi kita, namun oleh generasi mendatang pada era anak atau cucu kita. Inikah yang hendak kita wariskan kepada mereka, kerusakan struktural berbangsa dan bernegara? Bila kita benar-benar mau belajar dari sejarah perjalanan bangsa kita sendiri, kita akan menemukan satu pola yang sama, pola mana selalu berulang, dan akan terus berulang bila kita tidak mau menyadari dan menghentikannya.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.

Konsultan Hukum HERY SHIETRA & PARTNERS