Pidato Menentang PEKERJA ROBOT ASING, ketika Tenaga Kerja Manusia Lokal Kalah Bersaing dan Tergantikan Fungsinya oleh Robot

Contoh Pidato Melawan Pemimpin yang Pro Investor Asing

Investor Asing Mengimpor juga TENAGA KERJA ROBOT, itulah ketika Pekerja Manusia Lokal Indonesia Kalah Bersaing Melawan PEKERJA ROBOT ASING

Ketika Manusia Tidak lagi Sekadar Bersaing Melawan Sesama Pekerja Manusia, namun Vs. PEKERJA ROBOT ASING

Question: Sebenarnya apa bahaya ataupun ancaman dibalik investasi asing yang masuk ke Indonesia, agar dapat diwaspadai pemerintah selaku regulator maupun bagi rakyat pada umumnya selaku buruh atau pekerja yang menjadi salah satu stakeholders terkait ketersediaan lapangan pekerjaan?

Brief Answer: Jika konteksnya ialah pada masa pra-industri otomatisasi robotik, maka masuknya investor asing merupakan berkah bagi ekonomi rakyat suatu negara yang menerima masuknya pengusaha maupun korporasi asing. Namun zaman telah berubah, paradigma lama yang sudah usang perlu dikaji ulang agar kebijakan negara tidak salah sasaran serta tidak kontraproduktif bagi kepentingan rakyat luas. Yang semula “berkah”, kini dapat menjelma ancaman “petaka”. Pada era modernisasi ini, industri berkembang dengan sangat pesat jauh melampaui imajinasi revolusi industri sejak ditemukannya mesin uap, yakni perkembangan teknologi robotik—bukan lagi sekadar proletar ala Marx, namun Robotisme, generasi terbaru dari daya tawar kapitalisasi, dimana kalangan pemodal benar-benar menjelma “dinasti” hegemoninya.

Akibatnya, jenis atau tendensi investasi pada dewasa ini lebih mengarah dan berfokus pada jenis investasi dibidang otomatisasi dan robotisasi fungsi-fungsi pekerjaan konvensional seperti buruh, terutama jenis-jenis pekerjaan yang hanya mengandalkan tenaga dan aktivitas yang terpola, mudah digantikan dan tergantikan oleh peran sebuah robot yang jauh lebih efisien dari segi konsumsi listrik bulanan disamping tingkat produktivitasnya bahkan dapat diakselerasi hingga 24 jam dalam sehari dengan hasil capaian “output” yang diluar angka psikologis yang mustahil dapat diraih ataupun dicapai oleh tenaga kerja manual.

Bahkan sudah sejak lama, pada berbagai pabrikan makanan olahan maupun manufaktur modern, mulai dari tahap pengemasan hingga proses perakitan, dilakukan oleh sistem robotik terkomputerisasi mayoritas proses produksinya, dari hulu hingga hilir, sehingga hanya menyisakan sedikit bidang kerja yang masih ditangani oleh pekerja manusia. Sudah mampu kita prediksi, sebagaimana tendensinya dan tren-nya mulai menyerupai buih-buih yang meletup, kelak akan tercipta “fenomena puncak gunung es”—dimana badan gunung es yang berada dibawah permukaan air yang selama ini tidak tampak jauh lebih besar lagi dan bisa jadi diluar bayangan terliar kita apa yang selama ini akan menjadi dampak dari modernisasi robotik yang kian cerdas, kian canggih, kian produktif, serta kian efisien.

Pada era pra-robotik, investasi bersifat “padat karya”. Namun, sekali lagi, sejak era robotik, investasi menjadi menjelma “padat modal”. Antara “padat modal” dan “padat karya”, tidak saling seiring sejalan, namun saling mempredatorisasi satu sama lainnya, bukanlah suatu pilihan sukar di mata para investor yang akan memilih kalkulasi bisnis manakah yang lebih efisien dan lebih menguntungkan. Yang tidak disadari oleh penyusun kebijakan di republik kita ini, Indonesia, masuknya investasi asing tidak lagi berkorelasi dan tidak berbanding lurus dengan terbukanya lapangan pekerjaan bagi pekerja (tenaga kerja manusia) lokal.

Ketika investor asing masuk, mereka membawa serta pekerja-pekerja asing dalam bentuk robot—dan itulah investasi atau modal terbesar yang dibawa serta oleh para investor asing masuk ke Indonesia, lalu menempatkan para pekerja-pekerja robot asing tersebut untuk bekerja di Indonesia, dimana rakyat Indonesia hanya diposisikan sebagai penonton juga sebagai konsumennya. Itukah, yang betul-betul kita inginkan dan harapkan terjadi, sebagaimana kecenderungannya pemutusan hubungan kerja massal oleh berbagai industri terus terjadi sebagaimana tren dewasa ini bukan hanya di Indonesia, namun di seluruh negara-negara dunia?

Bila software mampu menggantikan fungsi pekerjaan tenaga administrasi, maka “hardware plus software” menciptakan perpaduan “kelewat canggih” yang maha dahsyat dengan menggantikan dan menyingkirkan lebih dari separuh fungsi pekerjaan manusia manual, ancaman yang sudah sangat dekat di depan mata kita. Yang dapat beradaptasi, ialah pemodal kuat yang mampu meremajakan mesin-mesin produksi pada pabrik mereka dengan robot-robot terbaru yang lebih canggih serta lebih produktif disamping lebih efisien. Sementara itu, tenaga manual manusia sangat terbatas, sehingga beradabtasi sekalipun tidak menjamin fungsi pekerjaannya tidak akan tergantikan oleh “kecerdasan buatan” (artificial intelligence) tangan-tangan robotik yang sangat presisi serta berdaya tahan kuat tersebut.

Karenanya, masuknya investasi asing tidak lagi identik dengan “berkah” bagi negeri dimana masuknya modal-modal berupa atau bentuk wujud bentuk robot-robot yang diimportasi dari luar negeri untuk beroperasi (baca : bekerja), sehingga praktis tiada kontribusi konkret atas masuknya modal-modal asing yang ditanamkan ke suatu negara “inang”—bahkan tiada kontribusi pajak yang dapat ditarik oleh negara, mengingat para investor asing tersebut melaporkan “merugi” selama berproduksi dan berkegiatan usaha di Indonesia, alibi sempurna untuk menghindari beban pajak, dengan modus “transfer pricing” alias “profit shifting” yang sudah lama menjadi “rahasia umum”.

PEMBAHASAN:

Tentu kita masih ingat perhelatan “pesta demokrasi” berupa pemilihan presiden dan wakil presiden di Indonesia beberapa tahun lampau, dimana calon petahana yang satu “PRO” terhadap investor asing, sementara itu calon penantangnya mengambil posisi sebagai “KONTRA” terhadap investor asing—namun kurang mengelaborasi fakta-fakta hukum maupun fakta-fakta empirik sosio-ekonomi terkait bahaya dibalik masuknya investasi asing di era otomatisasi-robotik yang tren-nya mulai merambah dan menggurita ke setiap sektor industri, menggantikan tenaga kerja manusia sejak satu dasawarsa belakangan ini, tren mana akan kian menjadi hal umum dan lumrah (the new industry) dalam industrialisasi dan dunia perpabrikan lokal maupun mancanegara-global.

Mari kita berandai-andai, jika saja penulis merupakan salah satu calon penantang presiden petahana—meski sayangnya demokrasi di Indonesia bersifat elitis sehingga tidak memungkinkan semua kalangan rakyat dapat dicalonkan ataupun mencalonkan diri—berhadap-hadapan dengan sang presiden petahana yang bersikukuh menggelar “karpet merah” serta “menjual murah” negerinya bagi kalangan investor asing, bahkan terkesan membuta dan membutakan diri dari fenomena “pekerja robot” yang mengisi bursa kerja berbagai prabtik modern korporasi multinasional bermodal kuat, sehingga hanya menjanjikan “padat modal” tidak bagi “padar karya”.

Contoh skrip pidato berikut, penulis susun secara khusus untuk memudahkan masyarakat mencerna bahaya dibalik masuknya investor asing bermodal kuat yang dapat dipastikan mayoritas tenaga kerjanya ialah para tangan-tangan robotik yang besar kemungkinan juga teknologi robotiknya hasil importasi, yang mana konsekuensi logisnya ialah tidak secara benar-benar membuka kesempatan berupa lapangan pekerjaan baru bagi pekerja manusia (human labor) lokal: [PERINGATAN KERAS : Skrip berikut merupakan Hak Cipta dan Hak Moril Hery Shietra selaku penulis. Dilarang keras mengutip ataupun menjiplak tanpa seizin penulis]

“Masuknya investor asing, TIDAK identik dengan membuka lapangan pekerjaan baru. Investor asing, bersifat PADAT MODAL, bukan PADAT KARYA. Adalah delusi, ketika kita bermimpi bahwa masuknya investor asing maka akan mensejahterakan rakyat kita.

“Para investor asing tersebut, ketika masuk dan menjejakkan kakinya dalam-dalam ke Indonesia, akan melakukan praktik penghisapan kekayaan ekonomi Indonesia sebelum kemudian ia bawa lari ke luar, patriasi dana ke luar negeri, lewat modus ‘TRANSFER PRICING’ alias ‘PROFIT SHIFTING’ dengan melaporkan MERUGI tanpa LABA USAHA setiap tahunnya agar terhindar dari kewajiban pembayaran pajak. Artinya, tidak ada kontribusi konkret dari keberadaan para investor asing ini selain sekadar menghisap dan mengeruk kekayaan ekonomi bangsa kita dan dibawa lari ke luar negeri.

“Para investor asing tersebut, masuk dengan membawa serta modal asing berwujud atau berbentuk ROBOT-ROBOT yang akan dijadikan PEKERJA ROBOT, robot-robot mana diimpor dari luar negeri, yang artinya PEKERJA ROBOT ASING, menggantikan fungsi pekerjaan para pekerja manusia manual.

“Bagaimana mungkin, rakyat kita dihadapkan dan diharapkan mampu bersaing menghadapi PEKERJA-PEKERJA ROBOT ASING yang murah—hanya butuh makan berupa listrik dan oli pelumas—dapat bekerja 24 jam dalam sehari secara NON-STOP, tiada upah lembur, tiada cuti tahunan, tiada tunjangan hari raya, tiada cuti melahirkan, tiada pesangon, bahkan tingkat akurasi dan produktivitasnya mustahil dilampaui ataupun disejajarkan dengan tenaga kerja manusia.

“Ancaman nyata yang akan atau sedang kita hadapi ialah para ROBOT-ROBOT, Bapak dan Ibu serta Saudara-Saudari se-Tanah Air, ROBOT-ROBOT ASING lebih tepatnya, yang akan dijadikan sebagai pekerja yang dibawa serta oleh para investor asing tersebut untuk bercokol dan menanam dalam-dalam cengkeraman kakinya dan melakukan praktik penghisapan serakus-rakus yang mereka mampu hisap. Alhasil, kita hanya bisa menjadi penonton dan konsumen di negeri sendiri. Itukah yang betul-betul kita inginkan dari wajah investasi asing yang mana tren fenomena global-nya kian teromatisasi dan terobotisasi ini?

“Saya mengajak para hadirin dan Bapak-Ibu serta Saudara-Saudari sekalian, untuk mulai menyadari bahaya serta ancaman nyata dibalik investasi asing bermodal kuat yang dapat dipastikan lebih mengarah pada PADAT MODAL alih-alih PADAT KARYA. Kita perlu membuka mata terhadap ancaman nyata yang sudah sangat dekat ini.

“Para ROBOT-ROBOT alias PEKERJA ROBOT ASING tersebut justru mengambil-alih bursa kerja yang sudah sempit, menjadi semakin sempit akibat berbagai fungsi dan tugas pokok konvensional yang semula diisi oleh buruh-buruh pekerja manusia, tergantikan dan teralih-fungsikan menjadi bidang tugas dan kerja ROBOT-ROBOT alias PEKERJA ROBOT ASING tersebut.

“Semakin besar modal sang investor asing, mau buat seribu PEKERJA ROBOT, sanggup. Mau impor satu juta TENAGA KERJA ROBOT ASING, sanggup. Artinya, semakin besar dan semakin banyak modal asing berupa ROBOT-ROBOT ASING yang masuk, maka semakin sempit dan kian menjadi sempit lapangan kerja yang masih tersedia bagi tenaga kerja manusia lokal, kita hanya dapat berebutan terhadap remah-remah sisanya. Itulah NERAKA serta MIMPI BURUK di depan mata ketika investor asing dibiarkan terbuka seluas-luasnya untuk masuk ke negeri kita tanpa kebijakan proteksionisme dengan memfilter masuknya investor berhaluan PADAT MODAL—yang penting modal asing yang masuk besar nilai nominalnya, tidak perduli apakah modal asing tersebut berwujud ROBOT-ROBOT ASING sekalipun.

“Para investor asing asing tersebut, bukanlah Sinterklas yang bersedia merepotkan dirinya serta mengambil resiko membawa serta modal besar masuk ke negara kita, untuk memakmurkan dan mensejahterakan rakyat kita—itu tugas negara kita, motif investor asing ialah semata untuk mengeruk kekayaan sebesar-besarnya dengan pengeluaran sekecil-kecilnya, terutama pengeluaran untuk tenaga kerja dengan cara mulai lebih banyak mem-pekerjakan ROBOT-ROBOT ASING dan secara berangsur-angsur menggantikan pekerja manusia manual menjadi terotomatisasi, full autopilot.

“Satu ROBOT ASING, dapat disetarakan dengan dua, tiga, atau lebih hasil kerja pekerja manusia, dengan hasil yang bahkan lebih baik dan lebih produktif. Karenanya, tiada korporasi asing yang berminat mem-pekerjakan tenaga kerja manusia. Para investor asing tersebut membawa serta tenaga kerja ahli yang juga asing, berupa teknisi untuk merawat dan memperbaiki ROBOT-ROBOT ASING tersebut. Praktis, semuanya ‘MADE IN ASING’, namun dilabel dalam kemasannya menjadi ‘MADE IN INDONESIA’ serta lolos dalam seleksi pengadaaan barang pemerintah untuk bersaing dengan pengusaha lokal. Itukah yang hendak kita sebut sebagai, ‘cintai produk dalam negeri’, ataukah membiarkan bangsa kita hidup dalam utopia? Bangunlah, para rakyat-ku!”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.

Konsultan Hukum HERY SHIETRA & PARTNERS