Orang Baik Manakah, yang Butuh PENGHAPUSAN DOSA?
Orang Suci Manakah, yang Butuh PENGHAPUSAN DOSA?
Hanya PENDOSA, yang Butuh dan Mencandu Ideologi KORUP Bernama PENGHAPUSAN DOSA
Question: Banyak umat agama samawi, yang begitu membangga-banggakan nabinya, disebut sebagai rasul Tuhan yang membuat umat manusia menjadi baik moralnya. Yang buat heran, mengapa nabi mereka itu doa-doanya justru tergila-gila pada pengampunan dosa? Mengapa para umat agama samawi, tidak menaruh curiga dan menemukan keganjilan berupa “cacat moral” dibalik ajaran, dogma, maupun teladan hidup sang nabi?
Brief Answer: Orang bermoral manakah, yang membutuhkan,
bergantung pada, serta kecanduan kepada ideologi kotor nan KORUP semacam “PENGAMPUNAN
/ PENGHAPUSAN DOSA” maupun “PENEBUSAN DOSA”? Mereka bahkan begitu pengecut
untuk bertanggung-jawab alias tidak berani mengambil tanggung-jawab untuk
menghadapi konsekuensi dari perbuatan-perbuatan buruknya sendiri. Mereka, para
pendosa tersebut, dengan demikian, telah melakukan dua buah kesalahan disaat
bersamaan secara berantai. Pertama, berbuat buruk yang dapat dicela oleh para
bijaksanawan. Kedua, menjelma “KORUPTOR DOSA” ketika sang pendosa alih-alih bertanggung-jawab
kepada korban-korbannya, justru lebih sibuk mabuk dan mencandu “PENGHAPUSAN
DOSA” (abolition of sins).
Ketika seseorang tidak takut berbuat dosa, maka
ia tidak malu mencandu dan kecanduan “PENGHAPUSAN DOSA”. Ketika seseorang tidak
takut terhadap konsekuensi dibalik perbuatan buruk, maka ia tidak akan malu
untuk “BERBUAT DOSA-DOSA UNTUK DIHAPUSKAN”. Karenanya, “PENGHAPUSAN DOSA”
selalu bundling alias komplomenter dengan “DOSA-DOSA UNTUK DIHAPUSKAN”. Ketika seseorang
yang mengaku sebagai “nabi rasul Tuhan”, namun dalam keseharian justru mabuk
dan mencandu “PENGHAPUSAN DOSA”, itu merupakan bukti tidak terbantahkan bahwa
yang bersangkutan bukanlah “orang baik”, sehingga atas dasar delusi apakah
hendak membuat orang lain menjadi baik, bila dirinya sendiri mencerminkan “standar
moral” yang rusak dan tercela?
PEMBAHASAN:
Jangan bersikap seolah-olah Tuhan lebih PRO
terhadap PENDOSA, terlebih KORUPTOR DOSA PENGECUT. Karenanya, adalah tidak
mungkin Tuhan menurunkan wahyu berupa dogma-dogma KORUP semacam “PENGHAPUSAN
DOSA”, mengingat hakim di pengadilan dunia manusia saja bersikap adil dengan
memihak dan memberi keadilan bagi kalangan korban. Umat manusia yang masih
memiliki “akal sehat milik orang sehat”, akan menyadari bahwa iming-iming KORUP
semacam “PENGHAPUSAN DOSA”, adalah irasional disamping “too good to be true”—yang mendorong orang untuk berlomba-lomba memproduksi
segudang hingga segunung dosa-dosa, alih-alih bergaya hidup higienis dari dosa.
Ibarat hendak menunjuk hidung nabi-nabi agama
samawi yang kerap mengatas-namakan wahyu Tuhan, sekalipun sang nabi tidak
pernah bertemu langsung dengan Tuhan terkait wahyu dimaksud, berikut khotbah Sang Buddha dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang
Buddha, JILID IV”,
Judul Asli : “The Numerical Discourses of
the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012,
terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, Penerjemah Edi
Wijaya dan Indra Anggara, dengan kutipan:
67 (7) Pernyataan (1)
“Para bhikkhu, ada delapan
pernyataan tidak mulia ini. Apakah delapan ini?
(1) Mengatakan bahwa ia telah
melihat apa yang sesungguhnya tidak ia lihat;
(2) mengatakan bahwa ia telah mendengar
apa yang sesungguhnya tidak ia dengar;
(3) mengatakan bahwa ia telah
mengindra apa yang sesungguhnya tidak ia indra;
(4) mengatakan bahwa ia telah
mengenali apa yang sesungguhnya tidak ia kenali;
(5) mengatakan bahwa ia tidak melihat
apa yang sesungguhnya telah ia lihat;
(6) mengatakan bahwa ia tidak
mendengar apa yang sesungguhnya telah ia dengar;
(7) mengatakan bahwa ia tidak
mengindra apa yang sesungguhnya telah ia indra;
(8) mengatakan bahwa ia tidak
mengenali apa yang sesungguhnya telah ia kenali.
Ini adalah kedelapan pernyataan
tidak mulia itu.”
~0~
68 (8) Pernyataan (2)
“Para bhikkhu, ada delapan
pernyataan mulia ini. Apakah delapan ini?
(1) Mengatakan bahwa ia tidak
melihat apa yang sesungguhnya tidak ia lihat;
(2) mengatakan bahwa ia tidak
mendengar apa yang sesungguhnya tidak ia dengar;
(3) mengatakan bahwa ia tidak mengindra
apa yang sesungguhnya tidak ia indra;
(4) mengatakan bahwa ia tidak
mengenali apa yang sesungguhnya tidak ia kenali;
(5) mengatakan bahwa ia telah
melihat apa yang sesungguhnya telah ia lihat;
(6) mengatakan bahwa ia telah
mendengar apa yang sesungguhnya telah ia dengar;
(7) mengatakan bahwa ia telah mengindra
apa yang sesungguhnya telah ia indra;
(8) mengatakan bahwa ia telah
mengenali apa yang sesungguhnya telah ia kenali.
Ini adalah kedelapan pernyataan
mulia itu.”
~0~
IV. Perhatian
81 (1) Perhatian
“Para bhikkhu, (1) ketika tidak
ada perhatian dan pemahaman jernih, pada seorang yang tidak memiliki perhatian
dan pemahaman jernih, maka (2) rasa malu dan rasa takut tidak memiliki
penyebab terdekatnya. Ketika tidak ada rasa malu dan rasa takut, pada seorang
yang tidak memiliki rasa malu dan rasa takut, maka (3) pengendalian organ-organ
indria tidak memiliki penyebab terdekatnya. Ketika tidak ada
pengendalian organ-organ indria, pada seorang yang tidak memiliki pengendalian
organ-organ indria, maka (4) perilaku bermoral tidak memiliki penyebab
terdekatnya. Ketika tidak ada perilaku bermoral, pada seorang yang tidak memiliki
perilaku bermoral, maka (5) konsentrasi benar tidak memiliki penyebab
terdekatnya. Ketika tidak ada konsentrasi benar, pada seorang yang tidak
memiliki konsentrasi benar, maka (6) pengetahuan dan penglihatan pada segala
sesuatu sebagaimana adanya tidak memiliki penyebab terdekatnya. Ketika
tidak ada pengetahuan dan penglihatan pada segala sesuatu sebagaimana adanya,
pada seorang yang tidak memiliki pengetahuan dan penglihatan pada segala
sesuatu sebagaimana adanya, maka (7) kekecewaan dan kebosanan tidak memiliki
penyebab terdekatnya. Ketika tidak ada kekecewaan dan kebosanan, pada
seorang yang tidak memiliki kekecewaan dan kebosanan, maka (8) pengetahuan dan
penglihatan pada kebebasan tidak memiliki penyebab terdekatnya.
“Misalkan ada sebatang pohon
yang tidak memiliki dahan-dahan dan dedaunan. Maka tunasnya tidak tumbuh
sempurna; kulit kayunya, kayu lunaknya, dan inti kayunya juga tidak tumbuh sempurna.
Demikian pula, ketika tidak ada perhatian dan pemahaman jernih, pada seorang
yang tidak memiliki perhatian dan pemahaman jernih, maka rasa malu dan rasa
takut tidak memiliki penyebab terdekatnya. Ketika tidak ada rasa malu dan rasa
takut … maka pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan tidak memiliki penyebab
terdekatnya.
“Para bhikkhu, (1) ketika
ada perhatian dan pemahaman jernih, pada seorang yang memiliki perhatian dan
pemahaman jernih, maka (2) rasa malu dan rasa takut memiliki penyebab
terdekatnya. Ketika ada rasa malu dan rasa takut, pada seorang yang
memiliki rasa malu dan rasa takut, maka (3) pengendalian organ-organ indria memiliki
penyebab terdekatnya. Ketika ada pengendalian organ-organ indria, pada
seorang yang memiliki pengendalian organ-organ indria, maka (4) perilaku
bermoral memiliki penyebab terdekatnya. Ketika ada perilaku bermoral, pada
seorang yang memiliki perilaku bermoral, maka (5) konsentrasi benar memiliki penyebab
terdekatnya. Ketika ada konsentrasi benar, pada seorang yang memiliki
konsentrasi benar, maka (6) pengetahuan dan penglihatan pada segala sesuatu
sebagaimana adanya memiliki penyebab terdekatnya. Ketika ada pengetahuan
dan penglihatan pada segala sesuatu sebagaimana adanya, pada seorang yang
memiliki pengetahuan dan penglihatan pada segala sesuatu sebagaimana adanya,
maka (7) kekecewaan dan kebosanan memiliki penyebab terdekatnya. [337] Ketika
ada kekecewaan dan kebosanan, pada seorang yang memiliki kekecewaan dan
kebosanan, maka (8) pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan memiliki
penyebab terdekatnya.
“Misalkan ada sebatang pohon
yang memiliki dahan-dahan dan dedaunan. Maka tunasnya tumbuh sempurna; kulit
kayunya, kayu lunaknya, dan inti kayunya juga tumbuh sempurna. Demikian pula, ketika
ada perhatian dan pemahaman jernih, pada seorang yang memiliki perhatian dan
pemahaman jernih, maka rasa malu dan rasa takut memiliki penyebab terdekatnya.
Ketika ada rasa malu dan rasa takut … maka pengetahuan dan penglihatan pada kebebasan
memiliki penyebab terdekatnya.”
Akan tetapi, bertolak-belakang dengan ajaran
dalam Buddhistik, agama samawi memiliki paradigma dan dogma yang justru
men-dehumanisasi umat pemeluknya, yakni : terhadap dosa dan maksiat, begitu
kompromistik (ada “PENGHAPUSAN DOSA”!).
Namun, terhadap kaum yang berbeda keyakinan, mereka begitu intoleran. Babi,
disebut sebagai “haram’. Namun terhadap “PENGHAPUSAN DOSA” (bagi PENDOSA,
tentunya), mereka sebut sebagai “halal” serta dijadikan maskot “halal lifestyle”.
Mereka, merupakan kaum pemalas yang begitu
pemalas untuk menanam benih-benih Karma Baik untuk mereka petik sendiri buah
manisnya di kehidupan mendatang, dan disaat bersamaan begitu pengecut untuk
bertanggung-jawab atas perbuatan-perbuatan buruk mereka sendiri. Tetap
saja, para PENDOSA PECANDU PENGHAPUSAN DOSA (para KORUPTOR DOSA) tersebut
berdelusi sebagai kaum paling superior yang merasa berhak menghakimi dan
merendahkan martabat kaum lainnya, sekalipun sejatinya mereka merupakan kasta
paling rendah, paling hina, dan paling kotor disamping tercela—kesemuanya
dikutip dari Hadis Sahih Muslim:
- No.
4852 : “Dan barangsiapa yang bertemu dengan-Ku dengan membawa kesalahan sebesar isi
bumi tanpa menyekutukan-Ku dengan yang lainnya, maka Aku akan menemuinya dengan
ampunan sebesar itu pula.”
- No.
4857 : “Barang siapa membaca
Subhaanallaah wa bi hamdihi (Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya) seratus
kali dalam sehari, maka dosanya akan
dihapus, meskipun sebanyak buih lautan.”
- No.
4863 : “Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam mengajarkan kepada orang yang baru masuk Islam dengan do'a;
Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku,
tunjukkanlah aku, dan anugerahkanlah aku rizki).”
- No.
4864 : “Apabila ada seseorang yang masuk
Islam, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengajarinya tentang shalat kemudian
disuruh untuk membaca do'a: Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii wa'aafini
warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku,
kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, sehatkanlah aku dan anugerahkanlah aku
rizki).”
- No.
4865 : “Ya Rasulullah, apa yang sebaiknya
saya ucapkan ketika saya memohon kepada Allah Yang Maha Mulia dan Maha
Agung?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: 'Ketika kamu
memohon kepada Allah, maka ucapkanlah doa sebagai berikut; 'Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku,
selamatkanlah aku,”
- Aku
mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:
“Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja
yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya,
‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina’.” [Shahih
Bukhari 6933]
- Dari Anas radhiallahu ‘anhu, ia berkata :
Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : Allah
ta’ala telah berfirman : “Wahai anak Adam, selagi engkau meminta dan berharap
kepada-Ku, maka Aku akan mengampuni dosamu dan Aku tidak pedulikan lagi.
Wahai anak Adam, walaupun dosamu sampai
setinggi langit, bila engkau mohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku memberi
ampun kepadamu. Wahai anak Adam, jika engkau menemui Aku dengan membawa dosa sebanyak isi bumi, tetapi engkau tiada menyekutukan
sesuatu dengan Aku, niscaya Aku datang kepadamu dengan (memberi) ampunan
sepenuh bumi pula”. (HR. Tirmidzi, Hadits hasan shahih) [Tirmidzi No.
3540]
PENDOSA
PECANDU PENGHAPUSAN DOSA, namun hendak berceramah perihal akhlak, hidup suci,
baik, mulia, lurus, adil, luhur, serta agung? Itu menyerupai ORANG BUTA yang
hendak menuntun para butawan lainnya, neraka pun dipandang sebagai surga, dan berbondong-bondong
mereka terperosok menuju lembah-jurang-nista yang begitu dalam tanpa jalan
kembali (point of no return) akibat dosa-dosa
mereka yang “segunung” telah menjelma “too
big to fall”—juga masih dikutip dari Hadis Muslim:
- No.
4891. “Saya pernah bertanya kepada Aisyah
tentang doa yang pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
memohon kepada Allah Azza wa Jalla. Maka Aisyah
menjawab; 'Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah berdoa
sebagai berikut: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan
yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan.’”
- No.
4892. “Aku bertanya kepada Aisyah tentang
do'a yang biasa dibaca oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka dia
menjawab; Beliau membaca: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku
lakukan dan yang belum aku lakukan.’”
- No.
4893. “dari 'Aisyah bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam di dalam do'anya membaca: ‘Ya Allah, aku
berlindung kepada-Mu dari keburukkan
sesuatu yang telah aku lakukan, dan dari keburukkan sesuatu yang belum aku
lakukan.’”
- No. 4896. “dari Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam bahwasanya beliau pemah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, ampunilah kesalahan, kebodohan, dan
perbuatanku yang terlalu berlebihan dalam urusanku, serta ampunilah
kesalahanku yang Engkau lebih mengetahui daripadaku. Ya Allah, ampunilah aku dalam kesungguhanku, kemalasanku, dan ketidaksengajaanku serta kesengajaanku yang semua itu ada pada
diriku. Ya Allah, ampunilah aku atas
dosa yang telah berlalu, dosa yang mendatang, dosa yang aku samarkan, dosa yang
aku perbuat dengan terang-terangan dan dosa yang Engkau lebih mengetahuinya
daripada aku,”
- Aisyah
bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya
bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu
maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi
seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR
Bukhari Muslim]