Eksekusi Hak Tanggungan, Hanya Dibolehkan untuk Hutang-Piutang yang Bersifat Sederhana—dalam Artian Tidak Disengketakan Perhitungan Jumlah Hutang-Piutangnya

Jumlah Nominal Hutang-Piutang Masih Disengketakan oleh Debitor, Kreditor Tidak Dapat Serta-Merta Melelang Eksekusi Agunan Secara Sepihak

Question: Jika dalam perkara kepailitan, bila ternyata jumlah total hutang-piutang maupun cara perhitungan hutang-piutangnya masih diperdebatkan oleh debitor, maka unsur sifat sederhana terkait hutang-piutang menjadi tidak terpenuhi, karenanya permohonan pailit terhadap debitor oleh kreditornya akan ditolak oleh Pengadilan Niaga. Namun, bagaimana dengan hutang-piutang yang diikat “hak tanggungan” terhadap jaminan yang menjadi agunan hutang? Apakah pihak kreditor bisa serta-merta melelang eksekusi agunan, meskipun dasar perhitungan hutang-piutangnya tidak transparan karena terkesan buat klaim angka sendiri suka-suka secara sepihak?

Brief Answer: Secara falsafah, lelang eksekusi Hak Tanggungan bersifat “main hakim sendiri”, dalam artian secara serta-merta pihak kreditor pemegang Sertifikat Hak Tanggungan melakukan lelang eksekusi terhadap agunan atau jaminan pelunasan hutang, tanpa terlebih dahulu menggugat secara perdata pihak debitor agar jelas berapakah total kewajiban debitor yang harus dibayarkan / dilunasi olehnya kepada pihak kreditor. Makna disini ialah, kerap terjadi dalam praktik, terdapat disparitas lebar antara “bunga abstrak” dan “bunga aktual”, dimana pihak kreditor yang tidak akuntabel kerap bermain dalam ranah “memancing di dalam air keruh” demikian.

“Bunga abstrak”, ialah tingkat suku bunga pinjaman yang tercantum dalam akta / perjanjian hutang-piutang. Sementara “bunga aktual” alias bunga yang real dibebankan, ialah berupa “bunga terselubung” yang didalam tagihannya bisa terkandung komponen bunga, bunga terhadap bunga tertunggak (bunga majemuk), denda, denda terhadap denda tertunggak, biaya administrasi, biaya ini dan itu, serta tagih suka-suka alias “MARK UP” sepihak segala beban tagihan, yang kerapkali menyimpang alias tidak diatur dalam perjanjian hutang-piutang, atau bila diatur maka disimpangi oleh pihak kreditor itu sendiri. Yang kerap dipermasalahkan oleh kalangan debitor, ialah pihak kreditor berupaya “berbuat zolim secara terselubung” sang debitor lewat memainkan angka-angka di dalam “bunga terselubung” alias “bunga aktual yang menyimpang jauh dari bunga abstrak di dalam akta kredit”.

Karena itulah, diperlukan peran pengadilan untuk membuat “clear” alias jelas, dalam rangka menentukan besaran total hutang-piutang yang sesuai aturan hukum dan sah antara sang debitor dan kreditornya—semisal pengadlan akan menilai apakah tagihan bersifat rentenir atau tidaknya—dimana untuk itu seharusnya lelang eksekusi Hak Tanggungan ditunda hingga pihak Pengadilan Negeri menentukan besaran total kewajiban pihak debitor terhadap kreditornya, apakah mengukuhkan klaim tagihan sang kreditor ataukah mengoreksinya. Prinsip yang sama juga terjadi dalam praktik di Pengadilan Niaga selama ini, bila debitor masih mempersengketakan jumlah nominal hutang-piutang, maka “tagihan menjadi tidak bersifat sederhana”, karenanya lembaga kepailitan belum dapat ditempuh (alias prematur untuk dimohonkan) sebelum terbit putusan Pengadilan Negeri yang membuat terang dan jelas berapakah total kewajiban sang debitor secara definitif.

Logika sederhananya, bila kreditor melelang agunan secara sepihak, lalu dibeli oleh pembeli lelang, akan tetapi ternyata dikemudian hari terbit putusan pengadilan yang menyatakan tagihan sang kreditor mengandung unsur rentenir, maka sang debitor terpaksa “gagal bayar” alias dipaksa “gagal bayar by design”, maka akan sangat sulit memulihkan kerugian yang diderita oleh sang debitor. Pada saat itulah, sengketa hukum berkelindan dengan posisi kepentingan pembeli lelang, menjelma “benang kusut” yang semestinya dapat dimitigasi jika Pengadilan Negeri telah menegaskan total kewajiban definitif sang debitor kepada kreditornya, yang bila masih dilalaikan untuk dibayarkan / dilunasi, barulah sang kreditor berhak untuk melelang eksekusi agunan. Singkatnya, bila pihak debitor menggugat / mempermasalakan akuntabilitas perhitungan total kewajiban dalam suatu perikatan hutang-piutang, maka lelang eksekusi seharusnya ditunda pelaksanannya.

PEMBAHASAN:

Untuk memudahkan pemahaman, terdapat ilustrasi konkret sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan lewat putusan sengketa register Nomor 881 K/Ag/2020 tanggal 23 November 2020, perkara antara:

- Drs. CIPTO SULISTIO, sebagai Pemohon Kasasi; melawan

1. MOHAMAD ALATAS; 2. PT BANK PERMATA Tbk., sebagai Para Termohon Kasasi; dan

- HERRY SETIAWAN, S.H., M.Kn. alias HERRY SOSIAWAN, S.H., M.Kn., Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), sebagai Turut Termohon Kasasi.

Penggugat dalam gugatannya yang mempermasalahkan Cessie (peralihan piutang secara sepihak oleh “kreditor asal / penjual piutang” kepada “kreditor pembeli piutang”) terkait hutang-piutang, memohon kepada Pengadilan agar memberikan Putusan sebagai berikut:

- Menyatakan Tergugat I dan Tergugat II telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) tentang Ekonomi Syariah;

- Menyatakan batal Akta Perjanjian Jual Beli Hutang Nomor 44 tanggal 11 April 2018 dan Akta Cessie Nomor 45 tanggal 11 April 2018, yang ditandatangani oleh Tergugat I dan Tergugat II di hadapan Turut Tergugat;

- Menghukum Tergugat I dan Tergugat II untuk memberikan perpanjangan waktu bayar angsuran kredit/pelunasan kredit kepada Penggugat, sampai waktu yang ditentukan oleh undang-undang dan/atau sampai putusan ini telah berkekuatan hukum tetap;

- Menghukum Tergugat I dan Tergugat II secara tanggung renteng untuk membayar kerugian Penggugat, baik kerugian materiil maupun immateriil.

Gugatan sang debitor pemilik agunan, pada mulanya dikabulkan sebagian oleh Pengadilan Agama Jakarta Timur lewat Putusan Nomor 2616/Pdt.G/2019/PA.JT. tanggal 25 Februari 2020, akan tetapi kemudian putusan tersebut dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Agama DKI Jakarta dengan Putusan Nomor 88/Pdt.G/2020/PTA.JK. tanggal 14 Juli 2020 Masehi bertepatan dengan tanggal 22 Zulkaidah 1441 Hijriah.

Pihak Penggugat selaku debitor, mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:

“Menimbang, bahwa setelah meneliti memori kasasi dan kontra memori kasasi dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti / Pengadilan Tinggi Agama DKI Jakarta, Mahkamah Agung mempertimbangkan sebagai berikut:

“Mengenai alasan-alasan kasasi tersebut:

“Bahwa perbuatan hawalatul haq atau cessie dari Muhal (Tergugat I) kepada Muhal Alaih (Tergugat II) tidak ternyata melawan hukum karena yang telah dilakukan pihak-pihak tersebut telah sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 103/DSN-MUI/X/2016 dan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 104/DSN-MUI/X/2016 serta norma yang terkandung dalam Pasal 613 KUHPerdata dan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah;

“Bahwa menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 103/DSNMUI/X/2016 dan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 104/DSNMUI/X/2016 diperbolehkan menerapkan novasi subjektif atau pergantian da’in dan subrogasi sesuai prinsip-prinsip Syariah. Sedangkan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 31/DSN-MUI/VI/2002 tentang Pengalihan Utang tidak dapat diterapkan dalam perkara a quo, karena fatwa tersebut mengatur pangalihan utang dari Lembaga Keuangan Syariah (LKS) kepada Lembaga Keuangan Konvensional (LKK). Atas dasar itu, dalam hal hawalatul haq atau cassie (pengalihan piutang) tidak harus ada pemberitahuan terlebih dahulu kepada Muhil (pihak berutang) oleh karenanya tidak termasuk sebagai Perbuatan Melawan Hukum (PMH);

“Menimbang, bahwa namun demikian Mahkamah Agung berpendapat bahwa amar putusan Judex Facti / Pengadilan Tinggi Agama DKI Jakarta yang membatalkan putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur harus diperbaiki sepanjang mengenai kesempatan untuk membayar utang dan pengembalian hak-hak Pemohon Kasasi setelah utang tersebut dibayar lunas dengan pertimbangan sebagai berikut:

“Bahwa berdasarkan Pasal 19 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2018 tentang Perbankan Syariah menyatakan kegiatan usaha Bank Umum Syariah meliputi pengambilalihan utang berdasarkan akad hawalah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Oleh karena itu, penyelesaian sengketa hawalatul haq atau cassie tidak saja dipertimbangkan dari perspektif normatif semata, namun juga perlu dipertimbangkan dari perspektif pemenuhan prinsip-prinsip ekonomi syariah;

“Bahwa segala kegiatan dan transaksi dalam ekonomi syariah harus berasaskan mu’awanah yang mewajibkan para pihak untuk tolong-menolong dan membuat kemitraan dengan melakukan muamalah, yang dimaksud dengan kemitraan adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh para pihak dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan;

“Bahwa selain berasaskan mu’awanah, kegiatan dan transaksi dalam ekonomi syariah harus berasaskan manfaah (tabadulul manafi’), asas manfaah berarti bahwa segala bentuk kegiatan muamalat harus memberikan keuntungan dan manfaat bagi pihak yang terlibat, asas ini merupakan kelanjutan dari prinsip atta’awun (tolong menolong) atau mu’awanah (saling percaya) sehingga asas ini bertujuan menciptakan kerjasama antar individu atau pihak-pihak dalam masyarakat untuk memenuhi keperluannya masing-masing dalam rangka kesejahteraan bersama;

“Bahwa terjadinya sengketa antara para pihak dalam perkara a quo merupakan fakta tidak adanya kerelaan. Padahal dalam kegiatan ekonomi syariah harus berasaskan antarodhin yang menyatakan bahwa setiap bentuk muamalat antara individu atau antara pihak harus berdasarkan kerelaan masing-masing, kerelaan di sini dapat berarti kerelaan melakukan suatu bentuk muamalat, maupun kerelaan dalam arti kerelaan dalam menerima dan atau menyerahkan harta yag dijadikan objek perikatan dan bentuk muamalat lainnya. Atas dasar itu, mesti pula diterapkan asas ‘adamul gharar yang berarti pada setiap bentuk muamalat tidak boleh ada gharar atau tipu daya atau sesuatu yang menyebabkan salah satu pihak merasa dirugikan oleh pihak lainnya sehingga mengakibatkan hilangnya unsur kerelaan salah satu pihak dalam melakukan suatu transaksi;

“Bahwa asas lainnya yang tidak boleh diabaikan dalam transaksi ekonomi syariah adalah asas al-bir wa al-taqwa yang berarti kebaikan dan proporsional. Sedangkan al-taqwa berarti takut, hati-hati, jalan lurus, dan meninggalkan yang tidak berguna, melindungi dan menjaga diri dari murka Allah swt. Asas ini mewadahi seluruh asas fiqih muamalah. Artinya, segala asas dalam lingkup fiqih muamalah dilandasi dan diarahkan untuk al-bir wa al-taqwa, representasi dari asas ini adalah menghindari maisir, gharar, haram, riba dan batil dalam bermuamalah;

“Bahwa setiap orang harus menghindari hal-hal yang batil dalam melakukan transaksi, karena prinsip yang harus dijunjung adalah tidak ada kezaliman, kecurangan, dan ketidakjujuran yang dirasa pihak-pihak yang terlibat, semuanya harus sama-sama rela dan adil sesuai takarannya. Maka, dari sisi ini transaksi yang terjadi akan merekatkan ukhuwah pihak-pihak yang terlibat;

“Bahwa dalam perkara a quo semestinya Muhal (Tergugat I) dan Muhal Alaih (Tergugat II) memberi kesempatan kepada Muhil (pihak berutang) dengan menerapkan prinsip dan asas ekonomi syariah demi menghindari transaksi yang diharamkan. Transaksi yang sesuai dengan prinsip ekonomi syariah adalah, adil, halal, dan tidak merugikan salah satu pihak. Prinsip tersebut sangat diridhai oleh Allah swt. Karena sesungguhnya segala hal yang mengandung unsur kemungkaran dan kemaksiatan adalah haram hukumnya. Selain itu, meninggalkan prinsip-prinsip tersebut akan banyak menimbulkan kemudharatan padahal dalam kaedah fikih ditegaskan bahwa menolak kemudharatan harus lebih didahulukan dari pada mengambil manfaat atau keuntungan;

“Bahwa transaksi hawalatul haq atau cassie yang terjadi dalam perkara a quo hanya sebatas mengganti shohibul maal saja, yaitu dari Muhal (Tergugat I) kepada Muhal Alaih (Tergugat II), kemudian nasabah diwajibkan untuk membayar da’in kepada Tergugat II. Atas dasar itu, Tergugat I dan Tergugat II perlu memaksimalkan usaha-usahanya untuk berkompromi dengan Penggugat agar sejalan dengan prinsip kejujuran dan kebenaran sebagaimana diatur dalam ekonomi syariah. Prinsip kejujuran dan kebenaran tersebut tercermin dalam setiap transaksi yang mengutamakan kepentingan sosial dan memiliki manfaat berdasarkan suka sama suka dan tidak ada unsur paksaan, serta tidak merugikan dan tidak pula mengandung riba;

“Bahwa transaksi hawalatul haq atau cessie harus memperhatikan prinsip keadilan, karena keadilan adalah suatu prinsip yang sangat penting dalam mekanisme ekonomi syariah. Bersikap adil dalam ekonomi tidak hanya didasarkan pada nash tetapi juga berdasarkan pada pertimbangan hukum alam. Alam diciptakan berdasarkan atas prinsip keseimbangan dan keadilan. Adil dalam transaksi hawalatul haq atau cessie dapat diterapkan dalam penentuan jumlah utang, kualitas akad pembiayaan, perlakuan terhadap nasabah, dan dampak yang timbul dari kebijakan shohibul maal (pemilik modal);

“Bahwa meskipun Muhal Alaih (Tergugat II) telah mencoba menawarkan kepada Muhil (pihak berutang) untuk membayar utang tersebut pada tanggal 11 Juni 2019, akan tetapi belum tercapai kesepakatan tentang jumlah utang yang berbeda antara Muhil (pihak berutang) dengan Muhal Alaih (Tergugat II). Oleh sebab itu, dalam perkara a quo Mahkamah Agung perlu memerintahkan Muhal (Tergugat I) dan Muhal Alaih (Tergugat II) untuk memberi kesempatan kepada Muhil (pihak berutang) selama 6 (enam) bulan untuk melunasi sisa utangnya sejak Putusan ini berkekuatan hukum tetap;

“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi, Drs. Cipto Sulistio, tersebut harus ditolak dengan perbaikan Putusan Pengadilan Tinggi Agama DKI Jakarta Nomor 88/Pdt.G/2020/PTA.JK. tanggal 14 Juli 2020 Masehi bertepatan dengan tanggal 22 Zulkaidah 1441 Hijriah, sehingga amarnya seperti yang akan disebutkan di bawah ini;

M E N G A D I L I :

- Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi, Drs. CIPTO SULISTIO, tersebut;

- Memperbaiki Putusan Pengadilan Tinggi Agama DKI Jakarta Nomor 88/Pdt.G/2020/PTA.JK. tanggal 14 Juli 2020 Masehi bertepatan dengan tanggal 22 Zulkaidah 1441 Hijriah, sehingga amar selengkapnya sebagai berikut:

- Menerima permohonan banding Pembanding;

- Membatalkan Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor 2616/Pdt.G/2019/PA.JT. tanggal 25 Februari 2020 Masehi bertepatan dengan tanggal 1 Rajab 1441 Hijriah, dengan mengadili sendiri:

Dalam Eksepsi

- Menolak eksepsi para Tergugat;

Dalam Provisi

- Menolak gugatan provisi Penggugat;

Dalam Pokok Perkara:

1. Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian;

2. Menghukum para Tergugat memberi kesempatan kepada Penggugat selama 6 (enam) bulan untuk melunasi sisa utangnya sesuai akad Hawalatul Haq / Cessie Nomor 45 tanggal 11 April 2018 terhitung sejak Putusan ini berkekuatan hukum tetap;

3. Menghukum para Tergugat atau siapa saja yang menguasai objek sengketa untuk menyerahkan alas hak objek sengketa kepada Penggugat setelah selesai pelunasan utang Hawalatul Haq / Cessie Nomor 45 tanggal 11 April 2018 tersebut;

4. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya;”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.

Konsultan Hukum HERY SHIETRA & PARTNERS