IQ Tiarap, namun Hendak Belajar Artificial Intelligence (AI)? Cara Paling Efektif MELUMPUHKAN OTAK

Otaknya Lemot, namun Diajarkan Artificial Intelligence = Matinya Sel-Sel Otak yang Sudah Tiarap namun Tambah TIarap

DISCLAIMER : Pembaca dapat Mengalami Demotivasi Hidup Setelah Membaca Artikel yang JUJUR namun HOROR Terkait Era AI Ini. Bila Anda Memilih untuk Hidup pada Dunia Mimpi “too Good to be True”, Jangan Baca Artikel Ini

Agar tampak seperti bangsa yang cerdas, para pemimpin bangsa kita secara gegabah memasukkan pelajaran mengenai AI (Artificial Intelligence, kecerdasan buatan) ke dalam kurikulum sekolah bagi para murid dan pelajar, bahkan yang mempromosikannya ialah selevel “wakil presiden”. Pertanyaan penulis cukup sederhana saja, yakni : memangnya, IQ (intellectual quotient) anak bangsa kita sudah tergolong cerdas? Itulah contoh kebijakan regulator, yang tidak berbasiskan pada data. Memasukkan pelajaran terkait AI ke dalam kurikulum formal sekolah, itu merupakan cara paling efektif dalam mematikan otak para anak bangsa generasi penerus kita—menjelma “petaka demografi ala generasi cemas”, alih-alih “bonus demografi ala generasi emas”.

Suatu regulasi maupun kebijakan, seyogianya terlebih dahulu membuat pemetaan mengenai AMDAS (analisis mengenai dampak sosial). Untuk itu, mari kta menengok latar-belakang kemampuan intelektual bangsa kita sendiri. Menurut World Population Review, rata-rata tingkat kecerdasan (IQ) orang Indonesia berada pada urutan 130 di tahun 2022 dari sekitar 199 negara di dunia, dengan skor IQ ialah 78, jauh dari memadai dan tidak dapat dibanggakan. Menurut sebuah lembaga riset, Indonesia hanya menempati peringkat 36 di Asia dengan rerata IQ 78,49. Sementara untuk peringkat dunia, Indonesia menempati peringkat 130 alias berada pada posisi yang sangat memprihatinkan, yakni “bontot”.

Saat daftar negara dipersempit jadi negara di Asia Tenggara, Indonesia menempati posisi buncit dari 9 negara (tidak ada data dari Brunei Darussalam dan Timor Leste). Negara di Asia Tenggara dengan IQ tertinggi ditempati Singapura (104,75), Vietnam (101,14) dan Malaysia (99,07). Skor IQ dinilai rendah saat berada di angka 70 ke bawah, dan skor 70 menjadi indikator “disabilitas intelektual”—dimana itu hanya terpaut 8,49 point dari skor IQ manusia “Made in Indonesia”. Sementara itu, seseorang akan dianggap jenius jika memiliki skor IQ mencapai 140. Bila menurut Anda, fakta yang diungkap dari data tersebut, belum cukup mencemaskan, maka tendensi atau kecenderungannya tingkat IQ bangsa Indonesia akan kian merosot saat otak anak bangsa kita lebih banyak mengandalkan AI dalam kesehariannya.

Orang-orang zaman dahulu (pada era “manual”), dipaksa dan terpaksa memiliki memori yang kuat, bahkan mampu mengingat nomor-nomor telepon kontak kerabatnya. Kini, di era digital, nomor-nomor seluler tersimpan dalam aplikasi kontak di gadget kita. Otak kita mulai dilemahkan dan terbiasa menjadi “malas”, ketika kita mulai bergantung kepada kecanggihan teknologi, dan itulah “harga yang harus kita bayarkan” sebagai seorang pengguna kecanggihan teknologi. Kecanggihan teknologi berbasis AI, sebenarnya hanya bermanfaat kepada mereka yang tidak memiliki tatenta memadai pada suatu bidang. Semisal, Anda tidak bertalenta melukis, dimana sebanyak apapun Anda belajar melukis, hasilnya selalu tidak optimal. Sebaliknya, ketika talenta Anda justru ialah menggambar, dan Anda justru selama ini bergantung atau mengandalkan aplikasi membuat lukisan berbasis “AI generative”, maka itu menjadi hari “kiamat” bagi profesi Anda dikemudian hari. Proses pembelajaran di sekolah, sebenarnya harus steril dari aplikasi berbasis AI, atas alasan apakah? Agar para murid mampu menggali potensi dirinya, hingga timbul talenda paling menonjol dalam diri mereka, yang bisa mereka asah sebagai investasi penopang hidup bagi diri mereka dimasa depan dan mengandalkannya untuk bertahan hidup.

Sebenarnya, adalah mustahil mengajarkan AI kepada anak bangku sekolah. AI, adalah urusan / perihal “coding”, dimana butuh talenta khusus untuk itu, yang mana sifatnya tidak dapat dipaksakan. Yang selama ini digunakan oleh kebanyakan orang dewasa ini, bukanlah AI, namun “Generative AI”, alias menghasilkan suatu karya, baik itu berupa naskah, gambar, video, proses editing, suara, dsb, berbasis aplikasi AI. Sehingga, praktis dalam tataran praktiknya di lapangan nantinya, para pelajar di bangku sekolah diajarkan untuk sekadar menjadi pengguna alias konsumen (user), bukan sebagai produsen aplikasi AI. Alih-alih memotivasi kreativitas, berbagai aplikasi AI mampu mematikan serta meredupkan semangat untuk berkreativitas maupun berinovasi.

Katakanlah satu kelas terdiri dari 25 orang siswa. Kepada sang siswa, diajarkan aplikasi AI untuk membuat narasi, resume, puisi, musik, video, gambar, dsb. Apakah hal tersebut, mampu memantik semangat kreativitas di benak sang siswa? Para murid akan mulai berpikir sebaliknya, berupa pertanyaan kritis mengenai hidup kepada dirinya sendiri, sebagai berikut : “Untuk apa saya repot-repot membuat suatu karya, toh hasil output-nya semua sama. Semua murid bisa memasukkan ‘promt’ ke aplikasi AI, sehingga semua hasilnya akan sama saja untuk semua siswa. Lalu, bagaimana kami bisa saling berkompetisi?Aplikasi berbasis AI, membuat para pemakainya menyerah kepada kenyataan mengenai kondisi otak mereka yang “lemot”, dan akan mulai bergantung serta kecanduan pada aplikasi berbasis AI untuk proses berpikir, analisa, maupun berkreasi.

Proses belajar, selalu menyakitkan. No pain, no gain. begitulah sel-sel otak kita berkembang. Cara paling efektif mematikan sel-sel otak Anda ialah, proses yang berjalan sebaliknya. Bila Anda seorang pembelajar bela diri, pertama-tama Anda belajar teknik mendasar yang paling dasar, alias paling “basic”, semisal posisi “kuda-kuda” untuk jangka waktu yang begitu lama dan panjang prosesnya, disamping melelahkan dan menyakitkan. Seseorang, menjadi “maestro” lewat serangkaian proses, setahap demi setahap. Tidak ada jalan pintas semacam “karbitan”. Sadahkah Anda, bahaya laten dibalik aplikasi berbasis “Ai generative” demikian? Kini, mari kita masuk ke dalam alam bawah sadar sang murid, yang membuat dialog sebagai berikut di dalam benaknya ketika terpapar oleh berbagai aplikasi berbasis “AI generative”, sungguh fatal sifatnya:

“Untuk apa saya belajar untuk menjadi pintar, sudah ada AI? Lebih baik saya langsung menyerah saja, tidak ada harapan untuk saya.”

“Otak saya tidak memungkinkan saya untuk bersaing melawan AI. Lebih baik saya langsung menyerah sebelum berperang.”

“Semua orang bisa memakai aplikasi AI yang sama. Jutaan orang diluar sana juga bisa menggunakan aplikasi Ai yang sama. Lebih baik saya menyerah pasrah saja kepada nasib, beruntung bila bisa menikahi orang kaya atau menang lotere.”

“Guru di sekolah saja mempromosikan KECERDASAN BUATAN, alih-alih melatih otak alami di dalam tempurung kepala kami. Artinya, guru kami telah memberi teladan untuk seketika menyerah terhadap kondisi otak kami yang ‘lemot’ dan IQ-nya hanya mentok di angka skor 78.”

“Guru di sekolah telah MEMVONIS MATI otak kami, bahkan sebelum otak kami berkembang secara sempurna, dengan meminta kami menyerah dengan mulai mengandalkan AI alih-alih otak kami sendiri.”

“Guru di sekolah sudah menyerah untuk mampu meningkatkan skor IQ bangsa yang hanya terpatok di angka 78, lalu jalan pintas di mata mereka ialah melakukan implan AI ke otak murid-murid mereka, agar kelihatan cerdas.”

“Sudah ada AI, untuk apa lagi kami repot-repot melatih otak kami? Itulah yang ingin disampaikan oleh guru kami.”

“Guru dan dosen saya saja, jauh lebih bodoh daripada AI. Guru saya lebih baik masuk ‘tong sampah’ saja.”

“Einstein saja kalah pintar dengan AI. Tidak usahlah jadi bangsa pemimpi, mimpi kami sudah dirampas oleh AI dan kini mimpi tersebut sudah dikubur dalam-dalam. Kami bahkan sudah tidak lagi berani untuk memimpikan masa depan.”

Bagaikan terperangkap dalam jaring laba-laba atau ruang gelap yang sempit dan menyesakkan, anak-anak muda generasi penerus kita yang malang—disebut “malang” karena lahir pada era disrupsi AI, dan mereka patut merasa “cemburu” kepada orangtua generasi sebelum mereka dimana AI belum banyak berkembang seperti dewasa ini—akan menemui kondisi dimana lapangan pekerjaan semakin langka, bahkan jauh lebih langka daripada mencari logam mulia yang dapat kita jumpai kios-kios penjualannya di pasar tradisional sekalipun. Simak dialog antara seorang pengusaha dan seorang pelamar pencari kerja berikut:

“Oh, kamu mencari lowongan pekerjaan? Memangnya kamu lebih cerdas daripada AI?”

“Tidak.”

“Mohon maaf, saya hanya mencari pekerja manusia yang bisa lebih cerdas, lebih efisien, lebih produktif, dan lebih kreatif daripada AI.”

“Itu mustahil.”

“Kalau begitu, untuk apa juga saya mempekerjakan dan menggaji kamu?”

“Terdengar masuk akal. Tapi saya bisa menggunakan aplikasi AI untuk melaksanakan pekerjaan yang ditugaskan kepada saya oleh majikan.”

“Saya juga bisa mengakses aplikasi Ai, jadi buat apa saya mempekerjakan kamu? Saya juga bisa membeli robot humanoid, lalu saya instal aplikasi AI agar robot itu mampu beroperasi secara cerdas, jadi bisa menggantikan peran koki untuk memasak, menggantikan peran pelayan, dan sebagainya.”

“Saya bersedia tidak menuntut upah lembur, tanpa libur, juga tidak akan menuntut pesangon saat pensiun.”

“Robot AI saya bahkan bisa bekerja 24 dalam sehari, hanya perlu listrik dan minyak pelumas. Mampu memproduksi secara presisi dan produktif berkali-kali lebih banyak daripada tangan pekerja manusia paling terampil sekalipun.”

“...”

“Robot AI saya bahkan tidak akan sakit. Jika sakit, cukup diganti onderdilnya dan kembali produktif. Jika mesin robot AI-nya mengalami amortasi, akan saya upgrade dengan beli mesin robot AI terbaru yang lebih canggih dan lebih produktif agar bisa memproduksi secara massal.”

“Ayolah, saya butuh pekerjaan dan saya bisa menguasai berbagai bidang, buat naskah, video, foto, desain, dsb. Pakai aplikasi AI, tentunya.”

“Itu, jutaan orang di belakang mu juga antri cari pekerjaan, dan mereka semua juga bisa mengakses aplikasi Ai yang tadi kamu sebutkan. Lalu, apa bedanya kamu dengan mereka? Apa ‘comparative advantage’ kamu, dibanding jutaan orang calon pencari kerja lainnya?”

“Jadi, saya musti bagaimana?”

“Kamu mungkin memang cerdas dan pekerja keras. Namun salahkah saja orangtua yang telah melahirkan kamu di era yang salah ini. ini bukan era di mana ‘banyak anak, banyak rezeki’.”

“...”

“Terus, buat apa kamu repot-repot dan bersusah-payah bersekolah dengan biaya mahal sampai perguruan tinggi? Memangnya kamu kini bisa jadi lebih cerdas daripada AI-AI yang tadi kamu sebutkan? Memangnya guru maupun dosen kamu, lebih cerdas daripada AI?”

“Tidak, tetap saja saya tergantung dan bergantung alias mengandalkan AI, karena saya tidak mampu melampaui kemampuan dan efisiensi AI. Dosen dan guru saya pun tidak lebih cerdas daripada AI.”

“Salah siapa, kalau sudah tahu begitu? Mengapa memaksakan diri belajar begitu susah-payah dan membayar mahal uang sekolah maupun uang kuliah, jika seorang manusia tidak mungkin menang melawan AI?”

“Ai diciptakan untuk membantu manusia, bukan untuk menggantikan manusia.”

“Yang namanya pekerja, dipekerjakan karena sang majikan butuh dibantu dan bantuan sang pekerja. Jika kini sudah bisa dibantu oleh AI, untuk apa lagi mempekerjakan pekerja manusia?”

“Benar juga.”

“Coba sekarang saya tanya kamu. Kamu merasa lebih semangat untuk belajar, ataukah sebaliknya, merasa lebih malas untuk belajar, setelah kamu mengenal dan terpapar oleh berbagai aplikasi AI sebagai penggunanya sehingga ketergantungan?”

“Jadi, itu salah saya sendiri, karena selama ini memakai aplikasi AI?”

“Jangan tanya saya, justru saya yang sedang bertanya kepada kamu.”

“Coba, saya tanyakan dulu pertanyaan itu ke aplikasi Chat AI saya di handphone milik saya ini.”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.

Konsultan Hukum HERY SHIETRA & PARTNERS