(DROP DOWN MENU)

Menjadi Seorang Korban, Merugi di Dunia Manusia dan di Akherat

ARTIKEL HUKUM

Figur Tuhan lewat Keyakinan Keagamaan Dilukiskan Lebih Pro terhadap Pelaku Kejahatan, Memberi Keistimewaan Karpet Merah Menuju Surga bagi Pendosa, Bernama Penghapusan / Penebusan Dosa, Merusak Moralitas Humanis Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Tuhanis Menjelma Premanis

Menjadi KORBAN ialah TABU dan RUGI. Sementara Penjahat Patut Bersyukur, Untung di Dunia dan di Akherat

Beragam Keyakinan keagamaan lewat sosok pencitraan Ketuhanan yang semestinya dan seyogianya lebih beradab, lebih agung, lebih adil, lebih suci, dan lebih mulia daripada manusia yang paling “humanis” sekalipun, yakni berkarakter “Tuhanis”, bukan justru diilustrasikan memiliki sifat lebih biadab daripada seorang “hewanis”. Betapa tidak, tanpa menyadari bahwa berbagai ideologi dalam agama-agama besar yang dikenal manusia modern seperti sekarang ini, terjadi penistaan terhadap figur Tuhan yang semestinya agung tanpa cacat cela dan tanpa personifikasi layaknya seorang manusia yang masih dapat marah, penuh benci, dengki, pendendam, kasar, haus darah, intoleran, pemaki, penghujat, bersifat permusuhan, penghasut, provokator, menginginkan, bisa senang bila disembah, belum terpuaskan karenanya menginginkan dan menuntut sujud, mengancam lewat pamer kekuasaan dan kekuatan, mencoba-cobai manusia seolah umur umat manusia belum setua umur Planet Bumi dan seolah-olah Tuhan tidak benar-benar “Maha Tahu” ciptaannya sendiri, dengan buas dan beringas memasukkan ciptaannya yang tidak berdaya diciptakan sebagaimana apa adanya lengkap dengan segala ketidak-sempurnaannya kemudian dijebloskan ke dalam alam neraka, sebuah alam yang menjadi monumen simbolik kegagalan Tuhan dalam proses penciptaan-Nya itu sendiri alias “menampar wajah sendiri”—menjelma penggambaran sosok Tuhan yang diktator menyerupai seorang raja yang lalim dan otoriter gila kekuasaan dan haus kedudukan yang “lebih Hitler daripada Hitler”, sang narsistik.

Namun segala penistaan dan penghinaan terhadap keagungan sosok Tuhan tersebut di atas, belum sebanding dengan ideologi keagamaan yang mengajarkan iming-iming bernama “penghapusan dosa” ataupun “penebusan dosa” sebagaimana diperkenalkan dan ditawarkan oleh beberapa keyakinan keagamaan besar yang ternyata mendapat sambutan serta diminati oleh banyak para pelaku kejahatan yang tangannya berlumuran darah dan dosa. Ada “demand”, maka ada “supply”. Ada orang-orang jahat yang berdosa, maka ada tawaran iming-iming “penghapusan dosa”. Atau, bisa juga kita sebutkan secara terbalik, ada “supply” maka ada “demand”. Ada tawaran iming-iming “penghapusan dosa”, maka akan ada tercipta orang-orang jahat yang berbuat dosa.

Ketika seorang hakim di pengadilan, dalam memutus suatu perkara yang dihadapkan kepadanya untuk diperiksa dan dijatuhkan vonis hukuman secara “adil”, menggunakan irah-irah yang dilekatkan pada kepala dari dokumen putusan : “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Menjadi pertanyaan menarik disini, “keadilan” semacam apakah di mata Tuhan maupun Ketuhanan? Tuhan Maha Pemurah juga Pemaaf. Lagi-lagi yang menjadi pertanyaan, siapakah yang membuat kalimat klise demikian, bahwa Tuhan adalah “Maha Pemurah juga Pemaaf”? Keadilan dari siapa dan bagi siapa pula? Hanya korban yang butuh keadilan, sementara pelaku kejahatan butuh diadili (dihukum) secara setimpal sesuai kejahatannya.

Perspektif yang kental nuansa “koruptif” demikian dapat dengan mudah disalah-gunakan oleh para pelaku kejahatan untuk kembali mendiskreditkan pihak korban, yang telah “jatuh namun tertimpa tangga pula” dengan dibebaskannya sang pelaku kejahatan dari vonis hukuman apapun, tanpa sanksi yang membuat jera, sehingga kembali menjadi residivis dengan terus-menerus melukai dan merugikan para korbannya yang kian hari kian berjatuhan dan bertumbangan satu per satu menjadi seolah “mangsa empuk” sang predator yang ternyata juga “kanibal” dengan memakan sesama manusia—semata karena hukum negara maupun hukum agama tidak mampu melindungi sosok-sosok rapuh serta rentan “dimangsa” dan “termangsa”-nya seorang korban, yang selama ini memang kecenderungan praktik dan ajaran “keagamaan samawi” ialah lebih berpihak dan pro terhadap pelaku kejahatan yang berdosa.

Itulah juga sebabnya, korban adalah pihak yang hanya dapat “gigit jari”, merugi karena dikorbankan dan menjadi korban, disudutkan pula lewat stigma masyarakat bahwa menjadi korban ialah tabu, semisal menyatakan jeritan korban sebagai “tidak sopan”, kritikan keras korban dipandang sebagai “sudah tidak waras karena menjerit-jerit akibat merasakan kesakitan” sementara sang pelaku kejahatan tidak dikritik sama sekali oleh masyarakat kita yang gemar hanya menonton dan asyik menyaksikan tontontan kebiadaban penuh pertumpahan darah sebelum kemudian melakukan komentar “penghakiman” terhadap korban—seolah-olah Tuhan membutuhkan semua pertumpahan darah demikian, lagi-lagi suatu penistaan terhadap keagungan sosok Tuhan yang (semestinya) bersih dari segala noda ataupun cela—yang artinya ajaran keagamaan yang selama ini lebih pro dan berpihak pada para pendosa yang menjadi pelaku kejahatan, berimbas secara tidak langsung terhadap mentalitas para manusia yang menjadi umatnya, sehingga menjelma umat manusia yang lebih pro terhadap pelaku kejahatan ketimbang menaruh simpatik (terlebih diharapkan mampu ber-empati) terhadap perasaan, posisi, dan kedudukan yang lemah tertindas dari kaum korban yang hanya dapat sebatang kara melindungi diri serta memperjuangkan nasibnya dalam kebisuan akibat terbungkam oleh sang pelaku, oleh warga penonton yang berkomentar, serta oleh keyakinan keagamaan itu sendiri.

Bila keyakinan keagamaan tidak menawarkan keadilan bagi pihak korban, maka bagaimana dengan hukum negara? Apakah hukum negara harus tunduk terhadap supremasi dan diktatoriat hukum agama yang jelas-jelas lebih pro terhadap pendosa yang notabene pelaku kejahatan yang meng-kurbankan para korbannya yang tidak bersalah dan tidak berdaya? Bila tiada keadilan bagi pihak korban di dunia manusia, tidak terkecuali tiada pula keadilan si surga bagi pihak korban yang ditawarkan oleh keyakinan keagamaan mengingat para pendosa diberikan keistimewaan berupa “karpet merah” bernama iming-iming “tiket jaminan masuk surga” bernama ideologi “penghapusan / penebusan dosa”—yang tampaknya, semakin berdosa seseorang umatnya, akan semakin terobsesi bagi dirinya untuk memeluk dan meyakini secara membuta iming-iming keagamaan demikian, sekalipun itu juga artinya tiada lagi “jalan mundur”.

Bila kita berspekulasi bahwa baik sang korban maupun sang pelaku kejahatan yang berlumuran dosa, keduanya sama-sama dimasukkan ke surga oleh Tuhan yang “Maha Pemurah”, maka itu sama artinya menjelma “Bumi versi kedua”, dimana adegan mengerikan yang serupa di Bumi akan kembali terulang, yang mana sang korban ketika menjadi penghuni alam surgawi akan kembali dikorbankan, dilukai, disakiti, dirugikan, dan ditumbalkan oleh sang pendosa pelaku kejahatan yang kembali menjadi tetangga sang korban di alam surgawi. Surga, karenanya, perlu kita redefinisi sebagai “medan perang jilid kedua”.

Ke alam manakah sang korban akan menuju, ketika kembali ditewaskan dan mati terbunuh di alam dewata oleh sang pelaku kejahatan yang berdosa dan entah bagamana pendosa yang kotor dapat bersatu dengan Tuhan di surga yang suci bersih? Sungguh ajaran keyakinan keagamaan tampaknya mencoba berkelit untuk menjawab pertanyaan mendasar demikian, dan lebih sibuk mengumbar kesenangan duniawi (wordly pleasure, di surga?) yang ekstrim sifatnya (dan patut disensor), yang entah bagaimana muncul sebagai episode paling ditunggu-tunggu bagi para umatnya yang hendak masuk menuju alam surgawi. Tidak akan kita temukan jawaban memuaskan pada ideologi yang sangat melukai nurani keadilan manusia “humanis”, ketika penjahat pelaku kejahatan justru lebih di-anak-emas-kan oleh sosok sesuci dan sebersih serta seagung Tuhan di alam surga, sementara korban di-anak-tiri-kan.

Bila kita meyakini bahwa hukum agama lebih tinggi derajatnya daripada hukum negara—dimana tidak sedikit kalangan yang “agamais” membuat pernyataan demikian secara tegas dan keras, penuh percaya diri tanpa setitik pun keraguan—maka itu artinya hukum negara kita telah demikian menyimpang dari hukum agama, karena fakta realitanya berbagai penjara kita selalu dipenuhi para narapidana yang dijebloskan ke dalam balik jeruji sel akibat divonis hukuman dan menjalani masa hukuman hakim pengadilan, pengadilan tidak pernah sepi dari hakim yang menjatuhan vonis-vonis hukuman bagi para pelaku kejahatan. Menjadi mengherankan pula ketika keyakinan keagamaan menyebut-nyebutkan perihal “neraka jahanam” lengkap dengan segala kutukan dari “Tuhan”, sementara itu disaat bersamaan Tuhan bergelar “Maha Pemurah juga Penyayang”.

Karena itulah, menjadi atau diposisikan sebagai seorang korban, bukanlah sebuah opsi yang dapat dipilih, namun sebuah kerugian, rugi dan merugi baik di dunia manusia maupun di akherat. Agama-agama samawi tidak pernah pro terhadap korban, namun selalu kompromistis terhadap kejahatan dan pelaku kejahatan yang kedua tangannya berlumuran dosa. Terbukti, cobalah simak ketika tempat ibadah lewat pengeras suaranya yang berdesibel tinggi menyakitkan gendang telinga, mengumandangkan dengan penuh kebanggaan dan percaya diri (tanpa terbersit rasa malu sedikitpun ketika membuat pengumuman yang membahana dapat didengarkan para penduduk setempat dalam radius beberapa kilometer), dalam setiap mimbar ceramah atau saat pengumuman yang norak-narsistik perihal kematian seseorang umatnya, yang diselipkan kalimat berikut secara berulang kali “Semoga dosa-dosa kita / almarhum diampuni dan dihapus oleh Tuhan”. Enak di pelaku, tidak enak di korban.

Bila ajaran agama samawi nyatanya demikian pro terhadap pelaku kejahatan yang berdosa, tidak mengherankan bila secara sosiologis-kemasyarakatan, warga masyarakat kita di Indonesia menjelma menjadi demikian pro terhadap pelaku kejahatan yang semestinya dicela dan tercela, justru alih-alih bersikap adil dan “humanis”, masyarakat kita demikian “Tuhanis” dengan menyalahkan korban, mengkritik korban, menghujat korban sebagai “tidak sopan” karena menjerit kesakitan dan melakukan protes keras ketika disakiti dan diperlakukan secara tidak patut, turut mendiskreditkan korban, sama sekali tanpa mencela ataupun mengkritik perilaku sang pelaku kejahatan yang telah melakukan dosa dengan melukai dan menyakiti ataupun merugikan korbannya, hingga menyepelekan perasaan derita dan kerugian maupun luka yang dialami korban. Itulah sebabnya, menjadi korban ditengah-tengah masyarakat yang dikuasai atau dibawah pengaruh ideologi “penghapusan / penebusan dosa”, adalah hal yang tabu.

Kabar baiknya, disaat bersamaan, para pelaku kejahatan dapat merasa tenang melanjutkan aksi kejahatannya, menimbun diri dengan segunung timbunan dosa-dosa baru, tanpa merasa malu ataupun takut akan ancaman sanksi hukumannya—segala dosa akan dihapus, atau bahkan juga telah ditebus jauh sebelum perbuatan jahat berdosa dilakukan oleh sang penjahat yang berlumuran dosa pada kedua telapak tangan dan isi otak di dalam kepalanya. Kabar baik bagi siapa, bila bukan bagi kalangan bermental dan berotak penjahat yang penuh dengan dosa dan gagasan-gagasan penuh kejahatan? Menyembah Tuhan, menjadi menjelma menyembah dan menjadi pengikut ideologi “penghapusan / penebusan dosa”, oleh sebab keduanya tidak dapat saling dipisahkan secara saling komplomenter.

Menjadi pula patut kita curigai, yang sebenarnya dicintai oleh para umatnya bukanlah sosok “Tuhan” yang demikian menakutkan—karena sosok “Tuhan” digambarkan memiliki sifat diktator, dapat sewaktu-waktu murka memamerkan kekuasaannya mengutuk serta dalam membuat sengsara dan derita umat manusia—namun yang selama ini di-”buru” serta disenangi ataupun diharapkan oleh para umatnya tidak lain ialah iming-iming “penghapusan / penebusan dosa” lengkap dengan segala “wordly pleasure” di surga yang penggambarannya demikian seronok bahkan patut di-sensor secara keras. Bukankah surga semestinya “heavenly pleasure”, seperti aktivitas ber-meditasi, alih-alih bersetubuh tiada usai serta tiada faedahnya?

Bila kita betul-betul meyakini yang sebaliknya, yakni prinsip meritokrasi serta Hukum Karma, maka tiada ruang kecurangan yang terbuka untuk disalah-gunakan terlebih praktik “yang kuat memakan yang lemah”. Surga, hanya diperuntukkan dan menjadi monopoli orang-orang yang baik, suci, dan tanpa cacat cela ataupun noda apapun. Sebaliknya, neraka, dimonopoli para penyembah dosa, alias kaum pendosa. Dalam dunia pendidikan Kita diajarkan menjadi seseorang yang adil, dalam artian memberikan “reward” maupun “punishment” secara tepat terhadap orang yang tepat, bagi perilaku yang tepat, dan waktu waktu yang tepat.

Yang bersalah, diadili dengan cara dihukum. Yang benar, dibela dan dilindungi. Korban, berhak atas keadilan serta diberikan akses selebar mungkin untuk mendapatkan keadilan. Itulah, yang disebut hakim berjiwa Tuhan yang adil dan patut dihormati oleh para pencari keadilan. Bagaimana mungkin, Tuhan kalah adil terhadap seorang hakim manusia di dunia para manusia, sekalipun hakim hanyalah “wakil (dari) Tuhan”? Tidak ada jawaban yang lebih logis serta rasional, bahwa ideologi iming-iming yang “too good to be true” semacam “penghapusan / penebusan dosa” adalah semu alias fiktif belaka yang kelewat imajinatif sekaligus menyesatkan karena merusak serta menggeser “standar moralitas” umat manusia.

Senyatanya, hanya Hukum Karma yang memenuhi kriteria prinsip meritokrasi. Itulah sebabnya, sebagian besar penduduk muka Bumi ini tidak pernah berpihak ataupun menaruh simpatik terhadap kebenaran Hukum Karma, bahkan ada kecenderungan untuk menafikannya—termasuk mencoba menafikan Hukum Alam, seolah-olah api dapat bersatu dengan air, seolah-olah yang kotor dapat bersatu dengan yang suci bersih di surga, seolah-olah sejarah dapat dihapus dan dipungkiri.

Faktanya, Tuhan menciptakan otak pada manusia untuk dipakai dan digunakan secara optimal, bukan untuk dinegasikan dan dicampakkan ke dalam tong sampah. Hati, faktanya pula, terletak pula di otak, bukan di jantung ataupun di organ lever dalam dada dan di dalam perut kita, sama seperti indera pengecapan yang mampu mengecap rasa sesungguhnya ialah organ otak kita yang berfungsi untuk berpikir mengolah impuls-impuls informasi, menerjemahkannya, dan menalar korelasinya.

Ketika kita membuang jauh-jauh fungsi otak untuk berpikir, jadilah kita seekor hewan primata yang tidak jauh berbeda dengan simpanse ataupun orangutan dan gorilla “Kingkong” bertubuh bongsor besar namun minim kapasitas otak—bahkan dihuni oleh sarang laba-laba akibat dibiarkan kosong ditelantarkan. Sebaliknya, kontras dengan ajaran agama samawi, dalam Hukum Karma, pelaku kejahatanlah yang (semestinya) paling takut berbuat kejahatan, karena itu sama artinya menanam benih karma buruk yang akan ia dirinya sendiri warisi dan petik di masa mendatang saat buah pahitnya masak, perbuatan besar maupun kecil, akan berbuah dalam tingkat kepastian yang pasti.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.