(DROP DOWN MENU)

Kesempatan yang Paling Aman bagi Korban Pelapor untuk Berdamai / Menerima Tawaran Damai dengan pihak Terlapor / Tersangka / Terdakwa

Jangan Berdamai dengan Terlapor yang Berstatus sebagai Tersangka yang Ditahan di Rumah Tahanan Penyidik, namun Buka Peluang Berdamai saat Proses Penuntutan yang Difasilitasi oleh Penuntut Umum

Question: Apakah memungkinkan, laporan pidana sewaktu-waktu dicabut oleh korban pelapor, sekalipun terlapor sudah ditangkap dan ditahap untuk diproses hukum? Bagaimana jika nantinya antara korban dan pelaku saling bersepakat untuk berdamai dengan sejumlah ganti-rugi, namun pelaku justru ingkar janji untuk membayar ganti-rugi setelah dilepaskan oleh aparatur penegak hukum karena sudah mendapatkan surat perdamaian ataupun karena laporan pidananya dicabut oleh korban? Kami takut tertipu dua kali oleh si pelaku yang kami laporkan ini.

Brief Answer: Dahulu kala, kerap terjadi kondisi dimana seorang Terlapor / Tersangka / Terdakwa menipu korbannya untuk kali keduanya, dengan menawarkan perdamaian dengan pihak Korban Pelapor, namun setelah si pelaku dilepaskan dari tahanan dengan berbekal atau bermodalkan Akta Perdamaian, sang pelaku justru cidera janji (wanprestasi) untuk merealisasikan apa yang telah disepakati atau ia janjikan dalam Akta Perdamaian, alias sekadar kembali mengiming-imingi tanpa konkretisasi. Namun demikian, saat kini modus demikian telah dibatasi atau dipagari rambu-rambu berupa koridor hukum, terutama ketika seorang Tersangka akan dijadikan seorang Terdakwa dalam proses penuntutan oleh pihak Kejaksaan.

Bercermin dari banyaknya pengalaman buruk kalangan Korban Pelapor yang tertipu untuk kali keduanya atas modus “licik” kalangan Terlapor / Tersangka, maka SHIETRA & PARTNERS tidak merekomendasikan pihak Korban Pelapor untuk membuat perdamaian atau kesepakatan apapun dengan pihak Terlapor saat proses penahanan oleh pihak penyidik dilakukan alias saat Terlapor berstatus sebagai Tersangka. Adapun momentum terbukanya ruang kesempatan yang lebih aman bagi kepentingan hukum pihak Korban untuk bernegosiasi dan bersepakat dalam rangka berdamai antara Pelapor dan Terlapor, yakni saat pihak penyidik melimpahkan berkas perkara maupun pihak Tersangka kepada pihak Kejaksaan untuk diproses penuntutan, disertai persyaratan berupa:

a. telah ada pemulihan kembali pada keadaan semula yang dilakukan oleh Tersangka dengan cara:

1. mengembalikan barang yang diperoleh dari tindak pidana kepada Korban;

2. mengganti kerugian Korban;

3. mengganti biaya yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana; dan/atau memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana;

b. telah ada kesepakatan perdamaian antara Korban dan Tersangka.

Penuntut Umum menawarkan upaya perdamaian kepada Korban dan Tersangka, dilakukan tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi—upaya perdamaian mana dilakukan pada tahap penuntutan, yaitu pada saat penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti. Dalam hal upaya perdamaian diterima oleh Korban dan Tersangka, maka dilanjutkan dengan proses perdamaian yang diselenggarakan secara sukarela, dengan musyawarah untuk mufakat, bebas dari tekanan, paksaan, maupun intimidasi, dimana pihak Penuntut Umum berperan sebagai fasilitator serta dilaksanakan di kantor Kejaksaan.

Proses perdamaian dan pemenuhan kewajiban dilaksanakan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak penyerahan tanggung jawab atas Tersangka dan barang bukti diterima pihak Kejaksaan. Dalam hal proses perdamaian tercapai, Korban dan Tersangka membuat kesepakatan perdamaian secara tertulis di hadapan Penuntut Umum, kesepakatan perdamaian mana berupa:

a. sepakat berdamai disertai pemenuhan kewajiban tertentu; atau

b. sepakat berdamai tanpa disertai pemenuhan kewajiban tertentu.

Kesepakatan perdamaian ditandatangani oleh Korban, Tersangka, dan 2 (dua) orang saksi dengan diketahui oleh Penuntut Umum. Dalam hal kesepakatan perdamaian disertai pemenuhan kewajiban, Penuntut Umum membuat berita acara kesepakatan perdamaian dan nota pendapat setelah pemenuhan kewajiban dilakukan. Sementara itu dalam hal kesepakatan perdamaian tanpa disertai pemenuhan kewajiban, Penuntut Umum membuat berita acara kesepakatan perdamaian dan nota pendapat. Dalam hal kesepakatan perdamaian tidak berhasil atau pemenuhan kewajiban tidak dilaksanakan sesual kesepakatan perdamaian maka Penuntut Umum:

a. menuangkan tidak tercapainya kesepakatan perdamaian dalam berita acara;

b. membuat nota pendapat bahwa perkara dilimpahkan ke pengadilan dengan menyebutkan alasannya; dan

c. melimpahkan berkas perkara ke pengadilan.

Dalam hal kesepakatan perdamaian tidak berhasil, oleh sebab permintaan pemenuhan kewajiban yang tidak proporsional dari pihak Pelapor, ancaman atau intimidasi, sentimen, perlakuan diskriminatif atau pelecehan berdasarkan kesukuan, agama, ras, kebangsaan, atau golongan tertentu terhadap Tersangka yang beritikad baik, maka dapat dijadikan pertimbangan bagi Penuntut Umum dalam melakukan penuntutan—pertimbangan mana juga berlaku dalam hal pemenuhan kewajiban tidak dilaksanakan sesuai kesepakatan perdamaian karena faktor ekonomi atau alasan lain namun disertai dengan adanya itikad baik dari pihak pribadi Tersangka—salah satunya dijadikan pertimbangan yang meringankan ketika Jaksa mengajukan tuntutan pidana terhadap pihak Terdakwa

Dalam hal upaya perdamaian atau proses perdamaian terdapat tekanan, paksaan, dan intimidasi dari Korban, Tersangka, dan/atau pihak lain, Penuntut Umum menghentikan upaya perdamaian atau proses perdamaian. Dalam hal Tersangka ditahan dan terhadap perkaranya dilakukan penghentian penuntutan oleh pihak Kejaksaan berdasarkan perdamaian yang telah disepakati serta terjadi secara tuntas oleh pihak Pelapor dan Terlapor, Penuntut Umum segera membebaskan Tersangka setelah Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan dikeluarkan.

PEMBAHASAN:

PERATURAN KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 15 TAHUN 2020

TENTANG PENGHENTIAN PENUNTUTAN BERDASARKAN KEADILAN  RESTORATIF

Menimbang :

a. bahwa Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus mampu mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan, dan kebenaran berdasarkan hukum dan mengindahkan norma keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan, serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum, dan keadilan yang hidup dalam masyarakat;

b. bahwa penyelesaian perkara tindak pidana dengan mengedepankan keadilan restoratif yang menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan keseimbangan perlindungan dan kepentingan korban dan pelaku tindak pidana yang tidak berorientasi pada pembalasan merupakan suatu kebutuhan hukum masyarakat dan sebuah mekanisme yang harus dibangun dalam pelaksanaan kewenangan penuntutan dan pembaharuan sistem peradilan pidana;

c. bahwa Jaksa Agung bertugas dan berwenang mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh Undang-Undang dengan memperhatikan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan, serta menetapkan dan merumuskan kebijakan penanganan perkara untuk keberhasilan penuntutan yang dilaksanakan secara independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani, termasuk penuntutan dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, periu menetapkan Peraturan Kejaksaan tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif;

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Kejaksaan ini yang dimaksud dengan:

1. Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, Korban, keluarga pelaku / Korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.

2. Korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.

3. Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

4. Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.

Pasal 2

Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dilaksanakan dengan berasaskan:

a. keadilan;

b. kepentingan umum;

c. proporsionalitas;

d. pidana sebagai jalan terakhir; dan

e. cepat, sederhana, dan biaya ringan.

BAB II

PENUTUPAN PERKARA DEMI KEPENTINGAN HUKUM

Pasal 3

(1) Penuntut Umum berwenang menutup perkara demi kepentingan hukum.

(2) Penutupan perkara demi kepentingan hukum dilakukan dalam hal:

a. terdakwa meninggal dunia;

b. kedaluwarsa penuntutan pidana;

c. telah ada putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap seseorang atas perkara yang sama (nebis in idem);

d. pengaduan untuk tindak pidana aduan dicabut atau ditarik kembali; atau

e. telah ada penyelesaian perkara di luar pengadilan (afdoening buiten process).

(3) Penyelesaian perkara di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e dapat dilakukan dengan ketentuan:

a. untuk tindak pidana tertentu, maksimum pidana denda dibayar dengan sukarela sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau

b. telah ada pemulihan kembali keadaan semula dengan menggunakan pendekatan Keadilan Restoratif.

(4) Penyelesaian perkara di luar pengadilan dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b menghentikan penuntutan.

(5) Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan oleh Penuntut Umum secara bertanggung jawab dan diajukan secara berjenjang kepada Kepala Kejaksaan Tinggi.

BAB III

SYARAT

Pasal 4

(1) Penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif dilakukan dengan memperhatikan:

a. kepentingan Korban dan kepentingan hukum lain yang dilindungi;

b. penghindaran stigma negatif;

c. penghindaran pembalasan;

d. respon dan keharmonisan masyarakat; dan

e. kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.

(2) Penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan:

a. subjek, objek, kategori, dan ancaman tindak pidana;

b. latar belakang terjadinya / dilakukannya tindak pidana;

c. tingkat ketercelaan;

d. kerugian atau akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana;

e. cost and benefit penanganan perkara;

f. pemulihan kembali pada keadaan semula; dan

g. adanya perdamaian antara Korban dan Tersangka.

Pasal 5

(1) Perkara tindak pidana dapat ditutup demi hukum dan dihentikan penuntutannya berdasarkan Keadilan Restoratif dalam hal terpenuhi syarat sebagai berikut:

a. tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana;

b. tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun; dan

c. tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari Rp2.500.000,OO (dua juta lima ratus ribu rupiah).

(2) Untuk tindak pidana terkait harta benda, dalam hal terdapat kriteria atau keadaan yang bersifat kasuistik yang menurut pertimbangan Penuntut Umum dengan persetujuan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri atau Kepala Kejaksaan Negeri dapat dihentikan penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif dilakukan dengan tetap memperhatikan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disertai dengan salah satu huruf b atau hurufc.

(3) Untuk tindak pidana yang dilakukan terhadap orang, tubuh, nyawa, dan kemerdekaan orang ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat dikecualikan.

(4) Dalam hal tindak pidana dilakukan karena kelalaian, ketentuan pada ayat (1) huruf b dan huruf c dapat dikecualikan.

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) tidak berlaku dalam hal terdapat kriteria / keadaan yang bersifat kasuistik yang menurut pertimbangan Penuntut Umum dengan persetujuan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri atau Kepala Kejaksaan Negeri tidak dapat dihentikan penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif.

(6) Selain memenuhi syarat dan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif dilakukan dengan memenuhi syarat:

a. telah ada pemulihan kembali pada keadaan semula yang dilakukan oleh Tersangka dengan cara:

1. mengembalikan barang yang diperoleh dari tindak pidana kepada Korban;

2. mengganti kerugian Korban;

3. mengganti biaya yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana; dan/atau memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana;

b. telah ada kesepakatan perdamaian antara Korban dan Tersangka; dan

c. masyarakat merespon positif.

(7) Dalam hal disepakati Korban dan Tersangka, syarat pemulihan kembali pada keadaan semula sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a dapat dikecualikan.

(8) Penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif dikecualikan untuk perkara:

a. tindak pidana terhadap keamanan negara, martabat Presiden dan Wakil Presiden, negara sahabat, kepala negara sahabat serta wakilnya, ketertiban umum, dan kesusilaan;

b. tindak pidana yang diancam dengan ancaman pidana minimal;

c. tindak pidana narkotika;

d. tindak pidana lingkungan hidup; dan

e. tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi.

Pasal 6

Pemenuhan syarat penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif digunakan sebagai pertimbangan Penuntut Umum untuk menentukan dapat atau tidaknya berkas perkara dilimpahkan ke pengadilan.

BAB IV

TATA CARA PERDAMAIAN

Bagian Kesatu Upaya Perdamaian

Pasal 7

(1) Penuntut Umum menawarkan upaya perdamaian kepada Korban dan Tersangka.

(2) Upaya perdamaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi.

(3) Upaya perdamaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan pada tahap penuntutan, yaitu pada saat penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti (tahap dua).

Pasal 8

(1) Untuk keperluan upaya perdamaian, Penuntut Umum melakukan pemanggilan terhadap Korban secara sah dan patut dengan menyebutkan alasan pemanggilan.

(2) Dalam hal dianggap perlu upaya perdamaian dapat melibatkan keluaga Korban / Tersangka, tokoh atau perwakilan masyarakat, dan pihak lain yang terkait.

(3) Penuntut Umum memberitahukan maksud dan tujuan serta hak dan kewajiban Korban dan Tersangka dalam upaya perdamaian, termasuk hak untuk menolak upaya perdamaian.

(4) Dalam hal upaya perdamaian diterima oleh Korban dan Tersangka maka dilanjutkan dengan proses perdamaian.

(5) Setelah upaya perdamaian diterima oleh Korban dan Tersangka, Penuntut Umum membuat laporan upaya perdamaian diterima kepada Kepala Kejaksaan Negeri atau Cabang Kepala Kejaksaan Negeri untuk diteruskan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi.

(6) Dalam perkara tertentu yang mendapat perhatian khusus dari pimpinan dan masyarakat, laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) juga disampaikan kepada Jaksa Agung secara berjenjang.

(7) Dalam hal upaya perdamaian ditolak oleh Korban dan/atau Tersangka maka Penuntut Umum:

a. menuangkan tidak tercapainya upaya perdamaian dalam berita acara;

b. membuat nota pendapat bahwa perkara dilimpahkan ke pengadilan dengan menyebutkan alasannya; dan

c. melimpahkan berkas perkara ke pengadilan.

Bagian Kedua

Proses Perdamaian

Pasal 9

(1) Proses perdamaian dilakukan secara sukarela, dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi.

(2) Dalam proses perdamaian Penuntut Umum berperan sebagai fasilitator.

(3) Penuntut Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak mempunyai kepentingan atau keterkaitan dengan perkara, Korban, maupun Tersangka, baik secara pribadi maupun profesi, langsung maupun tidak langsung.

(4) Proses perdamaian dilaksanakan di kantor Kejaksaan kecuali terdapat kondisi atau keadaan yang tidak memungkinkan karena alasan keamanan, kesehatan, atau kondisi geografis, proses perdamaian dapat dilaksanakan di kantor pemerintah atau tempat lain yang disepakati dengan surat perintah dari Kepala Cabang Kejaksaan Negeri atau Kepala Kejaksaan Negeri.

(5) Proses perdamaian dan pemenuhan kewajiban dilaksanakan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti (tahap dua).

Pasal 10

(1) Dalam hal proses perdamaian tercapai, Korban dan Tersangka membuat kesepakatan perdamaian secara tertulis di hadapan Penuntut Umum.

(2) Kesepakatan perdamaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a. sepakat berdamai disertai pemenuhan kewajiban tertentu; atau

b. sepakat berdamai tanpa disertai pemenuhan kewajiban tertentu.

(3) Kesepakatan perdamaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh Korban, Tersangka, dan 2 (dua) orang saksi dengan diketahui oleh Penuntut Umum.

(4) Dalam hal kesepakatan perdamaian disertai pemenuhan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, Penuntut Umum membuat berita acara kesepakatan perdamaian dan nota pendapat setelah pemenuhan kewajiban dilakukan.

(5) Dalam hal kesepakatan perdamaian tanpa disertai pemenuhan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, Penuntut Umum membuat berita acara kesepakatan perdamaian dan nota pendapat.

(6) Dalam hal kesepakatan perdamaian tidak berhasil atau pemenuhan kewajiban tidak dilaksanakan sesual kesepakatan perdamaian maka Penuntut Umum:

a. menuangkan tidak tercapainya kesepakatan perdamaian dalam berita acara;

b. membuat nota pendapat bahwa perkara dilimpahkan ke pengadilan dengan menyebutkan alasannya; dan

c. melimpahkan berkas perkara ke pengadilan.

Pasal 11

(1) Dalam hal kesepakatan perdamaian tidak berhasil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (6) karena permintaan pemenuhan kewajiban yang tidak proporsional, ancaman atau intimidasi, sentimen, perlakuan diskriminatif atau pelecehan berdasarkan kesukuan, agama, ras, kebangsaan, atau golongan tertentu terhadap Tersangka yang beritikad baik dapat dijadikan pertimbangan Penuntut Umum dalam melakukan penuntutan.

(2) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku dalam hal pemenuhan kewajiban tidak dilaksanakan sesuai kesepakatan perdamaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (6) karena faktor ekonomi atau alasan lain yang disertai dengan itikad baik dari Tersangka.

(3) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berupa:

a. pelimpahan perkara dengan acara pemeriksaan singkat;

b. keadaan yang meringankan dalam pengajuan tuntutan pidana; dan/atau

c. pengajuan tuntutan pidana dengan syarat, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dengan tetap memperhatikan Pedoman Tuntutan Pidana Perkara Tindak Pidana Umum.

Pasal 12

(1) Dalam hal kesepakatan perdamaian tercapai, Penuntut Umum melaporkan kepada Kepala Cabang Kejaksaan Negeri atau Kepala Kejaksaan Negeri dengan melampirkan berita acara kesepakatan perdamaian dan nota pendapat.

(2) Berdasarkan laporan Penuntut Umum sebagaimana dimaksud ayat (1), Kepala Cabang Kejaksaan Negeri atau Kepala Kejaksaan Negeri meminta persetujuan penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif kepada Kepala Kejaksaan Tinggi.

(3) Permintaan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan dalam waktu paling lama 1 (satu) hari setelah kesepakatan perdamaian tercapai.

(4) Kepala Kejaksaan Tinggi menentukan sikap menyetujui atau menolak penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif secara tertulis dengan disertai pertimbangan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak permintaan diterima.

(5) Dalam perkara tertentu yang mendapat perhatian khusus dari plmplnan, Kepala Kejaksaan Tinggi meminta persetujuan kepada Jaksa Agung dengan tetap memperhatikan waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

(6) Dalam hal Kepala Kejaksaan Tinggi menyetujui penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif, Kepala Cabang Kejaksaan Negeri atau Kepala Kejaksaan Negeri selaku Penuntut Umum mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan dalam waktu paling lama 2 (dua) hari sejak persetujuan diterima.

(7) Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) memuat alasan penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif sekaligus menetapkan status barang bukti dalam perkara tindak pidana dimaksud.

(8) Penetapan status barang bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(9) Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dicatat dalam Register Perkara Tahap Penuntutan dan Register Penghentian Penuntutan dan Penyampingan Perkara demi Kepentingan Umum.

(10) Dalam hal Kepala Kejaksaan Tinggi menolak penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif, Penuntut Umum melimpahkan berkas perkara ke pengadilan.

Pasal 13

(1) Dalam hal upaya perdamaian atau proses perdamaian terdapat tekanan, paksaan, dan intimidasi dari Korban, Tersangka, dan/atau pihak lain, Penuntut Umum menghentikan upaya perdamaian atau proses perdamaian.

(2) Penghentian upaya perdamaian atau proses perdamaian sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan Penuntut Umum dengan:

a. menuangkan tidak tercapai upaya perdamaian atau proses perdamaian dalam berita acara;

b. membuat nota pendapat bahwa perkara dilimpahkan ke pengadilan dengan menyebutkan alasannya; dan

c. melimpahkan berkas perkara ke pengadilan.

Pasal 14

Dalam hal kesepakatan perdamaian dibuat pada tahap penyidikan dapat dijadikan pertimbangan Penuntut Umum untuk menghentikan penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif dengan memenuhi syarat dan tata cara perdamaian sebagaimana diatur dalam peraturan ini.

BAB V

PENAHANAN

Pasal 15

(1) Penahanan, penangguhan penahanan, dan/atau pembantaran penahanan terhadap Tersangka dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Dalam hal Tersangka ditahan dan terhadap perkaranya dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif, Penuntut Umum segera membebaskan Tersangka setelah Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan dikeluarkan.

(3) Pembebasan Tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuatkan berita acara.

BAB VI

KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 16

Untuk optimalisasi pelaksanaan Peraturan Kejaksaan ini diselenggarakan bimbingan teknis dan pendidikan pelatihan.

BAB VII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 17

Peraturan Kejaksaan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Kejaksaan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Juli 2020

JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA,

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 22 Juli 2020.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.