Makna Anekdot Hukum, Menang Gugatan jadi ARANG

LEGAL OPINION

Menang / Memenangkan Gugatan adalah Perkara Mudah, namun Menyelesaikan Sengketa Barulah Butuh Strategi yang Strategis ketika Menyusun Rumusan Surat Gugatan dan Pokok Permintaan Penggugat untuk Diputus Hakim Pengadilan

Question: Sering kita dengar adagium sinisme dalam dunia hukum, “menang jadi arang, kalah jadi abu”. Apa maksudnya “menang jadi arang”. Menang gugatan, mengapa justru menjadi arang?

Brief Answer: Ketika memenangkan gugatan, atau gugatan dikabulkan, baik seluruhnya maupun sebagian, tidak menjadi solusi, justru membuka lembaran masalah hukum baru, maka itu tidaklah ideal juga tidak solutif, tidak tepat guna, disamping tidak efektif. Karena itulah, merumuskan surat gugatan secara tidak strategis dan tidak visioner, dengan memprediksi kendala yang berpotensi timbul dikemudian hari, maka kemenangan atau menang gugatan dapat menyerupai “deadlock”, bumerang, hingga sengketa hukum episode kedua—kontraproduktif terhadap tujuan semula gugatan diajukan oleh pihak Penggugat.

PEMBAHASAN:

Untuk memudahkan pemahaman, ilustrasi konkret berikut dapat menjadi cerminan “menang gugatan, namun jadi arang”. Terdapat sebuah putusan yang ironisnya oleh Mahkamah Agung RI dinyatakan sebagai “landmark decision” terkait hak-hak nasabah debitor dalam peristiwa hukum Cessie / Subrogasi sebagaimana tertuang dalam Laporan Tahunan Mahkamah Agung RI tahun 2021, yakni putusan Mahkamah Agung RI sengketa perdata register Nomor 881 K/Ag/2020 tanggal tanggal 23 November 2020, perkara antara:

- Drs. CIPTO SULISTIO, bertempat, sebagai Pemohon Kasasi, semula selaku Pengguat; melawan

1. MOHAMAD ALATAS; 2020; 2. PT. BANK PERMATA Tbk., sebagai Pemohon Kasasi, semula selaku Para Tergugat; dan

- HERRY SETIAWAN, S.H., M.Kn. alias HERRY SOSIAWAN, S.H., M.Kn., Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) di Tangerang, sebagai Turut Termohon Kasasi, semula selaku Turut Tergugat.

Adapun pihak Penggugat, ialah selaku nasabah debitor, yang keberatan ketika piutang (hak tagih) beserta agunan pelunasan hutang oleh pihak Tergugat I dialihkan secara sepihak kepada Tergugat II, dalam surat gugatannya memiliki pokok permintaan (petitum) berupa, antara lain:

- Menyatakan Tergugat I dan Tergugat II telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum (PMH);

- Menyatakan batal Akta Perjanjian Jual Beli Hutang Nomor 44 tanggal 11 April 2018 dan Akta Cessie Nomor 45 tanggal 11 April 2018, yang ditandatangani oleh Tergugat I dan Tergugat II di hadapan Turut Tergugat;

- Menghukum Tergugat I dan Tergugat II untuk memberikan perpanjangan waktu bayar angsuran kredit / pelunasan kredit kepada Penggugat, sampai waktu yang ditentukan oleh undang-undang dan/atau sampai putusan ini telah berkekuatan hukum tetap.

Semula, gugatan pihak nasabah debitor (Penggugat) dikabulkan sebagian oleh Pengadilan Agama Jakarta Timur sebagaimana putusan Nomor 2616/Pdt.G/2019/PA.JT. tanggal 25 Februari 2020, dengan amar sebagai berikut:

 MENGADILI:

Dalam Provisi:

1. Menyatakan sita jaminan atas satu bidang tanah berikut bangunan di atasnya, Sertifikat Hak Milik Nomor ... dalam Akad Pembiayaan Syariah Ijarah Nomor ... tanggal 5 Mei 2014 yang dilaksanakan pada tanggal 30 Juli 2019 dan dinyatakan sah dan berharga dalam sidang pembacaan putusan sela tanggal 20 Agustus 2019, dalam putusan akhir ini dinyatakan diangkat.

2. Memerintahkan kepada Panitera / Jurusita Pengadilan Agama Jakarta Timur untuk mengangkat sita jaminan tersebut.

Dalam Pokok Perkara:

1. Menerima dan mengabulkan gugatan Penggugat (untuk) sebagian.

2. Menyatakan perbuatan Hukum Tergugat I dan Tergugat II melakukan perjanjian jual-beli dan pengalihan utang Penggugat Tanggal 11 April 2018, di hadapan Turut Tergugat, Akta Perjanjian Jual Beli Hutang No. 44 Tanggal 11 April 2018 dan Akta Pengalihan Utang (Cessie) No. 45 Tanggal 11 April 2018 adalah Perbuatan Melawan Hukum (PMH) Perbankan Syariah / Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 31/DSN-MUI/VI/2002 tentang Pengalihan Utang;

3. Menyatakan batal dan tidak sah Akta Perjanjian Jual Beli Utang No. 44 Tanggal 11 April 2018 dan Akta Pengalihan Utang (Cessie) No. 45 Tanggal 11 April 2018, yang ditandatangani oleh Tergugat I dan Tergugat II di hadapan Turut Tergugat tersebut sepanjang terkait dengan Akad Pembiayaan Syariah Ijarah Nomor ... tanggal 5 Mei 2014;

4. Menghukum Penggugat dan Tergugat I untuk melanjutkan dan mematuhi Akad Pembiayaan Syariah Ijarah Nomor... tanggal 5 Mei 2014, dengan jaminan satu bidang tanah berikut bangunan di atasnya, Sertipikat Hak Milik No. 2969 / Cipinang Melayu, terletak di Jl. Raya Jatiwaringin Blok H No.7, Kelurahan Cipinang Melayu, Kecamatan Makasar, Jakarta Timur, dengan masa angsuran selama 60 bulan;

5. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya;”

Namun putusan di atas kemudian dibatalkan dan dianulir seluruhnya oleh Pengadilan Tinggi Agama DKI Jakarta lewat putusan Nomor 88/Pdt.G/2020/PTA.JK. tanggal 14 Juli 2020 yang menyatakan “menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya”. Pihak debitor mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung RI membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:

“Menimbang, bahwa setelah meneliti memori kasasi dan kontra memori kasasi dihubungkan dengan pertimbangan Judex Facti / Pengadilan Tinggi Agama DKI Jakarta, Mahkamah Agung mempertimbangkan sebagai berikut:

“Bahwa Judex Facti / Pengadilan Tinggi Agama DKI Jakarta tidak salah dalam penerapan hukum, karena pokok sengketa merupakan ranah hawalatul haq atau cessie (pengalihan piutang) dari Muhal (Tergugat I) kepada Muhal Alaih (Tergugat II) yang disebabkan karena Muhil (pihak berutang) tidak memenuhi kewajiban dalam pembayaran utangnya meskipun sudah diberi peringatan (somasi) untuk memenuhi kewajibannya tersebut;

“Bahwa adapun Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 104/DSNMUI/X/2016 pada prinsipnya tidak secara spesifik mengatur kewajiban Muhal (Tergugat I) untuk memberitahukan terlebih dahulu adanya hawalatul haq/cessie. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 613 ayat (2) KUHPerdata yang menyatakan bahwa pembuatan perjanjian cessie tidak memerlukan persetujuan dari Muhil (pihak berutang), terlebih lagi dalam perkara a quo ternyata Muhal (Tergugat I) telah memberitahukan pada Muhil (pihak berutang) sebagaimana dinyatakan pada surat PT Bank Permata Tbk. Nomor ... tanggal 16 April 2018 perihal Pemberitahuan Pengalihan Hutang;

“Bahwa perbuatan hawalatul haq atau cessie dari Muhal (Tergugat I) kepada Muhal Alaih (Tergugat II) tidak ternyata melawan hukum karena yang telah dilakukan pihak-pihak tersebut telah sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 103/DSN-MUI/X/2016 dan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 104/DSN-MUI/X/2016 serta norma yang terkandung dalam Pasal 613 KUHPerdata dan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah;

“Bahwa menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 103/DSNMUI/X/2016 dan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 104/DSNMUI/X/2016 diperbolehkan menerapkan novasi subjektif atau pergantian da’in dan subrogasi sesuai prinsip-prinsip Syariah. Sedangkan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 31/DSN-MUI/VI/2002 tentang Pengalihan Utang tidak dapat diterapkan dalam perkara a quo, karena fatwa tersebut mengatur pangalihan utang dari Lembaga Keuangan Syariah (LKS) kepada Lembaga Keuangan Konvensional (LKK). Atas dasar itu, dalam hal hawalatul haq atau cassie (pengalihan piutang) tidak harus ada pemberitahuan terlebih dahulu kepada Muhil (pihak berutang) oleh karenanya tidak termasuk sebagai Perbuatan Melawan Hukum (PMH);

“Menimbang, bahwa namun demikian Mahkamah Agung berpendapat bahwa amar putusan Judex Facti / Pengadilan Tinggi Agama DKI Jakarta yang membatalkan putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur harus diperbaiki sepanjang mengenai kesempatan untuk membayar utang dan pengembalian hak-hak Pemohon Kasasi setelah utang tersebut dibayar lunas dengan pertimbangan sebagai berikut:

“Bahwa berdasarkan Pasal 19 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2018 tentang Perbankan Syariah menyatakan kegiatan usaha Bank Umum Syariah meliputi pengambilalihan utang berdasarkan akad hawalah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Oleh karena itu, penyelesaian sengketa hawalatul haq atau cassie tidak saja dipertimbangkan dari perspektif normatif semata, namun juga perlu dipertimbangkan dari perspektif pemenuhan prinsip-prinsip ekonomi syariah;

“Bahwa segala kegiatan dan transaksi dalam ekonomi syariah harus berasaskan mu’awanah yang mewajibkan para pihak untuk tolong menolong dan membuat kemitraan dengan melakukan muamalah, yang dimaksud dengan kemitraan adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh para pihak dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan;

“Bahwa selain berasaskan mu’awanah, kegiatan dan transaksi dalam ekonomi syariah harus berasaskan manfaah (tabadulul manafi’), asas manfaah berarti bahwa segala bentuk kegiatan muamalat harus memberikan keuntungan dan manfaat bagi pihak yang terlibat, asas ini merupakan kelanjutan dari prinsip atta’awun (tolong menolong) atau mu’awanah (saling percaya) sehingga asas ini bertujuan menciptakan kerjasama antar individu atau pihak-pihak dalam masyarakat untuk memenuhi keperluannya masing-masing dalam rangka kesejahteraan bersama;

“Bahwa terjadinya sengketa antara para pihak dalam perkara a quo merupakan fakta tidak adanya kerelaan. Padahal dalam kegiatan ekonomi syariah harus berasaskan antarodhin yang menyatakan bahwa setiap bentuk muamalat antara individu atau antara pihak harus berdasarkan kerelaan masing-masing, kerelaan di sini dapat berarti kerelaan melakukan suatu bentuk muamalat, maupun kerelaan dalam arti kerelaan dalam menerima dan atau menyerahkan harta yag dijadikan objek perikatan dan bentuk muamalat lainnya. Atas dasar itu, mesti pula diterapkan asas ‘adamul gharar yang berarti pada setiap bentuk muamalat tidak boleh ada gharar atau tipu daya atau sesuatu yang menyebabkan salah satu pihak merasa dirugikan oleh pihak lainnya sehingga mengakibatkan hilangnya unsur kerelaan salah satu pihak dalam melakukan suatu transaksi;

“Bahwa asas lainnya yang tidak boleh diabaikan dalam transaksi ekonomi syariah adalah asas al-bir wa al-taqwa yang berarti kebaikan dan proporsional. Sedangkan al-taqwa berarti takut, hati-hati, jalan lurus, dan meninggalkan yang tidak berguna, melindungi dan menjaga diri dari murka Allah swt. Asas ini mewadahi seluruh asas fiqih muamalah. Artinya, segala asas dalam lingkup fiqih muamalah dilandasi dan diarahkan untuk al-bir wa al-taqwa, representasi dari asas ini adalah menghindari maisir, gharar, haram, riba dan batil dalam bermuamalah;

“Bahwa setiap orang harus menghindari hal-hal yang batil dalam melakukan transaksi, karena prinsip yang harus dijunjung adalah tidak ada kezaliman, kecurangan, dan ketidakjujuran yang dirasa pihak-pihak yang terlibat, semuanya harus sama-sama rela dan adil sesuai takarannya. Maka, dari sisi ini transaksi yang terjadi akan merekatkan ukhuwah pihak-pihak yang terlibat;

“Bahwa dalam perkara a quo semestinya Muhal (Tergugat I) dan Muhal Alaih (Tergugat II) memberi kesempatan kepada Muhil (pihak berutang) dengan menerapkan prinsip dan asas ekonomi syariah demi menghindari transaksi yang diharamkan. Transaksi yang sesuai dengan prinsip ekonomi syariah adalah, adil, halal, dan tidak merugikan salah satu pihak. Prinsip tersebut sangat diridhai oleh Allah swt. Karena sesungguhnya segala hal yang mengandung unsur kemungkaran dan kemaksiatan adalah haram hukumnya. Selain itu, meninggalkan prinsip-prinsip tersebut akan banyak menimbulkan kemudharatan padahal dalam kaedah fikih ditegaskan

“Bahwa menolak kemudharatan harus lebih didahulukan dari pada mengambil manfaat atau keuntungan;

“Bahwa transaksi hawalatul haq atau cassie yang terjadi dalam perkara a quo hanya sebatas mengganti shohibul maal saja, yaitu dari Muhal (Tergugat I) kepada Muhal Alaih (Tergugat II), kemudian nasabah diwajibkan untuk membayar da’in kepada Tergugat II. Atas dasar itu, Tergugat I dan Tergugat II perlu memaksimalkan usaha-usahanya untuk berkompromi dengan Penggugat agar sejalan dengan prinsip kejujuran dan kebenaran sebagaimana diatur dalam ekonomi syariah. Prinsip kejujuran dan kebenaran tersebut tercermin dalam setiap transaksi yang mengutamakan kepentingan sosial dan memiliki manfaat berdasarkan suka sama suka dan tidak ada unsur paksaan, serta tidak merugikan dan tidak pula mengandung riba;

“Bahwa transaksi hawalatul haq atau cessie harus memperhatikan prinsip keadilan, karena keadilan adalah suatu prinsip yang sangat penting dalam mekanisme ekonomi syariah. Bersikap adil dalam ekonomi tidak hanya didasarkan pada nash tetapi juga berdasarkan pada pertimbangan hukum alam. Alam diciptakan berdasarkan atas prinsip keseimbangan dan keadilan. Adil dalam transaksi hawalatul haq atau cessie dapat diterapkan dalam penentuan jumlah utang, kualitas akad pembiayaan, perlakuan terhadap nasabah, dan dampak yang timbul dari kebijakan shohibul maal (pemilik modal);

“Bahwa meskipun Muhal Alaih (Tergugat II) telah mencoba menawarkan kepada Muhil (pihak berutang) untuk membayar utang tersebut pada tanggal 11 Juni 2019, akan tetapi belum tercapai kesepakatan tentang jumlah utang yang berbeda antara Muhil (pihak berutang) dengan Muhal Alaih (Tergugat II). Oleh sebab itu, dalam perkara a quo Mahkamah Agung perlu memerintahkan Muhal (Tergugat I) dan Muhal Alaih (Tergugat II) untuk memberi kesempatan kepada Muhil (pihak berutang) selama 6 (enam) bulan untuk melunasi sisa utangnya sejak Putusan ini berkekuatan hukum tetap;

“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi, Drs. Cipto Sulistio, tersebut harus ditolak dengan perbaikan Putusan Pengadilan Tinggi Agama DKI Jakarta Nomor 88/Pdt.G/2020/PTA.JK. tanggal 14 Juli 2020 Masehi bertepatan dengan tanggal 22 Zulkaidah 1441 Hijriah, sehingga amarnya seperti yang akan disebutkan di bawah ini;

“Menimbang, bahwa oleh karena permohonan kasasi ditolak dengan perbaikan, maka Tergugat dihukum untuk membayar biaya perkara pada tingkat pertama, dan pada tingkat banding kepada Terbanding serta pada tingkat kasasi kepada Pemohon Kasasi;

M E N G A D I L I :

- Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi, Drs. CIPTO SULISTIO, tersebut;

- Memperbaiki Putusan Pengadilan Tinggi Agama DKI Jakarta Nomor 88/Pdt.G/2020/PTA.JK. tanggal 14 Juli 2020 Masehi bertepatan dengan tanggal 22 Zulkaidah 1441 Hijriah, sehingga amar selengkapnya sebagai berikut:

- Menerima permohonan banding Pembanding;

- Membatalkan Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor 2616/Pdt.G/2019/PA.JT. tanggal 25 Februari 2020 Masehi bertepatan dengan tanggal 1 Rajab 1441 Hijriah, dengan mengadili sendiri:

Dalam Pokok Perkara:

1. Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian;

2. Menghukum para Tergugat memberi kesempatan kepada Penggugat selama 6 (enam) bulan untuk melunasi sisa utangnya sesuai akad Hawalatul Haq / Cessie Nomor 45 tanggal 11 April 2018 terhitung sejak Putusan ini berkekuatan hukum tetap;

3. Menghukum para Tergugat atau siapa saja yang menguasai objek sengketa untuk menyerahkan alas hak objek sengketa kepada Penggugat setelah selesai pelunasan utang Hawalatul Haq / Cessie Nomor 45 tanggal 11 April 2018 tersebut;”

CATATAN SHIETRA & PARTNERS:

Perhatikan kembali amar putusan di atas, serta pertimbangkan fakta sosio-empirik bahwa hingga perkara tersebut berkekuatan hukum tetap di tingkat kasasi, memakan waktu bertahun-tahun lamanya (kurang lebih tiga tahun lamanya, terhitung sejak gugatan untuk kali pertamanya didaftarkan ke Kepaniteraan Pengadilan Negeri / Agama), sehingga selama tempo waktu bertahun-tahun tersebut, total tunggakan mengalami akumulasi yang menyerupai efek “menggunung”, akibat beban bunga, bunga-berbunga, denda, bunga terhadap denda, biaya, dan segala akumulasi dan kelipatannya yang terus menggulung hingga total “outstanding” hutang telah menggunung berkali-kali lipat saat perkara tersebut di atas diputus dan berkekuatan hukum tetap (inkracht).

Alhasil, sekalipun pihak debitor selaku Penggugat dinyatakan “menang” karena berhasil memenangkan gugatannya melawan pihak kreditor, akan tetapi terbentur pada realita saat putusan telah “inkracht” dan hendak dilaksanakan, pihak kreditor mengklaim bahwa total tunggakan telah membengkak berkali-kali lipat dari total tunggakan semula, sehingga debitor dapat dipastikan keberatan disodorkan total tunggakan yang telah “bengkak” dan tidak mampu melunasinya ataupun untuk menebus agunan, yang artinya kembali dibuka lembaran dan episode baru sengketa hukum yang berlarut-larut dan tidak solutif—semata terjadi akibat tidak tepat guna dan tidak tepat sasaran surat gugatan dirumuskan oleh pihak Penggugat maupun kuasa hukumnya.

Tidak semua pengacara merupakan konseptor yang ulung dalam menyusun dan merumuskan surat gugatan, baik “posita” maupun “petitum” surat gugatan, tidak matang dan kerap terdapat “motif terselubung”. Fenomena demikian sejatinya terjadi akibat adanya “konflik kepentingan” pihak pengacara, sebagaimana adagium dunia pers “bad news is good news”, semata karena bila klien pengguna jasa litigasi para pengacara tersebut kemudian tersangkut dalam sengketa hukum yang berlarut-larut, maka artinya ada proyek-proyek baru yang menjadi lahan menggali pundi-pundi emas dan uang bagi sang pengacara.

Tetap saja, sekalipun “menang jadi arang”, sang pengacara telah berhasil memperoleh dan menagih “success fee” dari sang klien—sebagaimana kerap para klien penulis mengeluhkan praktik kalangan pengacara, yang tidak memiliki tanggung-jawab profesi ataupun etika berbisnis dengan masih juga menagih “success fee” yang nilainya selalu bombastis disamping “lawyering fee”, sekalipun sengketa hukum tidak benar-benar selesai secara tuntas saat gugatan dinyatakan “menang”.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.

Konsultan Hukum HERY SHIETRA & PARTNERS