Akar Penyebab Kriminalitas, Mentalitas Dungu yang seolah Menantang Hukuman sekalipun telah Diancam oleh Hukum Pidana

Mengapa Kejahatan Terus Terjadi secara Berulang-Ulang, sekalipun Hukum Negara telah Mencantumkan Ancaman Sanksi Hukuman bagi Pelanggarnya maupun telah Banyak Contoh Dipidana-Penjaranya Pelaku-Pelaku Kejahatan Serupa?

Melakukan Kejahatan Serupa dengan Kejahatan para Kriminil Sebelumnya, namun Mengharap Hasil yang Berbeda, Itulah yang Disebut INSANE

Question: Bukan berita baru dan sudah bukan hal asing lagi di telinga publik, hakim terjerat hukum karena kolusi, pejabat negara terjerat korupsi, maupun seperti kasus-kasus penipuan dengan beragam modus, hingga kejahatan-kejahatan paling primitif semacam menggelapkan barang atau dana milik orang lain, namun mengapa kesemua itu terus saja terjadi meski sudah ada undang-undang pidana yang sejak lama melarang dan memberi ancaman hukuman penjara bagi pelaku pelanggarnya, sekalipun sudah begitu masifnya pemberitaan yang mewartakan kejadian demikian sepanjang tahunnya, lengkap dengan vonis hukuman hakim di persidangan bagi sang pelaku, akan tetap tetap saja berulang-ulang terjadi hal yang sama sepanjang tahunnya, korupsi dan kolusi mereka yang memegang kekuasaan di pemerintahan kita di Indonesia?

Brief Answer: Salah satu corak karakter orang “dungu” yang paling mencolok atau paling kentara yang dapat kita saksikan secara kasat-mata ialah, mereka kerap bersikap seolah-olah menunggu untuk benar-benar tiba saat dimana “menyesal datangnya terlambat” atau “menyesal pun sudah terlambat”. Karena itulah, dalam banyak kesempatan penulis selalu mengingatkan, bahwasannya orang-orang “dungu” adalah orang-orang yang lebih sering bersikap egoistik bahkan terhadap dirinya sendiri.

Mereka sadar dan menyadari betul, bahwa mereka sendiri bisa jadi tidak luput dari jeratan hukum dan terjaring oleh aparatur penegak hukum, akibat melakukan perbuatan yang ilegal, namun masih juga tetap melakukan dan melanggar larangan yang ada, semata karena bersikap “masak bodoh” terhadap bahaya ataupun konsekuensi dibaliknya yang kelak harus dirinya tanggung sendiri dimasa mendatang. Ketika benar-benar tiba pada saat-saat tersebut, momen dimana sang “dungu” harus mempertanggung-jawabkan perbuatannya, dan mendapati dirinya divonis hukuman penjara, barulah ia seolah telah mencapai “goal” atau tujuan hidupnya, yakni “menunggu hingga tiba saat dimana menyesal pun sudah terlambat” dan mendapati dirinya benar-benar masuk ke momen mana yang justru dihindari dan ditakuti betul oleh orang-orang yang masih berakal-sehat.

Kerapkali kita menemukan bahwa, itulah yang paling amat meletihkan, ketika kita menghadapi tipikal orang-orang dengan dasariah watak yang “dungu” sifatnya, bukan hanya pejabat negara yang korupsi, namun sesama anggota masyarakat dan sesama warga bahkan juga terhadap sesama internal anggota keluarga kita sendiri. Sungguh menguras energi mental ketika kita “dealing with” orang-orang semacam demikian, tidak terkecuali aparatur penegak hukum yang terus saja memproses kejahatan-kejahatan serupa yang seolah-olah tidak kenal habis-habisnya, satu kriminil diproses dan dijerat hukuman pidana, sebelum kemudian penjahat dengan kejahatan serupa muncul silih-berganti seolah tiada habisnya dan seolah-olah masyarakat kita tidak pernah merasa jera untuk melakukan pelanggaan serupa—suatu “Mission : Impossible”, alias misi yang tidak akan pernah tuntas sempurna secara permanen sebagaimana namanya “Komisi Pemberantasan Korupsi”, dimana bahkan puluhan “nabi” telah diutus oleh Tuhan, namun hingga saat kini tiada satupun dosa ataupun maksiat paling primitif sekalipun yang dapat benar-benar dapat diberantas terlebih dipunahkan dari Muka Bumi.

Persis seperti yang telah disabdakan oleh Sang Buddha sejak lama sebelum era modern ini, yang tampaknya fenomena serupa akan tetap berlangsung sepanjang peradaban umat manusia, perihal betapa merepotkannya menghadapi orang-orang dungu, “Seseorang tentu senantiasa berbahagia tidak bertemu dengan para dungu. Sebab, berdiam bersama orang-orang dungu mendatangkan kesedihan dalam lama waktu. Berkumpul dengan mereka senantiasa membawa derita, tak ubahnya berkumpul dengan seteru.” Sang Buddha sendiri dengan demikian merekomendasikan kita untuk selektif memiliki lingkungan pergaulan, membatasi pergaulan kita dari orang-orang “dungu” agar tidak turut menjelma “dungu”. Alih-alih meluaskan lingkaran pergaulan, namun kepada siapa kita bergaul, selektif sebagaimana kita selektif terhadap apa yang dimasukkan ke dalam mulut dan perut kita.

Sejak dahulu kala, yang menjadi selalu menjadi momok atau masalah klasik umat manusia, terutama masalah terkait fenomena sosial dan tindak kejahatan, bukanlah diakibatkan kelebihan IQ, namun masyarakat yang kekurangan IQ. Mencari dan mengejar kebahagiaan hidup, tanpa merugikan, tanpa melukai, juga tanpa menyakiti individu / makhluk hidup lainnya, tanpa merampas kebahagiaan hidup milik orang lain, juga tanpa merampok nasi dari piring orang lain, adalah ciri utama orang-orang dengan tingkat IQ yang memadai, tidak sebaliknya. Mereka yang ber-IQ memadai adalah orang-orang berwatak kreatif yang tidak pernah bersikap seakan-akan tidak dapat hidup tanpa merugikan individu lainnya.

PEMBAHASAN:

Kecerdasan, intelektual, IQ, atau apapun itu sebutan maupun istilahnya, memang bukan segalanya, namun terbukti bahwa segalanya butuh IQ maupun tingkat kecerdasan paling minimum tertentu, dimana juga bahkan EQ maupun SQ seringkali bertopang / ditentukan oleh tingkat IQ seseorang. Menjadi keliru, ketika kita merendahkan ataupun meremehkan / menyepelekan peran intelektualitas ataupun fungsi kognitif diri seseorang—alih-alih demikian, kita justru perlu memberdayakan serta mengoptimalkan secara maksimum daya olah-pikir kita, menjelma kemampuan berpikir secara mendalam dan tajam disertai pikiran yang jernih, maka kita akan mampu melihat apa itu “kebijaksanaan”, ibarat kolam yang airnya jernih sehingga kita dapat melihat apa yang ada di dasar kolam tersebut.

Sebaliknya, orang-orang “dungu” merupakan para spekulan tulen, “keruh” lautan pikirannya, pendek akalnya (kerap senantiasa bersikap “masak bodoh” pada konsekuensinya di masa mendatang), yang hidup semata mengikuti arus serta menuruti kemauan dan segala keinginan-keinginan dangkal yang tidak berkesudahan, tidak memiliki kendali diri, tidak malu dan tidak takut berbuat keliru yang dapat menyakiti, menolak praktik latihan pengendalian ataupun penempaan diri, sehingga merugikan ataupun melukai pihak-pihak lainnya baik karena disengaja maupun akibat kelalaian. Karenanya, tidak pernah menjadi sesuatu yang mengesankan secara positif ketika kita terpaksa dan memaksakan diri terperangkap bersama seorang atau lebih “dungu-wan”.

Secara lugas, dapat kita jumpai berbagai sabda Sang Buddha yang menyinggung perihal watak negatif kalangan “dungu-wan”, serta bahaya dibalik memelihara sifat maupun sikap “dungu”, dengan kutipan beberapa syair sebagai berikut:

DHAMMAPADA

122. Janganlah meremehkan kebaikan (dengan berpikir), ‘Kebaikan sedikit akan tidak berakibat.’ Belanga pun akan penuh dengan tetes demi tetes air. Demikianlah, orang bijak dipenuhi kebaikan yang ia timbun sedikit demi sedikit.

123. Ibarat saudagar beharta banyak berpengawal sedikit menghindari jalan berbahaya, juga ibarat orang berharap hidup menghindari racun, demikianlah seseorang patut menghindari keburukan.

124. Jika tiada luka di tangan, seseorang dapat membawa racun dengan tangannya karena racun tidak meresap ke tangan tak berluka. Demikian pula, keburukan tidak ada pada bukan si pelaku.

125. Keburukan akan (balik) menimpa si dungu yang menyakiti orang yang tak menyakiti, bersih, tak berbintil – bagaikan debu halus ditebar melawan angin.

126. Sejumlah makhluk masuk rahim terlahir. Para pelaku keburukan masuk ke neraka. Para penimbun perbuatan sumber kebahagiaan masuk ke surga. Mereka yang tidak memelihara kekotoran batin mencapai kepadaman derita.

127. Tiada suatu kawasan di dunia, baik di angkasa, di tengah samudra, atau menyusup ke celah gegunungan – di mana pun berada, seseorang dapat lolos dari (akibat) perbuatan buruknya.

128. Tiada suatu kawasan di dunia, baik di atas angkasa, di tengah samudra, atau menyusup ke celah gegunungan – di mana pun berada, Sang raja kematian tak mampu mendapati si pelaku keburukan.

131. Makhluk-makhluk mendambakan kebahagiaan. Ia yang mencari kebahagiaan bagi diri dengan mencelakai makhluk lain dengan alat dera akan tidak mengenyam kebahagiaan setelah ajal tiba.

132. Makhluk-makhluk mendambakan kebahagiaan. Ia yang mencari kebahagiaan bagi diri tanpa mencelakai makhluk lain dengan alat dera akan mengenyam kebahagiaan setelah ajal tiba.

136. Di kala melakukan keburukan-keburukan, si dungu tidak menyadari. Ia yang berkebijaksanaan dangkal itu akan menderita karena perbuatan sendiri, bak terbakar api.

137. Barangsiapa dengan alat dera mencelakai mereka yang tidak mencelakai dan tidak mendera, ia akan segera menemui salah satu di antara sepuluh keadaan:

138. perasaan menyengat, keterpurukan, cacat tubuh, sakit keras, gangguan jiwa,

139. usikan raja, hasutan menyakitkan, kehilangan sanak keluarga, kemusnahan harta benda,

140. kebakaran rumah oleh api hutan, atau, setelah si dungu itu tiba ajal, masuk ke neraka.

143. Hanya ada beberapa saja di dunia, orang yang dengan rasa malu dapat menyingkirkan pemikiran buruk. Hanya ada beberapa saja, orang yang dengan mengusir nidera dapat terjaga, bagaikan kuda tangkas mengelak cambuk.

144. Bersemangatlah! Kerahkan kekuatan, seperti kuda tangkas tersabet cambuk! Dengan berlengkap keyakinan, tata susila, semangat, keteguhan batin, kemampuan menimbang, pengetahuan dan tindak tanduk sempurna, dan perhatian teguh, Kalian akan dapat melenyapkan derita nan tidak sedikit ini.

145. Petugas pengairan mengatur alur air. Pembuat anak panah mengeluk anak panah. Tukang kayu meliuk kayu. Orang yang mudah dinasihati menggeladi diri.

157. Jika menyadari bahwa diri sendiri adalah tercinta, seseorang patut merawat diri dengan baik. Orang bijak patut menjaga diri sepanjang salah satu di antara tiga kurun waktu.

158. Orang bijak patut menempatkan diri di hal patut dulu, baru lalu memberitahu orang lain. (Dengan demikian,) ia tidak bernoda.

159. Seseorang patut menindakkan diri sebagaimana menasihati orang lain. Berlatihlah sebelum melatih karena, konon, diri sendiri sulit dilatih.

160. Diri sendirilah pelindung diri. Sosok lain siapakah dapat menjadi pelindung? Dengan ini, seseorang yang berdiri terlatih baik, akan mendapat perlindungan nan sulit didapat.

161. Oleh diri sendiri keburukan dilakukan, lahir dari diri, berasal dari diri. Keburukan itu akan mencelakai si dungu, laksana berlian melukai intan.

162. Kedursilaan yang akut melilit si pelaku, layaknya ara pencekik melilit pohon sâla. Ia memperlakukan diri sendiri sebagaimana penjahat menghendaki.

163. Perbuatan buruk dan merugikan diri amat mudah dilakukan, sebaliknya perbuatan baik dan bermanfaat amat sulit dilakukan.

164. Karena pandangan nistanya, orang dungu menyangkal ajaran para suciwan nan mulia, hidup sesuai dhamma. Pandangan nistanya muncul demi membunuh diri, layaknya buah bambu muncul demi membunuh pohonnya.

165. Oleh diri sendiri keburukan dilakukan, oleh diri sendiri pula seseorang menjadi kotor. Oleh diri sendiri keburukan tak dilakukan, oleh diri sendiri pula seseorang menjadi suci. Suci tidak suci adalah perihal pribadi. Tiada sosok lain dapat menyucikan lainnya.

167. Tak sepantasnya seseorang bergelut dengan hal rendahan, tak sepatutnya bergumul dengan kelengahan, tak semestinya berpegang pada pandangan keliru, tak seyogianya menjadi pengeruh dunia.

172. Ia yang dulunya lengah menjadi tidak lengah di kemudian waktu dapat menerangi dunia ini, laksana bulan terbebas dari awan.

173. Ia yang membendung perbuatan buruk yang dilakukan dengan kebaikan dapat menerangi dunia ini, laksana bulan terbebas dari awan.

174. Makhluk dunia ini buta. Di dunia ini sedikit makhluk melihat jelas. Ibarat burung dapat lolos dari jaring pengurung, sedikit makhluk tiba ke alam bahagia.

186. Kesenangan inderawi tidak pernah bisa kenyang oleh hujan kepingan emas. Kesenangan inderawi mengandung sekelumit suka, mendatangkan duka. Setelah memahami demikian,

187. orang bijak tidak mengejar kesenangan inderawi walau yang bersifat surgawi. Siswa Sammâsambuddha bersenang dalam kemusnahan kekotoran batin.

188. Banyak manusia, karena dicekam ketakutan, menjadikan gunung-gunung, hutan-hutan, padepokan, pepohonan, dan kepunden sebagai objek perlindungan.

189. Perlindungan itu bukanlah perlindungan aman. Perlindungan itu bukan perlindungan utama. Dengan berpegang pada perlindungan itu, orang takkan bebas dari segala derita.

190. Sedangkan, barangsiapa menjadikan Buddha, dhamma, dan sanggha sebagai objek perlindungan, ia, melalui kebijaksanaan yang benar, akan melihat empat kebenaran ariya,

191. yakni: duka, sebab kemunculan duka, kepadaman duka, dan jalan ariya berunsur delapan menuju kepadaman duka.

192. Perlindungan itulah perlindungan aman. Perlindungan itu adalah perlindungan utama. Dengan berpegang pada perlindungan itu, orang terbebas dari segala derita.

193. Manusia unggul jarang ditemukan. Ia tidak terlahir di sebarang tempat. Di keluarga mana manusia unggul terlahir, keluarga itu mengenyam kebahagiaan.

206. Adalah hal baik, bertemu dengan para suciwan. Berdiam bersama mereka mendatangkan kebahagiaan sepanjang masa. Seseorang tentu senantiasa berbahagia tidak bertemu dengan para dungu.

207. Sebab, berdiam bersama orang-orang dungu mendatangkan kesedihan dalam lama waktu. Berkumpul dengan mereka senantiasa membawa derita, tak ubahnya berkumpul dengan seteru. Sebaliknya, bijaksanawan memiliki kediaman bersama yang menyenangkan, layaknya himpunan sanak keluarga.

208. Karenanya, bergaullah dengan orang demikian itu, yang cendekia, bijaksana, berpengetahuan luas, mengemban kewajiban, bertata tertib, berbatin bersih, budiman, arif, laksana candra berada pada orbit purnamanya!

227. Wahai Atula, celaan dan pujian itu adalah perihal lama. Itu bukan laksana hanya ada di hari ini. Mereka mencela ia yang diam, mencela ia yang banyak bicara, mencela ia yang bicara secukupnya. Tiada siapa pun di dunia bebas dari celaan.

228. Belum pernah ada, akan tidak ada, dan tidak ada di saat ini, seseorang yang melulu mendapat celaan atau melulu mendapat pujian.

229. Jika para bijaksanawan, setelah menimbang matang, memuji ia yang bertindak penuh kewaspadaan, cendekia, teguh dalam kebijaksanaan dan kesusilaan,

230. siapakah pantas mencelanya yang bagaikan emas jambonada. Para dewa pun memujinya, demikian pula brahmâ.

231. Seseorang patut menjaga luapan (nafsu) jasmani, mengendalikan jasmani. Setelah menjauhi laku buruk melalui jasmani, ia patut berlaku baik melalui jasmani.

232. Seseorang patut menjaga luapan ucapan, mengendalikan ucapan. Setelah menjauhi laku buruk melalui ucapan, ia patut berlaku baik melalui ucapan.

233. Seseorang patut menjaga luapan batin, mengendalikan batin. Setelah menjauhi laku buruk melalui batin, ia patut berlaku baik melalui batin.

234. Para cendekia adalah mereka yang telah mengendalikan jasmani, juga adalah mereka yang telah mengendalikan ucapan. Para cendekia adalah mereka yang telah mengendalikan batin. Mereka sungguh adalah orang yang telah berpengendalian secara menyeluruh dengan baik.

244. Hidup adalah mudah bagi ia yang tidak tahu malu, berani laksana gagak, biasa ingkar budi orang, suka mencari muka, lepas kendali, dan penuh kekotoran.

245. Sebaliknya, hidup adalah sulit bagi ia yang tahu malu, senantiasa berupaya pada laku suci, tidak melekat, terkendali, berpenghidupan bersih, dan menyadari (hakekat penghidupan bersih).

246. Barangsiapa di dunia ini membunuh kehidupan makhluk lain, bertutur kata bohong, mengambil barang yang tidak diberikan, dan menggauli istri orang lain,

247. juga barangsiapa biasa minum arak dan barang ragian, ia disebut sedang mencabut akar tunggang sendiri di dunia ini.

252. Noda orang lain mudah dilihat. Noda sendiri, sebaliknya, sulit dilihat. Karena itu, orang menebar noda orang lain seperti menampi dedak, sebaliknya menutupi noda sendiri bagaikan pemburu burung menyelinap di balik semak.

256. Bukan karena bergegas menuntaskan perkara seseorang disebut yang tegak dalam Dhamma, melainkan bijaksanawan yang dapat menimbang kedua hal, yaitu yang menjadi perkara dan bukan perkara.

257. Ia yang memeriksa orang-orang dengan tidak terburu, berlandaskan dhamma, sesuai kaidah, penjaga dhamma, dan cendekia itulah disebut ‘yang tegak dalam Dhamma’.

258. Bukan sekadar karena bicara banyak seseorang disebut bijaksanawan, melainkan ia yang tenteram, tidak bermusuh, dan tidak berpenakut itulah disebut ‘bijaksanawan’.

259. Bukan sekadar karena bicara banyak seseorang disebut penyandang dhamma, melainkan ia yang, meskipun sedikit pengetahuan, dapat melihat dhamma secara batiniah dan tidak melalaikannya itulah sesungguhnya disebut ‘penyandang dhamma’.

260. Bukan karena berkepala beruban seseorang disebut sesepuh. Ia yang berusia lanjut itu disebut ‘si tua hampa’.

261. Sebaliknya, ia yang menembus kebenaran, meraih dhamma, tidak menyakiti, berpengendalian, terlatih, telah melunturkan noda, dan cendekia itulah disebut ‘sesepuh’.

262. Bukan sekadar karena bertutur teratur atau berperawakan rupawan seseorang yang masih memiliki keirihatian, kekikiran, dan kecongkakan disebut budiman,

263. melainkan ia yang telah menumbangkan keirihatian, kekikiran, kecongkakan, mencabut akarnya – melunturkan kebencian, dan cendekia itulah disebut ‘budiman’.

264. Bukan sekadar karena berkepala gundul, seseorang yang tidak berdisiplin, bertutur dusta Aku sebut ‘petapa’. Mana mungkin orang yang berlumur ambisi dan ketamakan sebagai petapa.

265. Akan tetapi, ia yang meredam total keburukan kecil dan besar itulah Aku sebut ‘cerah’ karena keberadaannya sebagai peredam keburukan.

269. menjauhi keburukan-keburukan itulah disebut ‘petapa bijaksana’. Disebabkan hal itulah ia disebut ‘petapa bijaksana’. Seseorang disebut petapa bijaksana karena mengetahui kedua dunia.

270. Bukan karena mencelakai makhluk-makhluk lain seseorang disebut ariya, sebaliknya disebut ‘ariya’ karena tidak mencelakai segala jenis makhluk.

306. Ia yang biasa menuduhkan hal tidak benar akan masuk neraka. Begitu pula, ia yang setelah berbuat berkata, ‘Aku tidak berbuat.’ Keduanya adalah manusia pelaku perbuatan rendah yang, sepeninggalnya menuju ke alam lain, akan bernasib sama.

307. Banyak mereka yang berlingkar jubah di leher memiliki hal-hal buruk dan tidak berpengendalian. Mereka yang buruk itu akan masuk ke neraka oleh perbuatan buruknya.

308. Menelan bongkah besi panas laksana berlidah api adalah lebih baik. Apatah mulianya ia yang dursila, tidak berpengendalian, memakan gumpalan nasi penduduk.

314. Perbuatan buruk, tidak dilakukan adalah lebih baik karena perbuatan buruk akan menggarang (si pelaku) di kemudian waktu. Sebaliknya, perbuatan baik, dilakukan adalah lebih baik yang, setelah dilakukan, tidak mendatangkan sesal.

315. Jagalah diri di dalam dan di luarnya, laksana orang menjaga wilayah perbatasan! Janganlah membiarkan waktu berlalu karena mereka yang membiarkannya berlalu mendapati kesedihan, berdesak sesak di neraka!

316. Barangsiapa malu terhadap hal tak memalukan, tidak malu terhadap hal memalukan; mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.

317. Juga, barangsiapa takut terhadap hal tak menakutkan, tidak takut terhadap hal menakutkan; mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.

318. Barangsiapa menganggap tercela terhadap hal tak tercela, menganggap tak tercela terhadap hal tercela; mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.

319. Sebaliknya, barangsiapa menyadari hal tercela sebagai yang tercela, menyadari hal tak tercela sebagai yang tak tercela; mereka yang memegang pandangan benar itu akan menuju ke alam bahagia.

327. Bergembiralah dalam ketidaklengahan! Jagalah kesadaran Kalian masing-masing! Entaskan diri dari kubangan, bak gajah yang terjerembab di lelumpuran dapat mengentas diri!

328. Andaikata seseorang mendapatkan orang yang cermat, bercara hidup baik, dan cendekia sebagai kawan berjalan, ia layak mengatasi segala rintangan; dapat berlega hati dan menegakkan perhatian – berjalan dengannya.

329. Andaikata seseorang tidak mendapatkan orang yang cermat, bercara hidup baik, dan cendekia sebagai kawan berjalan, ia layak berjalan sendirian, laksana seorang raja pergi meninggalkan wilayah taklukkan, laksana gajah besar Mâtanga berjalan sendirian di hutan.

330. Berjalan sendirian adalah lebih baik karena nilai persahabatan tidak ada pada si dungu. Ia patut berjalan sendirian, seperti gajah besar Mâtaõga yang bersahaja berjalan di hutan, dan tak semestinya berbuat buruk.

331. Ketika timbul suatu pengharapan, para sahabat mendatangkan kebahagiaan. Mendatangkan kebahagiaan, berpuas dengan seadanya. Ketika ajal tiba, kebajikan mendatangkan kebahagiaan. Mendatangkan kebahagiaan, pelenyapan segala derita.

407. Nafsu ragawi, kebencian, pembandingan diri, dan pelecehan orang telah seseorang tanggalkan, laksana biji sawi yang jatuh dari ujung jarum. Aku menyebutnya ‘brâhmana’.

408. Ia yang bertutur kata tidak kasar, jelas, benar, dan tidak mengundang kemarahan siapa pun itu Aku sebut ‘brâhmana’.

409. Ia yang di dunia ini tidak mengambil barang yang tidak diberikan, baik yang panjang ataupun pendek, yang kecil ataupun besar, yang indah ataupun jelek itu Aku sebut ‘brâhmana’.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.

Konsultan Hukum HERY SHIETRA & PARTNERS