Ciri Khas Penipu, Melarang Calon Korban untuk Waspada dan Jaga Diri (memang Maunya Penipu)

Penipu manakah, yang Mengaku sebagai Penipu? Semua Penipu adalah Berbulu Domba / Malaikat

Pola Khas Kalangan Penipu, Melarang Anda untuk NEGATIVE THINKING, Semata agar Anda Lengah dan Mudah Diperdaya / Dimanipulasi

Makna RIGHT OF SELF DETERMINATION, ialah Kebebasan untuk ber-NEGATIVE THINKING itu Sendiri

Seri Artikel Sosiologi bersama Hery Shietra

Question: Begitu banyak kasus penipuan di luar sana, tentu kita cukup belajar dari banyak kasus penipuan dari berita-berita yang kita baca atau lihat, maupun belajar dari pengalaman dari para korban kasus penipuan, tanpa perlu mengalami sendiri menjadi korban penipuan. Masalahnya ialah, terlampau banyak orang-orang suka menipu di republik (bernama Indonesia) ini. Lantas, adakah pedoman untuk kita mengetahui, apakah seseorang yang berhadapan atau berbicara dengan kita adalah seorang penipu ataukah memang benar-benar orang baik yang dapat kita berikan kepercayaan?

Brief Answer: Ketika seseorang pengamat, psikolog, sosiolog, maupun seorang anthropolog, melakukan observasi perilaku manusia, telah ternyata terdapat semacam pola-pola “khas” yang bisa menjadi petunjuk tidak kasat mata mengenai sifat asli atau wajah asli seseorang dibalik “persona” yang mereka kenakan sebagai topeng di wajah. Karenanya, beragam umat manusia dapat dipetakan kedalam suatu pola-pola. Ketika kita mendapati adanya suatu pola yang sama, maka kita dapat memprediksi bahwa orang tersebut memiliki karakter yang biasanya dicerminkan oleh suatu pola-pola tertentu yang dimiliki oleh orang-orang lainnya yang memiliki karakter serupa. Betul bahwa setiap manusia adalah “unik”, namun dalam beragam aspek perilaku dan sifat, pola-pola itu tetap dapat dipetakan dan membentuk semacam “pola genetik perilaku”.

Pengetahuan dasar demikian dapat kita jumpai dalam ilmu psikologi, yang telah lama memetakan pola-pola sebagai penanda karakter manusia, semisal bagaimana seseorang mengoperasikan handphone (dengan dua tangan atau satu tangan, dengan semata memakai ibu jari ataukah kedua jari telunjuk, dsb), handwriting analysis yang kerap disebut sebagai “brain writing” atau “grafologi”, ataupun seperti dalam ilmu-ilmu kriminologi dikenal cara identifikasi karakter seorang berwatak “kriminil” dari bentuk tempurung tengkorak kepala, gestur, dan bahasa tubuhnya. Kesemua itu adalah “empiric based evidences”, dalam artian menggunakan metode induksi, yakni dari pengamatan terhadap banyak kejadian atau kasus dalam “fakta real” lapangan untuk menarik suatu kesimpulan yang bersifat umum, bertolak-belakang dengan ilmu filsafat yang bersifat deduktif yang menjadikan hipotesis sebagai “supra-fakta” yang terkadang terkesan “dipaksakan”.

Terdapat satu pola yang cukup kasat mata dan bisa dikatakan ciri khas kalangan penipu, salah satunya ialah kerap melakukan “manipulasi verbal” dan “putar-balik logika moril” lawan bicaranya yang mencoba untuk menjaga diri—mereka memperlakukan kita seolah-olah kita tidak memiliki hak untuk memiliki penilaian dan pemikiran sendiri, seolah-olah kita selaku lawan bicara ialah “tuli” dan “buta” (seolah-olah kita tidak bisa mendengar apa yang telah pernah mereka ucapkan ataupun tulis sebelumnya). Namun, ciri khas yang paling mencolok dan paling kontras ialah, kita selaku lawan bicara secara halus maupun secara kasar dilarang untuk “ber-negative thinking”, sekalipun kita punya hak untuk menjaga diri baik-baik agar tidak menjadi “mangsa empuk” kalangan penipu (sang “manusia predator”) yang selalu berkeliaran mencari mangsa untuk “dimakan”, terutama mangsa yang lengah dan mudah diperdaya.

Karenanya, bila kita menjumpai seseorang yang melarang kita untuk menjaga diri, mengkritik kita yang sedang menaruh waspada ataupun kecurigaan, dan memperlakukan kita seolah-olah kita adalah orang bodoh yang tidak tahu apapun sehingga perlu mereka dikte apa yang perlu kita rasakan ataupun percayai, yang mencoba mendiskredit kita untuk menanggalkan pertahanan diri, pikiran, maupun mental, memandang diri kita adalah sesosok manusia “bodoh” yang tidak boleh punya pikiran maupun penilaian sendiri, yang tidak mempunyai “pengalaman” sehingga perlu mereka yang berpikir dan menilai untuk Anda, ataupun ketika mereka justru menyudutkan dan melecehkan kita seolah-olah “negative thinking” ialah dosa atau hal tabu untuk kita lakukan—sekalipun dunia ini tidak pernah kekurangan penipu dan kita sejatinya telah cukup kenyang terhadap pengalaman-pengalaman terkena tipu-muslihat maupun tipu-daya—maka kita patut menduga, bahwa yang kita hadapi ialah kalangan penipu yang sedang menyaru sebagai kalangan orang baik. Semakin berniat menipu, semakin mereka akan tampil bak malaikat dimana polesan wajah dan “permainan lidah” menyusup, mengecoh, membajak, serta melumpuhkan daya pikir maupun kemandirian berpikir kita, itulah ciri utamanya yang menjadi pola paling khas kalangan penipu.

PEMBAHASAN:

Cobalah Anda pribadi renungkan, sudah sebanyak apakah selama umur hidup Anda, dimana Anda atau keluarga Anda secara langsung telah pernah mengalami sendiri sebagai korban modus-modus penipuan yang dilakukan oleh sesama anggota masyarakat kita. Meniru apa yang pernah dikatakan Sang Buddha, cobalah cari satu saja keluarga, yang anggota keluarganya belum telah pernah ditipu dan menjadi korban penipuan. Diatas kesemua itu, kita perlu menyadari

Apakah pengalaman-pengalaman buruk tersebut, belum cukup banyak, dan bila belum cukup banyak, akan sampai kapankah kita akan terus mengalami sendiri “jatuh dalam lubang yang sama” bernama penipuan, sehingga kita baru merasa mau untuk “membuka mata” terhadap realita, bahwa dunia manusia tidaklah seindah dalam dunia dongeng dimana manusia (yang) baik lebih banyak daripada jumlah umat manusia (yang) jahat, dan yang jahat akan seketika mendapat “punishment” dengan tertimpa musibah ataupun tokoh-tokoh yang baik selalu jujur nasibnya.

Kita sejatinya cukup belajar dari berita-berita kasus-kasus penipuan (terutama ribuan kasus-kasus pidana penipuan yang pelakunya divonis penjara setiap tahunnya, salah satu kejahatan yang paling primitif yang masih eksis dan masif di Indonesia dengan jumlah korban yang tidak terhitung lagi) disamping juga belajar dari pengalaman-pengalaman buruk orang lain yang telah pernah menjadi korban modus-modus penipuan yang kian terselubung dan tidak berbau “amis” (sukar dideteksi), semata agar kita tidak jatuh dalam pengalaman buruk serupa. Yang selalu dicemaskan oleh kalangan penipu, ialah ketika kita selaku calon korban menampilkan sikap “early warning system” berupa deteksi dini dengan mulai menutup ruang celah masuknya penipuan yang bisa menyusup, yang kemudian secara gencar coba dipadamkan oleh sang penipu lewat manipulasi pikiran maupun putar-balik logika moril.

Penulis secara pribadi pun telah memiliki banyak koleksi pengalaman-pengalaman buruk yang mengajarkan penulis untuk mulai lebih tegas serta berani dalam menjaga diri dan memandang “jaga diri” merupakan hak asasi setiap individu, bahkan merupakan bentuk nyata tanggung-jawab kita kepada diri kita sendiri, serta dalam rangka menjadi “pengacara bagi diri kita sendiri”. “Negative thinking” bukanlah hal tercela, namun adalah “menyakiti diri sendiri” dan barulah yang sesungguhnya patut dicela. Bukanlah disebut sebagai seseorang dengan “negative thinking” yang menakutkan, namun “membiarkan diri dicelakai” oleh orang lain akibat minimnya penghargaan diri maupun perlindungan diri barulah yang disebut “menakutkan”. Karenanya, jika ada orang-orang yang mencoba manipulasi pikiran kita, dengan menyebut kita telah “men-sitgma” orang lain dengan “negative thinking”, maka jawablah secara lugas tanpa tedeng aling-aling:

“MEMANG, itu hak asasi saya. Anda tidak punya hak melarang saya untuk bela dan jaga diri. Justru itu menjadi tugas dan urusan saya. Mengenai apa yang Anda pikirkan tentang saya, barulah yang disebut ‘That’s not my business’.” [Motto Penulis : BE PROFESSIONAL TOWARD OURSELVES! Penulis tidak bersedia tertipu untuk kesekian kalinya, cukup dengan berbagai pengalaman buruk yang telah ada.]

Kutipan contoh kecil berikut ini pernah penulis alami ketika penulis menghubungi seorang agen properti saat penulis mencari-cari rumah untuk dibeli. Penulis mengajukan pertanyaan penting dan wajar sifatnya (sehingga menjadi ganjil bila responsnya justru “reaktif” atau “berkelit”), yang harus ditanyakan oleh para konsumen cerdas dan tahu apa yang menjadi hak-haknya, yakni hak untuk “tidak beli kucing dalam karung”. Sederhananya, mengapa pemerintah menerbitkan Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen? Secara moril, negara lebih berpihak kepada konsumen, karena memang selama ini konsumen yang selalu lebih tersudutkan posisinya, disamping fakta karena lebih banyak kalangan konsumen di Tanah Air yang menjadi korban-korban penipuan pelaku usaha dan dirugikan. Penulis mengajukan pertanyaan yang tidak pernah disukai “agen properti penipu” manapun, sebagai berikut:

“Iklan properti yang Bapak / Ibu buat dan umumkan, apakah benar dan tidak berbeda dengan kenyataan, dalam artian nama kawasan, spesifikasi, detail luas tanah dan bangunan, dan lain sebagainya dalam iklan Bapak / Ibu tersebut? Pembeli membayar dan tanda-tangan Akta Jual Beli, langsung dengan pemilik tanah? Rumahnya sudah dibangun jadi atau belum (masih tanah kosong)?”

[NOTE : Rata-rata sengketa konsumen setiap tahunnya di Indonesia, didominasi sengketa konsumen produk properti terhadap pihak penjual, salah satunya diakibatkan pihak developer adalah pihak yang berbeda dengan pemilik tanah (antara pemilik tanah dan developer ada MOU), namun pihak developer yang menjual dan memasarkan produk properti, dimana tidak jarang pemilik tanah menolak untuk tanda-tangan Akta Jual Beli sehingga konsumen produk properti tidak memiliki sertifikat hak atas tanah yang menjadi haknya, dimana gaib-nya, pembeli membayar kepada developer alih-alih developer mengarahkan pembeli untuk membayar ke rekening atas nama pemilik tanah. Bahkan developer kerap tidak transparan perihal siapa pemilik tanah, sehingga calon konsumen berasumsi bahwa tanah properti adalah atas nama milik developer.]

Namun sang agen bernama “Puput Fudrianti” yang penulis hubungi, selalu berkelit terhadap pertanyaan di atas, tidak berani secara semudah “to the point” menyatakan “Ya” atau “Tidak”-nya, namun berkelit dengan berputar-putar pada hal lainnya, seperti menjawab “bukan bayar ke saya”, “Akta Jual Beli dengan notaris” (ditanya apa, menjawab apa), bahkan memakai modus dengan membuat “jebakan mental”, dimana sang agen properti “berlagak bodoh” dan juga bersikap seolah-olah penulis adalah “orang bodoh” yang tidak punya pengalaman, yang tidak tahu apa-apa, yang tidak punya pikiran maupun penilaian sendiri, dengan balik bertanya seperti:

“Memangnya ada agen properti yang menipu konsumen? Agen properti mana yang menipu konsumennya? Bisakah Bapak sebutkan agen mana yang seperti itu?”

Karena sang agen “you asked for it”, maka penulis sebutkan satu per satu agen-agen properti yang kerap membuat iklan yang mengecoh calon konsumen, sekadar sebagai bukti, dengan harapan yang sang bersangkutan tidak lagi bermain-main dengan penulis dan penulis bukanlah calon konsumen yang bisa dijadikan “mangsa empuk” semata karena tahu dan belajar dari pengalaman-pengalaman sendiri maupun pengalaman-pengalaman orang lain. Mendadak, bagai bermain akrobatik, sang agen menuding penulis sebagai tidak “reasonable”, telah menstigma kalangan profesi agen properti sebagai “penipu”.

Tujuan utama agen properti bernama “Puput Fudrianti” tersebut ialah, tidak lain untuk menjatuhkan mental penulis (modus, putar-balik logika moril”, yang seketika membuat penulis naik-pitam karena dipermainkan secara kekanakan demikian, dan memaki sang agen dengan kalimat “YOU ASKED FOR IT! KAMU YANG BERTANYA!” dan seketika memutuskan komunikasi tanpa perlu lagi membuang-buang waktu yang berharga. Hanya agen properti penipu, yang bersikap seolah calon korbannya ialah orang “bodoh” yang tidak tahu apa-apa.

Terhadap pertanyaan penulis mengenai “apakah rumahnya sudah dibangun ataukah belum”, sama sekali tidak dijawab, dan yang bersangkutan mendesak penulis untuk langsung survei rumah. Ada apa ini? Apakah penulis harus membuang waktu “survei kucing dalam karung” bila segala sesuatunya belum “clear” di awal? Bila agen bernama “Puput Fudrianti” tersebut punya banyak waktu untuk “wasting time”, maka jangan samakan dengan orang lain, terlebih mengajak calon konsumen untuk juga “wasting time” seperti dirinya. Penulis belajar dari pengalaman “pahit”, survei berbagai objek properti, namun pulang dengan sia-sia bahkan merugi waktu, merugi tenaga, dan merugi ongkos untuk pergi dan pulang dari dan ke objek rumah yang dijual dalam iklan, telah ternyata hanya mendapati objek konkret yang berbeda dengan kondisi rumah dalam foto iklan, lokasi rumah yang real-nya ternyata berbeda provinsi dari lokasi dalam iklan, spesifikasi dalam iklan yang “menyesatkan”, dan berbagai kekecewaan lainnya yang pada pokoknya ialah “jika dari sejak awal calon konsumen mengetahuinya, maka tidak akan memutuskan untuk menyita waktu yang berharga untuk survei rumah”.

Agen properti yang profesional ialah agen properti yang menghargai waktu orang lain (calon konsumen) juga waktu dirinya sendiri. Sikap penulis selaku calon konsumen yang perlu “make sure” diawal sebelum memutuskan untuk bertemu dan survei rumah, ialah dalam rangka “respect” terhadap waktu sang agen properti juga waktu yang berharga penulis pribadi—adalah hak penulis, untuk menghargai waktu milik penulis yang sangat terbatas. Terdapat agen properti lain yang tidak lama setelah itu penulis hubungi, dimana ketika penulis nyatakan bahwa penulis perlu bersikap waspada ketika hendak membeli rumah yang tidak semurah membeli bahan bangunan, mengingat banyaknya modus penipuan terkait produk properti, dan sang agen alih-alih berkelit, mengakui bahwa memang ada agen yang “nakal”, serta mau membuka telinga mendengarkan segala kekhawatiran calon pembeli—cara menjawab yang “elegan” dan memberi kesan yang baik bagi penulis, sangat kontras terhadap sikap tidak punya “manner” pihak agen bernama “Puput Fudrianti” yang menutup telinganya rapat-rapat dan semata membuka mulutnya lebar-lebar. Agen tersebut memiliki pikiran naif, seolah “wasting time” bukanlah “wasting money” calon konsumen?

Bila terdapat kalangan masyarakat yang terkena tipu oleh agen-agen properti yang tidak menaruh hormat terhadap hak-hak (calon) konsumen, besar kemungkinan ialah akibat sifat “masak bodoh” sehingga menjadi “bodoh” dan benar-benar “dibodohi”—menjadi korban “pembodohan” dan “bodoh sendiri”. Tampaknya, target market sang agen properti “lancang” demikian ialah para konsumen yang “tidak cerdas”, yang siap berspekulasi untung-untungan “bisa kena tipu, bisa juga lolos dari maut penipuan” (baca : beli kucing dalam karung). Calon konsumen produk properti yang berpengalaman, pastilah dapat membuat komparasi dengan agen-agen properti lainnya yang bersikap lebih profesional terhadap calon konsumen serta paham bahwa kesemua itu ialah hak (calon) konsumen, terutama “hak atas keterbukaan informasi”.

Bisa dikata, hanya Buddhisme yang mengakui “Negative Thinking sebagai Hak Asasi Manusia”, dimana kita diajarkan untuk bebas dan merdeka untuk berpikir dan menilai serta memutuskan—disaat bersamaan juga menghargai orang lain dengan pemikiran dan penilaian mereka sendiri, sepanjang saling menghargai satu sama lainnya—juga adalah betul bahwa hanya ada sedikit orang baik-baik di dunia ini sejak zaman dahulu kala, zaman kini, maupun zaman di masa mendatang (bukan hanya di Indonesia, suatu fenomena global universal sepanjang masa), sebagaimana disabdakan oleh Sang Buddha dalam Dhammapada, dengan kutipan syair sebagai berikut:

DHAMMAPADA

174. Makhluk dunia ini buta. Di dunia ini sedikit makhluk melihat jelas. Ibarat burung dapat lolos dari jaring pengurung, sedikit makhluk tiba ke alam bahagia.

244. Hidup adalah mudah bagi ia yang tidak tahu malu, berani laksana gagak, biasa ingkar budi orang, suka mencari muka, lepas kendali, dan penuh kekotoran.

245. Sebaliknya, hidup adalah sulit bagi ia yang tahu malu, senantiasa berupaya pada laku suci, tidak melekat, terkendali, berpenghidupan bersih, dan menyadari (hakekat penghidupan bersih).

316. Barangsiapa malu terhadap hal tak memalukan, tidak malu terhadap hal memalukan; mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.

317. Juga, barangsiapa takut terhadap hal tak menakutkan, tidak takut terhadap hal menakutkan; mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.

318. Barangsiapa menganggap tercela terhadap hal tak tercela, menganggap tak tercela terhadap hal tercela; mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.

319. Sebaliknya, barangsiapa menyadari hal tercela sebagai yang tercela, menyadari hal tak tercela sebagai yang tak tercela; mereka yang memegang pandangan benar itu akan menuju ke alam bahagia.

327. Bergembiralah dalam ketidaklengahan! Jagalah kesadaran Kalian masing-masing! Entaskan diri dari kubangan, bak gajah yang terjerembab di lelumpuran dapat mengentas diri!

328. Andaikata seseorang mendapatkan orang yang cermat, bercara hidup baik, dan cendekia sebagai kawan berjalan, ia layak mengatasi segala rintangan; dapat berlega hati dan menegakkan perhatian – berjalan dengannya.

329. Andaikata seseorang tidak mendapatkan orang yang cermat, bercara hidup baik, dan cendekia sebagai kawan berjalan, ia layak berjalan sendirian, laksana seorang raja pergi meninggalkan wilayah taklukkan, laksana gajah besar Mâtanga berjalan sendirian di hutan.

330. Berjalan sendirian adalah lebih baik karena nilai persahabatan tidak ada pada si dungu. Ia patut berjalan sendirian, seperti gajah besar Mâtaõga yang bersahaja berjalan di hutan, dan tak semestinya berbuat buruk.

Jangan bersikap seolah-olah kita tidak punya pikiran untuk menilai dan memutuskan sendiri, jangan pula bersikap seolah-olah pengalaman buruk hidup kita maupun pengalaman hidup orang lain belum cukup mengajarkan pada kita arti penting merdeka dan bebas dalam berpikir dan membuat penilaian sendiri secara mandiri dan otonom, itulah pesan yang tersirat maupun tersurat dalam berbagai khotbah Sang Buddha, sekaligus sebagai “vaksin terhadap manipulasi pikiran”, salah satunya dapat kita jumpai dalam khotbah Sang Buddha berikut:

~KALAMA SUTTA~

Demikianlah telah kudengar:

1. Suatu ketika Yang Dirahmati (Sang Buddha) mengembara di negara Kosala dengan rombongan besar bhikkhu dan memasuki kota Kesaputta.

Suku Kalama, yang menjadi penduduk kota Kesaputta mendengar bahwa Pertapa Gotama, seorang putra dari suku Sakya yang pergi bertapa, sekarang telah tiba di Kesaputta.

Berita yang tersiar luas tentang Pertapa Gotama yang sekarang menjadi Buddha, mengatakan:

“Beliau adalah Arahat, Yang memperoleh Penerangan Agung, Sempurna Dalam Pengetahuan dan Pelaksanaannya, Yang Terbahagia, Pembimbing Manusia Yang Tiada Taranya, Guru Para Dewa dan Manusia, Sang Buddha, Yang Dirahmati. Beliau memberitahukan dunia ini, bersama-sama dengan alam para dewa, mara, dan brahma, disertai para pertapa, brahmana, para dewa, dan manusia, sesuatu yang Beliau sendiri telah mengerti melalui pengetahuan yang luar biasa. Beliau mengajarkan Dhamma yang indah pada awalnya, indah pada pertengahannya, dan indah pada akhirnya, baik dalam teori maupun dalam pelaksanaannya. Secara sempurna Beliau menerangkan tentang penghidupan suci yang benar-benar bersih. Sungguh berharga sekali dapat melihat Arahat tersebut!”

Karena itu, maka suku Kalama dari Kesaputta datang mengunjungi Sang Buddha. Tiba di sana, ada yang memberi hormat dengan merangkapkan kedua tangan di depan dada dan kemudian duduk di satu sisi; ada juga yang memberi hormat dengan berlutut, ada yang memberi hormat hanya dengan ucapan; ada yang menyembah; ada yang memberitahukan nama dan nama keluarganya; dan ada juga yang terus duduk tanpa mengucapkan kata apa pun.

2. Setelah mereka semua duduk, kemudian seorang berkata, “Yang Mulia, banyak pertapa dan brahmana yang berkunjung ke Kesaputta. Mereka menerangkan dan membahas dengan panjang lebar ajaran mereka sendiri, tetapi mencaci maki, menghina, merendahkan, dan mencela habis-habisan ajaran orang lain. Lalu datang pula pertapa dan brahmana lain ke Kesaputta. Dan mereka ini juga menerangkan dan membahas dengan panjang lebar ajaran mereka sendiri, dan mencaci-maki, menghina, merendahkan, dan mencela habis-habisan ajaran orang lain. Kami yang mendengar merasa ragu-ragu dan bingung, siapa diantara para pertapa dan brahmana yang berbicara benar dan siapa yang berdusta.”

3. “Benar, warga suku Kalama, sudah sewajarnyalah kamu ragu-ragu, sudah sewajarnyalah kamu bingung. Dalam hal yang meragukan memang akan menimbulkan kebingungan. Oleh karena itu, warga suku Kalama, janganlah percaya begitu saja berita yang disampaikan kepadamu, atau oleh karena sesuatu yang sudah merupakan tradisi, atau sesuatu yang didesas-desuskan. Janganlah percaya begitu saja apa yang tertulis di dalam kitab-kitab suci; juga apa yang dikatakan sesuai dengan logika atau kesimpulan belaka; juga apa yang katanya telah direnungkan dengan seksama; juga apa yang kelihatannya cocok dengan pandanganmu; atau karena ingin menghormat seorang pertapa yang menjadi gurumu.

Tetapi, warga suku Kalama, kalau setelah diselidiki sendiri, kamu mengetahui, ‘Hal ini tidak berguna, hal ini tercela, hal ini tidak dibenarkan oleh para Bijaksana, hal ini kalau terus dilakukan akan mengakibatkan kerugian dan penderitaan, maka sudah selayaknya kamu menolak hal-hal tersebut.”

4. “Sekarang, bagaimana pendapatmu, warga suku Kalama? Kalau keserakahan (lobha) timbul dalam diri seorang manusia, apakah itu membawa keuntungan atau kerugian?”

“Akan membawa kerugian, Yang Mulia.”

“Sekarang, warga suku Kalama, seseorang yang serakah dicengkeram oleh keserakahan dan tidak dapat mengendalikan dirinya lagi; apakah orang itu tidak mungkin akan membunuh makhluk hidup, mengambil sesuatu yang tidak diberikan, melakukan perzinahan, mengucapkan kata-kata yang tidak benar, dan juga menyebabkan orang lain berbuat demikian; bukankah hal itu akan mengakibatkan kerugian dan penderitaan baginya untuk waktu yang lama?”

“Memang demikian, Yang Mulia.”

5. “Sekarang, bagaimana pendapatmu, warga suku Kalama? Kalau kebencian (dosa) timbul dalam diri seorang manusia, apakah itu akan membawa keuntungan atau kerugian?”

“Akan membawa kerugian, Yang Mulia.”

“Sekarang, warga suku Kalama, seseorang yang membenci, dicengkeram oleh kebencian dan tidak dapat mengendalikan dirinya lagi; apakah orang itu tidak mungkin akan membunuh makhluk hidup, mengambil sesuatu yang tidak diberikan, melakukan perzinahan, mengucapkan kata-kata yang tidak benar, dan juga menyebabkan orang lain berbuat demikian; bukankah hal itu akan mengakibatkan kerugian dan penderitaan baginya untuk waktu yang lama?”

“Memang demikian, Yang Mulia.”

6. “Sekarang, bagaimana pendapatmu, warga suku Kalama? Kalau kegelapan batin (moha) timbul dalam diri seorang manusia, apakah itu akan membawa keuntungan atau kerugian?”

“Akan membawa kerugian, Yang Mulia.”

“Sekarang, warga suku Kalama, seseorang yang diliputi kegelapan batin (moha), dicengkeram oleh kegelapan batin dan tidak dapat mengendalikan dirinya lagi; apakah orang itu tidak mungkin akan membunuh makhluk hidup, mengambil sesuatu yang tidak diberikan, melakukan perzinahan, mengucapkan kata-kata yang tidak benar, dan juga menyebabkan orang lain berbuat demikian; bukankah hal itu akan mengakibatkan kerugian dan penderitaan baginya untuk waktu yang lama?”

“Memang demikian, Yang Mulia.”

7. “Kalau begitu, warga suku Kalama, bagaimana pendapatmu? Apakah hal-hal tersebut baik atau tidak baik?”

“Tidak baik, Yang Mulia.”

“Apakah hal-hal tersebut tercela atau tidak tercela?”

“Tercela, Yang Mulia.”

“Apakah hal-hal tersebut dibenarkan atau tidak dibenarkan oleh para Bijaksana?”

“Tidak dibenarkan, Yang Mulia.”

“Kalau terus dilakukan, apakah itu akan mengakibatkan kerugian dan penderitaan?”

“Akan mengakibatkan kerugian dan penderitaan, Yang Mulia. Demikianlah pendapat kami.”

8. “Karena itu, warga suku Kalama, itulah yang Kumaksud dengan mengatakan, ‘Janganlah percaya begitu saja berita yang disampaikan kepadamu; atau oleh karena sesuatu yang merupakan tradisi; atau sesuatu yang didesas-desuskan. Janganlah percaya begitu saja apa yang dikatakan di dalam kitab-kitab suci; juga apa yang katanya sesuai dengan logika atau kesimpulan belaka; juga apa yang katanya merupakan hasil dari suatu penelitian; juga apa yang katanya telah direnungkan dengan seksama; juga apa yang terlihat cocok dengan pandanganmu; atau karena ingin menghormat seorang pertapa yang menjadi gurumu.’

Tetapi, warga suku Kalama, kalau setelah diselidiki sendiri, kamu mengetahui, ‘Hal ini tidak berguna, hal ini tercela, hal ini tidak dibenarkan oleh para Bijaksana; hal ini kalau terus dilakukan akan mengakibatkan kerugian dan penderitaan,’ maka sudah selayaknya kamu menolak hal-hal tersebut.”

9. “Kesimpulannya, warga suku Kalama, ‘Janganlah percaya begitu saja berita yang disampaikan kepadamu; atau oleh karena sesuatu yang merupakan tradisi; atau sesuatu yang didesas-desuskan. Janganlah percaya begitu saja apa yang dikatakan di dalam kitab-kitab suci; juga apa yang katanya sesuai dengan logika atau kesimpulan belaka; juga apa yang katanya merupakan hasil dari suatu penelitian; juga apa yang katanya telah direnungkan dengan seksama; juga apa yang terlihat cocok dengan pandanganmu; atau karena ingin menghormat seorang pertapa yang menjadi gurumu.’ Tetapi, setelah diselidiki sendiri, kamu mengetahui, ‘Hal ini berguna; hal ini tidak tercela; hal ini dibenarkan oleh para Bijaksana; hal ini kalau terus dilakukan akan membawa keberuntungan dan kebahagiaan,’ maka sudah selayaknya kamu menerima dan hidup sesuai dengan hal-hal tersebut.”

10. “Bagaimana pendapatmu, warga suku Kalama? Apabila seseorang telah terbebas dari keserakahan (lobha), apakah hal ini merupakan keuntungan atau kerugian?”

“Keuntungan, Yang Mulia.”

“Bukankah orang ini, yang telah terbebas dari keserakahan dan tidak lagi dicengkeram oleh keserakahan, dan oleh karena ia dapat mengendalikan dirinya dengan baik, akan berhenti membunuh makhluk hidup, berhenti mengambil sesuatu yang tidak diberikan (mencuri), berhenti melakukan perzinahan berhenti mengucapkan kata-kata yang tidak benar, berhenti menjadi penyebab yang menyesatkan orang lain, tidak akan mendapatkan kerugian dan penderitaan untuk waktu yang lama?”

“Memang demikian halnya, Yang Mulia.”

11. “Sekarang, bagaimana pendapatmu, warga suku Kalama? Apabila seseorang telah terbebas dari kebencian (dosa), apakah hal ini merupakan keuntungan atau kerugian?”

“Keuntungan, Yang Mulia.”

“Bukankah orang ini, yang telah terbebas dari kebencian tidak lagi dicengkeram oleh kebencian….., berhenti menjadi penyebab yang menyesatkan orang lain, tidak akan mendapatkan kerugian dan penderitaan untuk waktu yang lama?”

“Memang demikian halnya, Yang Mulia.”

12. “Sekarang, bagaimana pendapatmu, warga suku Kalama? Apabila seseorang telah terbebas dari kegelapan batin (moha), apakah hal ini merupakan keuntungan atau kerugian?”

“Keuntungan, Yang Mulia.”

“Bukankah orang ini, yang telah terbebas dari kegelapan batin dan tidak lagi dicengkeram oleh kegelapan batin ….., berhenti menjadi penyebab yang menyesatkan orang lain, tidak akan mendapat kerugian dan penderitaan untuk waktu yang lama?”

“Memang demikian halnya, Yang Mulia.”

13. “Kalau begitu, warga suku Kalama, bagaimana pendapatmu? Apakah hal-hal tersebut menguntungkan atau tidak menguntungkan?”

“Menguntungkan, Yang Mulia.”

“Apakah hal-hal tersebut tercela atau tidak tercela?”

“Tidak tercela, Yang Mulia.”

“Apakah hal-hal tersebut dibenarkan atau tidak dibenarkan oleh para Bijaksana?”

“Dibenarkan, Yang Mulia.”

“Kalau terus dilakukan, apakah akan membawa kebahagiaan atau tidak?”

“Tentu akan membawa kebahagiaan. Demikianlah pendapat kami.”

14. “Demikianlah, warga suku Kalama, itulah yang Kumaksud dengan mengatakan, ‘Janganlah percaya begitu saja….., Tetapi apabila setelah diselidiki sendiri, kamu mengetahui hal ini berguna; hal ini tidak tercela; hal ini dibenarkan oleh para Bijaksana; hal ini kalau terus dilakukan akan membawa keberuntungan dan kebahagiaan, maka sudah selayaknya kamu menerima dan hidup sesuai dengan hal-hal tersebut.’ Itulah sebabnya, mengapa Aku mengucapkan kata-kata tersebut.”

15. “Sekarang, warga suku Kalama, seorang siswa Yang Ariya telah terbebas dari keserakahan dan kebencian, dan tidak lagi bingung tetapi dapat mengendalikan dirinya dengan baik dan pikirannya terpusat, sedangkan batinnya dipenuhi oleh kasih, belas kasih, simpati, dan keseimbangan batin yang berkembang terus tanpa batas, terbebas dari permusuhan dan perasaan tertekan; orang itu diumpamakan seperti diam di seperempat alam, kemudian di setengah alam, kemudian di tiga per empat alam dan akhirnya di seluruh alam. Dan dengan cara yang sama ke atas, ke bawah, ke samping, ke segenap penjuru, kepada semua makhluk, ia diam dengan batin penuh cinta kasih, belas kasih, simpati, dan keseimbangan batin yang ditujukan ke segenap penjuru alam, berkembang terus tanpa batas, terbebas dari permusuhan dan perasaan tertekan. Siswa yang demikian itu, yang hatinya terbebas dari permusuhan, terbebas dari perasaan tertekan, tidak ternoda dan bersih, orang itu dalam kehidupan ini juga akan memperoleh berkah yang menyenangkan, yaitu:

16. Kalau sekiranya ada alam lain setelah meninggal dunia, ada akibat dari perbuatan baik dan jahat; saat badan jasmaninya hancur setelah mati, ia akan bertumimbal lahir di alam surga. Ini adalah berkah pertama yang diperolehnya. Kalau sekiranya tidak ada alam lain setelah meninggal dunia, tidak ada akibat dari perbuatan baik dan jahat; namun kehidupan ini ia telah terbebas dari perasaan bermusuhan dan tertekan. Ini adalah berkah kedua yang diperolehnya.

Kalau sekiranya bencana menimpa yang berbuat jahat; namun aku sama sekali tidak bermaksud berbuat jahat terhadap siapa pun juga. Mana mungkin bencana dapat menimpa diriku yang tidak berbuat jahat? Ini adalah berkah ketiga yang diperolehnya. Kalau sekiranya tidak ada bencana menimpa yang berbuat jahat, maka aku tahu bahwa diriku bersih dari kedua segi. Ini adalah berkah keempat yang diperolehnya.

Dengan demikian, warga suku Kalama, siswa Ariya tersebut yang hatinya terbebas dari permusuhan dan perasaan tertekan, tak ternoda dan bersih, maka dalam kehidupan ini memperoleh empat berkah.”

17. “Memang demikianlah halnya, Yang Dirahmati. Memang demikianlah, Yang Terbahagia. Siswa Ariya tersebut dalam kehidupan ini akan memperoleh empat berkah (dengan mengulang apa yang diucapkan Sang Buddha).

Sungguh indah, Yang Mulia! Dengan ini kami menyatakan kami berlindung kepada Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha. Semoga Yang Mulia berkenan menerima kami sebagai upasaka dan upasika, mulai hari ini sampai seumur hidup kami.”

NOTE : Kālāma Sutta merupakan salah satu khotbah Sang Buddha yang dibabarkan dalam kodifikasi Anguttara Nikaya, Sutta Pitaka, Tipiaka, berisi “cara berpikir Buddhistik” yang khas diajarkan oleh Sang Buddha kepada Suku Kalama. Sutta ini sering disebut sebagai “piagam kebebasan untuk menyelidik” dari Sang Buddha. Jika Sang Buddha begitu memuji serta menghargai kebebasan untuk menilai dan memutuskan sendiri, maka kita tidak perlu memberi bobot terhadap perkataan orang-orang yang justru mendiskreditkan kebebasan berpikir kita—mereka dan perkataan “sampah” mereka adalah sama sekali tidak penting, terlebih untuk kita pungut dan telan.

Buddhisme membolehkan dan membebaskan kita untuk berpikir sendiri, memiliki penilaian sendiri, berdaya untuk memiliki opini serta pendapat sendiri, memilih untuk tidak meyakini, memilih untuk menjadi diri kita sendii dan berdiri di atas kaki serta pikiran kita sendiri (“berdikari”), serta kebebasan untuk tidak menjawab (the right to remain silent), kebebasan untuk bertanya, kebebasan untuk menolak, kebebasan untuk berkeberatan, disamping kebebasan untuk menentukan hidup kita sendiri (the right of self determination).

Sekadar mengutip kembali sabda Sang Buddha dalam Kalama Sutta : “Sudah sepantasnya bagi kalian, suku Kalama, untuk ragu, untuk bimbang; kebimbangan telah muncul pada kalian tentang apa yang meragukan.” Sang Buddha dengan demikian sungguh-sungguh menghargai hak asasi manusia untuk memiliki pikiran dalam rangka menilai dan memutuskan sendiri. Jika Sang Buddha justru menganjurkan, menjunjung, serta memuji praktik hidup yang memberdayakan berpikir secara bebas dan mandiri (berpikir otonom), maka kita tidak perlu takut, sungkan ataupun segan, terlebih malu, terhadap pihak-pihak yang justru mencoba mematikan ataupun merampas hak asasi kita atas pikiran kita sendiri tersebut. Seseorang dengan kemampuan “indigo”, pernah berkata kepada penulis, “Berpikir secara kritis, bebas, dan merdeka, merupakan berkah.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.

Konsultan Hukum HERY SHIETRA & PARTNERS